Menelusuri Jejak Freemason di Jakarta

Freemason telah hadir di Hindia Belanda sejak zaman VOC. Meski sempat dilarang pada masa Orde Lama, namun jejak organisasi persaudaraan ini masih dapat ditelusuri.

OLEH:
Amanda Rachmadita
.
Menelusuri Jejak Freemason di JakartaMenelusuri Jejak Freemason di Jakarta
cover caption
Museum Taman Prasasti, Jakarta. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

SEJUMLAH prasasti berukuran besar dan berwarna gelap menghiasi dinding-dinding area depan Museum Taman Prasasti, Jakarta. Prasasti tersebut merupakan nisan orang-orang asing yang pernah tinggal di Batavia. Nisan itu dilengkapi nama dan keterangan identitas sang mendiang. Di beberapa nisan bahkan terukir lambang keluarga. Yang menarik perhatian, di salah satu nisan terpampang gambar jangka dan mistar, simbol Freemason.

Jejak Freemason di Indonesia dipamerkan di Museum Taman Prasasti dari 25 Oktober hingga 7 November 2023. Pengunjung dapat melihat perjalanan sejarah Freemason sejak masa VOC hingga Indonesia merdeka. Tak hanya melihat tokoh-tokoh anggota Freemason, pengunjung juga dapat menelusuri berbagai artefak batu nisan yang beberapa di antaranya dihiasi simbol-simbol Freemason.

Freemason telah ada di Hindia Belanda sejak akhir abad ke-18. Bahkan, menurut Th. Stevens dalam Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia, 1764–1962, sudah cukup banyak penganut Freemason yang menetap di wilayah koloni VOC sebelum tahun 1756. Tokoh yang berperan besar dalam perkembangan Freemason di Hindia Timur adalah Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher (1741–1783). Radermacher bukan orang sembarangan. Ayahnya anggota Freemason berpengaruh. “J.C.M. Radermacher merupakan anak dari Joan Cornelis Radermacher yang merupakan Suhu Agung pertama dari Tarekat Mason Bebas di Belanda,” tulis Stevens.

SEJUMLAH prasasti berukuran besar dan berwarna gelap menghiasi dinding-dinding area depan Museum Taman Prasasti, Jakarta. Prasasti tersebut merupakan nisan orang-orang asing yang pernah tinggal di Batavia. Nisan itu dilengkapi nama dan keterangan identitas sang mendiang. Di beberapa nisan bahkan terukir lambang keluarga. Yang menarik perhatian, di salah satu nisan terpampang gambar jangka dan mistar, simbol Freemason.

Jejak Freemason di Indonesia dipamerkan di Museum Taman Prasasti dari 25 Oktober hingga 7 November 2023. Pengunjung dapat melihat perjalanan sejarah Freemason sejak masa VOC hingga Indonesia merdeka. Tak hanya melihat tokoh-tokoh anggota Freemason, pengunjung juga dapat menelusuri berbagai artefak batu nisan yang beberapa di antaranya dihiasi simbol-simbol Freemason.

Freemason telah ada di Hindia Belanda sejak akhir abad ke-18. Bahkan, menurut Th. Stevens dalam Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia, 1764–1962, sudah cukup banyak penganut Freemason yang menetap di wilayah koloni VOC sebelum tahun 1756. Tokoh yang berperan besar dalam perkembangan Freemason di Hindia Timur adalah Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher (1741–1783). Radermacher bukan orang sembarangan. Ayahnya anggota Freemason berpengaruh. “J.C.M. Radermacher merupakan anak dari Joan Cornelis Radermacher yang merupakan Suhu Agung pertama dari Tarekat Mason Bebas di Belanda,” tulis Stevens.

Foto anggota loji Freemason dalam pameran Jejak Memori Hikayat Tarekat Mason Bebas di Indonesia di Museum Taman Prasasti, Jakarta. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Sejarawan Peter Boomgaard dalam “For the Common Good: Dutch Institutions and Western Scholarship on Indonesia around 1800”, yang termuat di Empire and Science in the Making Dutch Colonial Scholarship in Comparative Global Perspective, 1760–1830, menyebut koneksi yang dimiliki Radermacher untuk menembus golongan elite dan para pejabat tinggi di Batavia didapatkannya melalui pernikahan. 

“Pada 1761, Radermacher menikahi putri tiri Gubernur Jenderal VOC Reinier de Klerk, yang saat itu sudah menjadi anggota Dewan Hindia. Setelah kembali ke Belanda selama tiga tahun, di mana ia memperoleh gelar sarjana hukum, Radermacher melanjutkan kariernya di Batavia, kali ini di pemerintahan kota. Pada 1776, ia diangkat menjadi anggota junior Dewan Hindia, dan anggota senior pada 1781,” tulis Boomgaard.

Radermacher memanfaatkan kekayaan serta koneksinya untuk mendirikan perkumpulan bagi kaum terpelajar di wilayah koloni VOC. Ia memprakarsai berdirinya loji (rumah pertemuan) Freemason pertama bernama La Choisie (Terpilih) di Batavia pada 1762. Atas perannya tersebut Radermacher dikenal sebagai pendiri Freemason di Hindia Belanda. Beberapa tahun setelah berdirinya La Choisie, satu per satu loji baru bermunculan di Batavia seperti La Fidele Sincerite (Kesetiaan yang Ikhlas) tahun 1767 dan La Vertuesue (Kebajikan) pada 1769.

Memasuki abad ke-19, jumlah anggota Freemason di Hindia Belanda kian bertambah. Tak hanya di Batavia tetapi juga menyebar ke berbagai wilayah. Tak sedikit anggota Freemason menduduki jabatan penting dalam pemerintahan dan militer, seperti Komisaris Jenderal Cornelis P.J. Elout, Panglima Tentara Belanda Hendrik Merkus de Kock, hingga anggota Dewan Hindia I. Bousquet. 

Seiring berjalannya waktu, anggota Freemason tak terbatas orang-orang Eropa. Sejumlah bumiputra terkemuka juga menjadi anggota Freemason, seperti Pangeran Ario Notodirodjo (ketua Boedi Oetomo tahun 1911–1914), Raden Adipati Tirto Koesoemo (bupati Karanganyar dan ketua pertama Boedi Oetomo), Raden Mas Toemenggoen Ario Koesoemo Yoedha (putra Pakoe Alam V), hingga Dr. Radjiman Wedyodiningrat (ketua BPUPKI).

Simbol jangka dan mistar di nisan Lodewijk Schneider di Museum Taman Prasasti, Jakarta. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Organisasi Freemason memiliki perhatian besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kepedulian terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, termasuk dalam bidang seni dan budaya. Organisasi persaudaraan ini mengadakan kegiatan sosial seperti memberikan perawatan terhadap orang buta, memelihara yatim piatu, menyediakan tempat peristirahatan untuk pemulihan dari sakit, hingga memberikan bantuan dana pendidikan. Tak hanya aktif membangun loji, gerakan Freemason juga turut mendirikan sekolah dan perpustakaan.

Gerakan Freemason berjalan hingga akhir kolonialisme Belanda. Pendudukan Jepang menyebabkan aktivitas organisasi ini terhenti. Saudara Tua melarang dan menutup semua loji karena menganggap Freemason sebagai organisasi yang terkait dengan Belanda. Tak sedikit pula anggotanya ditahan di kamp-kamp interniran. Setelah proklamasi kemerdekaan, aktivitas anggota Freemason perlahan-lahan kembali bergeliat meski mengalami pasang surut.

Menurut Stevens, masa depan Freemason di Indonesia mula-mula dipandang dengan optimis setelah berakhirnya perang revolusi. “Walaupun masa pendudukan telah menipiskan barisan, di kota-kota besar kehidupan logi dimulai lagi dan banyak anggota baru yang masuk,” tulisnya. 

Namun, gejolak politik pada masa pemerintahan Orde Lama menyebabkan banyak anggota Freemason memilih pulang ke Belanda. Akibatnya semakin sulit melanjutkan aktivitas di loji. Pada 23 Juni 1960, loji De Ster in het Oosten di Jakarta mengadakan pertemuan perpisahan yang menandakan berakhirnya kegiatan di loji Bintang Timur itu. Setahun berselang, pada 27 Februari 1961, Presiden Sukarno menandatangani UU Komando Tinggi Militer yang melarang organisasi Freemason karena “memiliki dasar dan sumber yang berasal dari luar Indonesia dan tidak selaras dengan kepribadian nasional”.

Simbol tulang dan tengkorak di nisan Johanna Frederica van Franquemont di Museum Taman Prasasti, Jakarta. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Meski begitu jejak Freemason di Indonesia tak sepenuhnya hilang. Di Jakarta, sejumlah bangunan yang berkaitan dengan Freemason masih dapat ditemukan, salah satunya gedung Kimia Farma di Jalan Budi Utomo. Bangunan yang dihias portikus dan pilaster dalam gaya Dorik ini dibangun pada 1858 sebagai tempat pertemuan anggota Freemason untuk menggantikan gedung lama yang digunakan sejak 1837. Di masa silam bangunan itu dikenal dengan nama loji De Ster in het Oosten atau Bintang Timur. 

Menurut sejarawan Adolf Heuken SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta penduduk sekitar menyebut bangunan itu Gedung Setan karena para pengunjungnya senang merahasikan apa yang mereka bicarakan dan perbuat. “Tempat (logi) ini pada 1925 pindah ke gedung baru, yang kini dipakai oleh Bappenas di Taman Suropati (Menteng),” tulis Heuken.

Jejak Freemason juga dapat ditemukan di Museum Taman Prasasti lewat berbagai simbol yang terukir di berbagai artefak batu nisan. Misalnya, simbol jangka dan mistar terdapat pada nisan Lodewijk Schneider, anggota Freemason yang juga prajurit berkuda angkatan perang Hindia Belanda. Terkait makna simbol tersebut, peneliti dan pengajar bahasa dan budaya Belanda di Universitas Indonesia, Lilie Suratminto menulis dalam Membuka Tabir Makna Batu Nisan Belanda bahwa menurut Albert Pike, pendiri Freemason Skotlandia, simbol jangka melambangkan Ketuhanan, sementara simbol penggaris busur (sesiku) bermakna bumi produktif alam semesta. Dengan demikian perpaduan kedua simbol itu melambangkan harmoni atau keseimbangan.

Simbol ouroboros di nisan Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler di Museum Taman Prasasti, Jakarta. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Berbeda dengan nisan Schneider, pada nisan Johanna Frederica van Franquemont terukir simbol tengkorak dan tulang. Jika dilihat lebih dekat, posisi tulang lengan di simbol tersebut membentuk sebuah salib St. Andrews. “Tengkorak melambangkan jalan menuju kesempurnaan. Dalam kepercayaan Kristiani untuk mencapai kesempurnaan abadi orang harus mati terlebih dahulu. Kematian bukan berakhirnya kehidupan. Justru ada kehidupan kekal abadi setelah kematian,” tulis Lilie.

Simbol lain yang tak kalah menarik adalah ouroboros yang gambarnya ditemukan pada nisan Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler, pemimpin pasukan Belanda dalam Perang Aceh pertama tahun 1873. Jean-Louis de Biasi, penulis, dosen, dan pemikir yang diinisiasi menjadi anggota Freemason pada 1990, dalam Secrets and Practices of the Freemasons: Sacred Mysteries, Rituals and Symbols Revealed, menjelaskan bahwa ouroboros merupakan simbol yang menggambarkan seekor ular dengan ekornya di dalam mulut. Kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno yang secara harfiah berarti “ular yang menggigit ekornya sendiri”. 

“Ular yang menggigit ekornya sendiri melambangkan siklus evolusi yang tertutup. Istilah ini juga menyampaikan gagasan tentang gerakan, kontinuitas, generasi diri, dan sebagai hasilnya, siklus kelahiran kembali yang terus berulang. Selain itu, lingkaran juga melambangkan persatuan dan sesuatu yang bersifat sakral,” tulis de Biasi.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
654c52a4c06f6b47ef742bc6