Demi menyingkap kisah peralihan kekuasaan Sukarno ke Soeharto, ANRI membentuk tim pencarian naskah Supersemar. Bak mencari jarum di dalam tumpukan jerami.
Mustari Irawan, Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
SELEMBAR surat itu tampak lusuh dan kusam, menguning dimakan usia. Sobek di sisi kanannya menyebabkan sebagian isi surat tak terbaca. Pada kop surat tertera: Presiden Republik Indonesia dan kata “Surat Perintah” mengikuti di bawahnya.
“Tadinya kami sudah yakin bahwa ini adalah Supersemar yang asli. Karena kondisinya sudah rusak parah,” ujar Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mustari Irawan kepada Historia.
Surat itu menjadi versi ketiga Supersemar yang berhasil didapatkan oleh ANRI. Menurut Mustari, surat itu diserahkan ke pihak ANRI pada 2012 oleh Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, ketua Yayasan Akademi Kebangsaan.
Nurinwa yang ditemui Historia di kediamannya di kawasan Depok Lama pada Maret 2016, berkisah seputar naskah Supersemar yang ada padanya. Berdasarkan penuturannya, surat itu didapatkan di petilasan makam Majapahit di Jalan Cempaka, Kecamatan Tegal Sari, Surabaya. Melalui perantaraan temannya, Nurinwa tak sengaja menemukan naskah Supersemar itu ketika sedang melakukan penelitian.
SELEMBAR surat itu tampak lusuh dan kusam, menguning dimakan usia. Sobek di sisi kanannya menyebabkan sebagian isi surat tak terbaca. Pada kop surat tertera: Presiden Republik Indonesia dan kata “Surat Perintah” mengikuti di bawahnya.
“Tadinya kami sudah yakin bahwa ini adalah Supersemar yang asli. Karena kondisinya sudah rusak parah,” ujar Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mustari Irawan kepada Historia.
Surat itu menjadi versi ketiga Supersemar yang berhasil didapatkan oleh ANRI. Menurut Mustari, surat itu diserahkan ke pihak ANRI pada 2012 oleh Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, ketua Yayasan Akademi Kebangsaan.
Nurinwa yang ditemui Historia di kediamannya di kawasan Depok Lama pada Maret 2016, berkisah seputar naskah Supersemar yang ada padanya. Berdasarkan penuturannya, surat itu didapatkan di petilasan makam Majapahit di Jalan Cempaka, Kecamatan Tegal Sari, Surabaya. Melalui perantaraan temannya, Nurinwa tak sengaja menemukan naskah Supersemar itu ketika sedang melakukan penelitian.
“Saya berinisiatif menyerahkannya ke Arsip Nasional, karena teman saya itu tidak terlalu paham birokrasi,” ujar Nurinwa.
Untuk menguji keaslian arsip, ANRI meneruskan lembar Supersemar itu ke laboratorium forensik Polri. Namun harapan publik selama ini untuk memperoleh naskah otentik Supersemar pupus. Setelah diuji, surat tersebut dinyatakan bukan yang asli.
“Jadi dianalisis melalui tanda tangan (Sukarno), ternyata tidak satu tarikan tanda tangan,” ungkap Mustari.
Dalam uji lab, tanda tangan Sukarno diperbandingkan dengan delapan tanda tangannya yang lain di tahun yang sama (1966). Dan hasilnya, tanda tangan Sukarno dalam surat yang diuji tak menyerupai aslinya. Surat tersebut dikembalikan lagi oleh pihak ANRI kepada pemiliknya. Kendati tidak asli, ANRI tetap merepro dan menyimpannya sebagai bahan pembanding di kemudian hari.
Menelusuri Supersemar
Hingga saat ini, ANRI telah mengoleksi tiga macam Supersemar. Yang pertama, diperoleh dari Pusat Penerangan TNI AD tahun 1995. Tak berapa lama kemudian, versi kedua Supersemar diperoleh dari Sekretariat Negara yang berasal dari repro buku 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 3: 1965–1973 terbitan Sekretariat Negara tahun 1980. Terakhir, Yayasan Akademi Kebangsaan menyerahkan versi ketiga Supersemar pada 2012. Dari ketiganya tiada satu pun yang dinyatakan sebagai naskah otentik.
Menurut Mustari Irawan, sejak 2000 ANRI telah membentuk tim pencari Supersemar. Pencarian tersebut digagas kepala ANRI saat itu, M. Asichin. Penelusuran dilakukan dengan mewawancarai tokoh-tokoh yang dianggap mengetahui keberadaan Supersemar. Wacana ini tak terlepas seiring bergulirnya era reformasi dan tumbangnya rezim Soeharto.
Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution menjadi sosok pertama yang ditemui dan diwawancarai oleh ANRI. Dari Nasution, penelusuran berlanjut ke berbagai nama dan bermacam kalangan. Mulai dari Ketua DPR RI Akbar Tanjung, kemudian orang-orang terdekat Sukarno seperti para ajudannya: Soekardjo Wilardjito, Suharyanto di Yogyakarta (tentara yang bertugas di Istana Bogor), Maulwi Saelan dan Sidarto Danusubroto, dua pengawal presiden, serta Sukmawati Soekarnoputri.
Tim juga melakukan wawancara kepada beberapa tokoh angkatan ‘66 seperti Ridwan Saidi, Cosmas Batubara, bahkan sampai Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara era Orde Baru yang pada 1966 sudah bertugas di Sekretariat Negara.
“Dari semua yang kami wawancarai pada dasarnya mereka hanya mengatakan tahu, tapi di mana keberadaannya mereka tak tahu,” ujar Mustari.
Mustari mengakui, pihaknya tidak sempat mewawancarai orang penting seperti Jenderal TNI (Purn.) M. Jusuf (wafat pada 2004) sebagai tokoh kunci keberadaan Supersemar. “Kami baru mewawancarai keponakannya M. Jusuf yang menjadi wakil wali kota Makassar pada 2005, dan yang bersangkutan juga tidak tahu,” katanya.
Jika sudah ditemukan, kami akan menyimpannya dengan baik. Kalau sudah rusak, akan direstorasi. Kemudian akan disampaikan kepada masyarakat...
Terakhir, ANRI mendapat informasi, Supersemar ada pada Moerdiono. Tim ANRI mewawancarai Moerdiono pada 2005 dan 2008. Dia mengatakan naskah asli Supersemar itu ada, dan isinya dua lembar. Saat Moerdiono menjadi pejabat di Sekretariat Negara pada dekade 80-an, kementerian itu berada di bawah Sudharmono.
Dalam otobiografinya Pengalaman Dalam Masa Pengabdian, Sudharmono menyebutkan bahwa teks asli Supersemar ada pada Brigjen TNI Budiono, Sekretaris Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Ketika Supersemar dikeluarkan, Budiono ditugaskan pimpinan Angkatan Darat, Letjen TNI Soeharto untuk menggandakannya. Penggandaan itu bertujuan untuk melegitimasi penerbitan surat pembubaran PKI yang menjadi wewenang Grup V (bidang hukum dan intelijen) KOTI (Komando Operasi Tertinggi) –tempat Sudharmono berdinas sebagai ketua operasional. Setelah digandakan, Sudharmono hanya menerima surat yang digandakan. Sampai saat ini, ANRI belum memiliki surat asli yang dipegang oleh Budiono.
ANRI juga telah menelusuri kembali keberadaan Supersemar ke pihak TNI AD, namun hasilnya nihil. Belum ada perkembangan terbaru tentang Supersemar.
Terkait sulitnya menemukan Supersemar, Mustari mengakui keberadaan surat tersebut sudah samar-samar saat baru dikeluarkan. Akibat kondisi politik yang mengarah chaos, tidak terpikir bahwa dokumen yang berisi Surat Perintah 11 Maret 1966 itu harus diselamatkan dan disimpan. Sehingga ketika digandakan, tidak jelas surat yang asli dibawa oleh siapa.
Antara Ada dan Tiada
Saleh As’ad Djamhari dari Pusat Sejarah TNI mengatakan bahwa keberadaan Supersemar secara materi (naskah otentik) sudah tidak perlu diperbincangkan lagi. “Itu kan sudah menjadi (urusan) pribadi Pak Harto,” kata sejarawan berpangkat kolonel (tituler) kepada Historia.
“Surat itu dipegang sendiri oleh Pak Harto. Jadi jimatnya beliau,” lanjut Saleh yang juga dosen mata kuliah Sejarah Militer di Universitas Indonesia.
Menurut Saleh, tidak ada perbedaan isi Supersemar asli dengan salinan yang ada saat ini. Inti terutama dari Supersemar adalah kalimat kunci: “Atas nama Presiden memerintahkan kepada Letnan Jenderal Soeharto”.
“Kamu saya beri mandat atas nama saya untuk ambil duit. Nah, sampean yang ambil duit toh? Ya sudah, itu selesai,” ujar Saleh beranalogi.
Ditanya mengenai urgensi Supersemar saat ini, Saleh menyatakan kalau untuk melengkapi penulisan sejarah masih tetap diperlukan. “Tapi kalau materi, suratnya, kertasnya, ya sudah tidak tahu lagi ada di mana,” kata Saleh.
Hal senada disampaikan Agus Santoso, pejabat ANRI yang pernah memimpin pencarian Supersemar. Menurut Agus, yang kini menjabat Direktur Pemanfaatan dan Layanan Arsip, ada empat orang tokoh kunci yang mengetahui persis naskah asli Supersemar antara lain, Presiden Soeharto, Sudharmono (Menteri Sekretaris Negara 1972–1988), Moerdiono (Menteri Sekretaris Negara 1988–1998), dan Brigjen TNI Budiono. Kini semuanya telah wafat.
Pihak ANRI sampai hari ini masih tetap melakukan pencarian dan berharap suatu hari nanti akan ditemukan naskah asli Supersemar. Status Supersemar sampai sekarang ditetapkan dalam Daftar Pencarian Arsip (DPA) dan masuk pada kategori Arsip Kepresidenan –program terbesar ANRI.
Selain menjadi bukti peralihan pemerintahan dari Presiden Sukarno ke rezim Soeharto, ada beberapa pertanyaan penting yang akan terjawab bilamana Supersemar yang asli ditemukan. Antara lain bagaimana sebenarnya isi teks asli Supersemar itu? Berapa lembar dokumen Supersemar, satu atau dua halaman? Di mana Supersemar dibuat, di Bogor atau di Jakarta?
“Jika sudah ditemukan, kami akan menyimpannya dengan baik. Kalau sudah rusak, akan direstorasi. Kemudian akan disampaikan kepada masyarakat agar diakses oleh publik dengan memperhatikan kondisinya. Sudah menjadi suatu keharusan bahwa itu harus dibuka kepada publik, karena sudah menjadi arsip publik,” pungkas Mustari.*