Mengembalikan Pesona Banten Lama

Empat strategi dalam revitalisasi situs Banten Lama sebagai kawasan wisata sejarah dan budaya serta religi dan ziarah.

OLEH:
Risa Herdahita Putri
.
Mengembalikan Pesona Banten LamaMengembalikan Pesona Banten Lama
cover caption
Menara dan Masjid Agung Banten di kawasan Banten Lama. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

HARI itu sepi peziarah. Masjid Agung Banten hanya diisi jamaah pengajian rutin. Pintu menaranya pun ditutup. Toh keramaian tak pernah lenyap. Ratusan pedagang kaki lima (PKL) berjejal mendirikan lapak terpal di sekeliling kompleks masjid, berimpitan memutari pagar alun-alun.  

Sudah sejak lama, PKL menjadi masalah tersendiri dalam penataan kawasan Banten Lama, khususnya Masjid Agung Banten. Bukan hanya mengganggu pemandangan, keberadaannya menyalahi aturan tata kelola bangunan berlabel cagar budaya.

“Saya sih nunggu digusur saja,” celetuk Rohimah, pemilik kios kaki lima di dekat alun-alun masjid. Tapi dia berharap, jika jadi dipindahkan, kiosnya tak akan berada jauh dari Masjid Agung. Ramai peziarah menjadi ladang pemasukannya sehari-hari.

HARI itu sepi peziarah. Masjid Agung Banten hanya diisi jamaah pengajian rutin. Pintu menaranya pun ditutup. Toh keramaian tak pernah lenyap. Ratusan pedagang kaki lima (PKL) berjejal mendirikan lapak terpal di sekeliling kompleks masjid, berimpitan memutari pagar alun-alun.  

Sudah sejak lama, PKL menjadi masalah tersendiri dalam penataan kawasan Banten Lama, khususnya Masjid Agung Banten. Bukan hanya mengganggu pemandangan, keberadaannya menyalahi aturan tata kelola bangunan berlabel cagar budaya.

“Saya sih nunggu digusur saja,” celetuk Rohimah, pemilik kios kaki lima di dekat alun-alun masjid. Tapi dia berharap, jika jadi dipindahkan, kiosnya tak akan berada jauh dari Masjid Agung. Ramai peziarah menjadi ladang pemasukannya sehari-hari.

Menurut Abbas Wasse, ketua Kenadziran Banten Lama, institusi yang mengurus dan mengelola tanah wakaf, pihaknya sudah memindahkan 150 PKL bersama Polres Serang tahun lalu. Namun, mereka hanya menempati tempat sementara di samping Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama.

Abbas menambahkan, kurang lebih 1.000 PKL yang mengelilingi Masjid Agung Banten sudah sadar dan bersedia pindah. Namun, lokasi pemindahannya belum tersedia. Dia mengatakan, gerak Pemerintah Kota (Pemkot) Serang dalam mengatur Banten Lama terlalu lamban. Padahal sudah ada dana Rp30 miliar dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten untuk merevitalisasi kawasan cagar budaya ini, kendati dana baru turun tahun ini. Dia mendesak, pembenahan PKL dilakukan secepatnya.

“Fakta sekarang PKL yang bikin kumuh. Sampai sekarang baru rapat-rapat, belum ada revitalisasi,” keluh Abbas.

Komarudin, kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kota Serang, mengatakan, relokasi PKL memang menjadi rencana pertama dalam program revitalisasi situs Banten Lama yang diwacanakan sejak tahun lalu. Targetnya, pembebasan lahan untuk PKL dilakukan tahun ini. Namun, lokasinya belum ditentukan, menunggu hasil kajian zonasi kawasan Banten Lama. Pihaknya juga tengah mengkaji Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).  

“Semua harus dalam tahapan. Yang kita tata ini bukan kawasan yang bukan cagar budaya. Harus banyak pertimbangan,” ujarnya.

Penjaga kotak amal di selasar Masjid Agung Banten. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Upaya Revitalisasi

Situs Banten Lama sudah terlalu lama dibiarkan. Sejak dibongkar dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Serang pada 1813, ia terbengkalai. Masjid Agung Banten dan menaranya menjadi satu-satunya bangunan kuno yang masih utuh hingga sekarang. Sementara Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, hingga Benteng Speelwijk hanya menyisakan reruntuhan.

“Permasalahan utama ya penataan. Kumuh, banyak PKL, banyak rumah,” kata Joesoef Boedi Arijanto, kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten.  

Kondisi cagar budaya ini memang tak terurus. Lihatlah, ada dua gawang sepakbola berdiri di dalam lingkup Benteng Speelwijk yang berumput, puluhan kambing yang digembalakan di dalam Keraton Kaibon, atau jemuran penduduk tersampir di pagar-pagar pembatas situs. Belum lagi coretan warna-warni dengan tinta permanen di dinding-dinding keraton. Praktis, tak banyak yang bisa dikenang dari kejayaan salah satu bandar dagang terbesar di Nusantara itu.  

Sejak 1980-an, program revitalisasi situs Banten Lama berkali-kali digulirkan tapi tak pernah terealisasi. Tahun lalu, Pemkot Serang kembali mewacanakan revitalisasi. Kali ini dinilai lebih konkret. Dana sebesar 30 miliar sudah dikucurkan. Koordinasi dilakukan dengan pihak Pemprov Banten dan pemerintah pusat. Mereka juga menggandeng kerjasama dengan akademisi.

Reruntuhan Keraton Surosowan. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Ali Akbar, arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan setidaknya dua tahun belakangan ini mulai ada perkembangan signifikan. “Kami sering diskusi. Sudah ada kesadaran bahwa Banten sebenarnya suatu bandar dagang yang besar, yang kalau kita ke sana tidak tercermin,” tutur Ali, ketika ditemui di kantornya.  

Bekerjasama dengan Pemkot Serang, Ali tengah mengkaji berbagai potensi kepurbakalaan di Banten Lama. Pemeriksaan dan pencarian ulang temuan-temuan cagar budaya menjadi strategi pertama dalam program revitalisasi. Beberapa potensi kepurbakalaan itu tertutup tanah, pepohonan, maupun bangunan-bangunan baru.

“Yang ada sekarang kan cuma Klenteng Avalokiteswara, Karangantu, Masjid, Benteng Speelwijk, Keraton Kaibon, Keraton Surosowan. Padahal sebenarnya masih banyak lagi yang dulu ada di sana,” ujar Ali.

Ali membandingkan kondisi saat ini dengan peta kuno Banten. Pada peta tahun 1825 atau 1901, Keraton Surosowan dikelilingi kanal di keempat sisinya. Namun, yang sekarang terlihat hanya di sisi barat dan selatan. “Nah setelah dilakukan kajian dan ekskavasi arkeologi dengan beberapa metode lainnya, ketemu, ada kanal di sisi timur,” ujar Ali.

Kanal-kanal itu mengalirkan air dari Sungai Cibanten, yang dulu dipakai sebagai jalur transportasi dari dan ke pedalaman. Aliran Sungai Cibanten dari selatan, melewati Keraton Kaibon, terus mengalir ke kanal di Keraton Surosowan.

“Itu bisa dibayangkan. Bahkan kalau kita wawancara orang-orang yang hidup di sana tahun 1970-an mereka masih bisa pakai perahu dari pelabuhan sampai kanal-kanal di keraton,” ujar Ali.

Strategi kedua dalam program revitalisasi adalah menemukan batas kepurbakalaan, yakni pembuatan zonasi inti, penunjang, dan pengembangan. Setelah itu diterapkan strategi ketiga untuk membuat kajian revitalisasi dan adaptasi. Artinya, pemerintah siap menghidupkan kembali kondisi kepurbakalaan seperti ketika masih difungsikan dulu.

“Bisa sebenarnya. Data sudah cukup banyak. Dari peninggalan di lapangan, dari catatan perjalanan pedagang, catatan Belanda, dan sebagainya,” ujar Ali.

Berbarengan dengan itu, dilakukan pula strategi keempat berupa kajian Amdal. “Infonya dari Bappeda dan UI sudah ada masterplan di provinsi, hanya saja dari UI harus ada penyesuaian lagi,” ujar Komarudin.

Keraton Kaibon dijadikan tempat gembala kambing. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Sejauh ini, kendala utamanya, banyak potensi cagar budaya yang telah rusak dan terkubur. Dalam berbagai jejak pendapat yang dihimpun Ali Akbar, banyak struktur dihancurkan akibat ketidaktahuan warga. Untuk itu peran masyarakat dibutuhkan. Masyarakat diminta untuk melaporkan jika tanpa sengaja menemukan benda cagar budaya dan tidak merusaknya.

Ada juga faktor alam. Khususnya sedimentasi. Sungai dari selatan membawa banyak material ke utara yang membuat garis pantai kian melebar ke utara. Akhirnya, beberapa struktur bangunan lawas pun terendam. Maka, melalui kajian Amdal, pengaktifan sistem kanal jadi pertimbangan.  

“Jadi misalnya kanal Surosowan dihidupkan tapi tidak dapat supplay, jangan-jangan malah habis airnya. Itu contoh,” ujar Ali.

Menurut Ali, revitalisasi ini akan menjadikan situs Banten Lama sebagai kawasan wisata budaya. Di dalamnya terdapat pula wisata religi dan ziarah. Di atas kertas, Ali yakin, pekerjaan seharusnya bisa rampung dalam waktu dua tahun.  

Hal lain yang masih menjadi catatan adalah bagaimana keberlanjutan revitalisasi ini nantinya. Sonny C. Wibisono, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, berpendapat, pembenahan situs Banten Lama tak seharusnya hanya memikirkan revitalisasi. Situs juga harus bermanfaat bagi masyarakat. Untuk pariwisata, misalnya.  

“Harus ada hitungan mau dijadikan apa, seberapa uang yang berputar. Sekarang kan hidup hanya dari ziarah,” ujarnya.

Reruntuhan Keraton Kaibon. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Beda Persepsi

Sudah sejak lama, PKL menjadi masalah tersendiri dalam rencana revitalisasi kawasan Banten Lama, khususnya Masjid Agung Banten. Bukan hanya mengganggu pemandangan, keberadaannya menyalahi aturan tata kelola bangunan berlabel cagar budaya.  

Sonny berharap adanya perencanaan matang soal pemindahan PKL. Jangan sampai nantinya hanya memindahkan permasalahan. “Ya jangan dipindah di situs-situs juga. PKL di luar zona inti. Bagusnya jauh dari situs,” ujarnya.

Menurut Helmy Faizi Bahrul Ulumi, direktur Laboratorium Bantenologi UIN SMH Banten, masih ada kendala mendasar lainnya yang membuat upaya revitalisasi seringkali gagal. Salah satunya ketidaksamaan persepsi dengan pihak Kenadziran Banten Lama.

“Masalah revitalisasi berbenturan dengan perasaan Kenadziran sebagai pewaris sah kesultanan. Buktinya, muncul resistensi ketika ada pihak-pihak lain yang dipandang ‘menganggu’,” ujarnya.

Pagar pembatas Keraton Kaibon dijadikan jemuran oleh warga. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Helmy menjelaskan, jika dipandang dari perspektif Islam, Kenadziran merupakan pihak yang bertanggungjawab mengelola dan mengembangkan benda wakaf. Namun, wakaf ini pun bisa dikatakan cacat secara hukum Islam.

“Apakah betul masjid dan makam di Banten Lama itu benda wakaf? Sebab, tidak ada ikrar wakaf dari wakif (pemberi wakaf), dalam hal tentu pemilik tanah kesultanan,” ujar Helmy.

Di sisi lain, Helmy menambahkan, sumbangan yang diterima Kenadziran dari pengunjung tak ada pertanggungjawaban ke publik. Tak jelas peruntukannya dan apakah ada audit tahunan atau tidak. Meski secara hukum Islam, Kenadziran berhak menerima apa yang dihasilkan dari wakaf.

Sejak lama pengelolaan dan pemeliharaan situs Banten Lama tumpang-tindih. Menurut Rohaendi, kepala Seksi Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, ada banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Termasuk Kenadziran. Menurutnya, Kenadziran memang pihak yang dititipi masjid dan lingkungannya. Namun, karena kemudian tinggal berdekatan dengan Istana Surosowan, mereka seolah menguasai seluruhnya.

“Agak susah juga ya, karena Kenadziran merasa dititipi. Serang tidak bisa berbuat banyak,” ujarnya.

Untuk bertindak, pemerintah tak bisa sembarangan. Kenadziran telah tinggal dan beranak-pinak bahkan jauh sebelum Provinsi Banten terbentuk. Sayangnya, perawatan dan pengelolaan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. “Masjid Banten dan makam-makam sultan dirawat dengan versi mereka. Bikin kita risih. Pungutan di sana-sini. Dapat apa dari situ? Masjid bersih kah?” ucapnya.

Deretan kios pedakang kaki lima di sekitar Masjid Agung Banten. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Abbas Wasse membenarkan bahwa pengelolaan Masjid Agung Banten dan makam sultan diserahkan kepada mereka. Adapun secara organisasi, kepengurusan masjid dan makam Sultan Banten saat ini masih di bawah otoritas Badan Wakaf Indonesia (BWI). “Saat ini BWI-lah yang punya otoritas,” ujarnya.  

Abbas menambahkan, secara garis besar situs Kesultanan Banten terbagi menjadi dua objek pengelolaan. Pertama, objek yang dikelola Kenadziran. Kedua, objek yang dikelola pemerintah, dalam hal ini sebagai cagar budaya Banten.

“Di samping mengelola perwakafan, kami juga menjaga kelestarian budaya. Ada masjid, menara, dan makam sultan,” ujar Abbad. “Istana Surosowan itu [kewenangan] Balai [BPCB]. Kalau kami tidak kuat pendanaannya.”

Namun, di balik perbedaan persepsi mengenai pengelolaan, semua sepakat dan berharap situs Banten Lama bisa menjadi tujuan wisata sejarah unggulan.  

“Pemerintah harus berperan sebagai mediator yang tegas dan kontinyu, harus menyadari setiap warisan eks Kesultanan Banten adalah aset bangsa dan daerah, maka ia tidak boleh dikuasai segelintir orang,” kata Helmy.*

Majalah Historia No. 33 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
675fa9fe6e96c9d1c2d8e840