Anak-anak Panti Asuhan Desa Putera yang mendapatkan pendidikan di bangku sekolah dasar. (Istimewa).
Aa
Aa
Aa
Aa
KECERIAAN memenuhi suasana Panti Asuhan Desa Putera, biasa disingkat Padestra, di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Mata yang masih kuyu selepas tidur siang tak menghalangi mereka beraktivitas. Ada yang bercerita sambil berjalan bersama teman. Ada pula yang bermain sepakbola di aula.
Mereka pasti nggak semua tidur. “Entah di kamar mau tidur atau bercanda dengan teman-temannya, yang penting mereka istirahat. Karena sejak pagi mereka sekolah,” kata salah seorang penjaga panti.
Selain tidur siang, ada banyak peraturan yang diterapkan pengurus panti guna menunjang misi mencetak anak-anak berkepribadian. “Yang kami tanamkan sungguh-sungguh adalah nilai kepribadian. Anak harus mempunyai nilai kejujuran, tekun, dan kerja keras. Maka yang kami tampilkan kepribadian dan ketrampilan,” ujar Bruder Tarcisius Kasino (52), pemimpin panti.
KECERIAAN memenuhi suasana Panti Asuhan Desa Putera, biasa disingkat Padestra, di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Mata yang masih kuyu selepas tidur siang tak menghalangi mereka beraktivitas. Ada yang bercerita sambil berjalan bersama teman. Ada pula yang bermain sepakbola di aula.
Mereka pasti nggak semua tidur. “Entah di kamar mau tidur atau bercanda dengan teman-temannya, yang penting mereka istirahat. Karena sejak pagi mereka sekolah,” kata salah seorang penjaga panti.
Selain tidur siang, ada banyak peraturan yang diterapkan pengurus panti guna menunjang misi mencetak anak-anak berkepribadian. “Yang kami tanamkan sungguh-sungguh adalah nilai kepribadian. Anak harus mempunyai nilai kejujuran, tekun, dan kerja keras. Maka yang kami tampilkan kepribadian dan ketrampilan,” ujar Bruder Tarcisius Kasino (52), pemimpin panti.
Sebentuk Perhatian
Dampak terburuk dari perang, di manapun, selalu dialami anak-anak. Beberapa anak-anak kehilangan orangtua atau kerabat. Di jalan-jalan, mereka terpaksa menggelandang tanpa pakaian dan mengemis demi bertahan hidup. Situasi ini terjadi pula di Batavia dan sekitarnya usai masa perang. Prihatin terhadap kondisi anak-anak terlantar ini, Residen Batavia J.E. Ysebaert berniat mendirikan tempat penampungan.
Batavia kala itu sudah memiliki beberapa panti asuhan. Di pusat, anak-anak terlantar antara lain ditampung di dua panti asuhan milik Dana Bantuan Santo Vincentius a Paulo di Batavia (kemudian diubah namanya jadi Batavia’s Vicentius Vereeniging; kini Perhimpunan Vicentius Jakarta) yang sudah dirintis sejak 1862: Panti Asuhan Vicentius Puteri di Jalan Otto Iskandardinata dan Panti Asuhan Vicentius Putera di Jalan Kramat. Namun, di wilayah selatan, tak ada tempat bagi penampungan anak-anak terlantar.
Ysebaert membicarakan kemungkinan pendirian panti asuhan di selatan dengan Uskup Batavia Mgr. Willekens, yang kemudian meneruskannya kepada Mr. A. Bogaardt, pemimpin Panti Asuhan Vicentius.
Bogaardt menerima permintaan pemerintah untuk mendirikan panti asuhan untuk menampung anak-anak yatim-piatu, anak terlantar dan gelandangan asalkan disediakan tempat penampungan. Residen menyanggupinya.
Pada April 1947, Residen menemui P.M. van Wulfften Palthe, pemimpin Persatuan Perawat Orang Sakit Jiwa. Usahanya berhasil. Palthe meminjamkan lahan berikut bangunan bekas rumah sakit jiwa di Srengseng Sawah –kini, tak jauh dari Stasiun Kereta api Lenteng Agung.
“Di dalam perjanjiannya, sertifikat tanah, tertulis hak pakai tanpa batas untuk panti asuhan. Kalau panti asuhannya tutup, properti harus kembali ke pemerintah,” kata Bruder Kasino.
Dibantu Nederlandsche Rode Kruis Afdeling Indonesia (Palang Merah Belanda di Indonesia), Palang Merah Internasional, kongregasi, serta pihak-pihak yang bersimpatik, Jawatan Sosial memperbaiki bekas rumah sakit yang sudah terlantar itu.
Untuk mendapatkan tenaga pengelola, Mgr. Willekens menghubungi Kongregasi Santa Maria di Lourdes (Kongregasi Budi Mulia). Keputusan ini berangkat dari pengalaman Budi Mulia membangun panti asuhan di Bogor. Budi Mulia kemudian menunjuk Bruder Corbinianus sebagai direktur dan Br. Mattheus sebagai pembantunya.
Sementara proses renovasi dan pembangunan tempat tinggal para bruder berjalan, Bruder Corbinianus dan Pastor Sneiders mengumpulkan sekira 200 anak jalanan. “Mereka itu telanjang, sakit, berkurap, lemah, dan kelaparan,” tulis majalah Djaja, November 1968. Dalam perjalanan waktu, jumlah anak-anak terlantar yang ditampung membengkak.
Dalam kurun waktu dua bulan sebuah panti pun terbentuk dengan nama Rumah Yatim Piatu Lenteng Agung. Pada 30 Juni 1947, rumah yatim piatu itu diresmikan dengan nama baru: Panti Asuhan Desa Putera. Hadir pengurus dari Perhimpunan Vicentius dan Budi Mulia, Ny. Van Mook, para pejabat Jawatan Sosial dan instansi pemerintah lainnya, petinggi palang merah, dan lurah Srengseng Sawah.
Bekas Peternakan
Lahan yang dipakai Padestra dulunya merupakan peternakan kuda dan istal milik Ramelaan, tuan tanah Belanda.
Orang-orang Belanda mulai memilih mendiami wilayah selatan kota setelah kawasan kota tua Batavia tak lagi kondusif untuk tempat tinggal. Mereka membangun landhuis beserta perkebunan dan peternakan di daerah Cilincing, Cimanggis, Condet, Depok, Srengseng, dan sekitarnya.
“Orang-orang Eropa bergerak ke selatan untuk menciptakan Batavia baru yang sesuai dengan gambaran mereka –sebuah daerah yang tak lagi hanya menjadi sebuah pelabuhan perdagangan, tetapi juga menjadi ibukota koloni Eropa,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.
Ramelaan membuka peternakan dan perkebunan di tanah luas yang meliputi wilayah Boncel, Cipedak, hingga Situ Babakan. “Rumah Ramelaan berada di tempat yang sekarang jadi Asrama Yon Zipur 7,” ujar Didin bin Rimin (93 tahun), sesepuh Srengseng Sawah.
Didin sempat bekerja di peternakan Ramelaan sewaktu berusia belasan tahun. Tugasnya memandikan kuda seminggu dua kali. Tak lama setelah Didin bekerja di sana, sebagian lahan peternakan digunakan untuk membangun rumahsakit jiwa. Terdapat pula makam untuk orang-orang sakit jiwa yang meninggal. “Orang gila yang meninggal dari mana aja; dari Parung, Jakarta, Bogor, dikuburkan di situ,” ujarnya.
Hingga akhir masa kolonial, rumahsakit jiwa itu masih beroperasi. Ia tampaknya terbengkalai dan ditinggalkan para penghuninya semasa pendudukan Jepang. Pada masa itu banyak orang Belanda yang ditangkap dan ditahan di kamp-kamp interniran.
Penggunaan untuk panti asuhan membuat bangunan kembali diperbaiki. Bangunannya berbentuk huruf “O”, memanjang laiknya rumahsakit pada umumnya. Di sebelah selatan, tak lama setelah Padestra berdiri, dibangun gereja dan bruderan (rumah tinggal bruder). Seiring perjalanan waktu, jumlah bangunan terus bertambah. Di utara, ada sekolah dasar.
Nasib naas datang pada 1951. Sekelompok lelaki bersenjata merampok pada malam hari. Awal 1950-an, situasi pinggiran ibukota masih belum aman. Penggedor, yang paling banyak beroperasi di Depok, masih berkeliaran. “Miliknya habis sama sekali,” tulis majalah Djaja.
Tak lama berselang, Padestra pindah ke sebuah lahan yang terletak lebih ke timur. “Itu yang sekarang jadi makam umum di dekat Universitas Pancasila,” kata Bruder Kasino. Pembangunan di sana mendapat dana dari Yayasan Budi Mulia, Keuskupan Djakarta, dan para dermawan. Tenaga pembangunannya anak-anak panti sendiri.
Padestra kembali ke lahan bekas rumah sakit jiwa pada 1955. Di sana, pengembangan terus terjadi. Selain sekolah, bangunan-bangunan penunjang kegiatan bermunculan. Meski pada 1963 mengalami kebakaran hebat, Padestra kembali beroperasi pada 1964 dengan bantuan dari berbagai pihak. Hingga kini, bangunan itu masih berdiri.
Bangunan itu menjadi saksi bagaimana kepedulian sekelompok kecil orang terhadap anak-anak terlantar. “Usaha Desa Putera yang pemimpin-pemimpinnya mula-mula dikira tuan tanah kaya raya, akhirnya sangat dirasakan manfaatnya dan penghuninya dihormati oleh orang-orang di desa sekitarnya,” tulis majalah Djaja.
Rutinitas Panti
Anak-anak di Padestra dikelompokkan berdasarkan usia, yang berkisar antara 6 sampai 20 tahun. Dulu, tiap kelompok anak-anak dibagi-bagi sesuai peran masing-masing. Anak yang dianggap cakap ditunjuk sebagai “kepala kampung”. Setiap kampung (kelompok) bertanggung jawab terhadap kebersihan dan kelancaran aktivitas di wilayah masing-masing.
“Anak-anak hendak dididik untuk mencapai niveau desa dan supaya mereka bisa hidup bersahaja seperti di desa-desa,” tulis majalah Djaja.
Untuk membekali anak-anak dengan keterampilan, dibangunlah sarana latihan kerja: bengkel pertukangan besi dan kayu, penjilidan buku, dan peternakan. Usaha peternakan, misalnya, dimulai dengan memelihara seekor sapi, dua kuda, 25 itik, dan 10 ayam. Tiga tahun kemudian panti membuka perkebunan kelapa dan jeruk.
Bersamaan dengan itu, pendidikan formal pun dirintis. Bermula dari sebuah kelas terbuka yang dirintis Bruder Gerrard, Yayasan Budi Mulia mendirikan Sekolah Rakyat Desa Putera (kini SD Desa Putera) pada 1947. Tiga tahun kemudian didirikan pula Sekolah Guru Bawah (SGB) Desa Putera, yang ditutup pada 1960 karena perubahan sistem pendidikan nasional. Sebagai gantinya didirikan sekolah-sekolah untuk jenjang lebih tinggi seperti Sekolah Teknik (setingkat SMP) dan Sekolah Teknik Menengah Grafika (setingkat SMA). Sekolah-sekolah itu kemudian tak hanya ditujukan untuk anak panti tapi juga terbuka untuk umum.
Kendati panti dibikin senyaman mungkin, banyak anak penghuni pantai yang melarikan diri. Sebagian besar tak kuat dengan aturan-aturan yang diterapkan panti. “Dari 1.000 anak yang ditampung, sekitar 700 anak yang pergi dengan diam-diam,” tulis Panti Asuhan Desa Putera dalam lamannya, padestra.org.
Selain bersekolah dan mengerjakan tugas sekolah, anak-anak yang masih berusia SD membersihkan halaman dan taman tiap sore. Anak-anak berusia menengah (SMP), selain menyelesaikan urusan pribadi seperti mencuci pakaian, wajib membersihkan ruangan hingga gudang dan memerah sapi. Sementara anak-anak yang berusia SMA bergiliran mencangkul di kebun selama satu jam.
Sore hari menjadi waktu menyenangkan bagi anak panti, terutama yang sudah menyelesaikan tugas. Mereka dibebaskan bermain. Fasilitas olahraga di panti yang terbilang lengkap juga bisa dipakai. Pukul 18.00, semua anak wajib masuk asrama. Mereka lalu makan malam dan belajar. Pukul 21.00, semua anak harus masuk kamar. Tidur cepat diharuskan agar badan fit keesokan harinya. Anak-anak kecil beruntung karena boleh bangun pukul 06.00. Anak yang lebih besar wajib bangun sejam lebih awal untuk memerah sapi.
Rutinitas itu berlangsung setiap hari mulai Senin hingga Jumat. Panti mengizinkan anak-anak pulang ke rumah orangtua atau wali mulai Sabtu siang hingga Minggu petang. Bagi yang tak ingin keluar, mereka bisa menghabiskan waktu dengan berenang atau main perahu milik panti di danau (Setu Babakan) yang terletak persis di belakang kompleks panti.
Selain rutinitas di dalam panti, anak-anak juga dilibatkan dalam kerja sosial di lingkungan setempat seperti memperbaiki jalan atau membersihkan lingkungan.
Kesehatan anak-anak menjadi perhatian Padestra. Dokter dan bruder perawat menangani anak yang sakit di balai pengobatan, yang kemudian berkembang jadi poliklinik. Rupanya, banyak warga sekitar yang kemudian datang untuk berobat. “Semakin banyak warga datang berobat ke panti, mengganggu situasi di sini. Maka dipindah ke ujung sana,” ujar Bruder Kasino, menunjuk poliklinik di selatan asrama. “Karena semakin ramai, ia dikelola sendiri, lepas dari panti.”
Terus Memberi Pelayanan
Biaya operasional Padestra terutama berasal dari uang kolekte yang dikumpulkan Yayasan Vicentius. Sumber pendanaan lain berasal dari beragam usaha yang dilakukan Padestra. Susu sapi salah satu andalannya. Dari 17 ekor sapi yang dimiliki pada 1968, Padestra mendapatkan 75 liter susu segar setiap hari. Sebagian susu dikonsumsi sendiri, sebagian lainnya dijual ke pelanggan. “RS Carolus langganan susu dari sini,” ujar Bruder Kasino.
Workshop mebel juga memberi pemasukan penting. Dengan mempekerjakan orang luar, Padestra memproduksi lemari dan perabot-perabot rumahtangga lainnya. “Lemari-lemari jadi itu dijual di Klender dengan harga kurang-lebih Rp6.000, sebuah,” tulis majalah Djaja.
Usaha paling menguntungkan datang dari percetakan dan penjilidan buku, yang sudah dimulai sejak 1950. Mulanya Padestra menerima sumbangan beberapa mesin cetak kecil (handpress) yang dipakai anak-anak panti untuk melatih ketrampilan di bidang percetakan dan mendapatkan pemasukan. Muncullah gagasan untuk mendirikan sekolah grafika sekaligus usaha percetakan. Bantuan berupa tenaga ahli dan mesin-mesin cetak datang dari Belanda. Maka, pada 1970 Padestra membuka Sekolah Teknik Grafika –kini, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Grafika Desa Putera.
Selain digunakan praktikum murid Sekolah Teknik Grafika, usaha percetakan ini ternyata berkembang pesat. Order berdatangan. Mereka melayani pembuatan kartu nama hingga buku kecil. Pelanggannya luas. Majalah Djaja adalah salah satu pelanggannya pada 1960-an. Kini, percetakan itu semakin besar dan modern. Pada 1993, usaha percetakan dilengkapi dengan Graphic Training Center, tempat pelatihan bagi anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan formal grafika.
Menurut Bruder Kasino, sejumlah usaha yang didirikan Padestra akhirnya ditutup: peternakan, perkebunan, serta bengkel mesin dan kayu. “Yang bertahan hanya Grafika,” ujarnya.
Jumlah penghuni panti juga semakin berkurang. Dari 79 anak penghuni panti, mayoritas berasal dari keluarga broken home, tak ada lagi yang berasal dari wilayah sekitar Jagakarsa. “Justru anak di sekitar sini kami kirim ke (Panti Asuhan Vicentius Putera) Kramat,” ujar Bruder Kasino. Mayoritas murid sekolah-sekolah di Padestra, dari tingkat dasar hingga atas, kini orang luar.
Toh, Padestra tetap bertahan dan terus memberi pelayanan.*