Petugas menyimpan film lama di rak penyimpanan di Sinematek Indonesia. (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
FIRDAUS, staf pemeliharaan film Sinematek Indonesia, masuk ke ruang penyimpanan film di basement gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), yang berlokasi di Jalan Rasuna Said Kav C-22, Jakarta Selatan. Begitu melewati pintu masuk, aroma pengap yang kuat tercium. Bau itu, yang berasal dari film seluloid, bisa membuat pusing. Namun, tanpa mengenakan masker, Firdaus tetap melenggang masuk.
Di dalam ruangan, rak-rak dengan tinggi sekitar 3 meter menyimpan wadah-wadah kaleng berisi film seluloid. Ada sekira 719 judul film seluloid, baik negatif maupun rilis. Jumlah itu belum termasuk film dari Bangun Citra Nusantara (yayasan milik kroni Soeharto) dan sumbangan dari pemerintah Jerman, Prancis, dan Kanada.
Satu judul film memiliki beberapa rol seluloid tergantung panjang-pendek film. Pengkhianatan G30S/PKI (1984), misalnya, yang berdurasi sekitar tiga jam setengah memiliki 15 gulungan film –jumlah terpanjang dari semua koleksi. Menurut Firdaus, jika ditotal, ada sekitar 2.000 gulungan seluloid.
FIRDAUS, staf pemeliharaan film Sinematek Indonesia, masuk ke ruang penyimpanan film di basement gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), yang berlokasi di Jalan Rasuna Said Kav C-22, Jakarta Selatan. Begitu melewati pintu masuk, aroma pengap yang kuat tercium. Bau itu, yang berasal dari film seluloid, bisa membuat pusing. Namun, tanpa mengenakan masker, Firdaus tetap melenggang masuk.
Di dalam ruangan, rak-rak dengan tinggi sekitar 3 meter menyimpan wadah-wadah kaleng berisi film seluloid. Ada sekira 719 judul film seluloid, baik negatif maupun rilis. Jumlah itu belum termasuk film dari Bangun Citra Nusantara (yayasan milik kroni Soeharto) dan sumbangan dari pemerintah Jerman, Prancis, dan Kanada.
Satu judul film memiliki beberapa rol seluloid tergantung panjang-pendek film. Pengkhianatan G30S/PKI (1984), misalnya, yang berdurasi sekitar tiga jam setengah memiliki 15 gulungan film –jumlah terpanjang dari semua koleksi. Menurut Firdaus, jika ditotal, ada sekitar 2.000 gulungan seluloid.
Firdaus lalu menunjukkan film paling lama dari koleksi Sinematek, Tie Pat Kai Kawin (1935), karya The Teng Cun. Film ini berbentuk seluloid 35 mm. Kondisinya tidak terlalu bagus untuk diputar. “Film ini rawan rusak kalau diputar. Sudah tua,” kata Firdaus.
Tie Pat Kai bukanlah film cerita pertama di Hindia Belanda. Film pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926) karya L. Heuveldrop. Bersama film-film di masa awal seperti Eulis Atjih (1927) karya G. Krugers dan Lily Van Java (1928) karya Nelson Wong, ia tidak ada dalam koleksi Sinematek.
Sementara untuk film seluloid terbaru, Firdaus menunjuk film The Raid (2011). The Raid adalah titipan dari PT Merantau film.
Menurut Firdaus, tingkat kelembaban dan suhu ruangan mempengaruhi ketahanan dan kondisi film seluloid. Agar awet, ruangan seharusnya memiliki suhu 9 sampai 12 derajat, dengan kelembaban 45 sampai 65 persen. Tapi, ruangan Sinematek bersuhu 19 derajat dengan kelembaban 42 persen. Mesin pendingin ruangan sedang bermasalah. Satu dari dua mesin pendingin sedang rusak. “Kalau [aturan] itu dijalankan, [film] kuat sampai 135 tahun,” kata Firdaus.
Tak jauh dari pintu keluar, beberapa film seluloid seperti Tutur Timular I (1989) dan Cinta Bersemi (1977) tergeletak di lantai. Kondisinya rusak. Bagian awal pita lengket. Bagian isi film, yang terletak di tengah roll, bisa terselamatkan namun, “Paling yang diambil berapa mili, dipotong, terbuang satu-dua adegan.”
Film yang tergeletak itu perlu penanganan khusus: dimasukkan ke dalam tempat kedap udara, dibeli silica gel, kemudian dibersihkan dengan etanol. Tapi, itu belum sempat dilakukan. “Perlu waktu dan biaya,” kata Firdaus.
Misbach Yusa Biran, pendiri Sinematek Indonesia. (Istimewa).
Impian Misbach
Misbach Yusa Biran, seorang sutradara film, memutuskan berhenti membuat film pada awal 1971. Misbach beralasan dirinya tak bisa mengikuti tema seks yang sedang melanda dunia film. Selain itu, dia ingin memasuki dunia baru: dunia arsip film.
Saat itu, belum ada orang yang memikirkan arsip film secara khusus. Bahkan, pada 1950-an, Perusahaan Film Negara (PFN) –kini, Produksi Film Negara– membakar negatif film dengan alasan rawan kebakaran. “Akhir tahun 1970-an timbul gagasan dari saya untuk mengumpulkan dokumentasi mengenai perfilman, melihat seringnya orang film membuat kesalahan yang sama,” tulis Misbach dalam Ikhtiar Sejarah Sinematek Indonesia.
Misbach memulainya dengan mendirikan Pusat Dokumentasi tahun 1971 di lingkungan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) –kini, Institut Kesenian Jakarta. Lembaga ini mengumpulkan bahan-bahan untuk penulisan sejarah film Indonesia sebagai bahan ajar di Akademi Sinematografi (sekarang Fakultas Film dan Televisi). Data yang terkumpul dipamerkan pada Maret 1972.
“Dengan pameran itu, orang mulai melihat pentingnya pengumpulan dokumentasi, dan mulai terasa bahwa film juga perlu dilestarikan,” kata Misbach.
Kesempatan memperdalam arsip film datang pada 1973 ketika dia berangkat ke Belanda. Di Eropa, sudah ada lembaga-lembaga arsip film. Cinémathèque Française yang berbasis di Prancis, didirikan tahun 1936, menjadi lembaga arsip film terbesar di dunia.
Sepulang dari Belanda pada 1974, dia membuat proposal pendirian lembaga arsip film yang mandiri dan berada di luar LPKJ. Proposalnya selalu dimentahkan pemerintah maupun Dewan Kesenian Jakarta. Namun, Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta saat itu, tertarik. Maka, berdirilah Sinematek Indonesia berdasarkan surat keputusan gubernur pada 20 Oktober 1975 –tanggal itu kemudian diperingati sebagai hari jadi Sinematek Indonesia.
Kantor Sinematek Indonesia. (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Sinematek menjadi lembaga arsip film pertama di Asia Tenggara. Misbach menjadi ketua dan S.M. Ardan menjadi wakil sekaligus kurator. Mereka berdua menjadi ujung tombak pengumpulan arsip film Indonesia. Setelah Ardan meninggal dunia karena kecelakaan tahun 2006, Sinematek tak lagi memiliki kurator.
Bersama beberapa organisasi perfilman lain, Sinematek menempati Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Untuk operasional, anggaran disediakan pemerintah DKI Jakarta. Mulailah Sinematek menghimpun film, naskah skenario, buku, dan poster film. Beberapa film asing yang ada hubungannya dengan Indonesia juga dikumpulkan.
Setelah Ali Sadikin tak lagi menjabat gubernur tahun 1977, pemerintah DKI Jakarta tak lagi memberikan perhatian. Bahkan, pemerintah provinsi melemparkan urusan perfilman kepada Dinas Penerangan (Deppen).
“Deppen tidak bisa segera menolong, karena tidak ada dana untuk itu. Dalam tugas Deppen tidak ada soal arsip film,” kata Misbach.
Sinematek mengalami krisis. Bahkan sekitar 1980 berencana tutup. Permasalahan keuangan untuk kebutuhan operasional, perawatan, dan gaji jadi alasan. Namun, Misbach tetap berusaha mempertahankannya. Sekalipun bantuan kemudian mengucur dari Deppen, ya ala kadarnya.
Pada 1997, Sinematek dipindah ke gedung sekarang di Jalan Rasuna Said Kav C-22, Jakarta Selatan. Pemerintah DKI Jakarta, sebagai pemilik lahan Gedung PPHUI, telah memindahkan pengelolaan kepada pihak swasta. Saat ini, wilayah itu tertutup pagar seng; pohon dan rumput dibiarkan tumbuh liar.
Sebagai payung hukum dan pengelola Sinematek, dibentuklah Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (YPPHUI). Bustal Nawawi diangkat sebagai ketuanya. YPPHUI mengelola tiga lembaga perfilman, yaitu Sinematek Indonesia, SDM Citra (lembaga kursus multimedia), dan Apresiasi Film (lembaga penyelenggara acara film).
Petugas perawatan film. (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Cara Mendapatkan Film
Tak ada peraturan yang mewajibkan pembuat film menyimpan kopian film. Ini membuat Sinematek harus bekerja keras untuk mengumpulkan film-film lawas maupun baru. Misbach berkeliling untuk mencari film-film Indonesia. Film lawas umumnya didapat dari para pengusaha bioskop keliling. “Dari mereka bisa dapat cukup banyak film lama tersimpan di bioskop-bioskop desa atau koleksi pengusaha bioskop keliling yang sudah tidak laku lagi,” kata Misbach.
Yang dicari bukan hanya film seluloid tapi juga film dalam format Beta, VHS, VCD, dan DVD. Maka, pencarian juga dilakukan di pusat penjualan film seperti Blok M. “Dulu, saya yang disuruh Pak Misbach buat mencari film di Blok M,” kata Nur Hartono, mantan pegawai Sinematek tahun 1985 sampai 2014.
Sinematek juga mengumpulkan film dengan menghubungi para pembuat film. Meski Misbach pernah menjadi presiden Persatuan Karyawan Film dan Televisi (KFT) tahun 1978 sampai 1981, dia kesulitan meminta kopi film dari mereka. “Jangankan diminta film, diminta foto atau poster saja harus dengan paksaan,” kata Misbach.
Namun, atas usahanya, arsip film bisa didapatkan. Satiri, staf bagian perpustakaan, mengakui kehebatan Misbach. “Orang-orang pada segen sama Pak Misbach, menghormati,” kata Satiri kepada Historia.
Beberapa lembaga menyumbangkan film mereka. Deppen dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) menyerahkan penyimpanan 128 film cerita dan 95 dokumenter tentang Indonesia sejak 1978 sampai 1995. Deppen juga mengirimkan film-film yang menjuarai Festival Film Indonesia (FFI). “Sekitar tahun 2004 sudah berhenti,” kata Firdaus.
Sumbangan juga datang dari negara luar. Selain Jerman, Prancis, dan Kanada yang memberikan film dokumenter, Jepang menyumbang editing table film. Sementara untuk proyektor, Sinematek membelinya. Proyektor untuk 35 mm masih bisa digunakan sedangkan untuk 16 mm sudah rusak.
Ada pula beberapa produsen film yang menitipkan film mereka. Pembuatan film dengan seluloid masih digunakan sampai sekitar tahun 2010. Setelah itu, banyak produser membuat film dengan Digital Cinema Package (DCP).
Negatif film. (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Perawatan film yang mahal menjadi alasan pembuat film menitipkan filmnya. “Biasanya dikenakan biaya perawatan saat akan diambil, tapi tidak diatur. Sukarela dan berdasarkan kesadaran. Ada yang memberi Rp500.000,” kata Firdaus.
Misbach berhenti menjadi ketua Sinematek tahun 2001. Kondisi fisik dan kesehatannya tidak lagi mendukung. Misbach meninggal dunia tahun 2012. Sampai akhir hayatnya, dia belum bisa menyaksikan Sinematek lepas dari masalah.
Sepeninggal Misbah, Sinematek semakin kesulitan mencari dana. Hal ini berakibat pada penurunan usaha untuk aktif mengoleksi film.
Hingga kini, Sinematek mengumpulkan dan menyimpan 1.402 judul film cerita dan 400 dokumenter dalam berbagai format. Selain itu, terdapat 3.000 koleksi perpustakaan berupa buku, jurnal, majalah, dan naskah film. Terdapat pula hampir 10 ribu poster. Semua dokumen dan film bebas diakses siapapun. Publik bisa membaca naskah-naskah film karya Usmar Ismail atau melihat poster-poster tempo dulu –poster paling lama yang tersimpan adalah Berangkat ke Mekah (1930) dan Melati van Agam (1930). Publik juga bisa meminjam film seluloid atau memanfaatkan fasilitas bioskop mini di dalam gedung.
Adisurya Abdy, ketua Sinematek Indonesia merangkap sekretaris YPPHUI, mengatakan Sinematek kini fokus pada pemeliharaan film koleksinya. Baginya, zaman digital memudahkan proses pencarian. Film dengan gampang dicari, terutama di internet. “Kalau film sekarang sejak 2010 sudah ada di YouTube. Saya sudah ngecek, sebulan saya ngecek internet, saya menemukan lebih kurang 1.000 film yang bisa ditonton,” kata Abdy.
Meski internet mempermudah orang untuk menonton film, pengarsipan film-film lawas masih diperlukan. Sebuah film bisa menunjukkan kondisi dan budaya pada masa film itu dibuat. Selain itu, pembuat film bisa belajar teknik sinematografi.
“Kalau itu hilang, mengetahuinya hanya melalui baca. Namun, kalau bicara dan logat kan tidak bisa dibayangkan,” kata Alexander Matius, manajer di Cinemapoetica, media kritik dan kajian film, kepada Historia.
Adisurya Abdy, ketua Sinematek Indonesia. (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Tersendat Dana Merawat Film
Film seluloid harus rutin dibersihkan. Dalam sebulan, 10–20 film harus dibersihkan dengan menggunakan cairan etanol 100%. Dalam satu bulan, diperlukan 40 liter etanol. Untuk itu Sinematek menganggarkan sekitar Rp1,5 juta per bulan.
“Sebenarnya, kalau kita mengikuti aturannya bisa sampai 5 juta. Kita hemat karena enggak ada anggaran,” kata Firdaus.
Alhasil, banyak film lama yang rusak dan tak tertangani. Kerusakan teletak dari gambar yang sudah tergores atau tak bisa diputar sama sekali. Bagi penikmat film, kondisi tersebut tentu saja mengganggu.
“Film-film berharga dari masa lalu itu kami tonton dalam keadaan terputus-putus, penuh goresan, dengan suara yang kadang cempreng kadang hilang sama sekali. Betapa irinya kami pada orang-orang yang menontonnya di masa lalu dengan gambar yang mulus dan suara yang merdu,” tulis Lisabona Rahman, anggota tim restorasi film Lewat Djam Malam, dalam “Apa Kami Hanya Pantas Menonton Film-film Rusak?”, termuat di buku Lewat Djam Malam Diselamatkan terbitan Sahabat Sinematek tahun 2012.
Melakukan restorasi atau pemulihan tidaklah gampang. Perlu dana besar dan waktu lama. Salah satu film yang sudah direstorasi adalah Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail. Itu pun berkat sebuah program restorasi yang dilakukan Museum Nasional Singapura bekerjasama dengan Konfiden, Sinematek, Kineforum, Dewan Kesenian Jakarta, dan World Cinema Foundation –lembaga bentukan sutradara ternama Martin Scorsese. Restorasi dilakukan di L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia, satu satunya laboratorium film khusus restorasi di dunia. Proses restorasi memakan waktu tujuh bulan dan lebih dari 2.500 jam reparasi digital hingga selesai. Hasil restorasi penuh ditayangkan kali pertama pada Festival Film Cannes, 17 Mei 2012, dalam acara Cannes Classic. Setelah itu barulah film tersebut bisa dinikmati penonton di dalam negeri.
Bioskop mini di Sinematek Indonesia sumbangan 21 Cineplex. (Nugroho Sejati/Historia.ID).
Selain restorasi, Sinematek sudah melakukan digitalisasi ke dalam bentuk DVD. Beberapa film lama didigitalkan dengan kualitas sama seperti kondisi asli dalam film seluloid. Pendigitalan menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Indonesia Film Center (Id Film Center). Kemendikbud mendigitalkan 29 judul film pada 2013. Sedangkan ID Film Center, yang didirikan tahun 2014, mendigitalkan sekitar 40 film. Tampaknya jumlah film yang didigitalisasi akan terus bertambah.
Usaha mendigitalkan film diapresiasi oleh Matius, yang juga manager Kineforum. Bagi dia, pendigitalan akan mempermudah orang menonton film lama. Namun, dia mengkritik pendataan film koleksi dan publikasinya ke publik. “Kita tidak tahu berapa jumlah film yang ada di Sinematek,” kata Matius.
Untuk mendapatkan dana, Sinematek beberapa kali mendapatkan dana dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. YPPHUI, sebagai pengelola Sinematek, mengumpulkan dana dari pengelolaan Gedung PPHUI. Yayasan juga membuka sumbangan, baik perseorangan maupun lembaga. Misalnya, sumbangan sebuah bioskop mini berkapasitas 30 penonton dari 21 Cineplex, perusahaan bioskop terbesar di Indonesia.
Kendati kekurangan dana, Abdy tak ingin Sinematek bergantung pada pemerintah. Bagi dia, yang penting Sinematek mampu bertahan meski dengan dana seadanya. “Tinggal pemerintahnya aja, butuh gak sama Sinematek. Kalau gak butuh ya monggo. Toh kita juga masih bisa hidup,” kata Abdy.*