Membantah Kisah Tuanku Rao

Buku Tuanku Rao menyajikan keterangan berlainan mengenai sejarah Islam di Sumatra, khususnya tentang Perang Paderi. Hamka tidak tinggal diam.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Membantah Kisah Tuanku RaoMembantah Kisah Tuanku Rao
cover caption
Lukisan Perang Paderi karya G. Kepper, 1900. (Wikimedia Commons).

SOSIOLOG Mochtar Naim belum lama menjejakkan kakinya di tanah air ketika dia mendirikan Center for Minangkabau Studies pada 1968. Lembaga itu kerja bareng beberapa perguruan tinggi di Padang, instansi pemerintahan, dan organisasi masyarakat, menggelar seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam ke Minangkabau, pada 23–26 Juli 1969.

Hamka didaulat menjadi salah satu pembicara. Pemrasaran lain yang tengah menjadi perhatian adalah Mangaradja Onggang Parlindungan, penulis buku kontroversial, Tuanku Rao. Parlindungan adalah eks pejuang kemerdekaan, ahli bom tarik, dan purnawirawan Angkatan Darat dengan pangkat letnan kolonel.

“Kita tidak khusus bicara tentang Tuanku Rao, tapi tentang bagaimana Islam masuk dan berkembang di Minangkabau. Kita lihat secara menyeluruh. Kebetulan sekali salah satu masalah yang kita angkat mengenai Perang Paderi, yang ada ekstensinya, yaitu masuknya Islam ke Tapanuli dari Bonjol,” kata Mochtar Naim, 82 tahun, kepada Historia.

SOSIOLOG Mochtar Naim belum lama menjejakkan kakinya di tanah air ketika dia mendirikan Center for Minangkabau Studies pada 1968. Lembaga itu kerja bareng beberapa perguruan tinggi di Padang, instansi pemerintahan, dan organisasi masyarakat, menggelar seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam ke Minangkabau, pada 23–26 Juli 1969.

Hamka didaulat menjadi salah satu pembicara. Pemrasaran lain yang tengah menjadi perhatian adalah Mangaradja Onggang Parlindungan, penulis buku kontroversial, Tuanku Rao. Parlindungan adalah eks pejuang kemerdekaan, ahli bom tarik, dan purnawirawan Angkatan Darat dengan pangkat letnan kolonel.

“Kita tidak khusus bicara tentang Tuanku Rao, tapi tentang bagaimana Islam masuk dan berkembang di Minangkabau. Kita lihat secara menyeluruh. Kebetulan sekali salah satu masalah yang kita angkat mengenai Perang Paderi, yang ada ekstensinya, yaitu masuknya Islam ke Tapanuli dari Bonjol,” kata Mochtar Naim, 82 tahun, kepada Historia.

Buku Tuanku Rao setebal 691 halaman terbitan Penerbit Tandjung Pengharapan pada 1964. Buku ini membicarkan sejarah Islam terutama di Sumatra, khususnya terkait Perang Paderi (1803–1838), serta menyajikan keterangan baru bahwa kerajaan Islam Demak didirikan orang-orang Tionghoa bermazhab Hanafi. Meskipun buku itu terkadang bercampur cerita-cerita tak perlu dan agak porno, Hamka tetap tertarik membacanya. Namun, kian dibaca, Hamka semakin menemukan banyak hal yang meragukan dan memunculkan pertanyaan: apakah yang ditulis Parlindungan benar-benar ada fakta dan datanya? 

Hal ini karena sumber yang dipakai Parlindungan berasal dari ayahnya, Sutan Martua Radja, yang menyalinnya dari memoar Tuanku nan Renceh, ulama dan panglima Perang Paderi. Sutan Martua Radja adalah cicit Tuanku Lelo, salah satu panglima Paderi –tokoh ini diragukan keberadaannya oleh Hamka. Sayangnya, Parlindungan mengaku sumber-sumber dari ayahnya itu telah dibakar. 

Hamka kenal Sutan Martua Radja ketika sama-sama jadi anggota Syu Sangi Kai (badan perwakilan Sumatra Timur) bentukan Jepang. Hamka simpati padanya karena berbudi bahasa halus dan seorang Kristen taat.

“Setelah saya pelajari buku itu berbulan-bulan dengan sangat saksama, maka saya sampai pada kesimpulan: 80% dari isu buku itu tidak benar, dan secara agak kasar boleh disebut dusta,” tulis Hamka dalam Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.

Mochtar Naim. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Tamatnya Buku Tuanku Rao

Panitia seminar tidak berencana mempertemukan Hamka dengan Parlindungan. Panitia meminta Hamka memaparkan masalah gerakan pembaruan Islam di Minangkabau. Hamka pun mengemukakan makalah tentang dua tokoh pembaru: Syekh Ahmad Khatib bin Abdullatif al-Minangkabawi dan Syekh Ahmad Thaher Jalalauddin al-Azhari al-Falaki. 

Panitia justru berharap yang berhadapan adalah Parlindungan dengan Mohammad Radjab, wartawan kawakan Antara, penulis buku Perang Paderi. Rasanya “pertandingan” akan seru karena sama-sama menguasai bahan yang sumbernya berlainan. Sayangnya, “pertarungan” tidak terjadi.

Menurut Naim, Radjab dan Parlindungan bertahan pada tema masing-masing, tak mau saling mengungkit. Walaupun Parlindungan mencibir bahwa Radjab menulis sejarah Perang Paderi hanya sekadar membalikkan fakta dengan menjiplak data-data yang ditulis oleh Belanda. 

Radjab, menurut Naim, ingin membuktikan bahwa Perang Paderi pada hakikatnya adalah perang antara rakyat melawan penguasa; dia melihatnya dari segi politik penjajahan. Sedangkan Parlindungan ingin membuktikan bahwa Perang Paderi didalangi oleh gerakan Wahabi yang diatur dari Saudi Arabia melalui ketiga tawanannya: Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik; ini salah satu yang dibantah oleh Hamka. 

“Radjab berdiskusi, berdialog, tidak sepandai Buya Hamka. Tidak terjadi saling berbalas pendapat antara dia dan Parlindungan, yang terjadi hanya one way traffic,” kata Naim. “Pertempuran” baru terjadi ketika Hamka berhadapan dengan Parlindungan membahas Perang Paderi pada sidang kedua dan ketiga Seksi B, pada 26 Juli 1969. 

“Pertempuran benar-benar terjadi, di mana satu per satu tesis Onggang dipreteli. Dan yang mempreteli adalah Buya Hamka sendiri,” tulis Naim dalam “Catatan dari Tiga Seminar,” termuat di buku Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka

Pertempuran benar-benar terjadi, di mana satu per satu tesis Onggang dipreteli. Dan yang mempreteli adalah Buya Hamka.

Pada kesempatan itu, Hamka mengatakan bahwa merujuk pada buku-buku Wahabi. “Saya nyatakan bahwa beberapa buku tentang gerakan Wahabi telah saya baca,” kata Hamka. Buku-buku yang dibaca Hamka itu antara lain Sejarah Hidup Orang-orang Besar Timur Abad XIX karya Jarji Zaidan, The New World of Islam yang dikomentari Amir Syakib Arslan, dan Al-Futahat ul-Islamiyah karangan Sayid Zaini Dahlan. 

Kata Hamka tak satu kalimat pun dalam buku-buku tersebut yang menyebutkan gerakan Wahabi di tanah Arab, khususnya Kolonel Haji Piobang, dikirim oleh Raja Abdullah bin Saud untuk menggegerkan “Negara Darul Islam Minangkabau” yang bermazhab Hambali. Faktanya Haji Piobang pulang ke Minang sekira tahun 1802 atau 1803, padahal Abdullah bin Saud baru muncul di Makkah pada 1811, setelah berperang dengan Tussan Pasha (wafat 1816), putra sulung Muhammad Ali Pasha (1769–1849), pendiri Mesir modern. Sebab itu, Hamka meminta penjelasan dari sumber mana Parlindungan mendapat keterangan tentang hubungan Haji Piobang dengan Abdullah bin Saud. Sampai seminar habis, Parlindungan tidak dapat memberikan jawaban tegas. 

“Malahan di dalam satu rapat seksi dia bertanya kepada saya; ‘tidak adakah satu buku yang menulis hubungan kaum Wahabi dengan kaum Paderi?’ Saya jawab dengan tegas: ‘Tidak ada walaupun satu kalimat.’ Parlindungan terdiam,” kata Hamka. 

Seksi B menyimpulkan buku Tuanku Rao tidak lagi menjadi bahan yang penting. Apalagi penulisnya tidak sanggup mempertahankan isi bukunya yang mengatakan Tuanku Tambusai jauh lebih besar daripada Tuanku Imam Bonjol. Dalam kata penutupnya, Parlindungan menyatakan bahwa tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Kekalahannya, menurut Hamka, adalah kemenangan karena seminar memberinya banyak bahan dan pengetahuan baru. Parlindungan pun berjanji kalau bukunya dicetak lagi akan memperhatikan sanggahan dan kritikan itu.

“Demikianlah seminar berlangsung dengan baik,” kata Hamka. “Tetapi masih ada juga yang mulut usil mengatakan bahwa di dalam seminar di Padang itulah tamatnya riwayat buku Tuanku Rao.”

Buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan dan buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao karya Buya Hamka.

Bantahan-bantahan Hamka

Selepas seminar, beberapa orang sarjana meminta penilaian Hamka lebih luas lagi terhadap Tuanku Rao. Hamka berjanji akan menuliskan penilaiannya di surat kabar Haluan yang terbit di Padang. Melalui karangan-karangannya di Haluan, Hamka menolak beberapa hal yang dimuat dalam buku Tuanku Rao.

Antara lain mazhab Syiah Qaramithah tidak pernah berpengaruh di Minangkabau, apalagi selama tiga abad. Perayaan tabut dan safar adalah bukti yang lemah. Oleh karena itu, tidak ada universitas, akademi, al-Jami’ah, atau pesantren yang menyebarkan Syiah Qaramithah di Ulakan Pariaman; tidak pernah ada 1.800 mullah Syiah Qaramithah di Minangkabau, salah satunya yang disebut adalah Syekh Burhanuddin di Minangkabau atau Pariaman; Syekh Burhanuddin Ulakan hanya satu dan bermazhab Syafi’i; tarekat Syattariyah di Ulakan bukan cabang dari Syiah melainkan tarekat Shufiyah. 

Haji Miskin, Piobang, dan Sumanik, yang membawa paham Wahabi ke Minangkabau, tidak pernah masuk tentara Janisari Muhammad Ali Pasha di Mesir. Mereka tidak pernah bertemu dengan Abdullah bin Saud, serta Haji Piobang tidak pula membendung tentara Napoleon di Mesir sehingga tidak dapat meneruskannya ke Indonesia. Sebab, tahun-tahun kejadiannya sangat berjauhan. “Sebab itu maka gelar ‘kolonel’ atau ‘mayor’ untuk kedua orang di antara haji itu adalah meletakkan sesuatu tiada di tempatnya,” kata Hamka. 

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda. Melainkan juga menyerang dan mengislamkan Tanah Batak selatan antara 1816–1820 dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan kekejaman. Hamka menolak segala bentuk kekerasan, kekejaman, dan perkosaan terhadap perempuan Batak, sebagaimana diceritakan Tuanku Rao. Hamka menilainya sebagai khayalan Parlindungan belaka.

Menurut Hamka, Tuanko Rao, salah satu panglima Paderi, adalah orang Rao Padang Matinggi, artinya suku Minangkabau, bukan orang Batak. Dia tewas di pantai Air Bangis di Sumatra Barat, setelah diangkut Belanda dengan kapal pada 1831, bukan 1821. 

Selain mengenai sosok Tuanku Rao, Hamka juga membantah keterangan mengenai sejumlah tokoh yang ditulis Parlindungan. Di antaranya Tuanku Haji Mohammad Saleh atau Tuanku Tambusai adalah orang asli Tambusai, Minangkabau Timur atau daerah Rokan, bukanlah orang Batak yang bernama Hamonangan Harahap. Dia tidak tenggelam di laut atau sungai, tidak hilang di hutan, tetapi menyeberang ke Semenanjung Melayu dan menghabiskan hari tuanya serta wafat di sana. Keterangan bahwa dia berjuang selama 25 tahun di Padang Lawas, tidak ada buktinya. Dia juga tidak pernah berhubungan dengan Raja Kecil Siak, sebab Raja Kecil Siak muncul dalam sejarah satu abad sebelum Tuanku Tambusai lahir. 

Dalam sejarah Perang Paderi tidak ada orang bernama Profesor Haji Hasan Nasution, yang sempat mukim di Makkah, menjadi ulama, mengajar di universitas Syiah di Ulakan, dan menjadi menteri kehakiman gerakan Paderi yang bergelar Al-Kadi Malikul Adil. Tidak ada pula panglima Paderi bernama Tuanku Lelo atau Idris Nasution. Jika ayahnya, Hasan Nasution adalah tokoh fiktif, niscaya anaknya, Idris Nasution, pun tidak ada. Di Minangkabau Timur tidak ada dinasti kerajaan Islam bernama Al-Kamil. 

Hamka juga membantah keterangan Parlindungan mengenai mazhab-mazhab Islam. Misalnya, menurut Hamka, mazhab Hambali tidak pernah mengurangi rukun haji yang telah ditentukan Rasulullah; tidak pernah satu mazhab pun dalam Islam yang menghapuskan syariat haji lalu menukarnya dengan yang lain, misalnya naik haji ke padang Karbala; dan tidak ada dalam mazhab Hanafi bahwa salat boleh dilakukan dalam bahasa selain bahasa Arab. 

“Demikian beberapa kesimpulan yang sangat prinsipil untuk membantah keterangan-keterangan yang sangat menyesatkan dalam buku Tuanku Rao karya Parlindungan, di samping beratus, saya ulang beratus keterangan lain yang juga menyesatkan,” kata Hamka. 

Ditentang oleh tokoh-tokoh Islam, terutama Hamka, buku Tuanku Rao kemudian dilarang dan ditarik dari peredaran. Pada 1974, Hamka menerbitkan Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Buku bantahan-bantahan terhadap Tuanku Rao ini berisi karangan-karangan Hamka di Haluan (1969–1970) dan beberapa karangan yang belum sempat dimuat di harian tersebut. 

Menurut Hamka, kalau hanya menilik hubungan baiknya dengan Parlindungan, berat rasanya membukukan bantahan-bantahannya. “Tetapi karena kepentingan umum yang lebih besar daripada hubungan pribadi, saya teruskan jugalah menyebarkan buku ini,” kata Hamka. 

Pada 2007, buku Tuanku Rao kembali diterbitkan oleh penerbit LKiS, Yogyakarta. Pada tahun yang sama, terbit buku Gereget Tuanku Rao karya Basyral Hamidi Harahap. Kehadiran dua buku ini mendorong seminar sejarah Perang Paderi 1803–1838 di Arsip Nasional Republik Indonesia pada 22 Januari 2008. Salah satu pembicara, Suwardi, perwakilan masyarakat Melayu Riau dan ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Riau, merekomendasikan kedua buku tersebut dilarang dan ditarik dari peredaran.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65dc21a29f394c60350601f5