SAYA tak pernah berpikir bagaimana Roma menunjukkan kekuatan dan spiritualitasnya melalui air yang mengalir di sejumlah air pancur. Hanya dengan melihat foto-foto di internet saya sudah tersedot oleh daya magisnya. Dan kini saya menginjakkan kaki di Roma, ibukota Italia.
Dari bandara Fiumicino, saya menumpang bis menuju Termini, stasiun sekaligus terminal utama kota Roma. Tak ada kejutan menyergap selama perjalanan. Hanya panorama bangunan dengan batu-batu telanjangnya. Sensasi ganjil muncul saat melintasi reruntuhan Foro Romano (Roman Forum) di malam hari yang disorot lampu kuning. Orkestra Mozart, Beethoven, dan Bach tiba-tiba berebut panggung dalam imajinasi.
Keesokan harinya saya menjelajahi reruntuhan itu. Dari apartemen salah seorang teman tempat saya menumpang, yang terletak di dekat Stasiun Piramide, saya menaiki kereta bawah tanah. Setelah melewati satu stasiun, saya tiba di stasiun tujuan: Colloseo. Begitu keluar stasiun, terlihatlah Foro Romano dan Colosseum.
SAYA tak pernah berpikir bagaimana Roma menunjukkan kekuatan dan spiritualitasnya melalui air yang mengalir di sejumlah air pancur. Hanya dengan melihat foto-foto di internet saya sudah tersedot oleh daya magisnya. Dan kini saya menginjakkan kaki di Roma, ibukota Italia.
Dari bandara Fiumicino, saya menumpang bis menuju Termini, stasiun sekaligus terminal utama kota Roma. Tak ada kejutan menyergap selama perjalanan. Hanya panorama bangunan dengan batu-batu telanjangnya. Sensasi ganjil muncul saat melintasi reruntuhan Foro Romano (Roman Forum) di malam hari yang disorot lampu kuning. Orkestra Mozart, Beethoven, dan Bach tiba-tiba berebut panggung dalam imajinasi.
Keesokan harinya saya menjelajahi reruntuhan itu. Dari apartemen salah seorang teman tempat saya menumpang, yang terletak di dekat Stasiun Piramide, saya menaiki kereta bawah tanah. Setelah melewati satu stasiun, saya tiba di stasiun tujuan: Colloseo. Begitu keluar stasiun, terlihatlah Foro Romano dan Colosseum.
Para turis berkeliaran, beberapa mengambil gambar. Penjaja cenderamata menawarkan dagangan. Pria-pria berkostum gladiator mengiming-iming suasana Roma klasik dengan foto bersama. Suasananya begitu gaduh. Sensasi reruntuhan yang agung semalam, dengan sepi yang menggenang bersama cahaya lampu, lenyap dan berganti memori peperangan dan pemberontakan yang meruntuhkan Kekaisaran Roma.
Reruntuhan Foro Romano terletak di bukit Palatino di mana Romulus berada. Romulus dan Remus (di bukit Aventine) adalah saudara kembar yang dibesarkan serigala. Merekalah yang menurut mitos adalah pendiri Roma.
Sambil menikmati reruntuhan, saya menyambangi Forum of Caesar yang berada di kompleks reruntuhan. Tempat menandai kemenangan Julius Ceasar dalam mengubah sistem pemerintahan republik menjadi kekaisaran pada 49 SM. Julius Caesar adalah diktator yang merebut hati sebagian besar rakyat Roma namun dibenci senatnya sendiri. Kisahnya berakhir dengan tikaman dari seluruh anggota senat dalam sebuah pertemuan. Satu orang satu tikaman.
Di seberang reruntuhan Foro Romano, tak lebih dari sepuluh menit berjalan kaki, berdiri megah Colosseum, tempat pertunjukan terbesar di masanya. Ia dibangun dari kegilaan Kaisar Nero akan seni. Nero ingin membangun kembali seluruh Roma dengan citarasa seni yang abadi setelah kebakaran hebat selama enam hari yang menghanguskan hampir seluruh kota. Itulah kenapa Roma memiliki banyak ruang terbuka (piazza), kuil pemujaan dewa-dewi, dan amphitheater untuk pementasan yang masih membekas hingga kini.
Ada banyak museum di Roma. Tapi seperti yang diimpikan Kaisar Nero, kota Roma sendiri adalah museum yang besar. Di seluruh pelosok dan gang sempit bertebaran karya seni. Patung di pojok-pojok jalan atau cekungan tembok. Pahatan dan lukisan di dinding-dinding rumah. Atau, yang mudah ditemui, air pancur lengkap dengan segar airnya yang siap minum.
Roma memiliki 50 air pancur megah untuk publik yang dinamai mostre dan lebih dari 2.500 air pancur kecil untuk minum yang dinamai fontannele. Dari air pancur itulah, saya menelusuri kejayaan kota Roma.
Bagian dalam Colosseum. (Public domain).
Dari Piazza ke Piazza
Untuk menunjukkan sebuah tempat di Roma, sulit menentukan jalan apa yang harus dilalui. Lebih mudah untuk menunjukan tempat dari piazza ke piazza.
Piazza, dengan kemegahan sekaligus kesederhanaannya yang estetis, tersebar di seluruh penjuru Roma, menyatukan gang-gang sempit yang bisa membuat kita tersasar. Piazza seperti sebuah titik-titik yang menyederhanakan kerumitan sekaligus bak jaring laba-laba yang membuat kita tertahan di sana karena terpesona. Piazza –dengan air pancurnya– juga merupakan jalur yang menandai keberadaan aqueduct, saluran air dengan menggunakan sistem teknologi memindahkan air yang membuat Roma unggul di masanya.
Setiap aqueduct berasal dari mata air dan berujung pada piazza yang berbeda. Ia ibarat selang panjang bercabang yang mengalirkan air segar bagi setiap mostre atau fontanelle, dengan bentuk berbeda dan artistik, yang dilewatinya.
Pada abad ke-3, Roma sudah memiliki sebelas aqueduct. Acqua Appia adalah aqueduct pertama yang dibangun pada 312 SM untuk mengatasi kebutuhan air bersih. Air tanah sudah tercemar. Roma butuh asupan air bersih. Maka, aqueduct berfungsi mengalirkan air ke air pancur publik, pemandian umum, serta rumah bangsawan dan kerajaan. Air-air pancur terletak di setiap piazza, maka tak heran bila piazza sebagai ruang publik menjadi hidup karena masyarakat harus ke tempat itu untuk mengambil air atau mencuci. Sebuah keberhasilan dan juga kegagalan. Karena pada bencana kebakaran besar, rakyat tidak memiliki air di rumahnya untuk memadamkan api. Kendati tak sepenuhnya adil karena pembagian air cenderung memihak raja dan orang kaya, sistem ini memancing penduduk Roma untuk keluar rumah dan berkumpul.
Keran air di depan Colosseum. (Robin Hartanto/Historia.ID).
Saya mengunjungi air mengalir di dalam Colosseum. Bentuknya seperti sebuah tiang pemadam kebakaran di pinggir jalan dengan kesan yang antik. Banyak orang mengantre, menunggu giliran untuk mengisi botol minuman atau meneguk langsung airnya.
Saya ikut mengantre walau botol minum masih penuh dengan air wastafel dari apartemen. Begitu saya berada di depan fontanelle, saya terkejut. Benda itu seperti bukan sebuah keran air biasa, ia seperti kulkas purba temuan bangsa Romawi yang tetap bertahan. Airnya segar dan dingin. Air keran di apartemen tak sesegar ini. Saya mengosongkan botol minuman lalu mengisinya dengan air mengalir; berharap tetap dapat merasakan kesegarannya di tengah perjalanan.
Fontanelle juga tersebar di reruntuhan Foro Romano. Peta yang diberikan petugas mencantumkan di mana saja letak titik air mengalir. Ada hampir di setiap persimpangan jalan. Orang-orang selalu mengantre. Saya selalu meneguk langsung air dari keran dan membuang air dalam botol minuman lalu mengisinya dengan air di fontanalle berikutnya. Begitulah setiap saya bertemu dengan fontanelle. Entah ia berada di tembok atau persimpangan jalan. Variasi dari dua jenis fontanelle ini banyak sekali, tapi air yang mengalir sama segarnya.
Saat tersasar di gang-gang sempit di sebelah Timur Piazza Navona, saya melihat seorang bapak dengan spontan berbelok sedikit untuk minum dari fontanelle. Dia menyumbatkan ujung pipa yang melengkung ke bawah dengan telapak tangannya sehingga air muncrat dan langsung mengarah ke mulutnya.
Fontana della Barcaccia. (Public domain).
Pada Piazza di Spagna, tepat di seberang Barcelona Stair, sebuah mostre berbentuk kapal bernama La Barcaccia Fountain yang mengalirkan air dari dua ujung geladaknya. Bentuk kapal diambil untuk mengingatkan bahwa di tempat itu pernah terjadi banjir hebat pada 1598. Saya duduk di salah satu anak tangga. Seorang polisi menghampiri antrean dan masuk dalam barisan. Begitu sampai di ujung geladak, dia melepaskan topinya, meminum air lalu mencuci muka. Sebuah pemandangan yang membangkitkan dimensi spiritualitas saya. Orang-orang dari segala kelas berkumpul demi satu kebutuhan dasar: minum. Tidak pernah sepi. Air pancur ini menjadi perekat antarmanusia.
Selain ke setiap piazza, air juga mengaliri beberapa air pancur kecil dan keran air. Bentuknya berbeda-beda dan artistik. Dalam perjalanan dari Piazza di Spagna ke Piazza del Popolo, saya menemukan Il Babuino, sebuah air pancur semipublik dengan patung misterius: figur seorang laki-laki setengah terbaring dengan tubuh penuh bercak namun wajah yang bersih.
Roma seolah berdiri di atas lemari pendingin raksasa yang selalu mengeluarkan air segar. Air tak henti-hentinya mengalir.
Fontana della Babuino. (Public domain).
Fontana di Trevi
Air mengalir yang membuat saya, mungkin juga semua orang yang pernah datang ke Roma, tergugah adalah pada Fontana di Trevi. Air pancur bergaya baroque ini terletak di Piazza di Trevi yang kecil dan dikelilingi lima gang sempit. Pada piazza itu terdapat ukiran dewi Trivia, dewi berkepala tiga sebagai pelindung.
Fontana di Trevi ini adalah salah satu mostre yang megah secara fisik dan sejarah yang terukir padanya. Panorama karang dan samudera menempel pada fasad belakang Palazzo Poli, sebuah istana. Di tengah karang berdiri patung Ocean, dewa lautan kekar dengan tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri memegang kain untuk menutupi ketelanjangannya. Di hadapannya dua triton menggiring kuda masing-masing. Triton muda yang kekar seolah menenangkan kuda yang mengamuk, menggambarkan ganasnya samudera. Triton tua menggiring kuda yang tenang sambil meniup terompet kerang, menggambarkan ketenangan dan damainya samudera. Dari celah karang mengalirlah buih air seputih awan. Benar-benar magis.
Saat senja tiba, lampu-lampu di dasar kolam menyala. Pendar lampu dan gemericik air terasa menenangkan. Mengapa tempat seindah itu berada di lokasi yang tak mudah dijangkau kendaraan, sempit, bersatu dengan fasad sebuah bangunan? Sang arsitek, dari Nicola Salvi hingga Giusepe Panini, menempatkan segala cerita tentang kejayaan dan kekayaan Roma pada air pancur ini.
Aqua Claudia. (Public domain).
Di sisi kanan Ocean berdiri patung perempuan anggun yang melambangkan keberlimpahan. Di atasnya, terdapat pahatan yang mengisahkan Marcus Aggripa, seorang jenderal perang pada masa Kaisar Augustus, memerintahkan pasukannya untuk membangun Acqua Virgo pada 19 SM –sebuah saluran air yang panjang untuk mengalirkan air dari mata air Salone ke tempat pemandiannya di area Campus Martius.
Di sisi kiri Ocean terdapat patung perempuan yang melambangkan kesehatan. Di atasnya terpahat cerita tentang seorang perempuan bernama Virgin memberi tahu prajurit Roma tentang keberadaan mata air itu.
Pada 1453, Nicolo V mengubah nama Acqua Virgo menjadi Acqua Vergine dan menjadikan letak Trevi Fontana saat ini sebagai ujung (termini) dari aqueduct tersebut, di mana 80.000 m3 air mengalir setiap hari. Aqueduct ini adalah salah satu yang masih beroperasi dengan baik sampai sekarang.
Proses pembangunan Fontana di Trevi tertulis pada bagian fasad bangunan paling atas di antara empat patung perempuan yang masing-masing melambangkan karakteristik Roma: keberlimpahan, kesuburan, kekayaan, dan kegembiraan.
Fontana di Trevi dibangun atas perintah Paus Clemens XII Pontifex Maximus pada 1735. Karena belum selesai, pengerjaannya dilanjutkan Paus Benedict XIV dan dirampungkan Paus Clemens XIII pada 1762. Pada tahun itulah pertama kali air memancur pada Fontana di Trevi.
Sampai saat ini, para turis merayakannya dengan melemparkan koin €1, €2, atau beberapa sen dengan tangan kanan melalui bahu kiri sambil membelakangi Fontana di Trevi. Mereka berharap dapat kembali ke sini, sebuah kepercayaan yang menambah daya tarik tempat ini.
Melempar koin di Fontana di Trevi. (Robin Hartanto/Historia.ID).
Mostre hanyalah sebuah pintu masuk untuk menelusuri bagaimana bangsa Roma memiliki kekuatan dan kepintaran yang tak tertandingi pada masanya. Karena itulah Fontana di Trevi dibuat seindah mungkin agar seseorang, sampai kapan pun, tergoda untuk membuka pintu sejarah Roma.
Lebih dari itu, mostre dan fontannele yang berada di setiap piazza memberi dimensi spiritualitas yang tak kalah kuat.
Roma adalah pusat agama Katolik, Vatikan. Ada banyak gereja di sana. Dan bila membaca Angels and Demons karya Dan Brown, kita akan tergoda oleh banyaknya simbol misterius pada kota itu. Namun, alih-alih menunjuk gereja sebagai tempat yang masih memiliki dimensi spiritual, Rm Rudi, seorang Romo lulusan Arsitektur yang baru saja menyelesaikan masa tugas pelayanannya di Roma, mengatakan dimensi spiritualitas kota Roma ada pada setiap piazza.
“Karena di setiap piazza, setiap orang melebur,” ujarnya. Setelah merasakannya, saya mengamini. Air membuat masyarakat Roma berkumpul pada piazza; memancarkan dimensi spiritual secara horisontal.
Kekuatan dan kejayaan Roma berabad-abad silam ternyata bukan hanya terletak pada apa yang tersisa dari reruntuhannya, tapi juga dari air yang mengalir selama lebih dari 2.500 tahun lamanya.*