Menentukan Arah Kemudi

Kongres memutuskan Boedi Oetomo sebagai organisasi pendidikan dan kebudayaan. Didominasi kaum tua dan memilih jalur moderat.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Menentukan Arah KemudiMenentukan Arah Kemudi
cover caption
Pendiri (kaum muda) dan pengurus besar (kaum tua) Boedi Oetomo dalam kongres pertama, 3-5 Oktober 1908. (Dok. Museum Kebangkitan Nasional).

SEKIRA 300 orang memenuhi sekolah pendidikan guru di Yogyakarta. Mereka, sebagian besar priayi, berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sejumlah bupati juga hadir; lainnya mengirim surat atau utusan. Hadir pula 15 atau 20 perempuan Jawa dan beberapa orang Eropa.  

Ini hajatan penting bagi Boedi Oetomo, organisasi yang baru sekira empat bulan terbentuk. Mereka akan menggelar kongres pertama pada 3–5 Oktober 1908.

Wahidin Soedirohoesodo terpilih sebagai ketua kongres –sebelum digantikan Pandji Broto Atmodjo, penghubung dari Pakualaman, Yogyakarta– karena kesehatannya menurun. Mulanya Wahidin menggagas agar kongres hanya membahas soal beasiswa, tetapi para delegasi tak setuju.

“Seandainya organisasi baru ini hanya dimaksudkan untuk menyelenggarakan beasiswa, kongres pasti tidak akan pernah menarik minat 300 orang utusan,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918.

SEKIRA 300 orang memenuhi sekolah pendidikan guru di Yogyakarta. Mereka, sebagian besar priayi, berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sejumlah bupati juga hadir; lainnya mengirim surat atau utusan. Hadir pula 15 atau 20 perempuan Jawa dan beberapa orang Eropa.  

Ini hajatan penting bagi Boedi Oetomo, organisasi yang baru sekira empat bulan terbentuk. Mereka akan menggelar kongres pertama pada 3–5 Oktober 1908.

Wahidin Soedirohoesodo terpilih sebagai ketua kongres –sebelum digantikan Pandji Broto Atmodjo, penghubung dari Pakualaman, Yogyakarta– karena kesehatannya menurun. Mulanya Wahidin menggagas agar kongres hanya membahas soal beasiswa, tetapi para delegasi tak setuju.

“Seandainya organisasi baru ini hanya dimaksudkan untuk menyelenggarakan beasiswa, kongres pasti tidak akan pernah menarik minat 300 orang utusan,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918.

Kongres cukup alot membahas mengenai pendidikan. Kendati menempatkan kebudayaan priayi Jawa pada tempat yang penting, Wahidin menganggap pendidikan Barat atau Belanda dapat menjanjikan kedudukan berpengaruh dalam hierarki tanah jajahan. Hal senada disampaikan Radjiman Wedyodiningrat, penasihat kesehatan di Kasunanan Surakarta.  

Namun, bagi Wahidin maupun Radjiman, hanya kaum priayi yang berhak mendapatkan pendidikan Barat. Mereka meyakini, bila elite Jawa telah berpendidikan, rakyat jelata akan segera mengikutinya. Bahkan, Radjiman berkata: “Ilmu pengetahuan Barat bukan saja tidak perlu tetapi juga tidak masuk akal bagi penduduk pribumi.” Pernyataan Radjiman mendapat sambutan riuh dari peserta kongres, yang melontarkan suara dan suitan tanda tak setuju.

Kiri-kanan: Soewardi Soerjaningrat, E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo. (dbnl.org).

Tjipto Sang Pembangkang

Gagasan berseberangan dikemukakan anggota angkatan muda yang diwakili Goenawan, Soetomo, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Goenawan dan Soetomo tidak menyerang pendapat golongan tua. Dengan menunjuk keterbelakangan rakyat jelata, Goenawan menyatakan kebutuhan sekolah-sekolah desa tambahan bagi kaum tani masih lebih penting ketimbang beasiswa untuk priayi. Sementara Soetomo menegaskan pentingnya pendidikan dasar di berbagai bidang.

Suasana kongres memanas ketika Tjipto Mangoenkoesoemo, kakak Goenawan, tampil bicara. Kendati sejalan dengan Wahidin mengenai pendidikan Barat, Tjipto ingin penerapannya untuk seluruh penduduk Hindia Belanda.  

Tjipto juga membantah pernyataan Radjiman yang menganggap pendidikan Barat tidak perlu bagi penduduk pribumi. Tjipto menilai pendidikan Barat dapat menjadi senjata ampuh untuk menyelamatkan orang Jawa dari kondisi yang mandek akibat hierarki sosial tradisional. Baginya tak ada yang lebih memuakkan kecuali yang disanjung-puja oleh Wahidin, yaitu seni dan sejarah Jawa. “Keduanya oleh Tjipto disebut sebagai harta khusus milik istana raja-raja, yang sama sekali asing bagi rakyat kebanyakan,” tulis Nagazumi.  

Tjipto juga menyampaikan keinginannya agar Boedi Oetomo menjadi organisasi politik, sementara mayoritas tak ingin terlibat dalam politik dan memilih jalur pendidikan dan kebudayaan. “Pendirian Tjipto bahwa sebelum persoalan-persoalan kebudayaan dapat dipecahkan terlebih dahulu perlu diselesaikan masalah politik. Kunci untuk mengatasi pelbagai kesukaran adalah aksi politik,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2.  

Gagasan “pendidikan dari atas” diterima secara luas oleh peserta kongres. Sementara usaha Tjipto mendorong agar Boedi Oetomo menjadi organisasi politik gagal. Hadirin terlampau lelah bersidang, sehingga mereka merasa lega ketika seorang anggota muda yang tak diketahui namanya mengusulkan jalan tengah: Boedi Oetomo tampil sebagai organisasi sosial, tetapi apabila diperlukan menempuh cara-cara politik untuk mencapai cita-citanya.

Para siswa STOVIA yang membidani lahirnya Boedi Oetomo tak bisa menentukan arah kemudi organisasi.

Kemenangan Moderat

Kongres akhirnya mengambil resolusi berkaitan dengan perbaikan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi dengan tanggungan beasiswa, membatasi jangkauan gerak hanya pada penduduk Jawa dan Madura, tak melibatkan diri dalam kegiatan politik, dan tak akan menyimpang dari ketentuan hukum adat.  

Praktis, “tak satu pun dari usul-usul yang dikemukakan angkatan muda STOVIA tertera dalam konsep akhir resolusi-resolusi kongres ini,” tulis Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan.  

Ketika kalah dalam gagasan, kalangan muda ingin menempatkan banyak wakil dalam kepengurusan. Namun, sekali lagi mereka harus rela dengan dominasi kaum tua.

Tirtokoesoemo, bupati Karanganyar, terpilih sebagai ketua Boedi Oetomo dan Wahidin sebagai wakil ketua. Tjipto masuk dalam susunan pengurus sebagai komisaris, yang menurut Nagazumi, untuk mencegah perpecahan terbuka antara golongan moderat dan radikal dalam tubuh organisasi.  

Dengan komposisi kepengurusan seperti itu, para siswa STOVIA yang membidani lahirnya Boedi Oetomo tak bisa menentukan arah kemudi organisasi. Mereka harus rela menyerahkan kepemimpinan Boedi Oetomo, “kepada anggota-anggota yang lebih dewasa,” ujar Soetomo.

Golongan muda dan progresif juga tak mengambil kesempatan untuk menentukan arah dalam kongres kedua pada 10–11 Oktober 1909 di Yogyakarta. Tjipto, Goenawan, dan Soetomo tidak bersuara. Pembicara utama dalam kongres ini adalah Dwidjosewojo, Mohammad Tahir, dan Sastrowidjojo.  

“Peserta kongres umumnya menyambut jalan pembaruan masyarakat Jawa secara berangsur-angsur demikian, karena ketakutan mereka terhadap radikalisme politik tokoh-tokoh seperti Tjipto. Evolusi, bukannya revolusi, menjadi semboyan resmi Boedi Oetomo,” tulis Nagazumi.

Setelah kongres ditutup, pada 18 Oktober 1909 badan pengurus Boedi Oetomo mengajukan anggaran dasar kepada pemerintah kolonial. Karena anggaran dasar Boedi Oetomo bernada moderat, pemerintah segera mengeluarkan pengesahan melalui Keputusan Pemerintah No. 52 tanggal 28 Desember 1909. Sekira satu setengah tahun sesudah rapat pertama di STOVIA, Boedi Oetomo resmi beroleh izin melakukan kegiatannya.  

Karena sifatnya yang moderat, organisasi ini tidak banyak disebut-sebut dalam dokumen-dokumen rahasia pemerintah sampai Boedi Oetomo mulai berpaling pada kegiatan politik sejak 1915.*

Majalah Historia No. 20 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6644c73491d7ec1c766df7fa