Membangun Persemayaman Dewa

Candi tidak asal bangun. Prosesnya rumit. Harus mengikuti panduan kitab dan ketentuan agama.

OLEH:
Risa Herdahita Putri
.
Membangun Persemayaman DewaMembangun Persemayaman Dewa
cover caption
Candi Prambanan. (Wikipedia).

MENDAPAT perintah dari ayahnya, Bandung Bondowoso berangkat menuju Prambanan bersama bala tentara Pengging. Melalui pertempuran hebat, dia mengalahkan pasukan Prambanan, bahkan membunuh Prabu Baka, raja Prambanan.  

Dengan seizin ayahnya, dia bermaksud mendirikan pemerintahan yang baru di Prambanan. Ketika memasuki istana, dia bertemu Rara Jonggrang, putri Prabu Baka, yang cantik jelita. Dia terpikat dan meminangnya.  

Tak berani terang-terangan menolak pinangan pemuda pembunuh ayahnya, Rara Jongrang mengajukan syarat: dirikanlah untuknya seribu candi dalam semalam.  

Bandung Bondowoso menyanggupi. Segera setelah matahari terbenam, dia pergi ke sebuah tanah lapang dan bersemedi. Dengan kesaktiannya, dia memanggil para jin dan memerintahkan membangun candi.

MENDAPAT perintah dari ayahnya, Bandung Bondowoso berangkat menuju Prambanan bersama bala tentara Pengging. Melalui pertempuran hebat, dia mengalahkan pasukan Prambanan, bahkan membunuh Prabu Baka, raja Prambanan.  

Dengan seizin ayahnya, dia bermaksud mendirikan pemerintahan yang baru di Prambanan. Ketika memasuki istana, dia bertemu Rara Jonggrang, putri Prabu Baka, yang cantik jelita. Dia terpikat dan meminangnya.  

Tak berani terang-terangan menolak pinangan pemuda pembunuh ayahnya, Rara Jongrang mengajukan syarat: dirikanlah untuknya seribu candi dalam semalam.  

Bandung Bondowoso menyanggupi. Segera setelah matahari terbenam, dia pergi ke sebuah tanah lapang dan bersemedi. Dengan kesaktiannya, dia memanggil para jin dan memerintahkan membangun candi.

Lewat tengah malam, mengetahui pembangunan candi hampir rampung, Rara Jonggrang membangunkan gadis-gadis desa untuk menumbuk padi dan membakar sisa-sisa padi. Ayam jantan pun terbangun dan berkokok.

Mengira hari menjelang pagi, para jin meninggalkan pekerjaan dan lenyap. Seribu candi pun gagal berdiri. Bandung Bondowoso naik pitam dan mengutuk Rara Jonggrang menjadi arca.  

Kisah itu memang hanyalah legenda yang hidup di tengah masyarakat, kendati sampai saat ini arca Rara Jonggrang masih dapat ditemui di kompleks Candi Prambanan, candi Hindu terbesar di Indonesia yang diperkirakan dibangun pertengahan abad ke-9. Dalam kenyataannya, membangun candi tak bisa dilakukan dalam semalam. Juga ada sejumlah pedoman yang harus diikuti.

Teknik sambung batu candi. (Dok. BKPB Jawa Tengah).

Kitab Pedoman

Di masa lalu, candi memiliki bermacam fungsi tapi umumnya untuk kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha. Keberadannya erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 hingga 14. Karena ajaran Hindu dan Buddha berasal dari India, bangunan candi mendapat banyak pengaruh India.

Menurut Guru besar Arkeologi UGM Timbul Haryono dalam “Prinsip-prinsip Pembangunan Candi Menurut Kitab Śilpa Prakāśa”, dimuat Buletin Narasimha No. 4 tahun 2011, candi adalah simbol kosmos sekaligus simbol Gunung Mahameru. Dalam mitologi Hindu-Buddha, Gunung Meru adalah gunung suci yang menjadi poros dunia. Karenanya, struktur bangunan candi terdiri dari tiga bagian (triloka). Pada candi Hindu, itu terdiri dari bhurloka, bhuvaloka, dan svarloka. Pada candi Buddha, kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu.

“Bangunan candi berstruktur hierarkis mirip jagad raya. Pondasi yang tertanam di tanah adalah bhu, bumi. Tubuh atasnya adalah bhuvar atau dunia antara. Bagian atap melambangkan svar atau surga,” tulis Timbul.

Karena sakral, penetapan lokasi hingga pembuatan ornamen dipertimbangkan dengan saksama. “Pedoman dan aturan pembangunan candi umumnya mengacu pada Kitab Manasara-Silpasastra dari India,” ujar Agus Aris Munandar, guru besar Arkeologi Universitas Indonesia.

Menurut kitab Silpasastra, orang yang punya kuasa membangun candi adalah silpin, seorang seniman sekaligus brahmana. Silpin dibagi empat sesuai lingkup pekerjaannya: sthapati (arsitek dan perencana), sutragrahin (ahli teknik sipil yang menjadi pemimpin pembangunan), takshaka (pemahat), dan vardhakin (pengukir ornamen). Keempat orang itu, dibantu ahli-ahli lain, mencari lokasi pembangunan candi.  

“Yang bagus lahan subur di tepi sungai, di pertemuan dua sungai, tepi danau. tepi lereng pegunungan. Bukan di puncak karena itu svarloka,” ujar Agus.

Teknik sambung batu candi. (Dok. BKPB Jawa Tengah).

Lahan di dekat sumber mata air dipercaya sebagai tempat bersemayam dewa sekaligus penting untuk memenuhi kebutuhan air saat upacara keagamaan dan membersihkan candi. Lahan tempat pembakaran jenazah, rawa-rawa, dan berbatu dihindari karena dianggap tak suci dan dipercaya membawa sial.  

Setelah lokasi dipilih, dilakukan pengujian tanah (bhupariksa) untuk mengetahui kepadatan tanah (dengan air), gas berbahaya (dengan api), kesuburan tanah (dengan benih tanaman), serta warna dan bau. Khusus yang terakhir, ada empat jenis tanah yang harus diperhatikan: tanah brahmana (berwarna mengkilap seperti mutiara dan berbau harum), ksatria (berwarna merah seperti darah dan berbau masam), waisya (berwarna kuning dan dan berbau tak sedap), dan sudra (berwarna gelap dan kelabu dan berbau busuk). Yang cocok untuk lokasi candi adalah tanah brahmana dan ksatria karena mengandung pasir, yang terbukti baik untuk mendirikan bangunan.  

“Lahan berbatu dan berarang tidak boleh. Jadi benar-benar bersih,” ujar Agus.

Jika hasil pengujian positif, dimulai persiapan pembangunan. Siplin duduk di tengah lingkaran manusia sambil membaca kidung suci atau mantra. Lalu dia menancapkan kayu untuk menentukan titik tengah (brahmastana). Bayangan kayu saat matahari terbit dan tenggelam menjadi patokan luasnya candi. Setelah itu dibuatlah sistem grid (vastupurasa mandala) yang berfungsi sebagai pembatas untuk meletakkan batu-batu pertama agar rapi.

Di titik tengah (brahmastana) kemudian dimasukkan garbhapatra, sebuah wadah berisi benda-benda perlambang panca maha bhuta (lima unsur alam): udara, tanah, air, api, dan ether. Bisa berupa biji, benang, kertas emas (bertuliskan kidung pujian, mantra, atau nama dewa), cermin perunggu, abu, atau tulang hewan. Di atas titik tengah dibangun candi induk.

Teknik sambung batu candi. (Dok. BKPB Jawa Tengah).

Putih Telur Perekat Candi?

Proses pembangunan pun dimulai. Mula-mula membuat pondasi, yang juga meliputi seluruh bagian bawah bangunan. Soal bahan, bangunan candi di Sumatra, Jawa, dan Bali cenderung memakai tiga macam: batu, bata, serta campuran batu dan bata. Namun kesediaan bahan mempengaruhi pemilihan bahan. Makanya, ada pula yang menggunakan campuran batu, bata, ijuk, dan kayu.

“Nah, masa Majapahit candinya memakai tiga jenis bahan. Lebih malah, kayu, bambu, ijuk, batu, dan bata,” ujar Agus.

Candi di Jawa Tengah umumnya memakai batu. Bata digunakan sekadar memenuhi syarat terkait konsep agama. Bahan bata harus ada di setiap candi karena mewakili konsep panca maha bhuta.

“Bata ada dalam candi, tapi tidak berfungsi sebagai konstruksi. Nggak kelihatan. Waktu candi dipugar baru kelihatan. Pada bata ada tanah, dulu dicetak dengan air, pembakaran ada udara, bagian dari ether. Jadi semua ada,” ujar Agus.

Lucunya, masih banyak orang percaya batuan candi direkatkan dengan putih telur ayam. Agus melihat ini berawal dari kebiasaan masyarakat yang merekatkan kaca patri dengan putih telur ayam. Kenyataannya, bahan perekat pada candi tak pernah ditemukan.  

Untuk candi berbahan bata, “perekat” dihasilkan dari rontokkan bata yang saling digesekkan lalu diberi air. Sementara pada candi berbahan batu, “perekatan” dilakukan dengan teknik sambungan. Batu dipahat sedemikian rupa agar saling mengisi dan mengunci. “Makanya kalau ada gempa nggak mudah rusak. Dulu Belanda memugar malah dengan semen. Akhirnya ketika gempa retak batuannya,” ujar Agus.

Teknik sambung batu candi. (Dok. BKPB Jawa Tengah).

Kearifan Lokal

Selain Manasara Silpasastra, ada kitab-kitab lain yang menjadi acuan pembuatan candi seperti Kashyapasilpa, Vastusastra, dan Śipa Prakśa. Menurut Ari Styastuti, dalam “Belajar dari Kearifan Lokal Nenek Moyang dalam Rekayasan Lahan dan Pembangunan Candi Prambanan, dimuat Buletin Narashima No. 04 tahun 2011, kendati kitab-kitab dari India itu tetap menjadi acuan, kearifan lokal dan implementasi pengetahuan teknik tradisional memegang peranan penting.

Agus mengatakan, apakah kitab-kitab India itu juga dikenal di Indonesia belumlah terbukti. Pasalnya, tak semua unsur dalam candi bisa dikembalikan pada patokan yang dimuat dalam kitab dari India itu. “Yang diacu oleh nenek moyang kita mungkin kitab agama seperti itu, tapi belum tentu Manasara Silpasastra,” ujarnya.

Dia mencontohkan di Bali terdapat kitab Asta Kosala-Kosali dan Asta-Bumi, yang berkembang sekira abad ke-15 dan berisi dalil-dalil membangun candi. Kitab-kitab itu hingga kini masih jadi acuan dalam pembangunan dan perbaikan pura, bahkan pembangunan rumah tinggal yang sesuai dengan adat.  

“Apakah kitab sejenis itu ada pada masa Mataram Kuno atau Majapahit, misalnya, tentu ada. Sayangnya, karena bahannya dari lontar tidak bertahan,” ujar Agus.

Meski begitu, dapat dipastikan candi-candi yang dibangun di Indonesia memiliki pedoman. Misalnya, soal pemilihan lahan yang dekat dengan sumber air, bisa dikatakan mirip dengan pedoman dari India. Namun, ornamen jelas berbeda. Arca-arcanya juga berbeda dari sisi penggarapan tubuh. Arca khas India memberi penegasan pada bagian dada, pinggang, dan pinggul. Ini tidak ditemukan pada seni arca di candi Nusantara.  

“Wujud arca kita cenderung lebih luwes, yang digambarkan adalah sikap orang Jawa. Jadi setiap wilayah itu ada adaptasi lokalnya,” ujar Agus.  

Di Jawa, setelah abad ke-10, pengaruh India berangsur menghilang. Para pembangun candi mengembangkan seni bangunan sendiri. “Dicampur misalnya atapnya dengan ijuk. Ada juga yang berbentuk punden berundak. Makin ke Majapahit kedekatan dengan budaya India makin jauh,” ujar Agus.  

Tak heran jika Rabindranath Tagore, seorang filsuf India, bingung ketika mengunjungi Candi Borobudur pertama kalinya. Tagore merasakan adanya pengaruh India di Jawa tapi tak bisa memastikan di mana pengaruh itu berada.  

“Karena semua sudah diubah. Ada cita rasa India di sana, tapi sebelah mana itu tidak kelihatan,” kata Agus.*

Majalah Historia No. 36 Tahun III 2017

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
67108b51488b7b878ca2cc4a