VERA Renczi lahir pada 1903 dengan anugerah kecantikan. Namun kecantikan seolah pisau bermata dua untuk putri aristokrat Rumania ini: Vera posesif dan pencemburu meski dihujani perhatian banyak pria. Sepanjang hidupnya, ia menikah dua kali. Masing-masing pernikahan tak berlangsung lama. Kedua suaminya, menurut Vera, meninggalkannya begitu saja.
Tak ada yang curiga dengan pernyataannya hingga seorang perempuan melaporkan melihat suami Vera masuk ke rumah dan tak pernah kembali. Polisi yang menggeledah rumah Vera kemudian menemukan 35 peti mayat di ruang penyimpan anggur berisi jenazah pria yang membusuk: dua suami, 32 kekasih, dan putranya, Lorenzo. Vera mengaku terpaksa membunuh Lorenzo karena berniat memerasnya setelah menemukan peti-peti mati itu. Sementara kedua suami dan sejumlah kekasihnya ia racuni dengan arsenik manakala ia merasa cinta mereka berkurang atau telah terbagi dengan orang lain.
VERA Renczi lahir pada 1903 dengan anugerah kecantikan. Namun kecantikan seolah pisau bermata dua untuk putri aristokrat Rumania ini: Vera posesif dan pencemburu meski dihujani perhatian banyak pria. Sepanjang hidupnya, ia menikah dua kali. Masing-masing pernikahan tak berlangsung lama. Kedua suaminya, menurut Vera, meninggalkannya begitu saja.
Tak ada yang curiga dengan pernyataannya hingga seorang perempuan melaporkan melihat suami Vera masuk ke rumah dan tak pernah kembali. Polisi yang menggeledah rumah Vera kemudian menemukan 35 peti mayat di ruang penyimpan anggur berisi jenazah pria yang membusuk: dua suami, 32 kekasih, dan putranya, Lorenzo. Vera mengaku terpaksa membunuh Lorenzo karena berniat memerasnya setelah menemukan peti-peti mati itu. Sementara kedua suami dan sejumlah kekasihnya ia racuni dengan arsenik manakala ia merasa cinta mereka berkurang atau telah terbagi dengan orang lain.
Jauh sebelum dunia mengenal psikopat, keberadaannya muncul dalam daftar kriminal sadis seperti Vera Renczi dan para pendahulunya. Tak semua penjahat adalah psikopat dan demikian pula sebaliknya. Namun mayoritas literatur psikologi menggarisbawahi bahwa penjahat psikopat cenderung memiliki sifat lebih agresif dan kejam ketimbang kriminal biasa.
Istilah psikopat dan sosiopat kerap dipakai bersamaan. Keduanya berbeda dari psikotik yang merujuk pada penderita gangguan jiwa yang tak mampu berhubungan dengan realitas. Sosiopat/psikopat justru sebaliknya; ia waras, berpendidikan, dan bekerja. Beberapa di antaranya mungkin menjadi kriminal, namun tak jarang yang memiliki jabatan penting dan anggota masyarakat yang terhormat.
Psikolog Amerika Robert D. Hare, yang mengembangkan penelitian klinis terhadap psikopat, dalam Without Conscience: The Disturbing World of the Psychopaths Among Us (1993), menyimpulkan beberapa ciri utama kepribadian psikopat. Di antaranya kecenderungan berbohong secara sadar dan terus-menerus (patologis) agar terlihat sesuai harapan masyarakat serta kemampuannya memanipulasi emosi dengan meniru berbagai ekspresi perasaan. Ia menganalogikannya dengan buta warna.
“Ketika seorang buta warna berkata ia berhenti di lampu merah, yang ia maksud sebenarnya adalah ia berhenti ketika tanda di lampu lalu lintas paling atas menyala. Demikian pula dengan psikopat. Ia mampu mempelajari kata-kata dan menirukan berbagai ekspresi emosi tanpa menyelami sedikitpun makna di baliknya.”
Jahat atau Gila?
Hannibal Lecter dalam Silence of The Lambs adalah salah satu tokoh fiktif yang paling diingat banyak orang sebagai penjahat psikopat. Sang novelis Thomas Harris menyebut Lecter sebagai “sosiopat seutuhnya”. Film klasik ini memperkenalkan awam dengan sebagian karakter psikopat yang melekat dalam diri Hannibal: seorang psikiater terpandang yang bercita rasa tinggi sekaligus pembunuh berdarah dingin yang tak segan menyajikan organ hati seorang peniup flute –hanya karena salah meniupkan alunan nada– dalam santap malam.
Apakah seorang psikopat jahat atau gila? Satu hal yang mencolok dari tingkah laku psikopat, yakni kesadaran mereka untuk merancang dan melakukan pembunuhan sadis tanpa tanda-tanda delusional, cemas, atau histeris. Beberapa kasus di masa lampau mencatat karakteristik tersebut.
Ketika pimpinan Kongsi Dagang Belanda (VOC) di Amsterdam mengetahui bahwa salah satu staf mereka, Jeronimus Corneliszoon, adalah otak di balik pembunuhan 115 penumpang dan awak kapal (termasuk perempuan dan anak- anak), mereka kebingungan.
Tak ada keanehan dalam diri Jeronimus ketika mendaftar sebagai staf. Bahkan, dengan latar belakangnya sebagai apoteker, ia memiliki keterampilan dan kredibilitas di atas rata-rata pelamar VOC lainnya.
Saat itu Jeronimus berusia 30 tahun. Ia turut dalam pelayaran kapal megah Batavia pada September 1628 menuju Hindia Belanda. Hanya beberapa mil dari Jawa, kapal Batavia yang juga membawa logistik dan perak batangan untuk kantor VOC di Hindia Belanda, karam dan terdampar di perairan Australia pada Juni 1629. Kapten kapal Francisco Pelsaert memutuskan berlayar dengan perahu kecil untuk mencari bantuan ke Pulau Jawa. Jeronimus, satu-satunya staf VOC yang tertinggal, kemudian bersekutu dengan para awak kapal untuk melakukan pemberontakan. Awalnya ia memprovokasi pembunuhan sejumlah penumpang dengan dalih menghemat persediaan makanan; dalam waktu singkat, pembunuhan berubah menjadi rutinitas dan bukti loyalitas awak kapal terhadapnya.
“Pria-pria ini akhirnya menjadi pembunuh karena jika tidak, pilihan lainnya adalah menjadi korban Jeronimus,” tulis sejarawan Mike Dash dalam The Batavia’s Graveyard.
Dalam dokumentasinya menjelang eksekusi Jeronimus di tiang gantung, Kapten Pelsaert memperhatikan sikap mantan rekannya yang dingin dan tak menyesali perbuatannya. “Hingga berjalan ke tiang gantung, Jeronimus tetap mengingkari kematian atau mengakui dosa- dosanya, tanpa berdoa, dan tanpa rasa penyesalan,” tulisnya. “Ia pun mati dengan keras kepala.”
Adalah Philippe Pinel, seorang pengawas rumah sakit jiwa di Paris yang kali pertama merangkum gejala-gejala seperti Jeronimus sebagai “mania tanpa disorientasi” dalam bukunya A Treatise of Insanity (1802). Ia merawat seorang pasien muda yang karena hal sepele mendorong seorang perempuan ke sumur. Pemuda tersebut tak sekalipun menunjukkan penyesalan. Catatan Pinnel mendeskripsikan bahwa si pemuda bukanlah orang gila; ia memiliki karier dan mengelola sejumlah properti dengan baik, bahkan terkenal rajin dan senang membantu komunitasnya.
Di Jerman, psikiatris J.L. Koch mendeskripsikan gejala hilangnya kemampuan mengontrol diri sebagai salah satu gangguan “inferioriti psikopatik konstitusional” pada 1880. Istilah psikopat kemudian juga digunakan harian Inggris Pall Mall Gazette di bawah pimpinan editor William Stead pada 1885. Harian ini menulis psikopati adalah penyakit mental baru yang “dengan berpusat pada diri sendiri dan kepentingannya, hal-hal lain menjadi tak sakral.”
Pada 1941, psikiater Amerika Hervey M. Cleckley melakukan terobosan besar dalam studi mengenai psikopat dalam The Mask of Sanity: An Attempt to Clarify Some Issues about the So- Called Psychopathic Personality. Cleckley menegaskan psikopat memenuhi kriteria waras dan, “mampu menampilkan kejiwaan yang utuh, dengan tingkat intelektual tinggi, dan bahkan sering kali meraih kesuksesan dalam usaha maupun profesinya, beberapa di antaranya dalam periode singkat, sebagian bahkan dalam jangka waktu cukup lama.”
Mask of Sanity menjadi referensi pertama yang menyimpulkan 16 karakteristik psikopat yang kelak menjadi panduan para psikiatris. Di antaranya daya tarik superfisial, manipulatif, agresif narsis (grandiose), tak mampu menjalin relasi, tak merasa bersalah, berpusat pada diri sendiri, perilaku antisosial, dan kurang mampu berempati.
Cleckley berperan sebagai psikiatris ahli dalam persidangan Ted Bundy, pembunuh berantai yang memutilasi hingga 30 perempuan di Amerika pada 1970-an. Bundy, seorang tampan dan pandai berbicara, sempat mempesona Gubernur Washington, Daniel J. Evans, karena dedikasi dan kemampuannya sebagai aktivis kampanye Evans. Hasil analisis psikologi Bundy membuktikan ia mampu membedakan benar dan salah. Bundy pun menemui ajal di kursi listrik penjara negara bagian Florida, Amerika, pada 24 Januari 1989.
Aspek kewarasan juga menjadi penentu dalam persidangan Oesin, pedagang kulit di Mojokerto, Jawa Timur, pada 1964. Oesin terbukti merampas harta benda dan membunuh enam rekan bisnisnya serta menyembunyikan jenazah mereka di bawah lantai dan kebun rumah sewaannya. Seperti dikutip Tempo, Juli 1978, Dr. Triman Prasodjo, saksi ahli penyakit syaraf dan jiwa, menyimpulkan Oesin tak menderita gangguan atau gejala penyakit jiwa. Hakim Soemadijono, yang memvonis hukuman mati bagi Oesin, mengatakan hal yang memberatkan terdakwa adalah “caranya melakukan pembunuhan tersebut menunjukkan watak dan cipta rasa-karsanya yang beku dingin terhadap kepentingan dan salah satu milik yang paling berharga dan terakhir dari (sesama) manusia yakni nyawa.”
Salah Asuh atau Gangguan Otak?
Ketika mencoba keluar rumah, di tengah makian dan tamparan Dean, jari tengah Sarah (keduanya bukan nama sebenarnya) tersangkut pengait tali tasnya. Sialnya, Dean mencengkeram tas itu dan Sarah menarik sekuat tenaga sehingga jarinya patah. Sarah, yang saat itu bekerja di Amerika, masih sempat menyetir ke rumah sakit di malam hari.
“Jari tengah ini patah hingga bengkok 180 derajat. Dokter bilang saya beruntung tulangnya masih bisa disambung dan sarafnya sebagian berfungsi.” ujar Sarah, sambil menelusuri garis putih panjang di permukaan kulit jari dengan kukunya. Sarah selalu memaafkan Dean, sekalipun Dean terus-menerus berperilaku kasar padanya tanpa sebab yang jelas. Saran teman-temannya untuk mengakhiri hubungan itu tak ia gubris.
Dean tak meminta maaf melihat jari Sarah yang remuk. Seakan tak terjadi sesuatu yang fatal, Dean bahkan mengajak Sarah makan malam beberapa hari kemudian. Dean yang pandai menarik hati Sarah biasanya akan “menyalahkan” kebiasaan alkoholiknya, atau masa lalunya yang sering disiksa sang ayah. Meski tak menimbulkan korban nyawa, Dean memiliki ciri-ciri psikopat seperti dijabarkan Cleckley dan Hare. Istilah “psikopat subkriminal” digunakan Hare untuk kategori psikopat yang tak melewati batasan hukum namun sering menyimpang dari standar moral dan etika. Keberadaan mereka ditemukan di berbagai profesi dan lingkungan. Psikopat kerah putih di kantor, yang memanipulasi kepercayaan rekan-rekan dan atasannya, adalah contoh psikopat subkriminal.
Namun yang menjadi pertanyaan banyak orang, apa yang menyebabkan seorang menjadi psikopat? Hingga kini belum ada kesepakatan secara sains. Dalam Without Conscience, Hare memilih kombinasi antara gangguan biologis (nature) seperti fungsi otak dan lingkungan pengasuhan (nurture). Buruknya faktor lingkungan keluarga dan cara pengasuhan, yang menimbulkan trauma atau penyiksaan, kemungkinan menyebabkan psikopati.
Apa yang menyebabkan seorang menjadi psikopat? Hingga kini belum ada kesepakatan secara sains.
Gejala psikopati juga ditemukan pada anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga harmonis. Hare memperkirakan kondisi ini terjadi akibat gangguan otak dalam memproses emosi yang membuat seorang psikopat tak bisa memiliki empati dan penyesalan. Penelitian oleh Yu Gao et al dalam The Neurobiology of Psycopathy (2009) menyebutkan adanya ketidaknormalan otak dari sejumlah sampel psikopat, yang menunjukan keterkaitan antara ketidakmampuan memproses perasaan-emosi serta kerusakan pada fungsi amygdala (bagian otak yang terkait emosi) dan korteks prefrontal orbitofrontal-ventromedial (bagian otak terkait kemampuan mengambil keputusan secara sosial, mengurangi agresivitas, dan introspeksi diri).
Sampai saat ini, penelitian faktor biologis yang menganggu perkembangan otak psikopat masih terus dipelajari, terutama untuk memahami gangguan yang terjadi pada bayi di bawah satu bulan atau janin. Gejala psikopati pada anak biasanya semakin jelas pada usia 12–15 tahun, lewat sifat yang cenderung lebih agresif, suka berbohong, melakukan kekerasan (terhadap sesama atau binatang), dan merusak.
Psikopat tak dapat disembuhkan dengan terapi seperti gangguan kepribadian lainnya. Tanpa kedalaman emosi, psikopat tak mampu menggali akar permasalahan karena tak pernah merasa ada yang salah dalam dirinya. Dukungan psikologis justru dianjurkan untuk keluarga, pasangan, dan rekan kerja seorang psikopat. Membatasi diri dan/atau memutus hubungan (jika tidak terikat secara hukum) merupakan langkah terbaik menghadapi psikopat seperti dilakukan Sarah.
“Suatu malam, ketika ia mabuk, tiba-tiba ia mulai mencaci-maki keluarga saya. ‘Saya akan menghabisi mereka semua’. Seketika, saya tersentak. Saat itu juga bulat keputusan saya untuk memutuskan hubungan dan kembali ke Indonesia,” ujar Sarah.*