Mencitrakan Revolusi dengan Lengkap

Bagi IPPHOS, revolusi bukan hanya di medan pertempuran atau meja perundingan. Ada realitas sosial masyarakat yang tak kalah berharga untuk diabadikan dalam bentuk foto.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Mencitrakan Revolusi dengan LengkapMencitrakan Revolusi dengan Lengkap
cover caption
Para pendiri IPPHOS, 1950. Kiri-kanan: Frans “Nyong” Umbas, Alex Mendur, Justus Umbas, dan Alex Mamusung. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

MASIH pukul lima pagi. Beberapa orang dilanda kecemasan sekaligus antusiasme yang luar biasa. Ada desas-desus Bung Karno akan membacakan suatu proklamasi. Dan Jepang sudah mengendusnya. 

Frans Mendur, berbekal kamera Leica dan satu rol film yang ia “pinjam” dari kantor Djawa Shimbun Sha, bergegas menuju kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat (kini, Jalan Proklamasi). Di tempat lain, kakaknya, Alex Mendur, juga bergegas ke tempat yang sama. Mendur Bersaudara tak ingin melepas kesempatan untuk mengabadikan momen bersejarah tersebut. Mereka berhasil. Detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia terekam dalam foto dan menjadi bukti peristiwa bersejarah itu. 

Namun hasrat untuk menyebarkan foto-foto itu di koran-koran nasionalis terhambat. Tentara Jepang berusaha mendapatkan negatif foto tersebut. Frans menanamnya di bawah pohon di halaman kantor harian Asia Raya. Sementara hasil bidikan Alex dirampas dan dihancurkan tentara Jepang. Alhasil, hanya foto-foto Frans yang bisa kita saksikan saat ini. Itu pun baru tersiar pada 17 Februari 1946 dalam penerbitan khusus “Nomor Peringatan Enam Bulan Republik” yang diterbitkan harian Merdeka.

MASIH pukul lima pagi. Beberapa orang dilanda kecemasan sekaligus antusiasme yang luar biasa. Ada desas-desus Bung Karno akan membacakan suatu proklamasi. Dan Jepang sudah mengendusnya. 

Frans Mendur, berbekal kamera Leica dan satu rol film yang ia “pinjam” dari kantor Djawa Shimbun Sha, bergegas menuju kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat (kini, Jalan Proklamasi). Di tempat lain, kakaknya, Alex Mendur, juga bergegas ke tempat yang sama. Mendur Bersaudara tak ingin melepas kesempatan untuk mengabadikan momen bersejarah tersebut. Mereka berhasil. Detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia terekam dalam foto dan menjadi bukti peristiwa bersejarah itu. 

Namun hasrat untuk menyebarkan foto-foto itu di koran-koran nasionalis terhambat. Tentara Jepang berusaha mendapatkan negatif foto tersebut. Frans menanamnya di bawah pohon di halaman kantor harian Asia Raya. Sementara hasil bidikan Alex dirampas dan dihancurkan tentara Jepang. Alhasil, hanya foto-foto Frans yang bisa kita saksikan saat ini. Itu pun baru tersiar pada 17 Februari 1946 dalam penerbitan khusus “Nomor Peringatan Enam Bulan Republik” yang diterbitkan harian Merdeka

Perbaikan jalan, September atau Oktober 1947. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

Bulan-bulan setelah proklamasi merupakan tantangan bagi dua bersaudara ini. Dengan lensa kamera sebagai senjata perjuangan, Mendur Bersaudara membela Republik dengan cara mereka sendiri: mendirikan kantor berita foto yang profesional dan independen. 

“Beberapa wartawan asing yang membutuhkan foto-foto menyebut mereka (kantor berita milik Mendur bersaudara) sebagai Indonesia Press Photo,” ujar Yudhi Soerjoatmodjo, mantan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara yang menyusun dan menulis buku IPPHOS: Remastered Edition, kepada Historia. “Dari situlah mereka kembangkan namanya menjadi Indonesian Press Photo Service (IPPHOS).” 

Pekerja di bengkel pesawat KLM di Kemayoran, Jakarta, 10 Januari 1949. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

Selain Frans dan Alex Mendur, IPPHOS diprakarsai kakak-beradik Justus K. Umbas dan Frans “Nyong” Umbas, Alex Mamusung, serta Oscar Ganda. Peresmian IPPHOS, yang dihadiri banyak wartawan, dihelat pada 1 Oktober 1946, kendati secara legal diakui sehari kemudian. 

IPPHOS berkantor di Jalan Molenvliet Oost No. 30, Jakarta Pusat (kini, Jalan Hayam Wuruk). Ia bukan hanya kantor berita foto nasional pertama tapi juga wadah menampung idealisme, profesionalisme, dan semangat kemerdekaan. 

Foto-foto proklamasi kemerdekaan hanyalah sebagian kecil dari peran Mendur Bersaudara, dan juga IPPHOS, dalam mengabadikan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Foto mereka abadi, tapi IPPHOS sendiri mati. Ia sempat mencoba bertahan di kawasan Kampung Melayu, menempati ruang kantor yang sempit, pengap, lembap, dan kerap terendam banjir. Pada 2004, koleksi penting IPPHOS dikelola kantor berita Antara

Perploncoan mahasiswa baru Universitas Indonesia, April 1949. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

Mendur Bersaudara

Alexius “Impurung” Mendur adalah anak pertama dari keluarga Agustus Mendur dan Ariantje Mononimbar. Dia lahir di Kawangkoan, Manado, pada 7 November 1907. Di Batavia, pada usia 15 tahun, dia belajar fotografi dari Anton Najoan, fotografer Java Bode yang juga orang Minahasa. Setelah itu Alex menjadi juru potret di studio kenamaan Luyks and Charls & van Es & Co. hingga suratkabar Java Bode dan majalah Wereld Nieuws en Sport in Beld pada 1930-an. 

Frans “Soemarto” Mendur lahir pada 16 April 1913. Pada usia muda, dia meninggalkan kampung halaman menuju Surabaya. Dia lalu pergi ke Batavia dan bertemu dengan kakaknya. Setelah belajar fotografi dari sang kakak, Frans menjadi wartawan Java Bode

Pagelaran busana di Hotel des Indes, Jakarta, 3 Februari 1949. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

Di masa pendudukan Jepang, Alex dan Frans menjadi pewarta foto kantor berita Domei, Asia Raya, dan Djawa Shimbun Sha. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Frans ikut mendirikan harian Merdeka. Alex ikut bergabung. Mereka kemudian memilih keluar dari Merdeka dan mendirikan IPPHOS. 

Saat ibukota pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946 karena alasan keamanan, Frans ikut hijrah bersama kawan-kawan juru foto dari Antara dan Badan Film Indonesia (BFI). Alex tetap bertahan di Jakarta. Karena itulah, ketika IPPHOS lahir pada Oktober 1946, mereka meresmikan dua biro foto sekaligus di Jakarta dan Yogyakarta. 

Pekan Olahraga Nasional I di Solo, 9 September 1948. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

IPPHOS mengabadikan kehidupan masa revolusi. Dari peperangan hingga diplomasi. Sebuah dokumentasi otentik untuk menyelami perjalanan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang kemudian mengisi buku-buku sejarah. Namun, sayangnya, justru itulah yang membuat wajah revolusi Indonesia terasa kurang lengkap. Aktivitas keseharian dan keadaan sosial masyarakat, yang juga diabadikan para pewarta foto IPPHOS, selama ini luput dalam panggung sejarah visual di Indonesia. 

“Para sejarawan kita masih cenderung mengambil foto-foto IPPHOS yang mainstream apabila menulis tentang sejarah Indonesia masa revolusi. Paling wajah tentara, pemimpin, negosiator, orang Belanda yang digambarkan buruk rupa, atau orang Tionghoa yang selalu jadi korban dan dipecundangi. Mereka tidak menggali lebih dalam foto-foto IPPHOS lainnya,” ujar Yudhi. “Kesannya sejarah revolusi kita ya begitu-begitu saja.” 

Kecelakaan trem menabrak truk di Harmonie, Jakarta, 18 Maret 1949. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

Wajah Lain Revolusi 

Dalam pembukaan pameran sekaligus peluncuran buku IPPHOS: Remastered Edition di Galeri Foto Jurnalistik Antara pada awal Desember 2013, sekitar 200 foto IPPHOS yang belum dipublikasikan diperlihatkan kepada publik. Foto-foto hasil juru potret IPPHOS bukan hanya menangkap kerasnya masa revolusi tapi juga realitas sosial masyarakat. 

Revolusi tidak serta-merta mengubah kehidupan masyarakat, terutama kalangan kaum pekerja. Mereka berkegiatan seperti biasa. Contohnya kegiatan berladang para buruh tani di Tegal, Jawa Tengah, dan Jakarta. Di Kudus, kegiatan pengolahan gula di pabrik gula Rendeng masih berjalan. Bahkan di bengkel pesawat milik perusahaan penerbangan Belanda, Koninklijke Luchvaart Maatschappij (KLM) di Jakarta, para pekerja tetap melakukan reparasi, kendati tahu bahwa majikan mereka sudah menjadi kelompok yang dimusuhi. 

Pekerja koperasi penggilingan Sumberhardjo di pabrik gula Rendeng, Kudus, Jawa Tengah, 20 Juni 1948. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

Di Yogyakarta, “kota perjuangan”, foto-foto bidikan IPPHOS lekat dengan suasana revolusioner. Namun, di balik itu, terselip ekspresi dan aktivitas keseharian masyarakat. Misalnya, antusiasme warga Yogyakarta saat menyaksikan demonstrasi pesawat terbang dan terjun payung di Lapangan Udara Maguwo pada 20 Maret 1947. Ketika Komisi Konsuler, kerap dikenal dengan Komisi Enam Negara, yang dibentuk Dewan Keamanan PBB untuk mengawasi gencatan senjata pasca-Agresi Militer Belanda I akan berkunjung ke Yogyakarta, warga bergotong-royong memperbaiki jalan. 

Di Jakarta, para juru potret IPPHOS tidak kalah sibuk. Di kota yang diduduki Belanda ini, para juru foto IPPHOS berbaur bukan hanya dengan kaum revolusioner tetapi juga orang Belanda dan wartawan asing. Bahkan mereka mendapat akses eksklusif untuk memotret perundingan-perundingan. 

Syuting film Anggerek Bulan di Studio Film Polonia, Bidara Cina, Jakarta Timur, April 1949. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

“Di Jakarta khususnya, IPPHOS juga menerima permintaan untuk memotret tentara Inggris, bahkan sampai pesta perkawinan orang-orang Belanda. Ini kemudian dituduh oleh teman-teman mereka di Yogyakarta (Antara dan BFI), bahwa IPPHOS bermuka dua, tidak sepenuhnya revolusioner,” ujar Yudhi. 

Ini menunjukkan bahwa IPPHOS, sekalipun berpihak pada Republik, tapi tak menanggalkan profesionalismenya sebagai kantor berita. 

Polisi Hindia Belanda menggerebek pekerja seks komersial di Jakarta, 19 Februari 1949. (IPPHOS/Arsip Antara/Koleksi Yudhi Soerjoatmodjo).

Juru potret IPPHOS memotret keceriaan orang-orang Indo Belanda, kecelakaan antara truk dan trem, pembuatan film Anggerek Bulan, gaya hidup sosialita yang kembali muncul, hingga “ritual” perploncoan mahasiswa baru di Universitas Indonesia. Sisi gelap Jakarta juga tertangkap kamera: razia para pemadat dan pekerja seks komersial. 

Foto-foto yang dihasilkan IPPHOS amat berharga karena memberi gambaran tentang masa revolusi dengan lebih lengkap. “Adanya pengulangan pemuatan foto-foto IPPHOS untuk menjelaskan narasi besar yang sama, itu artinya kita masih miskin dalam mengeksplorasi sejarah, yang berarti juga memiskinkan pengorbanan para juru foto masa revolusi,” ujar Yudhi. “Sudah saatnya kita memahami kepahlawanan IPPHOS dengan cara membaca lebih jauh foto-fotonya dengan dua mata terbuka”.*

Majalah Historia No. 17 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65671884524d1af99c93d7ab
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID