Menegaskan Kawan dan Lawan

Masyumi sadar pentingnya media sebagai senjata politik. Melalui koran dan majalah, Masyumi menyuarakan Islam sekaligus menyerang lawan bebuyutan, PKI.

OLEH:
Fajar Riadi
.
Menegaskan Kawan dan LawanMenegaskan Kawan dan Lawan
cover caption
Redaksi Abadi berfoto bersama setelah selesai rapat pemegang saham surat kabar Abadi. (Repro Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito).

SEMENTARA penyelesaian soal Darul Islam (DI) masih terkatung-katung, Kasman Singodimedjo, wakil ketua umum Masyumi, membuat pernyataan kontroversial. Dia mengatakan pemerintah seharusnya memberi amnesti kepada anggota DI yang tertangkap. Pemberian amnesti ini merupakan satu-satunya jalan untuk memulihkan keamanan.

Kasman mengibaratkan pemerintah dan DI sebagai ayah dan anak. “Betapapun nakalnya anak, yah, kalau diajar tidaklah sampai dipukul mati,” tulis harian Abadi, 19 September 1955. 

Apa yang ditulis koran milik Masyumi itu tak disia-siakan lawan politiknya. Sehari kemudian, Harian Rakyat, corong Partai Komunis Indonesia (PKI), menurunkan tulisan “DI Anaknya, Masyumi Ayahnya” untuk mencibir Masyumi yang terus membela DI sekaligus menunjukkan kesamaan ideologi antara Masyumi dan DI. Pemuatan berita ini juga merupakan serangan balasan atas berita Abadi beberapa hari sebelumnya yang memperingatkan “bahaya kebangkitan pemberontak komunis 1948”. 

SEMENTARA penyelesaian soal Darul Islam (DI) masih terkatung-katung, Kasman Singodimedjo, wakil ketua umum Masyumi, membuat pernyataan kontroversial. Dia mengatakan pemerintah seharusnya memberi amnesti kepada anggota DI yang tertangkap. Pemberian amnesti ini merupakan satu-satunya jalan untuk memulihkan keamanan.

Kasman mengibaratkan pemerintah dan DI sebagai ayah dan anak. “Betapapun nakalnya anak, yah, kalau diajar tidaklah sampai dipukul mati,” tulis harian Abadi, 19 September 1955. 

Apa yang ditulis koran milik Masyumi itu tak disia-siakan lawan politiknya. Sehari kemudian, Harian Rakyat, corong Partai Komunis Indonesia (PKI), menurunkan tulisan “DI Anaknya, Masyumi Ayahnya” untuk mencibir Masyumi yang terus membela DI sekaligus menunjukkan kesamaan ideologi antara Masyumi dan DI. Pemuatan berita ini juga merupakan serangan balasan atas berita Abadi beberapa hari sebelumnya yang memperingatkan “bahaya kebangkitan pemberontak komunis 1948”. 

Selama beberapa minggu, Abadi memang menurunkan tulisan tentang pemberontakan Madiun untuk mengingatkan pembacanya atas apa yang dilakukan PKI di masa lalu. “Jangan memilih PKI yang mau hendaki negara diktator,” tulis Abadi, 22 September 1955. 

Editorial Abadi kerap menyerang PKI. Misalnya Abadi selalu mengisahkan duka kaum muslim
di Soviet dan Tiongkok, dua negara berhaluan komunis. Abadi juga piawai dalam mengambil kesempatan dan memainkan peran sebagai “korban”. Misalnya, pada 22 April 1955, ia melaporkan kejadian sekelompok Pandu Islam di desa Sutomujo, Tuban, berpapasan dengan seorang bocah penjual es yang mengulurkan selembar robekan Al-Qur’an berstempel PKI dan bertuliskan “Masjumi seperti Asu”. 

Entah kejadian itu benar atau tidak, Menurut Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, Abadi “hanya mewartakan keresahan umat Islam setempat akibat peristiwa itu”. 

Saling serang semacam ini bukanlah hal aneh di masa itu. Apalagi menjelang pemilihan umum 1955. Masing-masing partai bukan hanya sibuk berkampanye melalui media partisannya, tetapi juga menyerang partai lain. 

Harian Abadi.

Suara Sayap Natsir

Sejak awal, Masyumi sadar pentingnya media sebagai senjata politik. Dalam istilah Sawarno, awak Hikmah, dalam artikel “Partai Zonder Pers Tidak Ada Artinya” yang dimuat 29 Desember 1951: “Umat zonder partai memakai pers lebih baik dari umat memakai partai zonder pers”. Baginya, pers dapat digunakan untuk “mentorpedier” partai lain dan menaikkan partai tertentu.

Maka, sejak berdirinya, Masyumi memiliki sejumlah surat kabar maupun majalah seperti Al Djihad, Suara Partai Masyumi dan Berita Partai Masyumi (kemudian digabung menjadi Suara Masjumi), Hikmah, dan Abadi. Cabang-cabang partai juga menerbitkan media sendiri seperti Masyumi cabang Cianjur menerbitkan Padalarang, cabang Surakarta punya Medan Pemuda dan Tuntunan. Seluruh media ini menjadi bacaan wajib keluarga Masyumi. Dari semuanya, Hikmah dan Abadi lebih punya pengaruh. 

Majalah Hikmah, Februari 1958.

Majalah mingguan Hikmah mulai terbit pada 1947 dengan pemimpin redaksi Mohammad Natsir. Hikmah umumnya mencerminkan (suara) sayap Natsir di Masyumi. Sejumlah pernyataan dan artikel dari anggota-anggota Persis diterbitkan Hikmah. Misalnya, pernyataan Isa Anshary, tokoh Masyumi yang dikenal radikal, pada 1951 yang menyuarakan pendirian Masyumi soal negara Islam sekaligus menarik garis pembatasan dengan apa yang dilakukan S.M. Kartosoewirjo. 

“Tidak ada seorang muslim pun, bangsa apa dan di mana juga dia berada, yang tidak bercita-cita Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejat moral, iman dan Islam-nya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia,” ujar Anshary. “Yang satu berjuang dalam batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang lain berjuang dengan alat senjata, mendirikan negara dalam negara, itulah Darul Islam.” 

Sambil menyuarakan Islam ala Masyumi, Hikmah juga ajeg mencaci komunis. Saban terbit, sisi-sisi buruk komunisme dikupas dalam rubrik “Lawan dan Kawan”. Komunisme digambarkan sebagai faham anti-Tuhan, sementara penganutnya dilukiskan sebagai orang-orang yang selalu menebar kekerasan. 

Lewat “Lawan dan Kawan” pula Masyumi getol memperingatkan partai-partai lain agar tidak bekerja sama dengan PKI. Ulasan semacam itu terutama ditulis pasca pemilihan umum 1955. “Toleransi dengan orang-orang komunis berarti mengasuh anak macan,” catat rubrik “Lawan dan Kawan” edisi 15 Oktober 1955. Sembari mengingatkan bahwa tingkah polah PKI “berfilsafat asal kuasa”, tulisan itu mengajak partai-partai lain untuk membentuk front nonkomunis demi mencegah PKI berkuasa di pemerintahan dan parlemen. 

Harian Abadi.

Bersaing

Bagi jajaran pimpinan Masyumi, pengaruh Hikmah dan terbitan-terbitan lainnya kurang signifikan. Mereka butuh media yang menjangkau pembaca lebih luas, bukan hanya anggota partai. Keadaan itu membuat para pemimpin Masyumi sadar “perlunya sebuah harian muslim yang merepresentasikan kepentingan Masyumi dalam dunia jurnalisme Indonesia yang membingungkan,” tulis Willard Anderson Hanna, pejabat Kantor Penerangan AS di Jakarta (USIS) dalam surat bertanggal 23 Agustus 1956 berjudul “’Eternal’ at Five and One-Half: The Biography of a Newspaper”. 

Maka terbitlah Abadi pada 2 Januari 1951 dengan slogan “Untuk Agama, Bangsa, dan Negara”. Ia dibentuk sebagai perseroan terbatas dengan saham-sahamnya dimiliki tokoh-tokoh teras Masyumi dan pimpinan staf redaksinya. Nastir meminta sohib yang dikenalnya sejak sebelum kemerdekaan, Suardi Tasrif, untuk memimpin redaksi Abadi

Tasrif, kelahiran Cimahi tahun 1922, pernah menjadi editor kepala Berita Indonesia. Menurut Hanna, Tasrif tak menampilkan diri sebagai penganut Islam yang taat. Namun, di tangan Tasrif, Abadi tampil sebagai koran umum yang mampu bersaing berebut pembaca dengan koran lainnya. Oplahnya mampu menembus angka 34.000 per hari, terbesar keempat di antara koran-koran yang berafilisi dengan partai politik setelah Soeloeh Indonesia (PNI), Pedoman (PSI), dan Harian Rakyat (PKI). 

Selain menampilkan berita-berita politik sehari-hari, Abadi tak segan mendukung kebijakan Masyumi atau menyerang lawan-lawan politiknya. Selama kampanye, berdasarkan hasil survei selama September 1955, Irsjaf Sjarif dan Batara Simatupang menulis bahwa Abadi memberi perhatian besar pada pembentukan masyarakat Islam sekaligus jaminan kebebasan beragama bagi pemeluk lain. Tokoh dan calon-calon Masyumi dimuat secara lengkap. Sementara program, rencana, dan janji-janji Masyumi dimuat secara teratur. 

“Pada umumnya program Masyumi yang dimajukan, ditujukan kepada golongan atau kelompok tertentu, sifatnya agak kabur,” tulis Irsjaf Sjarif dan Batara Simatupang dalam “Pers Indonesia dan Pemilihan Umum”, dimuat Warta & Masa, November 1955. 

Namun, seperti situasi politik masa itu, kehidupan pers juga tak menentukan dan penuh tekanan. Puncaknya, pada 1960 Peraturan Peperti No. 10/1960 mewajibkan semua koran menyetujui dan menandatangani pernyataan 19 pasal mendukung Manipol-USDEK. Pers yang tak patuh harus berhenti terbit. Suardi Tasrif tak bersedia dan memilih menghentikan penerbitan Abadi pada Oktober 1960. Sempat terbit kembali pada 1967, namun kemudian dibredel lagi akibat pemberitaan Peristiwa Malari tahun 1974. 

Sementara Hikmah masih bertahan sedikit lebih lama. Ketika Natsir terlibat dalam PRRI, Nawawi Duski mengambil alih pemimpin redaksi sampai edisi terakhir setelah Masyumi dibubarkan.*

Majalah Historia No. 16 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65bf17ee1392c94df05161ef