Menangkap Masa Lalu Tuyul

Jenisnya beragam, tetapi perkerjaannya sama: mencuri uang atau padi. Makhluk halus berwujud anak kecil ini memberikan kekayaan kepada pemiliknya.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Menangkap Masa Lalu TuyulMenangkap Masa Lalu Tuyul
cover caption
Poster film Tuyul (1978). (Koleksi Christopher Woodrich/Flickr Indonesian Film Poster Archive).

KETIKA melakukan penelitian di Mojokuto, nama samaran untuk Pare, Jawa Timur pada 1952–1954, antropolog Clifford Geertz mendapat uraian sistematis mengenai makhluk halus di Jawa. Seorang tukang kayu muda mengatakan ada tiga jenis pokok makhluk halus: memedi, lelembut, dan tuyul. Dia menunjuk dua anak kecil berumur tiga tahun yang sedang berdiri mendengarkan percakapan mereka.

“Tuyul menyerupai anak-anak ini, hanya mereka bukan manusia tetapi anak-anak makhluk halus. Mereka tidak mengganggu, menakut-nakuti atau membuat orang sakit; sebaliknya mereka sangat disenangi oleh manusia karena membuatnya jadi kaya,” katanya kepada Geertz dalam Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa.

Kala itu, menurut Geertz, warga Mojokuto meyakini ada tiga orang yang memiliki tuyul: seorang jagal, perempuan pedagang tekstil, dan seorang haji. Mereka mendapatkannya setelah mengunjungi sisa-sisa candi Hindu seperti Borobudur, Penataran, dan Bongkeng serta makam Sunan Giri. Di tempat ini mereka membuat perjanjian: jika makhluk di situ memberikan tuyul, mereka akan mempersembahkan korban manusia setiap tahun, baik keluarga atau teman.

Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong, bagi masyarakat Jawa, kekayaan yang didapat melalui pakta dengan setan tidak memiliki legitimasi. Orang kaya itu pun kehilangan statusnya sebagai anggota masyarakat. Ia dianggap bukan lagi Jawa.

KETIKA melakukan penelitian di Mojokuto, nama samaran untuk Pare, Jawa Timur pada 1952–1954, antropolog Clifford Geertz mendapat uraian sistematis mengenai makhluk halus di Jawa. Seorang tukang kayu muda mengatakan ada tiga jenis pokok makhluk halus: memedi, lelembut, dan tuyul. Dia menunjuk dua anak kecil berumur tiga tahun yang sedang berdiri mendengarkan percakapan mereka.

“Tuyul menyerupai anak-anak ini, hanya mereka bukan manusia tetapi anak-anak makhluk halus. Mereka tidak mengganggu, menakut-nakuti atau membuat orang sakit; sebaliknya mereka sangat disenangi oleh manusia karena membuatnya jadi kaya,” katanya kepada Geertz dalam Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa.

Kala itu, menurut Geertz, warga Mojokuto meyakini ada tiga orang yang memiliki tuyul: seorang jagal, perempuan pedagang tekstil, dan seorang haji. Mereka mendapatkannya setelah mengunjungi sisa-sisa candi Hindu seperti Borobudur, Penataran, dan Bongkeng serta makam Sunan Giri. Di tempat ini mereka membuat perjanjian: jika makhluk di situ memberikan tuyul, mereka akan mempersembahkan korban manusia setiap tahun, baik keluarga atau teman.

Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong, bagi masyarakat Jawa, kekayaan yang didapat melalui pakta dengan setan tidak memiliki legitimasi. Orang kaya itu pun kehilangan statusnya sebagai anggota masyarakat. Ia dianggap bukan lagi Jawa.

Clifford Geertz. (Wikimedia Commons).

Pendahulu Tuyul

Sejarawan Peter Boomgard menyebut Clifford Geertz sebagai penemu tuyul. “Sejauh yang saya temukan, dialah sarjana pertama yang memberikan gambaran panjang dan terinci tentang tuyul; kegiatannya, kalangan orang yang memilikinya, dan cara mendapatkannya,” tulis Boomgard dalam “Kekayaan-kekayaan Haram,” termuat dalam Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai Tantangan Baru suntingan J. Thomas Lindblad.

Meski demikian, lanjut Boomgard, tuyul telah disinggung secara sekilas oleh G.W.J. Drewes dalam “Verboden rijkdom: Een bijdrage tot de kennis van het voolksgeloof op Java en Madoera,” dimuat Djawa 9 tahun 1929. Tuyul mungkin belum diketahui sebelum tahun 1929, tetapi tidak demikian dengan hantu penghasil uang.

“Setan gundul atau gundul saja adalah contoh yang baik. Saya menemukannya disebut-sebut pertama kali dalam sebuah sumber bertahun 1860,” tulis Boomgard. Sumber tersebut adalah S.E. Harthoorn, “De zending op Java en meer bepaald die van Malang,” dalam Madedelingen van het Nederlandsch Zendelingen Genootschap 4 (1860).

Gambaran mengenai gundul itu sendiri muncul pada 1894 dalam De Javaansche geestenwereld karangan Van Hien. Penampilan gundul seperti seorang bocah berumur empat atau lima tahun dengan kepala gundul seperti umumnya anak Jawa. Ia pemberi kekayaan.  

Gundul dapat dikontrak selama satu periode (tujuh tahun). Sesudah itu pemiliknya akan menyerahkan diri untuk disiksa di neraka. Saat mengerikan itu dapat ditunda hingga dua periode, jika sang pemilik mengorbankan orang lain sebagai penggantinya.  

Jika sang pemilik setuju, dengan keuntungan yang tidak terlalu banyak, yang dibutuhkan hanyalah seekor kerbau sebagai korban. Namun, gundul harus diberi makanan kacang hijau setiap hari dan jika pemiliknya perempuan atau istrinya mempunyai bayi, gundul harus diteteki secara teratur.

“Jelas, ada persamaan antara gundul dan tuyul. Gundul hilang begitu saja pada 1930-an dan 1940-an. Inilah saatnya tuyul memulai kariernya,” tulis Boomgard. “Kelihatannya masuk akal untuk menganggap tuyul menggantikan gundul, mengingat karakteristik mereka sangat mirip.”

Sejarawan Ong Hok Ham (kanan) sebagai pembicara dalam seminar Alam Non Fisik yang diselenggarakan Yayasan Parapsikologi Semestadi Balai Wartawan, Semarang, 24-25 Oktober 1986. (Repro Warta Parapsikologi, No. 4 tahun III 1986).

Pencuri Padi

Menurut Geertz, jika di kota-kota tuyul mencuri uang pedagang-pedagang perempuan di pasar kecil, di desa-desa mereka mencuri padi. Salah satu jenis pencuri padi yang umum dikenal disebut gebleg. Ia berbentuk seekor ayam, yang suka menghentakkan kakinya kuat-kuat kala berjalan (sehingga berbunyi bleg-bleg). Ia menjejalkan padi di bawah sayapnya, kembali ke pemiliknya, mengibaskan sayap, dan padi pun berjatuhan di lumbung pemiliknya.  

Jenis lain pencuri padi adalah mentek yang tinggal di sawah. Seperti tuyul, ia berwujud anak-anak telanjang. Ada yang mengatakan ia saudara sepupu tuyul. “Misalkan,” kata tukang kayu itu kepada Geertz, “Anda dan saya memiliki sawah. Saya mempunyai mentek yang saya peroleh setelah berpuasa dan bersemadi. Saya menyuruh mereka menyerap butir-butir padi Anda dan memindahkannya ke dalam padi saya. Ketika panen tiba, butiran padi Anda kosong sedang kepunyaan saya penuh berisi, dua kali lebih gemuk.”

Boomgard mengaitkan keberadaan mentek dengan hama yang menyerang tanaman petani. Menurutnya, di kangan ahli pertanian, ama mentek merupakan penyakit padi yang penyebabnya belum bisa ditentukan secara memuaskan. Sepanjang yang dia temukan, usaha ilmiah untuk menentukan asal-usul ama mentek dimulai sejak 1859. Apakah periode Depresi Ekonomi dan perang mengubah makhluk perusak tanaman itu menjadi pencuri padi? “Kelihatannya ini merupakan penjelasan yang masuk akal, tetapi sejarah mentek itu sendiri mungkin lebih rumit,” kata Boomgard.

Tidak hanya di Jawa. Orang-orang di Galelarese, Halmahera, Maluku, mempercayai makhluk halus-kecil pencuri padi. Sarjana Belanda menyebutnya kabouter yang dapat diterjemahkan sebagai orang kerdil atau hantu kecil. Orang Galelarese memberikan persembahan kepada mereka demi mendapatkan segudang padi. “Kedengarannya ini seperti mentek yang digambarkan oleh Geertz,” kata Boomgard.

Film Tuyul (1978). (Koleksi Christopher Woodrich/Flickr Indonesian Film Poster Archive).

Orang Jawa juga mengenal hantu kecil lainnya, yaitu kurcaca (jantan) dan kurcaci (betina). Boomgard menemukan makhluk ini disebut kali pertama pada 1872, dengan gambaran sebagai anak kecil yang mati muda. Mereka mempunyai topi putih, dan jika seseorang dapat memegangnya, dia akan beruntung karena si kurcaci akan memberikan apa saja yang dimintanya. Mereka menghilang pada 1930-an.  

Makhluk lain pemberi kekayaan adalah kecit. Ia digambarkan sebagai “boneka kecil dalam bentuk manusia” dan “setan dalam bentuk seorang anak.” Drewes menggambarkannya sebagai “seekor jangkrik yang masih ada hubungannya dengan anak kecil: untuk bisa menjadi jangkrik, orang harus mempunyai mayat atau kafan anak kecil.” Uang yang dibelanjakan ahli waris pemilik kecit akan dikembalikan lagi oleh si kecit.

“Di samping rujukan pada jangkrik, kecit tampaknya merupakan variasi lokal dari gundul, dan serupa nasibnya, karena saya tidak menemukan cerita tentang kecit setelah 1929,” tulis Boomgard.

Boomgard menduga hubungan kurcaci sebagai anak-anak yang mati muda dan kecit dengan kematian anak mungkin bisa menjadi petunjuk awal-mula kepercayaan pada semua kategori makhluk kecil ini.

Kepercayaan terhadap hantu kecil atau roh mirip anak kecil yang bisa membuat orang kaya juga ditemukan di kepulauan Indonesia lainnya, seperti Batak Karo, Minahasa, dan Pulau Buru.*

Majalah Historia No. 27 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6677775f47445693e5bf78ac