Memotong Khitan Perempuan

Khitan perempuan dianggap bagian dari ajaran agama Islam. Dianggap merugikan pihak perempuan, tradisi kuno itu ditentang.

OLEH:
Arief Ikhsanudin
.
Memotong Khitan PerempuanMemotong Khitan Perempuan
cover caption
Hulda Jane Stumpf (1867–1930), misionari Kristen dari Amerika dibunuh di Kijabe, Kenya, karena menentang khitan perempuan (female genital mutilation). (Wikimedia Commons).

YAYASAN Assalaam Bandung, yang bergerak di bidang agama, sosial, dan pendidikan, punya tradisi melaksanakan khitan massal. Pesertanya bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan.  

Pada 10 Januari 2016, sebanyak 150 laki-laki dan 75 orang perempuan ikut khitanan massal. Usianya beragam. Peserta khitan laki-laki umumnya anak-anak berusia taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Sedangkan peserta perempuan ada yang remaja, bahkan mahasiswi, dengan usia 22 tahun.  

Khitan perempuan ditangani tim khusus yang semuanya kaum hawa. “Khitan perempuan berbeda dengan khitan anak laki-laki karena sebatas mengambil amat sedikit kulit sehingga diolesi obat langsung sembuh,” ujar Cecep Suryana, ketua panitia, dikutip pikiran-rakyat.com.

YAYASAN Assalaam Bandung, yang bergerak di bidang agama, sosial, dan pendidikan, punya tradisi melaksanakan khitan massal. Pesertanya bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan.  

Pada 10 Januari 2016, sebanyak 150 laki-laki dan 75 orang perempuan ikut khitanan massal. Usianya beragam. Peserta khitan laki-laki umumnya anak-anak berusia taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Sedangkan peserta perempuan ada yang remaja, bahkan mahasiswi, dengan usia 22 tahun.  

Khitan perempuan ditangani tim khusus yang semuanya kaum hawa. “Khitan perempuan berbeda dengan khitan anak laki-laki karena sebatas mengambil amat sedikit kulit sehingga diolesi obat langsung sembuh,” ujar Cecep Suryana, ketua panitia, dikutip pikiran-rakyat.com.

Ini bukanlah yang pertama. Tahun-tahun sebelumnya Yayasan Assalam melakukan acara serupa. Bahkan mereka mengklaim melakukan tradisi ini sejak 1948.  

Siti Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pernah menyaksikan khitan perempuan di Assalam. Salah satu pesertanya adalah seorang perempuan berusia 60 tahun. Ketika ditanya alasan ikut khitan, si perempuan mengatakan ingin melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.  

Bagi Musdah, yang pernah melakukan penelitian tentang khitan perempuan sekitar tahun 2000, khitan perempuan merupakan sesuatu yang mengerikan. “Saya tiga hari tiga malam tidak bisa tidur,” ujarnya kepada Historia.

Atas Nama Agama

Khalayak menganggap khitan perempuan adalah bagian dari ajaran agama. Nyatanya, tradisi ini sudah dilakukan jauh sebelum munculnya Islam pada abad ke-6.  

Menurut Mary Knight, sejarawan dari American University in Cairo, catatan pertama yang tersedia mengenai praktik khitan perempuan dibuat Strabo, ahli ilmu bumi Yunani, yang mengunjungi Mesir sekira 25 SM.  

“Juru tafsir modern sering menganggap pemotongan genital perempuan di Mesir adalah solusi kuno untuk mengatasi venery –yaitu, hasrat seksual berlebihan dan mengumbar hasrat seksual,” tulis Knight dalam “Curing Cut or Ritual Mutilation?”, dimuat jurnal Isis, terbitan History of Science Society (HSS) di Amerika Serikat, Vol. 92, No. 2, Juni 2001.  

Menurut Musdah, khitan perempuan dipraktikkan masyarakat Romawi, yang kemudian diikuti Mesir. “Di Romawi, budak-budak perempuan dikhitan untuk meningkatkan daya jual,” ujarnya.  

Pada abad ke-3, khitan perempuan tersebar di Afrika Barat, Afrika Timur, dan Semenanjung Arab bagian selatan. Praktik ini kemudian juga ditemukan di beberapa wilayah di Amerika Serikat dan Eropa.  

Para penganut agama samawi kemudian mengaitkan khitan perempuan dengan ajaran agama. Dalam agama Yahudi, khitan perempuan disamakan dengan khitan laki-laki sebagai cara penyucian diri. “Namun, jauh sebelumnya, tradisi sunat telah dilakukan Nabi Ibrahim dan diyakini sebagai petunjuk yang datang dari Tuhan,” kata Musdah.  

Dalam “Khitan Perempuan: Antara Mitos dan Legistimasi Doktrinal Keislaman” dalam Jurnal Perempuan edisi 26 tahun 2002, Mesraini, direktur Lembaga Studi Agama dan Kemasyarakatan, menyebut Siti Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim, sebagai perempuan pertama yang dikhitan. Menurut salah satu riwayat, saat Siti Hajar hamil, Siti Sarah (istri pertama Nabi Ibrahim) cemburu dan bersumpah akan memotong tiga bagian dari tubuh Siti Hajar. Nabi Ibrahim lalu menyarankan Siti Sarah melubangi kedua telinga dan menyunat kemaluan Siti Hajar. Praktik ini kemudian menjadi tradisi dan bertahan hingga saat ini.  

Tak semua penganut agama samawi melaksanakan khitan perempuan. Umat Yahudi yang melaksanakan khitan perempuan ada di wilayah Palestina. Umat Kristen yang menjalankan adalah penganut Kristen Koptik di Mesir. Sedangkan untuk Islam, khitan perempuan dilaksanakan mazhab Safi’i di Afrika. Arab Saudi, sebagai negara asal Islam, malah tidak mengenal tradisi ini.  

Di Indonesia, khitan perempuan dilekatkan pada ajaran Islam, kendati ada masyarakat Jawa dan Madura nonmuslim yang melaksanakan praktik ini. “Masyarakat menganggap sunat bagi laki atau perempuan adalah simbol keislaman,” kata Musdah.  

Orang berpegangan pada hadis. Salah satunya diriwayatkan Ahmad Ibn Hanbal yang menyebutkan khitan dianjurkan untuk laki-laki (sunnah) dan hanya merupakan kebolehan (makrumah) bagi perempuan. “Sejumlah kajian hadis menyimpulkan, hadis-hadis tentang sunat perempuan jika dilihat dari perspektif sanadnya, tidak ada yang mencapai derajat hasan atau sahih,” kata Musdah.  

Menurut Maman Imanulhaq, pengasuh Pondok Pesantren Al Mizan Majalengka dan wakil ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dalam ajaran Islam, tidak dibenarkan menghilangkan nafsu seksual perempuan. Menghilangkan nafsu seksual berarti memotong hak perempuan. “Hawa nafsu perempuan adalah bagian dari fitrah perempuan,” ujarnya kepada Historia.  

Maman, tak memungkiri beberapa pesantren, terutama di Jawa Barat, masih melanggengkan tradisi ini. Namun, khitan hanya dilakukan secara simbolik; klitoris perempuan disentuh kunyit atau gunting. Tradisi ini bertujuan agar ada ritual untuk mendoakan mereka. Sebagai penanda bahwa mereka sudah dewasa dan harus mulai belajar tentang agama.  

Bagi Maman, tidak masalah jika seseorang tidak menjalankan tradisi ini. Khitan perempuan maupun laki-laki tidak tercantum dalam Al-Quran. Sekalipun ada hadis, sifatnya hanya dianjurkan. Untuk menjalankannya harus melihat sisi manfaat.  

“Saya akan menentang tindakan melukai perempuan atas nama agama. Kita harus melawan. Agama tidak menyuruh khitan dalam teknis itu (melukai),” kata Maman.

Klasifikasi khitan perempuan menurut WHO.

Memotong Nafsu Seksual

Khitan perempuan sudah dipraktikkan di Indonesia sejak lama. Sayangnya, tak ada data memadai yang menggambarkan bagaimana praktik ini dijalankan. Catatan tertua mengenai khitan perempuan ditulis Nicolas Gervaise, penulis Prancis yang jadi tutor dua pangeran Makassar, dalam Description Historique du Royaume de Macassar pada akhir abad ke-17. Setelah menjelaskan panjang lebar megenai upacara sunat laki-laki, dia menulis bahwa dia percaya Makassar adalah satu-satunya Muslim yang melakukan sunat perempuan, “berbeda dari Turki”, dengan alasan keselamatan.  

“Sunat laki-laki dan perempuan lebih luas dari yang Gervais bayangkan, baik di dunia Islam pada umumnya maupun di kepulauan, di mana Islamisasi mulai menyebar pada abad ke-13,” tulis Andrée Feillard dan Lies Marcoes dalam “Female Circumcision in Indonesia: To ‘Islamize’ in Ceremony or Secrecy”, dimuat Archipel, Vol. 56, 1998.  

Mereka mengutip sejumlah laporan mengenai sunat perempuan yang dibikin para etnolog: G.F. Winter (1843) di Surakarta, Riedel (1870) di Gorontalo, B.F. Matthes (1875) di Makassar dan Bugis, serta A.L. van Hasselt (1882) di wilayah Minangkau.  

Yang pertama melakukan survei menyeluruh adalah G.A. Wilken, etnografer Belanda, pada 1885. Hasilnya, sunat perempuan secara eksklusif ditemukan di kalangan umat Islam, sehingga Wilken percaya ini bukanlah adat tapi kebiasaan yang “dipinjam dari orang-orang Arab.” Wilken juga menyimpulkan perempuan disunat lebih dini daripada laki-laki, umumnya diiringi upacara, kendati setidaknya di Gorontalo tidak dianggap sepenting sunat laki-laki.  

Mengenai praktik itu sendiri, Wilken mencatat, di Jawa, bagian dari klitoris benar-benar dihilangkan, terbukti dari terminologi yang digunakan dalam bahasa Jawa, yaitu putung-itil, yang berarti sepotong klitoris. Makassar dan Bugis tampaknya lebih lunak. Wilken menambahkan, tak ada yang diketahui tentang kelompok etnis lain di Nusantara.  

Karya utuh mengenai sunat perempuan, yang meliputi seluruh Nusantara, diterbitkan pada kesempatan pameran instrumen sunat dan perlengkapannya, yang digelar di Batavia pada Agustus 1921, selama kongres Asosiasi Kedokteran Tropis Timur Jauh. B.J.O. Schrieke, sejarawan Belanda, mengumpulkan laporan-laporan kerja lapangan yang ditulis untuk pameran itu (dari administrator lokal, guru, hingga dokter) ke dalam artikel dengan judul “Allerlei over de besnijdenis in den Indischen Archipel”, dimuat di Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde tahun 1921 dan 1922.  

Hasilnya amat mengejutkan: sunat perempuan dilakukan hampir di setiap daerah yang dijangkau oleh Islam; umumnya dilakukan dukun perempuan; bagian klitoris ada yang dipotong tapi ada pula yang hanya digosok atau disentuh dengan pisau, ani-ani, gunting sunat, dan ditekan dengan sepotong kunyit untuk mencegah infeksi. Tingkat kerahasiaan sunat perempuan bervariasi, beberapa wilayah amat merahasiakannya, di wilayah lain dirayakan. Usianya juga bervariasi, dari perempuan baru lahir hingga sebelum usia 15 tahun.  

Setelah Indonesia merdeka, catatan detail ditulis Ahmad Ramali dalam disertasinya di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yang kemudian diterbitkan dengan judul Peraturan-peraturan untuk memelihara kesehatan dalam hukum sjara’ Islam. Ramali menulis bahwa sunat perempuan adalah “kebiasaan yang masuk ke Indonesia bersama-sama dengan Islam, melanggengkan kebiasaan Arab yang sudah diterima di masa pra Islam.” Mengenai asal dan makna sunat perempuan, dia menggunakan teori Felix Bryk –yang meminjam metode psikoanalitis Sigmud Freud– bahwa sunat perempuan merupakan saklar seksual seorang gadis: dia ditarik dari ruang publik melalui perubahan seksualitasnya, dari luar (klitoris) ke dalam (vagina) seksualitas. Dengan begitu, sunat perempuan membawa anak perempuan ke dalam kewanitaan penuh.  

Ramali juga menyebut sunat, bagi lelaki maupun perempuan, tak temaktub dalam Al-Quran “secara tegas-tegas”, namun umat Islam sebaiknya mengikuti “agama Nabi Ibrahim”. Dia mengutip Abu Zakaryâ’ Yahhâ al-Nawawi, ahli hukum Syafi’i pada abad ke-13 dan salah satu otoritas tertinggi dalam Islam di Indonesia, yang menyebut sunat wajib bagi lelaki maupun perempuan. Menurut Ramali, dalam Islam, sunat memiliki tiga fungsi utama: mengislamkan, mencegah penyakit, dan menahan libido seksual.  

Ada banyak buku yang mengulas definisi sunat perempuan setelah 1950-an. Feillard dan Marcoes berkesimpulan, semua tulisan itu menunjuk ke sebuah proses “Islamisasi”, tetapi dengan variasi dan ketidakpastian mengenai karakter wajib sunat perempuan. “Paradoksnya, pada 1950-an, sunat perempuan tampaknya menjadi suatu tindakan opsional dari sudut pandang hukum, tapi masih merupakan ritus penting dari sudut sosiologis,” tulis mereka.  

Hingga kini, sunat perempuan masih dipraktikkan. Menurut Feillard dan Marcoes, dibandingkan tahun 1920, sunat perempuan lebih luas dipraktikkan dibanding saat ini. Terutama di wilayah Sunda. Salah satu faktor yang berkontribusi adalah medikalisasi. Selain itu, “Dengan Islamisasi yang berkembang di Indonesia pada 1990-an, tekanan sosial yang mendukung sunat perempuan telah meningkat.”

Klasifikasi khitan perempuan menurut WHO.

Menolak Khitan

Pada 1996, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan empat macam khitan perempuan. Pertama, kritoridektomi atau penghilangan sebagian atau seluruh klitoris. Kedua, eksisi atau penghilangan sebagian atau seluruh klotoris dan labio minora (bagian luar kemaluan, berbentuk bibir). Ketiga, infibulasi atau penghilangan sebagian atau seluruh gential serta menjahit sebagian saluran kencing dan vagina. Keempat, bentuk lain yang tidak terklasifikasi seperti menindik, menusuk, dan menggunting.  

Meiwita Budiharsana dkk. dalam laporan penelitian mengenai khitan perempuan di Indonesia tahun 2003 berjudul Female Circumcision in Indonesia, menyebut yang dipraktikkan di Indonesia adalah tipe pertama dan keempat. Di luar klasifikasi WHO, Meiwita dkk. membagi dua jenis khitan: khitan secara tradisional yang bersifat simbolis serta khitan yang melibatkan insisi (membuka kulit/organ tanpa mengambil organ atau kulit tersebut) dan eksisi (membuang jaringan dengan cara memotong).  

Khitan dengan melukai klitoris meninggalkan bekas luka. Klitoris adalah organ genital perempuan yang paling sensitif terhadap rangsangan. Meski tidak dipotong, praktik ini melukai klitoris bisa merusak jaringan di sana. Karena mengandung risiko, muncul penolakan terhadap praktik tersebut di belahan dunia.  

“Masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk juga masyarakat Islam, telah berupaya menghapuskan berbagai praktik sunat perempuan karena membahayakan kesehatan tubuh dan jiwa perempuan,” kata Muslidah.  

Center for Reproductive Right dalam Female Genital Mutilation A Matter of Human Right menyebut penolakan terhadap praktik ini muncul puluhan tahun lalu. Pada 1940-an dan 1950-an, pemerintah kolonial di Mesir dan Sudan melarang khitan perempuan kendati tak berhasil baik. Pada 1960-an dan 1970-an, kelompok perempuan dari berbagai negara menggelar kampanye menolak khitan perempuan. Pada Conferensi on Human Right tahun 1993, WHO melarang praktik khitan perempuan atau yang disebut Female Genital Mutilation (FGM). WHO beranggapan khitan perempuan berakibat pada gangguan jangka pendek dan jangka panjang secara fisik, mental, serta terkait kesehatan seksual.  

Di Indonesia, tak ada upaya serius untuk mengakhiri praktik khitan perempuan. Dalam kongres Ikatan Bidan Indonesia di Bali tahun 1998, disepakati untuk tidak melakukan pemotongan organ intim dalam praktik khitan perempuan. Namun, pada pelaksanaannya, masih ada sebagian bidan yang melakukan pemotongan. Pada 20 April 2006, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen RI mengeluarkan surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan.  

Namun, Majelis Ulama Indonesia bertindak sebaliknya, mengeluarkan fatwa makrumab atau diajurkan. Setelah itu, Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 2010 tentang Sunat Perempuan. Isi peraturan menyebutkan bahwa khitan perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Pelaksanaan sunat perempuan dilakukan tenaga kesehatan.  

“Peraturan itu adalah pelegalan terhadap khitan perempuan,” ujar Musdah.  

Eni Gustina, direktur Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, membantah bahwa Kementerian kesehatan melegalkan khitan perempuan. Peraturan itu dimaksudkan untuk memberikan pegangan kepada tenaga medis yang diminta masyarakat melakukan khitan perempuan. Kementerian Kesehatan khawatir pasien akan lari ke dukun yang tak terjamin. “Aturan itu lebih mendukung supaya ini dilakukan secara aman. Bukan menjadikan ini standar di pelayanan kesehatan,” kata Eni.  

Sejumlah organisasi nonpemerintah pun menggalang dukungan publik demi pencabutan peraturan tersebut dan penghapusan sunat perempuan. Sebuah petisi, yang ditandatangani sejumlah organisasi dan individu, dikirimkan ke pemerintah. Hasilnya, Kementrian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 6/2014 yang mencabut peraturan sebelumnya.  

Saat ini, sejumlah lembaga yang peduli terhadap isu perempuan terus mengkampanyekan penghentian khitan perempuan.*

Majalah Historia No. 30 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66f0d708d51e082f5fa80739
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID