Memori Kebon Kacang

Sanggar Teater Populer yang didirikan Teguh Karya menghasilkan beberapa karya besar serta melahirkan pemain drama dan film berkualitas.

OLEH:
Yudi Anugrah Nugroho
.
Memori Kebon KacangMemori Kebon Kacang
cover caption
Sanggar Teater Populer, 1970-an. (Dok. Teater Populer).

RUMAH tua itu lengang. Di depannya, dekat sebuah warung rokok yang bersandar pada pagarnya, empat pemuda asyik bercengkerama; suara klaskon dan deru kendaraan yang tersendat saling bersahutan. Semburat cahaya langit nan jingga menerpanya, seperti usianya yang menginjak senja. 

Rumah itu tak jauh dari Rumah Susun Tanah Abang, Jakarta. Ia tak berpenghuni. Halaman depannya tak begitu luas. Lima bambu berdiri menyangga listplank yang menjuntai termakan usia. Di sebuah dinding terdapat lubang berbentuk bujur sangkar, yang dahulu menjadi tempat penukaran karcis. Masuk ruang utama, tumpukan barang memenuhi setiap sudut. Juga kursi-kursi berbalut debu. Sebuah panggung, yang hanya ditandai oleh list atau tepian dari besi, tertutup karpet tipis. 

“Area panggung papan di ruang itu merupakan saksi bisu betapa seorang anggota grup harus belajar mencintai pentas, salah satunya dengan mengepel panggung dan memeliharanya,” ujar Slamet Rahardjo, salah satu dedengkot sanggar, yang menjabat ketua Teater Populer. 

RUMAH tua itu lengang. Di depannya, dekat sebuah warung rokok yang bersandar pada pagarnya, empat pemuda asyik bercengkerama; suara klaskon dan deru kendaraan yang tersendat saling bersahutan. Semburat cahaya langit nan jingga menerpanya, seperti usianya yang menginjak senja. 

Rumah itu tak jauh dari Rumah Susun Tanah Abang, Jakarta. Ia tak berpenghuni. Halaman depannya tak begitu luas. Lima bambu berdiri menyangga listplank yang menjuntai termakan usia. Di sebuah dinding terdapat lubang berbentuk bujur sangkar, yang dahulu menjadi tempat penukaran karcis. Masuk ruang utama, tumpukan barang memenuhi setiap sudut. Juga kursi-kursi berbalut debu. Sebuah panggung, yang hanya ditandai oleh list atau tepian dari besi, tertutup karpet tipis. 

“Area panggung papan di ruang itu merupakan saksi bisu betapa seorang anggota grup harus belajar mencintai pentas, salah satunya dengan mengepel panggung dan memeliharanya,” ujar Slamet Rahardjo, salah satu dedengkot sanggar, yang menjabat ketua Teater Populer. 

Teater Populer, yang didirikan Teguh Karya, membeli rumah ini pada 1971 dan menjadikannya sebuah sanggar sekaligus pementasan. Beberapa karya besar lahir, beberapa pemain drama dan film bermunculan. Ia menjadi oase di tengah riuhnya Jakarta sebagai kota metropolitan. 

Namun, kegairahan dan kegembiraan sudah lama pergi. Ia hanya menyisakan satu pertanda: sebuah logo bertuliskan “Teater Dalam Gang Tuti Indra Malaon” di dinding atas dekat atap. 

Rumah ini berada di Jalan Kebon Kacang IX No. 61, Jakarta Pusat. 

“Rumah ini milik uwa, namanya Pak Atih. Setelah itu dijual ke Haji Mat Iji. Pak Teguh (Karya) tangan ketiga,” ujar Saharja atau biasa disapa Saja (55 tahun), penduduk asli Kebon Kacang yang pernah bekerja dengan Teguh Karya dan kini menjaga rumah tersebut. 

Ruang pertunjukan sanggar Teater Populer di Jalan Kebon Pala I No. 295, Jakarta Pusat. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Kebon Kacang adalah perkampungan lama, sudah ada sejak abad ke-20. Menurut Lea Jellinek, antropolog asal Australia melalui risetnya The Wheel of Fortune, penduduk setempat masih menjalani cara hidup pedesaan. Mereka membudidayakan sayuran dan buah-buahan atau berternak. Hasilnya mereka konsumsi sendiri, dan sisanya dijual ke pasar di Tanah Abang, Senen, dan Kota. Penduduk Kebon Kacang berasal dari desa-desa di sekitar Batavia seperti Banten, Tangerang, dan Bogor. Orang-orang dari luar Jawa kemudian berdatangan dan membuat daerah ini menjadi padat, terutama setelah Indonesia merdeka. Selama tahun 1930–1980, penduduk Kebon Kacang meningkat dari 50 menjadi 3.500 jiwa. 

Menurut Saja, lingkungan di sekitar rumah Teguh Karya dulu masih sepi. Jalanan masih setapak. Di sebelah rumah terdapat tanah lapang –kini menjadi toko waralaba. Tak jauh dari rumah, terdapat lapangan bola dan kompleks pemakaman Al-Watan yang didirikan di atas tanah wakaf seorang Kapiten Arab, Syaikh Said Naum, yang sempat dipakai Teguh Karya untuk pengambilan gambar film peraih lima Piala Citra, Ranjang Pengantin (1974). Pada 1977, Gubernur Ali Sadikin memindahkan jenazah ke pemakaman ke Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Lahan bekas kompleks pemakaman dan lapangan bola dialihfungsikan sebagai rumah susun dan Masjid Said Naum. Langkah ini merupakan bagian dari Program Perbaikan Kampung yang dilaksanakan pemerintah kota Jakarta sejak 1969 –kemudian ganti nama jadi Proyek Mohammad Husni Thamrin. Kebon Kacang, sebagai salah satu sasaran proyek, sedang dalam proses pembentukan sebagai area urban. Dan di sinilah Teguh Karya dan kelompoknya melakukan beragam aktivitas kebudayaan. 

Kondisi Teater Dalam Gang Tuti Indra Malaon. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Bermula dari Asrama

Teguh Karya (Liem Tjoan Hok) atau biasa dipanggil Steve Liem, lahir di Pandeglang, Banten, 22 September 1937. Dia memiliki latar belakang pendidikan seni di berbagai perguruan tinggi. Pada pertengahan 1950-an, dia mengajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan membuka acting course atau kegiatan ekstrakurikuler bagi mahasiswa yang dibimbingnya. Karena kampus melarang aktivitas itu, dia memindahkannya ke Hotel Indonesia, tempat dia bekerja sebagai manajer panggung Bali Room Hotel Indonesia. 

Sebagai sarana latihan, awak teater membuat sebuah bangunan berukuran sekira 4x7 m di halaman depan kamar Teguh Karya di Asrama Karyawan Hotel Indonesia. Bangunan itu diberi nama Sanggar Karya Wisata. Manajemen hotel, yang semula berkeberatan, memberi restu. Jalan sudah terbuka lebar. 

Pada Agustus 1968, Teater Populer diundang dalam acara pembukaan pemutaran film berwarna pertama di Indonesia karya sutradara Wim Umboh berjudul Sembilan di Bali Room Hotel Indonesia. Mereka mementaskan Tjahaja untuk Pahlawan, dengan menafsirkan “gerak
kalbu” atau “gerak indah”, lebih dikenal dengan istilah teater minikata, yang diperkenalkan W.S. Rendra. Saat itu pula, melalui selebaran, mereka menyiarkan cita-cita dan rencana kerja: “mempersiapkan drama-drama modern, film-film pelopor, yang dalam waktu singkat akan kami perkenalkan kepada masyarakat.” 

Setelah pentas perdana Antara Dua Perempuan dari karya penulis Alice Gerstenberg di Bali Room Hotel Indonesia pada 14 Oktober 1968, mulailah mereka rutin pentas di Bali Room Hotel Indonesia, Balai Budaya, dan Taman Ismail Marzuki. Mereka cenderung mementaskan naskah-naskah asing yang diterjemahkan dan diadaptasi sesuai kondisi Indonesia. Dan segera mereka mendapat penonton tetap. 

Dari pementasan teater, Teguh Karya menjajal bikin film. Film perdananya berjudul Wadjah Seorang Laki-laki (1971). Di rentang produksi film itu, agar lebih fokus menggarap film, Teguh Karya memutuskan keluar dari tempat kerjanya di Hotel Indonesia –dan sejak itulah Teater Populer tak lagi menyandang nama Hotel Indonesia sebagai identitas kelompok. Setelah memiliki cukup uang, mereka pindah ke sebuah rumah kecil di lahan seluas 1.802 m2 di Jalan Kebon Kacang IX, yang kemudian dikenal sebagai Sanggar Kebon Kacang. Bangunannya dibuat tanpa ruang sehingga bisa dipakai untuk latihan atau pementasan. 

“Rumah itu dibeli dari hasil film ditambah pinjaman sebesar enam juta dari Ruben Budi Setiawan, seorang pengusaha ekspedisi yang juga penonton tetap sewaktu di Bali Room,” ujar Henky Solaiman (73 tahun), seorang aktor, sutradara, dan produser yang dulu kerap menjadi kepala unit produksi yang mengurusi tetek bengek manajemen. 

Suasana ruang pentas Teater Dalam Gang Tuti Indra Malaon di Jalan Kebon Kacang IX No. 61, Jakarta Pusat, 1990-an. (Dok. Teater Dalam Gang Tuti Indra Malaon).

Demam Bikin Film

Rumah di Kebon Kacang berdinding setengah bata dan papan. Ruang utama sengaja dibikin lapang. Sebuah panggung berukuran 5x6 dibuat sebagai tempat berlatih. Di pinggirnya berbaris kursi. Masuk lebih dalam, terdapat meja makan yang dikelilingi rak penuh buku. Kostum
dan beberapa keperluan panggung ditempatkan di kamar atas. “Kamar di loteng tadinya set film Ranjang Pengantin,” kenang Henky Solaiman. 

Beberapa bagian rumah terus ditambah oleh Teguh Karya. Selama rentang 1970–1993, terhitung 12 kali renovasi, dan itu dilakukanya ketika hendak memulai kesibukan produksi pentas teater dan film. 

“Harap juga dicatat bahwa sanggar itu bukan saja tempat latihan. Mereka juga bisa tidur, mandi, maupun bekerja di sana. “Ya, bekerja. Sudah jelas bahwa mereka tidak mungkin hidup dari hasil pementasan saja. Tapi juga tidak bisa disangkal bahwa dari teaterlah semuanya tumbuh,” tulis J.B. Kristanto dalam “Menengok Sanggar Teater Populer”, Kompas, 24 Februari 1978. 

Teguh Karya bermain dalam drama teater “The Swan Song” karya Anton Chekhov di Balai Budaya, Jakarta, 1967. (Dok. Teater Populer).

Kehidupan kelompok ini berpangkal pada produksi film. Saat itu perfilman Indonesia tengah naik daun, mereka memproduksi film-film yang kemudian meraih penghargaan. “Setidaknya persentase produksi Teater Populer 80:20, film 80% dan pentas teater 20%. Patut diingat bahwa sanggar itu adalah monumen dari fase alih wahana persenyawaan teater ke sinematografi,” ujar Slamet Rahardjo. 

Pada 1977, ketika memulai produksi film mengenai perjuangan Pangeran Diponegoro, berjudul November 1828, kebutuhan akan tempat yang lebih representatif mendera. Sanggar Kebon Kacang terasa sempit dengan tumpukan properti; ditambah lagi rutinitas kantor dan tamu yang berdatangan. Namun, keinginan itu baru terwujud selepas produksi film Usia 18 (1980). Teguh Karya membeli sebuah rumah tua berarsitektur Belanda di Jalan Kebon Pala I No. 295 pada 1981, yang kemudian dijadikan pusat kegiatan teater maupun persiapan dan produksi film. 

Sanggar Kebon Kacang lantas hanya dijadikan tempat penyimpanan barang keperluan pentas dan fim. Namun, Teguh Karya punya sebuah rencana. Dia ingin membangun gedung pertunjukan yang intim di mana penonton juga menjadi anggota komunitas aktif. Usai pementasan, dialog-dialog antara sutradara, pemain, kru produksi, dan komunitas itu dapat terjalin. Dia memimpikan seni sebagai perayaan bersama. 

Tuti Indra Malaon bermain dalam drama teater “Mak Comblang” karya Nikolai Gogol di Bali Room Hotel Indonesia, Jakarta, 1969. (Dok. Teater Populer).

Sang Primadona dan Teater Intim

Pagi itu, Teguh Karya baru pulang dari Interstudio untuk menyelesaikan mixing terakhir Pacar Ketinggalan Kereta (1989). Dua jam sebelumnya dia bergulat dengan gambar-gambar Tuti di seluloid, dan lega akhirnya selesai juga. Seketika dia terhenyak mendengar kabar kepergian Tuti Indra Malaon. “Apakah ini mimpi buruk,” gumamnya berulang kali, seperti dikutip Matra, November 1989. 

Rabu, 20 September 1989, pukul 04.55, Pudjiastuti Suratno atau yang lebih dikenal dengan nama Tuti Indra Malaon menutup lakon hidupnya di usia 53 tahun akibat sakit hepatitis-B. 

Tuti tak bisa dilepaskan dari riuh-redam perjalanan Teater Populer. Bersama Henky Solaiman, dia menata manajemen grup dan secara langsung menjaganya. Dia juga aktris kesohor. Dalam dua film terakhirnya, Ibunda (1986) dan Pacar Ketinggalan Kereta (1988), Tuti mendapat Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik pada gelaran Festival Film Indonesia 1986 dan 1989. 

Hubungan Tuti dengan Teguh Karya sangat dekat. Benci dan cinta jadi satu. Pertengkaran sering terjadi, tentu dalam urusan artistik. “Perdamaian biasanya dibuka dengan saling tangis-tangisan, peluk-pelukan, dan makan di restoran,” tulis Nano Riantiarno dalam Teater Dalam Gang Tuti Indra Malaon

Maka, ketika Teguh Karya hendak mewujudkan impiannya untuk Sanggar Kebon Kacang, tanpa ragu dia menyematkan nama Tuti Indra Malaon. Pada 5 Desember 1993, bertepatan dengan hari jadi Teater Populer ke-25, gedung Teater Dalam Gang Tuti Indra Malaon diresmikan Gubernur Surjadi Soedirdja. Pada kesempatan itu, Teguh Karya menjelaskan arti dan nama gedung tersebut. “Dipakai nama ‘Dalam Gang’ karena letak bangunannya memang dalam gang, dan ‘Tuti Indra Malaon’ untuk melambangkan kegigihan primadona Teater Populer yang tutup usia pada 1989,” ujarnya, dikutip Kompas, 7 Desember 1993. 

Tempat pentasnya selaik tapal kuda atau membentuk huruf U, biasa dikenal dengan bentuk arena. Antara penonton dengan penampil seperti tidak ada jarak. Teater semacam ini umum di kota-kota besar di Amerika Serikat dan Eropa. Pemutaran film, pertunjukan musik, panggung diskusi, pembacaan puisi, hingga pentas teater rutin digelar di gedung tersebut. Kegiatan terhenti karena Teguh Karya harus berjuang dengan sakitnya dan wafat pada 11 Desember 2011.

Sepeninggal Teguh Karya, dua orang dari luar Teater Populer, Dharmawan Handonowarih dan Enrico Halim, mencoba menghidupkan kembali aktivitas kesenian di gedung tersebut. Geliat kesenian kembali menggelora. Teater Tetas asuhan A.G.S. Arya Dipayana pentas dengan menampilkan lakon cerita Dari Seberang Cuaca, dari empat kisah yang berdiri sendiri. Selain pentas teater, acara dan pertunjukan lainnya rutin terselenggara, sampai akhirnya berhenti sekira tahun 2003. 

Gedung yang menjadi perwujudan impian Teguh Karya, juga monumen dedikasi Tuti Indra Malaon, dan riwayat teater dan film Teater Populer, kini membisu ditelan keramaian kota.*

Majalah Historia No. 18 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65717e25eeac9283c4acec58