KEMATIAN adalah awal memahami kehidupan. Ketika seseorang mempelajari struktur tubuh manusia, ia sedang berupaya mengerti bagaimana tubuh berfungsi menopang keberlangsungan hidup. Sejak masa Yunani Kuno, keingintahuan terhadap struktur tubuh manusia merupakan bagian penting ilmu pengetahuan. Hippocrates (460–370 SM), seperti dikutip ilmuwan Persaud dalam Early History of Human Anatomy, menyebut anatomi sebagai “pondasi utama pengobatan... dan seharusnya dipahami melalui tubuh manusia.” Kata anatomi sendiri berasal dari bahasa Yunani: ana (memisahkan) dan tome (memotong).
Namun, bangsa Yunani Kuno percaya roh manusia yang meninggal “terperangkap dalam tubuhnya”. Membedah jenazah adalah tabu. Hippocrates pun menjalankan penelitian minus pembedahan; mengamati kerangka serta membandingkan postur fisik orang sehat dan sakit. Filsuf Yunani Aristoteles (384–322 SM) meneruskan metode ini sambil memperkenalkan pembedahan binatang sebagai perbandingan.
KEMATIAN adalah awal memahami kehidupan. Ketika seseorang mempelajari struktur tubuh manusia, ia sedang berupaya mengerti bagaimana tubuh berfungsi menopang keberlangsungan hidup. Sejak masa Yunani Kuno, keingintahuan terhadap struktur tubuh manusia merupakan bagian penting ilmu pengetahuan. Hippocrates (460–370 SM), seperti dikutip ilmuwan Persaud dalam Early History of Human Anatomy, menyebut anatomi sebagai “pondasi utama pengobatan... dan seharusnya dipahami melalui tubuh manusia.” Kata anatomi sendiri berasal dari bahasa Yunani: ana (memisahkan) dan tome (memotong).
Namun, bangsa Yunani Kuno percaya roh manusia yang meninggal “terperangkap dalam tubuhnya”. Membedah jenazah adalah tabu. Hippocrates pun menjalankan penelitian minus pembedahan; mengamati kerangka serta membandingkan postur fisik orang sehat dan sakit. Filsuf Yunani Aristoteles (384–322 SM) meneruskan metode ini sambil memperkenalkan pembedahan binatang sebagai perbandingan.
Cikal bakal pembelajaran anatomi manusia dengan teknik pembedahan baru dimulai di Alexandria, Yunani, ketika aturan yang menyakralkan jenazah manusia dihapus sekitar abad 2 SM. Pada masa inilah Herophilus (335–280 SM), seorang ahli medis, memperkenalkan pembedahan jenazah secara publik sebagai bagian dari studi anatomi. Penelitian Herophilus menyimpulkan keberadaan otak sebagai pusat kesadaran, intelektual, dan emosi manusia. Ia juga menggarisbawahi perbedaan antara saraf otak motorik (penggerak otot) dan sensorik (penghantar sensasi/indra).
Herophilus juga mengidentifikasi sistem reproduksi perempuan dan pria, fungsi hati dan pankreas dalam pencernaan, serta perbedaan antara pembuluh arteri dan vena. Pencapaian studi anatomi Herophilus sempat menjadi standar universitas medis di Yunani. Berbagai teori penelitiannya disimpan dalam perpustakaan di Alexandria. Namun, semua dokumen anatomi yang berdampak luas ini kemudian musnah ketika kebakaran melanda Alexandria pada 391 M.
Sesudah era Herophilus, larangan penggunaan jenazah manusia kembali berlaku. Claudius Galen, seorang filsuf sekaligus ahli medis Yunani pada masa Kekaisaran Romawi (131–201M), terpaksa menggunakan binatang (baik hidup maupun mati), terutama babi dan kera.
Akibatnya, tak semua kesimpulan Galen akurat. Namun, tak sedikit penelitian Galen yang berpengaruh terhadap perkembangan anatomi dan medis. Salah satunya temuan saraf pada sisi kiri dan kanan laring (kotak suara); jika saraf ini cedera atau luka, kemampuan bersuara menjadi lenyap. Penelitian saraf laring Galen kelak memelopori pembelajaran sistem saraf (neurosains), yang mempelajari fungsi otak dalam mengontrol perilaku manusia.
Kegemilangan Renaisans
Perkembangan studi anatomi dengan menggunakan metode pembedahan jenazah manusia dimulai kembali pada abad ke-13 dan 14, seiring kemunculan gerakan Renaisans di Eropa. Kepercayaan supernatural digeser semangat rasio dan ilmu pengetahuan. Renaisans juga memicu semangat sekelompok seniman untuk mengeksplorasi sains sebagai bagian dari ekspresi seni.
Salah satu seniman Renaisans dari Italia, Leonardo Da Vinci, terobsesi menggambar anatomi tubuh manusia. Da Vinci mengamati komposisi berbagai organ dan fungsi kerja masing-masing. Sejak 1498, ia melakukan observasi langsung susunan dan jaringan tubuh manusia. Bahkan berkolaborasi dengan Marcantonio della Torre, seorang profesor anatomi di Universitas Pavia, dekat Milan, Da Vinci turut dalam proses pembedahan hingga 20 jenazah (cadaver). Hingga ia meninggal pada 1519, kumpulan gambar anatomi yang meliputi hampir seluruh anggota tubuh, sayangnya, tak pernah diterbitkan.
Meski demikian, kecermatan dan pemahaman Da Vinci terhadap anatomi manusia melampaui zamannya. Gambar-gambar anatomi Da Vinci, jika dibandingkan teknologi digital masa kini, memiliki akurasi yang sama. Hingga kini pujian tak henti mengalir. “Leonardo adalah seorang pengamat dan ilmuwan eksploratif yang teliti. Ia menggambar apa yang ia lihat, dan mampu menggambarnya dengan kesempurnaan,” kata Peter Abrahams, profesor anatomi klinis di Universitas Warwick, Inggris, kepada situs BBC pada Mei 2012.
Kolaborasi medis dan seni juga dilakukan Andreas Vesalius, seorang mahasiswa kedokteran Belgia di Universitas Paris, Prancis, dan Jan Stephan Kalkar, seorang seniman yang bekerja dengan pelukis Italia, Titian.
Sketsa yang kubuat ternyata mendapat tanggapan baik dari para profesor medis dan pelajar lain.
Awalnya Vesalius frustrasi dengan keterbatasan fasilitas dan referensi anatomi di kampusnya. Untuk mengatasinya, ia mencoba memetakan anatomi tubuh manusia. Ia membuat sketsa anggota tubuh jenazah para kriminal yang didapatkannya dari lokasi tiang gantungan dan kuburan di sekitar Paris.
“Sketsa yang kubuat ternyata mendapat tanggapan baik dari para profesor medis dan pelajar lain, sehingga mereka memintaku membuat diagram arteri dan diagram saraf... aku tak ingin mengecewakan mereka,” tulis Vesalius dalam sebuah surat pada 1533.
Vesalius melengkapi sketsa dengan detail dan deskripsi arteri, pembuluh, nadi, saraf hingga otak, jaringan, dan organ tubuh. Kalkar mentransformasi deskripsi Vesalius dalam bentuk ilustrasi anatomi yang menyeluruh. Hasil kolabori mereka, De Humani Corporis Fabrica, dipublikasikan pada 1538. Hingga kini dokumen tersebut menjadi salah satu referensi wajib dalam pembelajaran anatomi manusia.
Hingga abad ke-18, jejak Vesalius diikuti beberapa panduan anatomi lainnya seperti Phillip Verheyen dengan Corporis Humani Anatomia (1693) dan Johann Adam Kulmus dengan Anatomischen Tabellen (1722).
Anatomischen Tabellen mendorong perkembangan pembelajaran anatomi dan medis di Asia. Pada 1771, dua ilmuwan Jepang, Ryotaku Maeno dan Genpaku Sugita, mengikuti proses pembedahan jenazah seorang kriminal perempuan sambil membaca salinan karya Kulmus. Maeno dan Sugita terkesan dengan akurasi panduan Kulmus sehingga mereka memutuskan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jepang, Kaitai Shinso, yang terbit pada 1774.
Kaitai Shinsho, menurut Margaret Powell dan Masahira Anasaki dalam Health Care in Japan, menjadi sebuah langkah besar yang mengawali eksplorasi Jepang terhadap pengetahuan medis Barat. Sekitar 1.500 buku teks medis Barat, kebanyakan dalam bahasa Belanda, diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
Sisi Kelam
Dokter Victor Frankenstein tak pernah pulih dari kesedihannya akan kematian sang ibu. Ia berambisi mengalahkan kefanaan tubuh dengan bereksperimen menghidupkan mayat. Dengan jasad seorang kriminal yang ia gali dari makam dan potongan anggota tubuh lain dari rumah jenazah, ia memulai misinya.
“Aku telah mengetahui sains anatomi, namun semua itu tak memuaskan,” ujarnya dalam kefrustrasiannya.
Kegiatan Frankenstein yang ditulis Mary Shelley dalam novelnya pada 1816 sejalan dengan latar belakang perkembangan ilmu anatomi dan penelitian medis di Inggris. Sejak masa pemerintahan Raja Henry pada abad ke-17, gereja konservatif meyakini arwah seseorang hanya bisa masuk ke surga jika jasadnya masih utuh. Karenanya, setiap perguruan tinggi medis hanya mendapat jatah empat jenazah kriminal yang digantung untuk keperluan kelas anatomi.
Kondisi ini menyebabkan maraknya profesi pembongkar makam dengan bayaran cukup tinggi. Tim Marshall dalam Murdering to Dissect: Grave Robbing, Frankenstein and the Anatomy Literature menyebutkan perkembangan ilmu anatomi, serta keberadaan Royal College of Surgeons sejak 1801, mendorong pesatnya kebutuhan jenazah manusia demi penelitian medis.
Tingginya kasus perampokan makam dan perdagangan jenazah yang “dibenarkan” atas nama sains kian meresahkan masyarakat. Kontroversi memuncak setelah terungkap kasus pembunuhan seorang anak gelandangan untuk kebutuhan penelitian anatomi pada 1830 di Inggris. Kasus bocah tanpa nama ini ditelusuri sejarawan Sara Wise dalam The Italian Boy:Murder and Grave Robbery in 1830s London.
Tingginya kasus perampokan makam dan perdagangan jenazah yang “dibenarkan” atas nama sains kian meresahkan masyarakat.
“Meski publik mengkritik keras tindakan yang tidak etis ini, kelas sosial dan hukum cenderung berpihak pada para dokter. Tak satu pun dari mereka dibawa ke pengadilan,” ujar Wise. Para pencuri makam yang tertangkap mendapat perlindungan dari klien mereka sehingga mereka memilih tutup mulut.
Tak ada statistik pasti jumlah jenazah yang dicuri dan dijual sepanjang 1830-an di Inggris. Beberapa narasumber Wise menyebut angka 500-1.000 jenazah per tahun. Wise sendiri memperkirakan seorang mahasiswa kedokteran butuh tiga jenazah untuk masa studi bedah selama 16 bulan.
Pemerintah Inggris berusaha meredam kritik publik dengan mensahkan Anatomy Act pada 1832. Pembelian jenazah gelandangan dan orang cacat mental untuk kepentingan penelitian medis dilegalkan. Jika anggota keluarga mereka tak mampu membeli peti mati serta membayar upacara pemakaman tujuh hari sejak kematian, jenazah boleh diperjualbelikan kepada institusi medis. Anatomy Act 1832 menimbulkan kontroversi; antara religiositas pemakaman yang menjadi hak kaum terpinggirkan dan kepentingan penelitian medis yang membawa kemajuan kualitas hidup di kemudian hari.
Membaca Kematian
Dimulai pada masa Charles V yang memimpin Kekaisaran Romawi Suci pada abad ke-16, opini ahli anatomi menjadi sebuah keharusan dalam pengadilan kasus-kasus pembunuhan, termasuk aborsi. Ketetapan ini disahkan dengan berlakunya hukum pidana Constitutio Criminalis Carolina pada 1533. Di tengah lingkungan gereja ortodoks yang menganggap pembedahan jenazah sebagai penyimpangan, Constitutio Criminalis Carolina memberi ruang bagi dokter untuk “membuka tubuh” dan meninjaunya dari sudut berbeda.
Masa itu, membaca waktu kematian menjadi sebuah terobosan sains dalam mengungkapkan berbagai kejahatan. Konsep kaku pada mayat (rigor mortis), turunnya temperatur tubuh jenazah (algor mortis), dan perubahan warna pada bagian tubuh jenazah (livor mortis) perlahan dikembangkan sebagai bagian dari penyidikan.
Pemahaman anatomi dan fungsi tubuh dan perbedaan yang terjadi usai kematian juga memperoleh kemajuan besar melalui penelitian tentang sirkulasi darah oleh William Harvey, dokter pribadi Raja Charles I di Inggris. Berbeda dari pandangan umum masa itu, Harvey menyimpulkan sirkulasi darah dipompa dari jantung ke seluruh tubuh dan kembali ke jantung untuk disirkulasi kembali. Kesimpulan ini diambilnya setelah melakukan penelitian dan pembedahan tubuh binatang (dan dalam beberapa kesempatan, tubuh manusia). Kesimpulan penelitian Harvey kemudian diterbitkan pada 1628 dalam An Anatomical Study of the Heart and of the Blood in Animals.
Hingga kini, anatomi menjadi komponen integral dalam pembelajaran medis dan forensik.
Proses dekomposisi, terutama warna kulit menjadi kehijauan dan tubuh menggembung, berhasil diukur dalam satuan waktu pada abad ke-19. Adalah ilmuwan Prancis Jean-Pierre Megnin yang mengidentifikasi delapan “pasukan” spesies serangga lalat pemakan jenazah dengan “jadwal waktu” rutin dan bergantian yang memproses dekomposisi dari hari pertama hingga sekitar tiga tahun. Penelitian Megnin dalam Fauna of the Tombs (1887) menyebutkan bahwa jadwal setiap pasukan serangga terkait erat dengan suhu dan kimiawi dalam tubuh. Pasukan pertama akan pergi dan lainnya datang ketika komposisi suhu dan kimiawi berubah.
Anatomi gigi juga menjadi “kunci” pengungkapan kejahatan. Pada 1849, seorang dokter gigi di Boston, Amerika, bernama Nathan Keep meyakinkan juri bahwa jenazah yang telah dimutilasi dan dikubur di berbagai lokasi dalam sebuah laboratorium terdakwa John Webster adalah kliennya, George Parkman. Webster, seorang profesor di Harvard Medical School, awalnya menyangkal. Kesaksian beberapa orang yang melihat Parkman mendatangi apartemen Webster pun tak bisa dibuktikan. Namun Keep memiliki bukti yang tak terbantahkan. Ia mencocokkan gigi palsu yang ditemukan di tempat kejadian perkara dengan cetakan rahang Parkman yang dibuatnya. Keduanya sesuai. Webster kemudian mengakui perbuatannya. Pembuktian Keep pun menjadi tonggak anatomi gigi dalam memecahkan kebuntuan kasus kriminal.
Dalam The Killer of Little Shepherds, jurnalis cum ilmuwan Amerika Douglas Starr mengulas bahwa baru pada abad ke-18, forensik sebagai sains memperoleh keleluasan mengeksplorasi berbagai metode, termasuk pemberlakuan otopsi menyeluruh. Revolusi Prancis, menurut Starr, mengalihkan kontrol terhadap rumah sakit dari tangan gereja ke pemerintah dan pihak medis. Dengan demikian, pembedahan jenazah bukan lagi sebuah tabu.
Hingga kini, anatomi menjadi komponen integral dalam pembelajaran medis dan forensik. Berbagai investigasi forensik atas kasus-kasus pembunuhan tak lepas dari pengamatan menyeluruh terhadap anatomi manusia. Kehadiran saksi mata dalam sebuah kasus pidana tak serta-merta berdiri sendiri menyimpulkan suatu kebenaran. Sains, khususnya anatomi, juga menjadi panduan bukti yang menentukan alur sebuah kasus.*