PERTENGAHAN Mei 1990, Semar tampil di Fakultas Antropologi Universitas Hawaii, Amerika Serikat. Sumastuti Sumukti, seorang warga Amerika kelahiran Surakarta, membawanya ke sana. Di negeri orang, penampilannya tak berubah. Perutnya buncit, kuncung putihnya dibiarkan menjuntai, wajahnya keriput, hidungnya tenggelam, dan pantatnya mencuat. Hari itu beberapa profesor mencoba mengenalnya.
Tak seperti lazimnya, Semar ditampilkan bukan dalam bentuk wayang, tapi sebuah tesis. Judulnya mentereng, An Analysis of Semar Through Selected Javanese Shadow Play Stories. Untuk menghadirkan tesis itu, Sumukti terbang dari Hawaii ke Leiden, keluar masuk perpustakaan untuk mencari bahan pustaka.
PERTENGAHAN Mei 1990, Semar tampil di Fakultas Antropologi Universitas Hawaii, Amerika Serikat. Sumastuti Sumukti, seorang warga Amerika kelahiran Surakarta, membawanya ke sana. Di negeri orang, penampilannya tak berubah. Perutnya buncit, kuncung putihnya dibiarkan menjuntai, wajahnya keriput, hidungnya tenggelam, dan pantatnya mencuat. Hari itu beberapa profesor mencoba mengenalnya.
Tak seperti lazimnya, Semar ditampilkan bukan dalam bentuk wayang, tapi sebuah tesis. Judulnya mentereng, An Analysis of Semar Through Selected Javanese Shadow Play Stories. Untuk menghadirkan tesis itu, Sumukti terbang dari Hawaii ke Leiden, keluar masuk perpustakaan untuk mencari bahan pustaka.
Sumukti lalu kembali ke kota kelahirannya untuk menonton pertunjukan wayang kulit dan mewawancarai para dalang. Ia juga mengunjungi beberapa daerah di Jawa Tengah. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan kelompok masyarakat yang menganut paham Semar. Masyarakat itu mengamalkan ajaran dan etika Semar. Melihat Semar tak lapuk di zaman modern, semangat Sumukti terpacu.
Di hadapan pembimbingnya, Sumukti berhasil mempertahankan tesisnya dan berhak atas gelar master of arts (MA).“Di zaman modern ini, Semar masih sanggup tampil sebagai tokoh panutan. Itu menarik,” katanya setelah resmi meraih gelar MA.
Sebelum tesis Sumukti, terdapat beberapa karya ilmiah yang membahas Semar. Pada 1976, C.P. Epskamp menulis buku Semar As a Tricker. Melalui bukunya, ia berkesimpulan Semar adalah penipu licik, pelawak, pengacau, tapi juga pelipur lara. Ia menyamakan Semar dengan Ture, tokoh mitologis suku Azande di Afrika Tengah. Ture dikenal sebagai tokoh yang tak masuk kategori sosial apapun; abnormal tetapi meraih simpati.
Sepuluh tahun berselang, Ward Keeler, antropolog Amerika, menulis Javanese Shadow Plays. Meski tak membahas Semar secara khusus, kesimpulan Keeler hampir senada dengan Epskamp. Tesis Sumukti membantahnya empat tahun kemudian. Menurut Sumukti, Semar tak bisa disamakan dengan Ture. Sumukti bahkan menilai interpretasi kedua antropolog itu parsial. “Pembicaraannya tidak mendalam dan tidak menyeluruh,” tulis Sumukti dalam tesisnya, yang kemudian diterbitkan dengan judul Semar: Dunia Batin Orang Jawa pada 2006.
Pada Mulanya Telur
Tak mengherankan jika ada beragam kesimpulan mengenai Semar. Semar sendiri dalam masyarakat Jawa merupakan tokoh panakawan paling misterius. Tak seperti anak-anaknya, Bagong, Petruk, dan Gareng, asal-usul Semar menjadi perdebatan. Meski hanya tokoh mitologi, setidaknya ada dua versi besar mengenai asal-usul Semar. Meski riwayatnya berbeda, kedua versi itu punya kesamaan: Semar lahir dari telur.
Alkisah, kala bumi belum berpenghuni, Sang Hyang Wenang, penguasa langit dan bumi, telah berputra satu. Putranya, Sang Hyang Tunggal, memiliki istri bernama Dewi Rekatawati, putri kepiting raksasa. Setelah lama berumah tangga, Dewi Rekatawati bertelur. Telur itu lalu terbang ke hadapan Sang Hyang Wenang dan menetas. Tiga makhluk muncul dari bagian-bagian telur itu.
Dari kulit telur muncul makhluk bernama Tejamantri. Makhluk kedua, Ismaya, berasal dari putih telur. Sisanya, Manikmaya, dari kuning telur. Ketiganya tumbuh dewasa. Hingga tibalah saat menentukan pengganti kedudukan Sang Hyang Tunggal. Setelah berdebat, mereka memutuskan menggelar pertandingan. Siapa yang berhasil menelan gunung dan memuntahkannya kembali, dialah yang berhak menjadi penguasa langit dan bumi.
Semar bukan lelaki bukan perempuan, tak menangis maupun tertawa, bukan dewa bukan manusia, tidak jauh tidak dekat, tapi harus ada.
Tejamantri gagal menelan gunung. Tak demikian dengan Ismaya. Sayangnya, ia tak bisa memuntahkannya kembali. Perutnya seketika membuncit. Mereka bertiga bingung. Tiba-tiba Sang Hyang Wenang datang dan mengambil keputusan. Ismaya dan Tejamantri mesti turun ke bumi. Ismaya kemudian menjadi Semar, sedangkan Tejamantri menjadi Togog. Manikmaya tinggal di kahyangan menjadi raja para dewa dan penguasa surga, namun harus menurunkan keturunannya ke bumi. Manikmaya berganti nama menjadi Batara Guru.
Versi kedua jauh lebih ringkas. Sang Hyang Wenang tengah memegang telur. Tak diceritakan asal telur itu. Di genggaman Sang Hyang Wenang, telur itu menetas. Bumi, langit, dan cahaya kemudian tampak. Begitu pula dua makhluk lainnya, Manik dan Maya. Manik lalu tinggal di kahyangan, sedangkan Maya turun ke bumi untuk kelak menjadi pelindung penduduk bumi. Dialah yang dikenal dengan Semar.
Kata “Semar”, menurut Sumukti, berasal dari kosakata Jawa Kuno “Smer”, yang berarti ide atau buah pemikiran. Istilah ini muncul bersamaan dengan penerjemahan epos Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno pada abad ke-10. Namun Claire Holt, mantan peneliti senior dan staf pengajar Cornell University, berpendapat beda.
“Semar berasal dari kata samar (samar-samar, misterius),” tulis Holt dalam Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Istilah ini dinisbatkan lantaran konsep Semar yang kompleks. Seperti ungkapan yang sohor di kalangan dalang, “ora lanang ora wadon, ora nangis ora ngguyu, dudu dewa dudu manungsa, papan ora dunung, ora adoh ora cedhak, nanging mesti ana” (bukan lelaki bukan perempuan, tak menangis maupun tertawa, bukan dewa bukan manusia, tidak jauh tidak dekat, tapi harus ada).
Bintang Kelir
Masyarakat Jawa tak puas hanya menempatkan Semar dalam tataran konsep. Maka mewujudlah Semar dalam bentuk visual. Darmoko, staf pengajar Program Studi Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang juga seorang dalang, mengatakan itu sebagai sebuah bentuk pengembaraan imajinasi, “agar yang ada di dalam alam pikiran itu diwujudkan dalam bentuk nyata.”
Semar menemukan wujudnya dalam wayang kulit pada abad ke-15. Sebelumnya, ia hanya tersua dalam cerita Sudamala (abad ke-14). “Memang, dalam cerita itu nama Semar sudah disebut. Tapi apa peran dan fungsinya tak disebut jelas,” kata Edy Sedyawati, guru besar Arkeologi Universitas Indonesia. Tapi Sumukti memperkirakan Semar mewujud lebih awal dalam relief-relief Candi Jago di Jawa Timur pada abad ke-10.
Meski terdapat silang pendapat, banyak yang bersepakat bahwa melalui wayang, Semar mulai dikenal luas. Memasuki masa Islam, para wali bukan saja mengenalkan panakawan dalam wayang, namun juga menggunakan Semar untuk menyebarkan agama Islam. Ketika mengunjungi Keraton Mangkunegara, Sultan Mangkunegara VIII menunjukkan kepada Lee Khoon Choy, seorang wartawan Singapura yang sempat jadi duta besar Singapura untuk Indonesia, beberapa kayu ukir tua bergambar Semar yang bertuliskan huruf Arab.
Bentuk Semar jauh dari ideal. Jelek. Tapi ia memikul tugas berat, sebagai pamong, pengemong wahyu (anugerah Tuhan).
Dalam wayang, bentuk Semar dibuat sedemikian rupa agar konsep Semar dapat ditangkap penonton wayang. “Bentuk Semar jauh dari ideal. Jelek. Tapi ia memikul tugas berat, sebagai pamong, pengemong wahyu (anugerah Tuhan),” kata Darmoko.
Sementara wahyu diberikan kepada pribadi ideal atau kesatria seperti Pandawa. Mereka menggunakannya untuk tujuan tertentu seperti menentramkan keadaan dunia. Namun wahyu tak selamanya berada dalam posisi stabil. Ia bisa goncang saat dirongrong ambisi keduniawian, kepentingan diri sendiri, dan pengabaian terhadap rakyat banyak. Dalam pergelaran wayang kulit, kegoncangan ini disebut gara-gara. Di sinilah fungsi Semar sebagai pengemong.
“Dengan kekuatan adikodratinya, ia berusaha menenangkan kegoncangan itu, memberikan saran kebijaksanaan terbaik kepada Pandawa. Tanpa ia, Pandawa sulit meraih kemenangan di Padang Kurusetra,” kata Darmoko.
Setelah gara-gara berangsur sirna, Semar bersama anak-anaknya tampil sebagai pelipur lara dengan humor-humornya. “Dalam situasi duka setelah gara-gara, kehadiran Semar tetap diperlukan, memulihkan keadaan bersama Pandawa agar penduduk bumi tenteram,” tambah Darmoko.
Selama ratusan tahun dalang memainkan Semar dengan peran demikian. Dan sejatinya, dalam pertunjukan wayang, dalanglah yang menentukan keberpihakan Semar.
Ria Jenaka hingga Lakon Pesanan
Di tangan dalang, Semar hidup melampaui zaman. Ia dengan mudah berbicara kondisi masyarakat di masa apapun. Ia bisa mengkritik tanpa ampun meski ia sendiri tak antikritik. Bahkan kentutnya dianggap kritik yang penuh kebijaksanaan. “Ia populer di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Bali ia dikenal dengan Twalan. Penyebutannya beda, tapi perannya tetap sama. Tergantung bagaimana kearifan lokal mengolahnya,” kata Darmoko.
Hingga Nusantara berubah menjadi Indonesia, Semar bertahan. Masyarakat Jawa masih menganggapnya sebagai tokoh pewayangan yang paling dinantikan kemunculannya. Tak heran Semar menjadi sarana ampuh penyebar gagasan dan peluang ini ditangkap para penguasa, termasuk pemerintahan Soeharto. Sejak menerima Surat Perintah 11 Maret, kemudian disingkat Supersemar, yang ditafsirkan oleh Soeharto sebagai transfer kekuasaan dari Sukarno, Soeharto kerap diidentifikasikan dengan Semar. Bahkan, konon, ia sering bersemdi di Gua Semar di kawasan Dieng sebelum menjadi presiden.
Begitu jadi presiden, secara berkala, Soeharto menggunakan wayang untuk melegitimasi kekuasaannya dan menjelaskan tujuannya. Pada April 1969, misalnya, dalam peresmian pertama Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), presiden mengundang para dalang dari seluruh Nusantara ke Istana Presiden. “Di sana ia mendorong mereka untuk membantu dalam proses pembangunan nasional dengan menyebarluaskan tujuan dan prioritasnya,” tulis Donald K. Emmerson dalam Indonesia Beyond Soeharto.
Tak berhenti di sini. Melalui radio, pertunjukan wayang diperdengarkan dengan dibalut pesan-pesan Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila (P4). Pemerintah kemudian memperluas penyebarannya melalui acara Ria Jenaka, tayang perdana di TVRI pertengahan April 1981. Digagas Subrata, direktur TVRI, acara itu menyampaikan program pemerintah seperti Keluarga Berencana, Transmigrasi, dan P4 melalui tingkah polah panakawan.
Acara itu tayang tiap hari Minggu pukul 11.15. Tak seperti dalam cerita wayang, di TV mereka tak punya tuan. Tokoh panakawan masing-masing diperankan Ateng, bintang film (Bagong); Sampan Hismanto, penari (Semar); Slamet Harto, pelawak (Gareng); dan Iskak, bintang film (Petruk). Acara itu berjalan hingga 1990-an.
Begitu jadi presiden, secara berkala, Soeharto menggunakan wayang untuk melegitimasi kekuasaannya dan menjelaskan tujuannya.
Peran Semar, dalam Ria Jenaka, menjadi tereduksi; lebih dinisbatkan kepada presiden ketimbang representasi rakyat. “Kita tak lagi melihat Semar yang subversif,” tulis sastrawan Goenawan Mohamad dalam catatan pinggirnya.
Semar juga muncul dalam pementasan wayang kulit dengan lakon Semar Mbabar Jati Diri dan wayang golek dengan lakon Sang Hyang Wiragajati. Ini merupakan gagasan Presiden Soeharto yang disampaikan kepada para dalang anggota Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) dan Sekretariat Nasional Perwayangan Indonesia (Senawangi) di Istana Merdeka pada Januari 1995. Alasannya, karena sudah banyak warga Indonesia yang meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Menindaklanjuti usulan tersebut, beberapa dalang pun berembuk dan membentuk Tim 8. Tim inilah yang mengubah dan memutuskan lakon wayang itu.
Lakon tersebut menceritakan kondisi negara Yawastina/Astina yang morat-marit setelah berakhirnya Perang Baratayuda. Prabu Parikesit meminta petunjuk Semar. Semar bersabda bahwa kondisi buruk Yawastina disebabkan para pemimpinnya meninggalkan lima ajaran luhur: lupa kepada Tuhan, tidak berperikemanusiaan, tidak mencintai negara dan persatuan, sewenang-wenang dan antikerakyatan, serta tidak adil.
Selang tiga tahun kemudian, Soeharto jatuh. Lakon Semar ala Orde Baru dalam wayang menghilang. Ria Jenaka tak luput dari goncangan dan berhenti tayang. Bagi Edy Sedyawati, acara itu tak lebih dari sekadar hiburan. Tak ada dialog filosofis yang menggugah. “Saya kira itu hanya acara hiburan. Tak seperti pementasan wayang yang penuh kandungan filosofis,” kata Edy.*