Menempa Sumpah Palapa

Terinspirasi Sumpah Palapa Gajah Mada, pemerintahan Soeharto membuat proyek ambisius meluncurkan satelit Palapa. Yang pertama di antara negara-negara berkembang.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Menempa Sumpah PalapaMenempa Sumpah Palapa
cover caption
Presiden Soeharto mengunjungi Stasiun Bumi Jatiluhur sebagai pusat kendali satelit Palapa. (Repro IndonesIa in the Soeharto Years).

JALAN Cendana, 9 Juli 1976 pagi. Mengenakan surjan dan sarung kotak-kotak, Presiden Soeharto duduk santai di kursi. Sesekali dia menyilangkan satu kakinya ke kaki lainnya. Tangan kanannya memegang kipas kecil. Tatapannya fokus ke layar kaca. Tak banyak kata keluar dari mulutnya. Dia tengah serius menyaksikan siaran langsung peluncuran satelit Palapa A-1, yang jika berhasil akan menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga di dunia yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) dan yang pertama di antara negara-negara berkembang. 

Pada saat yang sama, di pusat antariksa NASA di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS), Willy Munandir Mangoendiprodjo, direktur utama Perusahaan Umum Telekomunikasi atau Perumtel (kini PT Telkom), memberikan sambutan. “Sistem satelit ini sangat dibutuhkan untuk mempersatukan Indonesia serta untuk memberikan pendidikan pada daerah-daerah terpencil. Satelit Palapa mampu mengcover sepertiga belahan bumi,” ujarnya, dikutip Kompas, 10 Juli 1976. 

JALAN Cendana, 9 Juli 1976 pagi. Mengenakan surjan dan sarung kotak-kotak, Presiden Soeharto duduk santai di kursi. Sesekali dia menyilangkan satu kakinya ke kaki lainnya. Tangan kanannya memegang kipas kecil. Tatapannya fokus ke layar kaca. Tak banyak kata keluar dari mulutnya. Dia tengah serius menyaksikan siaran langsung peluncuran satelit Palapa A-1, yang jika berhasil akan menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga di dunia yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) dan yang pertama di antara negara-negara berkembang. 

Pada saat yang sama, di pusat antariksa NASA di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS), Willy Munandir Mangoendiprodjo, direktur utama Perusahaan Umum Telekomunikasi atau Perumtel (kini PT Telkom), memberikan sambutan. “Sistem satelit ini sangat dibutuhkan untuk mempersatukan Indonesia serta untuk memberikan pendidikan pada daerah-daerah terpencil. Satelit Palapa mampu mengcover sepertiga belahan bumi,” ujarnya, dikutip Kompas, 10 Juli 1976. 

Setelah segala persiapan, waktunya tiba. Roket Delta 2914 yang membawa satelit Palapa A-1 menderu, mengeluarkan asap tebal, lalu meluncur ke angkasa. Selanjutnya, Palapa A-1 berdiam di orbitnya, 83° BT (kira-kira di atas Sri Lanka). Peluncuran sukses. 

Usai menonton, kepada pers, Soeharto menyebutkan pemilihan nama Palapa untuk satelit itu terinspirasi dari sumpah Gajah Mada, mahapatih kerajaan Majapahit. Soeharto yakin Palapa akan mampu menjadi wahana ampuh menyatukan Nusantara laiknya sumpah Gajah Mada. 

Dalam peresmian di Gedung DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1976, Presiden Soeharto mencabut sebilah keris dan menekan tombol elektronis pada gagang keris tersebut. Soeharto lalu melakukan pembicaraan telepon dengan Gubernur Aceh Muzakir Walad di Banda Aceh dan Gubernur Irian Jaya Sultran di Jayapura. Setelah itu, dia menyampaikan amanat kenegaraan di depan Sidang Paripurna DPR, yang antara lain menyinggung Palapa. 

“Saya sampaikan penghargaan yang besar kepada semua pihak yang telah dapat menyelesaikan proyek Palapa ini tepat pada waktunya,” ujarnya. 

Kiri-kanan: Dirjen Postel Soehardjono, Lloyd Harrison (Hughes), Willy Munandir (Dirut Perumtel), dan Dr. Albert D. Wheelon (Hughes). (Repro Tempo, 17 Juli 1976).

Jalan Menuju Antariksa

Sejak Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit Sputnik, sejumlah ilmuwan getol menggagas pengembangan satelit di Indonesia, terutama pada 1960-an. Namun, di kalangan pemerintah, menurut Joshua Barker, asisten profesor Departemen Antropologi Universitas Toronto, diskusi awal mengenai satelit berpusat pada International Telecomunication Satellite Corporation (Intelsat), konsorsium di bidang jasa telekomunikasi internasional. Sistem ini dibangun AS untuk menandingi Soviet. Sejumlah pejabat Indonesia tertarik untuk menjadi anggota Intelsat. Namun, sikap anti-Barat Sukarno menghalanginya. 

“Sementara Sukarno menjadi nasionalis yang setia dan berusaha menemukan ‘jalan ketiga’ dalam dunia yang terbagi dua blok, Soeharto tertarik menjalin hubungan ekonomi dan politik lebih erat dengan Barat,” tulis Joshua Barker dalam “Engineers and Political Dreams: Indonesia in the Satellite Age”, Current Anthropology Vol. 46, No. 5, Desember 2005.

Emil Salim, anggota tim penasihat ekonomi presiden, berhasil meyakinkan Soeharto pentingnya bergabung dengan Intelsat, terutama untuk menunjukkan kepada Barat bahwa Indonesia sudah membuka diri. Soeharto setuju. Pada Juni 1967, pemerintah meneken kontrak dengan International Telephone and Telegraph Corporation (ITT) dari AS untuk pembangunan terminal telekomunikasi yang berada di bumi atau dikenal dengan stasiun bumi Jatiluhur, Jawa Barat. Pada 29 September 1969, dalam acara peresmiannya, Presiden Soeharto melakukan hubungan telepon internasional dengan Soedjatmoko, duta besar Indonesia untuk AS di Washington DC. 

Mayjen TNI Soehardjono, direktur jenderal Pos dan Telekomunikasi (Postel) hadir di sana. Dia sempat membisikkan kepada presiden pentingnya SKSD. Keinginan ini kemudian menguat karena Jakarta lebih mudah berkomunikasi dengan ibukota negara lain ketimbang ibukota provinsi di Indonesia. Soeharto pun tergerak. 

“Presiden memberi pengarahan agar pembangunan komunikasi satelit domestik dilaksanakan dalam Pelita II,” tulis Merdeka, 31 Agustus 1976.

Soeharto menyebutkan pemilihan nama Palapa untuk satelit itu terinspirasi dari sumpah Gajah Mada.

Menteri Perhubungan Frans Seda pun membentuk sebuah komite untuk mempelajari sistem telekomunikasi nasional. Komite ini dipimpin Willy Munandir. Anggotanya berasal dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel), Dewan Telekomunikasi, Departemen Pertahanan dan Keamanan, serta ahli-ahli telekomunikasi seperti Iskandar Alisjahbana –dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) yang getol melontarkan gagasan tentang penggunaan satelit untuk menyatukan Indonesia serta mendukung pendidikan, penyebaran informasi, dan pembangunan nasional. 

“Keinginan pemerintah untuk menggunakan sistem satelit domestik, terutama untuk tujuan pendidikan (meniru pengalaman India dengan program SITE) juga sudah disampaikan Frans Seda pada 1968 kepada Robert McNamara dari Bank Dunia,” tulis Marwah Daud Ibrahim dalam “The Application of Communications Satellite in Developing Countries: The Case of Indonesia”, disertasi untuk meraih gelar PhD di American University. Frans Seda kemudian jadi duta besar Indonesia di Brussels untuk Masyarakat Ekonomi Eropa, Kerajaan Belgia dan Luxemburg pada 1973. Posisinya sebagai menteri perhubungan digantikan Emil Salim. 

Sebagai persiapan, pada 1970 Ditjen Postel dan Perumtel membentuk tim gabungan untuk melakukan studi mendalam tentang SKSD. Mereka mengumpulkan data lalu lintas telekomunikasi di Indonesia dan permintaan jasa telekomunikasi seperti sambungan telepon.

Pada 1971, Soehardjono dan Willy Munandir menghadiri pertemuan International Telecommunication Union (ITU) dan Telecom ‘71 di Jenewa. Dalam pameran, mereka tertarik dengan suguhan Hughes Aircraft Company (kini Boeing) tentang kemungkinan penggunaan satelit komunikasi untuk keperluan rumah tangga. Bahkan orang-orang Hughes meyakinkan mereka bahwa biaya tinggi dari satelit bisa ditutup dengan pendapatan dari meningkatnya lalu lintas telekomunikasi. Dari sini mereka melihat bahwa SKSD merupakah pilihan realistis. Kembali ke Indonesia, Soehardjono melaporkannya kepada presiden. 

Soeharto menyarankan Ditjen Postel dan Perumtel agar SKSD bisa dioperasikan dalam dua atau dua setengah tahun lagi. Ditjen Postel pun membentuk panitia penelaahan yang bertugas meneliti aspek teknis, operasional, dan ekonomi pada 4 September 1973. Kesimpulannya: SKSD sesuai untuk Indonesia. 

Pertengahan 1974, Munandir memenuhi undangan presiden di Istana Negara. Saat itulah, kisah Munandir kepada Erry Budianto, wartawan surabayawebs.com, Soeharto mengajukan tantangan: “Willy, sanggup enggak kamu meluncurkan satelit?” 

Tanpa pikir panjang, Munandir menjawab: “Sanggup!”. Sepulangnya dari pertemuan itu, Willy berpikir: dari mana uangnya? Dia pun berkeliling ke sejumlah negara untuk mencari pinjaman.

Pembuatan satelit Palapa A-1 di Hughes Aircraft Company. (indonesia-digest.net).

Sebelum Peluncuran

Di depan parlemen pada 6 Januari 1975, ketika menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1975/1976, Presiden Soeharto menyinggung kebijakan dalam pengembangan telekomunikasi. Antara lain dia menyebutkan: “Dalam rangka pengembangan telekomunikasi maka dalam tahun 1975 akan dimulai dibangun sistem komunikasi satelit domestik yang akan digunakan untuk fasilitas hubungan telepon, telegraf, teleks, dan siaran televisi.” 

Pengumuman itu menandai SKSD resmi menjadi proyek nasional. Menurut Menteri Perhubungan Emil Salim, total anggaran untuk pembangunan sistem telekomunikasi sebesar US$1,4 miliar. Dari jumlah itu, hanya 12,5 persen digunakan untuk membuat dan meluncurkan dua satelit serta membangun 40 stasiun bumi. Porsi terbesar anggaran dipakai untuk memperluas telepon dan teleks ke seluruh provinsi di Indonesia. Sementara sisanya untuk memodernisasi serta membangun stasiun radio dan televisi baru. Dana itu diperoleh melalui pinjaman luar negeri dan bantuan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), konsorsium negara-negara donor yang memberikan bantuan untuk Indonesia. 

Banyak orang mempertanyakan besarnya anggaran itu, terlebih di tengah krisis akibat lilitan utang Pertamina. Namun, Emil Salim tetap optimis. Berdasarkan perhitungan kasarnya, Perumtel, yang dikukuhkan pemerintah sebagai pengelola telekomunikasi umum dalam negeri dan luar negeri, bisa mendapat pemasukan dari melonjaknya permintaan saluran telepon dan teleks pribadi. Potensi lainnya Perumtel bisa menyewakan transpondernya kepada pihak luar. 

Untuk pendanaan Palapa sendiri, Indonesia mendapat pinjaman dana dari Export-Import Bank dan Consortium Bank of the United States di Washington DC, masing-masing US$56,6 juta dan US$89 juta. Mengingat dana yang dibutuhkan sebesar US$161,6 juta, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar US$165.500 untuk menutupi kekurangannya. 

Setelah itu pemerintah menandatangani kontrak dengan tiga perusahaan Amerika: Hughes Aircraft Company, Philco Ford Overseas Services, dan Federal Electric International (FEI). Hughes akan membangun dua satelit komunikasi, stasiun kontrol utama di Cibinong, dan lima stasiun bumi besar dan empat stasiun bumi kecil di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Philco Ford membangun tujuh stasiun bumi besar dan delapan stasiun bumi kecil di Sumatra, Kalimantan, dan sebagian Pulau Sulawesi. Sementara Federal membangun enam stasiun bumi besar dan sembilan stasiun bumi kecil di Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. 

Peluncuran Palapa juga makin memperkuat kontrol pusat terhadap daerah.

Untuk pengerjaan rancang bangun stasiun bumi, pemerintah menunjuk dua kontraktor dalam negeri, CV Modern Jaya dan PT Graha Gapura, setelah melalui tender. Dananya didapat dari kredit bank-bank dalam negeri seperti Bank Negara Indonesia. 

Pemerintah juga menandatangani perjanjian soal peluncuran satelit dengan Badan Antariksa AS (NASA). Untuk mengasuransikan dua satelitnya, Perumtel menggandeng PT Asuransi Jasa Indonesia. 

Perumtel lalu menunjuk Arnold Ph Djiwatampu sebagai manajer proyek. Dia dibantu dua orang wakil: Harjana Sutarja dan Muhaimin. Untuk mengawasi pembangunan satelit, Perumtel menempatkan Bunawan Saleh di fasilitas manufaktur Hughes di El Segundo, California. Di sana, pengerjaan satelit dikebut. Hughes akhirnya bisa memenuhi target dan menjadikan Palapa, sebagaimana dikutip laman mereka, sebagai “salah satu jadwal produksi tercepat yang pernah dikerjakan manajemen dan insinyur Boeing.” Setelah rampung, satelit Palapa A-1 dibawa dari El Segundo ke Kennedy Space Center, Cape Canaveral, Florida, tempat peluncurannya. 

Sebagai anggota Intelsat, Indonesia sudah berkoordinasi dengan Intelsat. Lewat negosiasi panjang, Intelsat setuju satelit Indonesia bisa mengorbit pada 83o BT. Satelit Palapa sudah didaftarkan ke International Frequencies Registration Board (IFRB) di Jenewa. 

Pada 8 Juli 1976 pukul 7:31 pm waktu Florida, atau 9 Juli 1976 pukul 6:31 WIB, roket Delta 2914 meluncur ke angkasa membawa Palapa A-1 ke ketinggian 30.500 kilometer. 

Menurut Marwah, Perumtel kemudian mengalokasikan sebagian besar dari 12 transponder Palapa A-1 untuk fasilitas komunikasi. Tujuh dari sembilan transponder yang dialokasikan untuk Indonesia digunakan Perumtel, sisanya untuk TVRI serta Departemen Pertahanan dan Keamanan. Filipina, Thailand, dan Malaysia kemudian menggunakan transponder Palapa A-1.

Peluncuran satelit Palapa A-1 di Kennedy Space Center, Cape Canaveral, Florida, AS, 8 Juli 1976. (Repro Progres, Juli 1976).

Dampak Palapa

Sejak awal, pilihan SKSD tak bebas dari kritik. Selain biayanya yang mahal, Indonesia tak punya tenaga ahli di bidang tersebut. Ada juga yang menyoroti efektivitas penggunaannya. 

Menurut Marwah, penggunaan Palapa untuk program pengembangan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan pedesaan, dan pertanian masih terbatas. Namun, ini juga tak lepas dari keterbatasan. Di AS, satelit muncul setelah sarana pendukung lainnya sudah mapan. Misalnya, penelitian, personel terlatih, peralatan canggih, dan lain-lain. 

Namun, pemerintah sendiri sudah menyiapkan langkah-langkah. Setelah peluncuran Palapa, pemerintah mengambil kebijakan mendistribusikan ribuan pesawat televisi ke daerah-daerah pedesaan yang terjangkau siaran TVRI. Dengan persebaran televisi, Departemen Penerangan bisa mengawal program-program pemerintah hingga ke pelosok desa. Berbagai tayangan pedesaan pun disiapkan. Dari yang bersifat layanan masyarakat hingga film. Dari Siaran Pedesaan hingga Kelompencapir. 

Menurut Philip Kitley dalam Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca, Palapa menjadi faktor penting yang mengubah pertelevisian nasional dan budaya beragam etnis di Nusantara. Peluncuran Palapa juga makin memperkuat kontrol pusat terhadap daerah. Di sisi lain, TVRI memonopoli aturan penyiaran di seluruh Indonesia, yang berakibat minat swasta untuk mengembangkan stasiun regional menurun.

“Setelah Palapa, tidak ada penonton yang tidak sadar bahwa ia mengambil peran dalam suatu proses yang tanpa susah payah menyatukan Sabang di barat dan Merauke di timur,” tulis Kitley. 

Pemanfaatan Palapa dalam komunikasi juga masih terbatas. Kepadatan pembicaraan telepon di Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Sistem pendukungnya belum menunjang. “Kekurangan dana, keterbatasan tenaga kerja terampil, peraturan yang kaku, dan kurangnya kerja sama antarpelaku utama menjadi kendala utama dalam mempercepat ketersediaan layanan telepon di Indonesia,” tulis Marwah. “Kendati keterbatasan di atas, Palapa sangat berguna dalam mengintegrasikan negara ini.” 

Namun, Palapa A-1 barulah lompatan pertama. Setelah itu Indonesia meluncurkan beberapa satelit. Dari seri A hingga seri D. Stasiun televisi swasta menjamur dan menawarkan alternatif tayangan yang tak lagi melulu program pemerintah. Pilihan komunikasi juga mulai beragam, dari telepon selular sampai internet. Indonesia sudah menjadi bagian dari desa global. 

Pada 20 April 1991, Presiden Soeharto meresmikan Museum Telekomunikasi di Taman Mini Indonesia Indah yang menyimpan koleksi alat komunikasi. Di depan museum, patung Gajah Mada berdiri tegak dengan mengacungkan keris. Ini mengingatkan apa yang dilakukan Soeharto ketika meresmikan SKSD Palapa lima belas tahun sebelumnya.*

Majalah Historia No. 15 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65524d9a3cc06c55af47e900