Mendekat kepada Habib

Di samping mengajarkan agama, para habib juga berurusan dengan politik dan kekuasaan.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Mendekat kepada HabibMendekat kepada Habib
cover caption
Habib Usman bin Yahya. (KITLV).

HARI masih pagi ketika Habib Ali bin Abdurahman al-Habsyi (1870–1968), lebih dikenal sebagai Habib Ali Kwitang, membuka tokonya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menjelang zuhur, dia menutup toko. Lalu dia keliling kampung untuk menjual barang dagangannya sambil berdakwah.

Habib Ali Kwitang merajut hubungan dengan kiai dan pemuka masyarakat. Di rumahnya di Kwitang, dia mengadakan pengajian mingguan. Dia juga rutin menghelat acara maulid, perayaan ulang tahun Nabi Muhammad Saw. Dalam mengelola pengajiannya, dia kemudian dibantu Habib Salim bin Jindan dan Habib Ali Alatas.

Di masa pendudukan Jepang, Habib Ali Kwitang menjalin hubungan dengan pemimpin nasionalis dan Jepang. Sementara Habib Salim Jindan memilih jalan berlawanan sehingga dipenjara karena menolak melakukan seikeirei, menghormati Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah matahari terbit.

HARI masih pagi ketika Habib Ali bin Abdurahman al-Habsyi (1870–1968), lebih dikenal sebagai Habib Ali Kwitang, membuka tokonya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menjelang zuhur, dia menutup toko. Lalu dia keliling kampung untuk menjual barang dagangannya sambil berdakwah.

Habib Ali Kwitang merajut hubungan dengan kiai dan pemuka masyarakat. Di rumahnya di Kwitang, dia mengadakan pengajian mingguan. Dia juga rutin menghelat acara maulid, perayaan ulang tahun Nabi Muhammad Saw. Dalam mengelola pengajiannya, dia kemudian dibantu Habib Salim bin Jindan dan Habib Ali Alatas.

Di masa pendudukan Jepang, Habib Ali Kwitang menjalin hubungan dengan pemimpin nasionalis dan Jepang. Sementara Habib Salim Jindan memilih jalan berlawanan sehingga dipenjara karena menolak melakukan seikeirei, menghormati Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah matahari terbit.

Era berganti, keduanya tetap tokoh yang disegani di kalangan elite politik maupun agama. Sukarno, misalnya, pernah berguru kepada Habib Salim bin Jindan mengenai agama Islam. Namun, itu bukan berarti dia tak berani mengkritik Sukarno. “Pada 1957 Ibnu Jindan menjadi pengkritik kuat Nasakom Sukarno, yang berpuncak pada sikap antikomunis,” tulis Ismail Fajrie Alatas dalam “Becoming Indonesians: The Ba’Alawi in the Interstices of the Nation”, termuat di Die Welt des Islams, Vol. 51, tahun 2011.

Habib Ali Kwitang meninggal dunia pada 1968, sementara Habib Salim Jindan kurang dari setahun kemudian. Muhammad al-Habsyi menjadi penerus ayahnya.

Habib Ali bin Abdurahman al-Habsyi di zaman pendudukan Jepang, Jakarta, 1943. (Inset): Haji Muhammad Abdul Muniam Inada di depan mimbar menguraikan cita-cita pemerintah Jepang yang terkait Islam. (Istimewa).

Habib dan Politik

Beberapa bulan sebelum Pemilu 1971, Muhammad al-Habsyi dan Novel, anak Habib Salim Jindan, menyatakan bergabung dengan Golkar. Muncul protes dari para kiai yang mayoritas pendukung Nahdlatul Ulama. Merasa tertekan, Habib Ali Alatas meninggalkan Kwitang dan tak pernah kembali. Para kiai memisahkan diri dari Kwitang.

Muhammad al-Habsyi dan Novel memainkan peran penting dalam kampanye Golkar. Dengan menggunakan otoritas keagamaan, mereka menggalang massa untuk mendukung Golkar. Golkar juga mendapat sokongan dari organisasi sayapnya, Satuan Karya Ulama Indonesia, yang juga beranggotakan para habib.

Golkar menang pemilu. Sebagai imbalan, Muhammad al-Habsyi mendapat bantuan dana untuk merenovasi dan memperluas majelis taklim Kwitang. Presiden Soeharto meresmikan dan menamainya Islamic Center Indonesia. Kedekatan hubungan itu berlangsung hingga Muhammad al-Habsyi meninggal pada 1992.

Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Habsyi, anak Muhammad al-Habsyi, melanjutkannya dengan jadi penasihat spiritual keluarga Cendana. Menantunya, Habib Ali Baagil, dekat dengan para ulama dan pejabat militer.

Habib Abdul Rahman bin Muhammad az-Zahir. (De indische Gids/Wikimedia Commons).

Pendukung Belanda

Bukan hal baru habib berkelindan dengan politik dan kekuasaan. Salah satu guru Habib Ali Kwitang, yakni Habib Usman bin Yahya (1822–1914), menjadi honorair adviseur (penasihat kehormatan) pemerintah kolonial Belanda. Dia dekat dengan penasihat pemerintah seperti C. Snouck Hurgronje, K.F. Holle, dan L.W.C. van den Berg. Dia juga menentang gerakan Pan-Islamisme dan aliran mistis Islam karenanya menjadi musuh ulama pribumi.

Menurut Nico J.G. Kaptein dalam The Arabs in the Netherlands East Indies and The House of Orange, untuk menunjukkan loyalitasnya, Habib Usman membuat doa berbentuk puisi untuk Ratu Wilhemina ketika naik takhta pada 1898. Bahkan, dia mengeluarkan fatwa berisi anjuran mengucapkan doa ini. Para bupati meneruskan fatwa ini kepada pejabat agama Islam (penghulu).

Kalangan nasionalis memprotes dan menuduh penghulu menggunakan Islam “bukan untuk menghormati Nabi Muhammad, tapi kafir ratu”. Protes juga datang dari orang-orang Arab yang berorientasi Pan-Islamisme.

Jika Habib Usman menjadi penasihat Belanda, Habib Abdul Rahman bin Muhammad az-Zahir justru menjadi hakim agung lalu patih di Kesultanan Aceh. Dia menjadi pemimpin tertinggi dalam Perang Aceh melawan Belanda.  

Menurut L.W.C. van den Berg dalam Orang Arab di Nusantara, sadar bahwa keinginan rakyat Aceh untuk merdeka tak mungkin terwujud, dia mau meninggalkan perang asalkan digaji seumur hidup sebanyak 30.000 gulden. “Tawaran itu diterima oleh pemerintah Belanda dan sejak itu dia menetap di Makkah,” tulis van den Berg.

Lebih dari itu, orang-orang Hadrami berhasil menjadi penguasa: Habib Ali bin Usman bin Syihab (Sultan Siak), Habib Aidrus bin Abdul Rahman al-Aydrus (Sultan Kubu), dan Habib Syarif Abdul Rahman al-Gadri (Sultan Pontianak). Namun, umumnya, para habib menjadi penasihat agama bagi penguasa, peran yang masih berlangsung hingga masa Orde Baru.

Para habib dalam acara Majelis Rasulullah. (majelisrasulullah.org).

Perubahan Politik

Pada 1995, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, pemimpin majelis taklim Al-Affaf di Tebet, Jakarta Selatan, mengkampanyekan gerakan salat subuh berjamaah di masjid-masjid setiap Sabtu dan mendapat dukungan dari Presiden Soeharto.

Pada Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri. B.J. Habibie menggantikannya melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sidang juga memutuskan percepatan pemilu tahun 1999. Sejumlah aktivis dan mahasiswa protes. Untuk menghadapinya, pendukung Habibie membentuk Komite Umat Islam untuk Reformasi Konstitusional (KUIRK). Selain itu, Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto menggalang dukungan dari pemimpin agama, termasuk Habib Ali.

Dukungan juga datang dari beberapa habib dan kiai yang membentuk kelompok paramiliter Front Pembela Islam (FPI), diketuai Habib Rizieq Syihab. Salah satu pendiri FPI, Habib Ali Baagil, menghubungkan militer dengan FPI. Dia pula yang berada di belakang layar pembentukan Forum Muslim Penegak Hukum dan Konstitusi (Furkon), yang diprakarsai Majelis Ulama Indonesia. Furkon lalu membentuk Pengawal Keamanan Sukarela (Pam Swakarsa) untuk mengamankan Sidang Istimewa.

Pemilu jadi dilaksanakan. Namun, kekuasaan Habibie tamat. Pidato pertanggungjawabannya sebagai presiden ditolak. Karenanya dia tak mencalonkan diri lagi sebagai presiden. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih sebagai presiden.

Sejak itu, para habib mundur selangkah dalam politik sembari mencoba menyesuaikan dengan iklim politik. Beberapa bersuara keras terhadap Gus Dur, seperti Habib Ali Baagil dan Habib Husein Al-Habsyi, presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia.

Generasi muda habib mengambil jalan berbeda. Mereka membangun jaringan di kalangan anak muda Jakarta. Ini antara lain dilakukan Habib Hasan Assegaf dan Habib Munzir al-Musawa, masing-masing memimpin majelis taklim Nurul Musthofa dan Majelis Rasulullah.

Berawal dari majelis kecil-kecilan, tetapi dikemas khas anak muda, mereka bisa menarik ribuan anak muda dalam pengajian mingguan maupun lewat dunia maya. Mereka juga mengajak pengikutnya datang ke makam pahlawan maupun para habib seperti Habib Ali Kwitang.

“Dengan begitu,” tulis Ismail Fajrie Alatas, “mereka memulihkan otoritas pendahulunya yang terkena citra buruk karena berpolitik di awal masa reformasi.”*

Majalah Historia No. 15 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
668141618951a5715991753b