Mendulang Suara dari Desa

PNI keluar sebagai pemenang pemilu 1955. Memanfaatkan kepala desa dan daya tarik Sukarno.

OLEH:
Arief Ikhsanudin
.
Mendulang Suara dari DesaMendulang Suara dari Desa
cover caption
Massa pendukung dalam kampanye PNI. (Perpusnas RI).

ALI Sastroamidjojo begitu sibuk. Dia berkeliling daerah untuk berkampanye demi kemenangan PNI; dari Jakarta hingga Bali, dari Sumatra Utara hingga Kalimantan. Dia berpidato dalam rapat-rapat umum. Dan untuk menarik perhatian massa, PNI menggunakan berbagai macam cara.

Dewan Daerah PNI Jawa Tengah, misalnya, mengorganisasi perkumpulan para dalang. Mereka ditugaskan mengadakan pertunjukan-pertunjukan wayang dengan cerita yang disadur sesuai kepentingan PNI dalam pemilu. Temanya tentulah pahlawan pewayangan, misal Gatutkaca, yang dengan semangat “banteng” (lambang PNI) selalu menang dalam perjuangan membela rakyat kecil.  

“Siasat PNI itu berbeda-beda sesuai dengan adat kebiasaan daerah- daerah,” ujar Ali Sastroamidjojo dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.

ALI Sastroamidjojo begitu sibuk. Dia berkeliling daerah untuk berkampanye demi kemenangan PNI; dari Jakarta hingga Bali, dari Sumatra Utara hingga Kalimantan. Dia berpidato dalam rapat-rapat umum. Dan untuk menarik perhatian massa, PNI menggunakan berbagai macam cara.

Dewan Daerah PNI Jawa Tengah, misalnya, mengorganisasi perkumpulan para dalang. Mereka ditugaskan mengadakan pertunjukan-pertunjukan wayang dengan cerita yang disadur sesuai kepentingan PNI dalam pemilu. Temanya tentulah pahlawan pewayangan, misal Gatutkaca, yang dengan semangat “banteng” (lambang PNI) selalu menang dalam perjuangan membela rakyat kecil.  

“Siasat PNI itu berbeda-beda sesuai dengan adat kebiasaan daerah- daerah,” ujar Ali Sastroamidjojo dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.

Kampanye Ali yang paling luas terdapat di Jawa Timur. Bersama Sidik Djojosukarto, ketua umum PNI, dia berkeliling daerah dan berbicara dalam rapat-rapat umum. Mereka berpisah jalan di Bojonegoro dan berencana bertemu kembali di Surabaya.  

Rencana itu terwujud, tetapi dalam situasi berbeda. Ketika berkampanye di Sidoardjo, Ali mendapat pesan agar segera datang ke Surabaya karena Sidik sakit keras. Sidik akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di Blitar.  

Toh, semangat para kader PNI untuk kemenangan partai tak surut. Dan terbukti PNI keluar sebagai pemenang pemilu dengan perolehan 22,3 persen suara, mengalahkan Masyumi yang digadang-gadang bakal menang pemilu dengan selisih tipis.

Massa pendukung dalam kampanye PNI. (Perpusnas RI).

Persiapan Panjang

Kemenangan PNI adalah buah dari proses persiapan yang cukup panjang. Pada September 1951, DPP PNI membentuk Seksi Pemilihan Umum yang diketuai S. Hadikusumo. Tiga bulan berselang, atas saran dari Seksi Pemilihan Umum, DPP PNI membentuk Panitia Aksi Pemilihan Umum (PAPU) dari tingkat pusat hingga kecamatan.  

Kendati sudah membentuk perangkat untuk pemilu, PNI selalu berupaya mengundurkan pelaksanaan pemilu.  

Pada 7 Oktober 1951, pemerintah melakukan percobaan pemilu. Percobaan itu dilakukan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta. Hasil pemilu menunjukkan Masyumi mendapatkan 18 kursi dari 40, sedangkan PNI hanya empat kursi. Berkaca dari hasil ini, PNI melakukan penolakan ketika Kabinet Natsir dari Masyumi mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum. PNI khawatir Masyumi akan menang pemilu jika dilakukan lebih awal.  

“Pimpinan PNI enggan mengambil risiko bila pemilihan umum diselenggaran lebih awal. Akibatnya, mereka berusaha memperlambat disahkannya undang-undang pemilihan umum,” tulis J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946–1965.  

UU pemilu baru disahkan pada April 1953 saat Wilopo, kader PNI, menjabat perdana menteri. Kendati bekerja dalam kabinet koalisi, PNI memanfaatkan benar kekuasaan di kabinet. Ini amat kentara pada masa Kabinet Ali di mana kementerian-kementerian empuk dikuasai PNI dan dipakai mengisi pundi-pundi partai untuk pemilu.  

Berbagai jabatan strategis juga diberikan kepada kader PNI. Misalnya, Hadikusumo, ketua PAPU, didapuk menjadi ketua Panitia Pemilihan Indonesia. Kendati dalam kerjanya Hadikusumo tidak memihak partainya, hal ini tentu keuntungan tersendiri bagi PNI. Setidaknya PNI memperoleh informasi lebih dulu mengenai peraturan-peraturan yang dirumuskan Panitia Pemilihan.  

PNI juga menempatkan kader atau simpatisan mereka untuk menduduki jabatan-jabatan birokrasi. Enam dari 12 gubernur berasal dari PNI. Selain itu, PNI menghimpun sebagian besar pegawai negeri. “Pengaruh partai menjadi penting pada korps pejabat pemerintahan daerah, terutama untuk menekan pejabat lebih rendah untuk menjadi anggota partai, sekurang-kurangnya bekerja untuk kampanye partai,” tulis Rocamora.  

Dan demi mempengaruhi pemilih, terutama di tingkat desa, PNI memberi kesan sebagai partai pemerintah. Kesan ini terus dipertahankan kendati Ali diganti Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Bahkan, tulis Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, saking pentingnya menjadi partai pemerintah, “pimpinan PNI di daerah menyembunyikan kenyataan bahwa kabinet Ali telah jatuh.”

Iklan kampanye PNI. (Suluh Indonesia, 28 September 1955).

Kepala Desa Ujung Tombak PNI

Kepala Desa Pejaman, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, mencoba memberikan kartu panggilan yang tidak sah kepada tujuh orang. Padahal, tujuh orang tersebut tidak tercantum dalam daftar pemilih. “Kesemuanya ditangkap oleh yang berwajib guna diadili kesalahannya,” tulis harian Indonesia Raya edisi 7 Oktober 1955.

Indonesia Raya memang tak menyebut partai yang didukung kepala desa itu. Namun, publik mafhum bahwa PNI-lah yang memanfaatkan kepala desa demi memenangi pemilu. Ini dilakukan terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Herbert Feith mencontohkan, kepala desa mengatakan bahwa camat akan marah jika PNI tak menjadi mayoritas di desanya atau memberi tahu bawa “Pak Karno” ingin PNI memperoleh sekurang-kurangnya 20 suara di setiap desa.

“Laporan cabang partai tentang kegiatan sebelum pemilihan umum memberikan lebih banyak perhatian pada usaha memperoleh sekurang-kurangnya tiga tokoh utama pada setiap desa agar bekerja untuk partai. Di banyak desa, sasaran utama usaha ini adalah kepala desa, pamong desa, dan guru sekolah,” tulis Rocamora.  

Upaya itu terbukti berhasil. Di Jawa Tengah, PNI memperoleh suara paling banyak: 33,5 persen suara. Sedangkan di Jawa Timur berada di posisi ketiga dengan 22,8 persen setelah Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia.  

Jawa Tengah, di mana kepala desa sebagian besar dari PNI, menjadi pendulang suara terpenting. Di Banyumas, di mana PNI mendapatkan lebih dari 50 persen suara, 15 dari 24 camat dan 146 dari 328 kepala desa merupakan anggota PNI.  

Satu faktor penting lain dari kemenangan PNI adalah kedekatannya secara kultural dengan Sukarno. Tak diragukan lagi nama Sukarno punya daya tarik kuat di masyarakat. Maka, PNI tanpa sungkan mengkampanyekan bahwa Sukarno adalah anggota PNI. Suluh Indonesia edisi 15 September 1955, misalnya, menyebut bahwa Bung Karno sudah pasti memilih tanda gambar PNI. Ajaran Sukarno, marhaenisme, pun menjadi bagian dari kampanye PNI.  

Dengan kemenangan dalam pemilu 1955, PNI bisa berharap kembali memimpin kabinet. Namun, mereka juga sadar, kemenangan itu mengharuskan mereka berkoalisi dengan partai-partai lainnya.  

“Hasil pemilihan umum itu benar memuaskan bagi PNI tetapi tidak bisa dikatakan mengakibatkan stabilitas politik di dalam negeri. Sebab tidak berhasil mengurangi jumlah partai-partai, malahan menambahnya. Selain dari itu tidak ada satu pun partai keluar sebagai pemenang mutlak dari pemilihan umum itu,” ujar Ali Sastroamidjojo.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
668e59e9feca95d80c1cea26