Indonesia kekurangan guru bukan cerita baru. Di masa lalu, para mahasiswa turun ke wilayah-wilayah terpencil untuk mengajar dan mendirikan sekolah. Program PTM ini pendahulu KKN.
Guru dan murid Sekolah Guru Atas (SGA) Donggala, Sulawesi Tengah. Tiga guru PTM dari UGM: Bawadiman (x), Priyono, dan Hadiyono, 21 April 1959. (Dok. Bawadiman).
Aa
Aa
Aa
Aa
BAWADIMAN sudah sepuh. Usianya 81 tahun. Guratan di wajahnya mengisyaratkan kenyang makan asam garam kehidupan. Sebagai seorang dokter dia tahu betul bagaimana menjaga kesehatan. Suaranya lantang. Bahkan pada tempo-tempo tertentu nadanya meninggi. Pendengaran dan daya ingatnya juga baik.
Di tengah isu kekurangan guru saat ini, Bawadiman ingat apa yang dilakukan generasinya di masa lampau melalui program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Program ini diluncurkan pemerintah untuk mengisi kekurangan guru di luar Jawa.
Bawadiman, yang pernah aktif di Mobile Pelajar, satuan perang di bawah Tentara Pelajar, tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) ketika menjadi peserta PTM pada 1956. Dia dikirim mengajar ke Donggala, Sulawesi Tengah. Sesampai di sana, bukan hanya tak ada guru SLTA tapi bahkan sekolah setara SLTA pun belum ada. “Saya merasa ditipu,” katanya sambil tertawa lepas.
BAWADIMAN sudah sepuh. Usianya 81 tahun. Guratan di wajahnya mengisyaratkan kenyang makan asam garam kehidupan. Sebagai seorang dokter dia tahu betul bagaimana menjaga kesehatan. Suaranya lantang. Bahkan pada tempo-tempo tertentu nadanya meninggi. Pendengaran dan daya ingatnya juga baik.
Di tengah isu kekurangan guru saat ini, Bawadiman ingat apa yang dilakukan generasinya di masa lampau melalui program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Program ini diluncurkan pemerintah untuk mengisi kekurangan guru di luar Jawa.
Bawadiman, yang pernah aktif di Mobile Pelajar, satuan perang di bawah Tentara Pelajar, tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) ketika menjadi peserta PTM pada 1956. Dia dikirim mengajar ke Donggala, Sulawesi Tengah. Sesampai di sana, bukan hanya tak ada guru SLTA tapi bahkan sekolah setara SLTA pun belum ada. “Saya merasa ditipu,” katanya sambil tertawa lepas.
Namun, itu tak membuatnya patah arang. Bersama tokoh masyarakat, Bawadiman babat alas. Dia menginisiasi berdirinya Sekolah Guru Atas (SGA). Masyarakat setempat bergotong-royong. Haji Dahlan, tetua kampung, menggerakkan masyarakat. Pak Taha, seorang pengusaha, mendanai pembangunan sekolah. “Bantuan dari pusat hanya buku dan alat olahraga,” ujar Bawadiman.
Setelah SGA berdiri, Bawadiman satu-satunya guru. Dia mengajar hampir seluruh mata pelajaran, dari sejarah hingga ilmu hayat, dari olahraga hingga berhitung. Untuk meringankan tugas, Bawadiman meminta beberapa guru dari SLTP dan Sekolah Guru Bawah (SGB) untuk ikut mengajar. Awal 1958 datang lima anggota PTM, semuanya dari UGM, untuk mengajar di SGA Donggala. Proses belajar-mengajar kian normal.
“PTM mengusung semangat perjuangan, pengorbanan, kesetiakawanan. Sehingga dilempar ke mana saja, ayok. Tanpa pandang suku dan agama,” ujarnya.
Muasal PTM
Proyek PTM digagas pelajar-mahasiswa, umumnya jebolan Tentara Pelajar, tak lama setelah pengakuan kedaulatan. Bagi mereka, perang sudah usai, tapi revolusi belum selesai. Salah satu masalah yang jadi perhatian mereka adalah negara muda ini kekurangan guru.
Untuk menjawab persoalan tersebut, pengurus Corps Mahasiswa (CM), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), dan Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) berunding di Yogyakarta. Hasilnya, mereka sepakat melayangkan surat kepada Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) Sarmidi Mangunsarkoro. Surat bertanggal 30 Januari 1950 itu ditandatangani Munadjat (PPMI), Soenardi (CM), dan Tatang Machmud (IPPI) –di kemudian hari lebih dikenal sebagai pengarang lagu anak-anak. Isinya, meminta pemerintah mengirim para mahasiswa ke berbagai sudut wilayah Indonesia untuk mengajar.
Kementerian merespons dengan mengutus Mr. Hardi, sekretaris jenderal Kementerian PP dan K, menemui si empunya usul. Gagasan ini pun dirembukan. Muncul perbedaan pendapat seputar apakah proyek ini wajib atau sukarela. Akhirnya diambil jalan tengah. “Setelah diadakan pembicaraan berkali-kali, maka prinsip wajib yang tertera dalam konsep ketiga organisasi mahasiswa pelajar diubah menjadi sukarela,” tulis Koesnadi Hardjasoemantri dalam Peranan Proyek PTM dalam Pengembangan Pendidikan.
Pada 14 Agustus 1950, terbitlah Surat Keputusan Menteri PP dan K No. 8230/A yang menetapkan Peraturan Dasar Proyek Pengerahan Tenaga Mahasiswa. Titik tekannya, mahasiswa yang bisa ikut dalam proyek PTM sekurang-kurangnya telah lulus ujian persiapan (C1) di salah satu perguruan tinggi negeri.
Mr. Hardi kemudian menemui Rektor UGM Sardjito untuk membicarakan pelaksanaan PTM. Sardjito menugaskan Dewan Mahasiswa UGM untuk mengkoordinasi pendaftaran. “Sebagai ketua Badan Pekerja Dewan Mahasiswa UGM, saya menerima penugasan dan mulai membuka pendaftaran,” kenang Pak Koes, panggilan akrab Koesnadi. Pak Koes juga anggota Pengurus Besar IPPI di Yogyakarta.
PTM mengusung semangat perjuangan, pengorbanan, kesetiakawanan. Sehingga dilempar ke mana saja, ayok. Tanpa pandang suku dan agama.
Mengingat proyek ini notabene usulan mahasiswa, Koesnadi mengira mahasiswa akan menyambut antusias. Namun, apa hendak dikata, hingga beberapa hari, tak ada satu pun mahasiswa yang mendaftar. Tak mau proyek PTM gagal, Koesnadi bergerak cepat. Dia mengajak Rahajoe Hadi, Djirah Wartini, dan Sidarto –kawan sesama anggota tenteerclub (kelompok diskusi) hukum. Dia juga merayu kawan dekat dari fakultas lain, Samsu Arifin Leman, Soenarjoto Wardjan, Soegiono, dan Soeharsono. Pada Oktober 1951, delapan mahasiswa UGM itu memulai tugasnya sebagai guru SLTA di luar Jawa.
Modal mereka mengajar hanyalah pengalaman di masa perang. “Waktu menjadi anggota Tentara Pelajar di Banjarnegara dan Pekalongan, bila sedang tak ada pertempuran, saya bersama teman-teman membuka sekolah darurat di kantong-kantong pengungsi yang diikuti oleh para remaja SMP/SKP/SMA,” tulis Koesnadi.
Angkatan pertama PTM kembali ke UGM pada Juli 1952. Koesnadi bersama Sidarto kemudian menggerakkan Dewan Mahasiswa UGM untuk membentuk badan khusus yang menangani proyek PTM. Badan yang diberi nama Penyelenggara Pengerahan Tenaga Mahasiswa itu, berhasil memberangkatkan angkatan kedua, terdiri atas 16 mahasiswa UGM. Disusul kemudian angkatan ketiga sebanyak 39 orang; kali ini terdapat mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Angkatan keempat membludak, mencapai 139 peserta yang terdiri atas mahasiswa UGM, UI, dan Universitas Airlangga (Unair).
Tantangan
Dalam perkembangannya, peserta PTM tidak sekadar menjadi guru SLTA tapi ambil peranan dalam mendirikan ratusan SLTA di luar Jawa. Seiring meningkatnya kebutuhan guru menyusul dibukanya sejumlah SLTA baru, terbit SK Menteri PP dan K No. 67527/S bertanggal 25 Juli 1957 yang membentuk struktur Panitia PTM Pusat dan Panitia PTM Daerah. Panitia Pusat PTM dipegang Kementerian PP dan K dengan sekretariat pusat berkedudukan di Yogyakarta.
Koesnadi, yang mempelopori proyek ini, dilantik menjadi sekretaris jenderal Panitia Pusat PTM Kementerian PP dan K. Agar panitia-panitia PTM Daerah terbentuk, dia menjalin kontak dengan rektor Universitas Sumatra Utara (Medan), Universitas Hasanuddin (Makassar), dan Unair (Surabaya). Sementara Sidarto –kemudian dilanjutkan K. Wiradyo– berhubungan dengan rektor Unand di Padang dan Bukittinggi.
Dengan terbentuknya kepanitiaan ini, pelaksanaan PTM lebih teratur. Sebelum berangkat, mahasiswa harus mengikuti kursus cepat tentang didaktik dan metodik pengajaran sebagai bekal bekerja sebagai guru. Peserta PTM juga harus menandatangani surat perjanjian dengan pihak Kementerian PP dan K dan menjalani tugas mengajar minimal dua tahun. Setelah mengajar, mereka mendapat kompensasi berupa pengangkatan sebagai pegawai negeri dan mendapat tugas belajar untuk melanjutkan studi sampai selesai.
“Dan karena kalau masuk dalam PTM ini diberi status pegawai negeri dengan tingkat E, maka memberanikan diri keluar Jawa untuk kembali melanjutkan sekolahnya setelah dia beranak dua atau tiga. Ini kenyataan,” ujar Moch Jen Amar dari Senat Mahasiswa Bandung, anggota Panitia Keahlian Pembangunan (PKP) bagian Pengerahan Tenaga Rakyat, dalam rapat Dewan Perancang Nasional (Depernas) 15 Juni 1960. Menurutnya, kebanyakan yang mendaftar adalah mahasiswa yang sudah terdesak, berusia lanjut dan ingin berkeluarga.
Namun, dia juga meminta pelibatan mahasiswa yang lebih dalam pengerahan tenaga rakyat. Dia menyebut tiga keuntungan mahasiswa yang dilibatkan: berbakti kepada negara, bekerja praktik, dan dekat dengan masyarakat. “Mahasiswa mau dikerjakan 100%, hanya nanti minta paling-paling tegenpretatie, yaitu buku-buku di perpustakaannya ditambah... dan saya kira kalau perlu diberi beasiswa yang juga menjadi kepentingan negara,” ujar Jen Amar.
Selain mendapat jaminan jadi pegawai negeri, semua ongkos mahasiswa PTM, dari pemberangkatan hingga penginapan, ditanggung pemerintah. “Gaji yang dibayar oleh pemerintah untuk guru Sekolah Lanjutan Tingkat Atas lebih dari cukup. Apalagi guru yang masih lajang, gaji yang diterima, sebagian sisanya dapat dipergunakan untuk rekreasi yang menggembirakan, seperti main badminton, tenis, darmawisata, dan lain-lain,” tulis 10 Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan.
Di daerah penempatan masing-masing, para mahasiswa PTM harus bisa membawa diri. Perbedaan budaya sering jadi kendala. Bachtiar Chamsyah, mantan menteri sosial, punya pengalaman unik ketika sekolahnya, SMA Kutacane, Aceh Tenggara, kedatangan guru PTM dari Jawa. “Mereka masih muda-muda dan berperangai halus. Berbeda dengan kami pelajar yang bergaya crossboy,” kenangnya.
Dia menceritakan, kala itu tak sedikit para pelajar yang membawa pisau belati ke sekolah. Ketika guru dari Jawa sedang menulis di papan tulis, ada saja teman yang melemparkan pisau ke papan tulis dan menancap. “Tujuannya tak lain untuk mengintimadasi sang guru, supaya tidak memberi nilai jelek kepada para pelajar,” tulisnya dalam buku 100 Tahun Mohammad Natsir.
Gertak sambal macam begitu tidak seberapa. Yang repot jika di daerah penempatan sedang bergejolak perlawanan. Ini dialami Bawadiman. “Pengalaman saya di PTM ibarat lepas dari mulut macan masuk ke mulut buaya,” ujarnya, tertawa.
Semula dia mendapat tugas mengajar di SGA Padang. Namun, apa hendak dikata, Padang sedang bergolak. Dianggap sebagai orang pusat, dia dipulangkan. Menariknya, dengan inisiasi Dewan Banteng, yang kelak memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Dewan Mahasiswa Sumatra Tengah mencetuskan sendiri program PTM pada 27 Agustus 1957.
Kembali ke Jawa, Bawadian melapor ke Departemen Pendidikan di Cikini, Menteng, Jakarta. Dia akhirnya dipindahtugaskan ke Donggala pada Februari 1957. Di sana, setelah menginisiasi berdirinya SGA, rintangan kembali datang. Donggala bergolak. Terjadi perang Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) –pendukung PRRI.
“Waktu perang Permesta, dinding sekolah tidak tembus peluru. Hanya saja yang rusak karena kena mitraliur 12,7,” ujar Bawadiman. “Barangkali karena sekolah itu dibangun pakai beton. Saat bangun sekolah tak ada bata merah, makanya pakai beton semua dan ternyata kuat.”
Tantangan yang dihadapi memang berat, namun Bawadiman tak mau memenuhi surat panggilan dari Kementrian PP dan K yang memintanya kembali. Baginya, dua tahun tak cukup. “Saya harus lihat hasil kerja saya dulu. Lihat sampai anak-anak itu lulus. Sampai tugas saya benar-benar selesai.”
Kendati memberi dampak positif, proyek PTM akhirnya dihentikan pada 1962. Surat Keputusan Menteri No. 21/1963 bertanggal 19 Maret 1963 mengenai pengakhiran proyek PTM dan pembubaran panitia PTM menyebutkan: “Putusan diambil mengingat telah tercukupinya kebutuhan tenaga guru –dari lulusan IKIP/LPTK.”
Selama 12 tahun, proyek ini mengerahkan 12 angkatan dengan 1.359 mahasiswa. Proyek ini juga menambah sekolah setingkat SLTA. Jika pada 1951 hanya ada sekira 25 SLTA di luar Jawa, tahun 1962 jumlah SLTA mencapai 161. Ini berarti 136 SLTA telah dibuka mahasiswa PTM.
“Dengan dibukanya sekian banyak SLTA di luar Jawa, berarti diperoleh lulusan SLTA yang kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi di luar Jawa, sehingga proyek PTM ini secara tidak langsung telah pula memberikan sumbangannya kepada pemerataan pendidikan tinggi bagi generasi muda di luar Jawa,” tulis Koesnadi Hardjasoemantri dalam “Peran Pemuda Pelajar Indonesia dalam Perjuangan Bangsa: Sebuah Refleksi dan Harapan”, dimuat Jurnal Sejarah, vol. 13, edisi 13 Januari 2007.
Keberhasilan PTM menginspirasi program lainnya. Sepuluh tahun kemudian, ketika menjabat direktur Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Koesnadi mencetuskan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk mahasiswa. Belakangan muncul gerakan Indonesia Mengajar.
Perundingan Masa Senja
Sejak proyek PTM masih berjalan, beberapa mantan mahasiswa PTM menghimpun diri dalam organisasi bersifat kekeluargaan di sejumlah kota. Selain mengumpulkan warga PTM, mereka membantu Kementerian PP dan K dalam pelaksanaan proyek PTM. Mengingat manfaatnya, atas prakarsa Sekretaris Jenderal Pusat Panitia PTM Departemen PP dan K, dihelatlah konferensi akbar warga PTM di Yogyakarta pada 12–14 Februari 1960. Konferensi menghasilkan apa yang disebut Piagam Kaliurang. Isinya, menyatukan organisasi yang terbentuk di daerah-daerah menjadi satu organisasi bernama Ikatan Keluarga Pengerahan Tenaga Mahasiswa (IKPTM).
“Sayangnya piagam tersebut hilang, tak tahu rimbanya,” ujar Bawadiman, ketua IKPTM saat ini.
Kini, struktur organisasi IKPTM menyebar di enam kota: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang. Mereka berkongres tiap dua tahun.
Di usia senja, para oma-opa itu mengorganisasi anak-cucu untuk meneruskan perjuangan, khususnya di bidang pendidikan. Setelah melampaui serangkaian debat pemikiran, saat reuni IKPTM ke-17 di Yogyakarta pada 4 Juni 2011, mereka menginisiasi lahirnya organisasi Generasi Penerus Pengerahan Tenaga Mahasiswa (GP PTM). “Pencantuman PTM pada nama organisasi GP PTM agar para anggotanya mampu membawa semangat para mantan pelaku proyek PTM dan berbuat yang lebih baik bagi bangsa dan negara,” tandas Bawadiman.
GP PTM Surabaya bersama IKPTM Komisariat Surabaya mendapat bantuan dana hibah dari Pemerintah Kota Surabaya sebesar Rp58 juta. Dana ini dipergunakan untuk pelaksanaan Program Gerakan Literasi berupa bantuan buku, rak buku untuk tiap kelas, dan karpet untuk perpustakaan SDI Al Karim, sekolah percontohan yang dibuat IKPTM di wilayah Wonocolo, Surabaya. Selain itu, ada banyak program GP PTM yang digulirkan di sejumlah wilayah, dari pelatihan menulis hingga sekolah sehat.*