S. Rukiah ditahan dan karya-karyanya dilarang penguasa Orde Baru karena dituding berhaluan kiri. Setelah puluhan tahun terpinggirkan, salah satu karyanya dihidupkan melalui pameran.
Pameran “Kejatuhan dan Hati: Denyut Romansa di Tengah Gejolak Revolusi” di RUBANAH–Underground Hub, Jakarta. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
“MERAH ini bukan sadja merah warna revolusi jang sekarang sudah tidak tahu merahnja lagi, bukan pula merah darah pembunuhan, tapi juga merah tjinta.”
Kutipan dari novel Kejatuhan dan Hati karya S. Rukiah itu menghiasi dinding pameran di RUBANAH–Underground Hub, Jakarta, dari 14 Oktober hingga 5 November 2023. Pameran bertajuk “Kejatuhan dan Hati: Denyut Romansa di Tengah Gejolak Revolusi” diselenggarakan sebagai bagian dari rangkaian acara Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Pameran ini juga sebagai upaya menggali kembali sosok dan karya sang sastrawati yang aktif berkarya sejak tahun 1940-an.
Novel Kejatuhan dan Hati yang terbit pada 1950 bukan karya pertama Rukiah. Di masa perang kemerdekaan, ia aktif menulis puisi dan mengirimkan tulisan-tulisannya ke sejumlah majalah, seperti Gelombang Zaman dan Godam Djelata. Selain menjadi koresponden dan staf majalah Pujangga Baru di Purwakarta, pada 1948 Rukiah juga kerap menulis untuk Mimbar Indonesia dan Indonesia. Meski begitu, Kejatuhan dan Hati yang membuat nama Rukiah semakin dikenal dan diperhitungkan sebagai sastrawan wanita di era kemerdekaan.
“MERAH ini bukan sadja merah warna revolusi jang sekarang sudah tidak tahu merahnja lagi, bukan pula merah darah pembunuhan, tapi juga merah tjinta.”
Kutipan dari novel Kejatuhan dan Hati karya S. Rukiah itu menghiasi dinding pameran di RUBANAH–Underground Hub, Jakarta, dari 14 Oktober hingga 5 November 2023. Pameran bertajuk “Kejatuhan dan Hati: Denyut Romansa di Tengah Gejolak Revolusi” diselenggarakan sebagai bagian dari rangkaian acara Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Pameran ini juga sebagai upaya menggali kembali sosok dan karya sang sastrawati yang aktif berkarya sejak tahun 1940-an.
Novel Kejatuhan dan Hati yang terbit pada 1950 bukan karya pertama Rukiah. Di masa perang kemerdekaan, ia aktif menulis puisi dan mengirimkan tulisan-tulisannya ke sejumlah majalah, seperti Gelombang Zaman dan Godam Djelata. Selain menjadi koresponden dan staf majalah Pujangga Baru di Purwakarta, pada 1948 Rukiah juga kerap menulis untuk Mimbar Indonesia dan Indonesia. Meski begitu, Kejatuhan dan Hati yang membuat nama Rukiah semakin dikenal dan diperhitungkan sebagai sastrawan wanita di era kemerdekaan.
Dalam Kejatuhan dan Hati, Rukiah menghadirkan narasi tentang revolusi kemerdekaan melalui kisah hidup Susi sebagai tokoh utama. Berbeda dari kebanyakan karya yang dilahirkan para sastrawan angkatan ‘45, Rukiah mengesampingkan narasi heroik yang maskulin, yang sarat pertumpahan darah di medan perang. Wanita yang pernah menempuh pendidikan guru di masa pendudukan Jepang itu justru menghadirkan pergolakan batin dan pikiran seorang perempuan muda dalam memaknai cinta yang bergelora di antara pergolakan fisik dan gagasan selama revolusi kemerdekaan.
Novel Kejatuhan dan Hati di pameran. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).
Andries Hans Teeuw atau A. Teeuw, pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda, menyebut karya-karya Rukiah memiliki kejujuran yang menarik dan simbolisme alamnya yang khas juga kerap memikat para pembacanya. Di sisi lain, prosanya, terutama cerita panjang Kejatuhan dan Hati memiliki nilai tersendiri jika mempertimbangkan waktu kemunculannya.
Menurut A. Teeuw, cerita dalam novel itu agaknya bersifat autobiografi yang memberikan kita gambaran otentik tentang wanita Indonesia masa kini dan masalah-masalah yang ia hadapi berkaitan dengan zamannya. Oleh karena itu, tema utamanya terletak pada kisah seorang wanita yang terlalu lemah untuk menanggung tekanan revolusi yang terlalu radikal baginya.
Menurut wanita itu yang ada hanyalah menerima kekalahan dengan lapang dada, kejatuhan yang tak terelakkan bagi mereka yang tidak, seperti Lukman dan Dini, memiliki sifat kuat dan mampu berkomitmen. Setiap tindakan kepahlawanan akan berujung pada kekalahan –siapapun yang ingin mendapatkan kedamaian harus mampu mengatasi egonya sendiri. “Mungkin bukan kesimpulan yang orisinil tetapi di sini kesimpulan itu dibuktikan dalam sastra, dengan cara yang tajam dan meyakinkan,” tulis A. Teeuw dalam Modern Indonesian Literature.
S. Rukiah dan suami, Sidik Kertapati, bersama anak mereka. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).
Di sisi lain, menurut Julie Shackford-Bradley dalam Autobiographical Fictions: Indonesian Women’s Writing from the Nationalist Period, dari novel Kejatuhan dan Hati para pembaca dapat menangkap kegelisahan sang penulis atas posisinya sebagai seorang intelektual, perempuan dan juga orang Indonesia yang hidup di zamannya. Oleh karena itu, senada dengan Shackford-Bradley, Henk Maier menulis bahwa kemampuan Rukiah dalam menyuarakan kegelisahan dan pemikiran-pemikirannya mengenai banyak hal itu membuat karya-karyanya cukup menonjol di antara para pengarang wanita lainnya di Indonesia.
“Kisah-kisahnya yang sarat dengan refleksi filosofis tentang perempuan pada masa revolusi mendapat banyak apresiasi di kalangan kritikus sastra dibandingkan dengan kisah-kisah perempuan lain yang sesungguhnya sama-sama menghadapi kenyataan bahwa mereka adalah pengarang perempuan dalam kancah sastra yang didominasi oleh laki-laki; karena alasan yang tidak jelas, karya para pengarang perempuan ini dengan mudah dianggap ‘ringan’ dan ‘biasa-biasa saja’,” tulis Meier dalam We are Playing Relatives: A Survey of Malay Writing.
S. Rukiah di masa tua. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).
Sayangnya, tragedi 1965 tak hanya meminggirkan nama Rukiah dalam dunia kesusastraan Indonesia. Tudingan keterlibatannya dalam organisasi berhaluan kiri membuat karya-karyanya dilarang beredar pada masa Orde Baru. Kini, 25 tahun setelah kejatuhan Soeharto yang menandai berakhirnya Orde Baru, karya-karya Rukiah kembali digali untuk diteliti dan dihadirkan sebagai alternatif bacaan untuk masyarakat. Diskusi dan pameran pun diselenggarakan untuk memperkenalkan karya-karya Rukiah, salah satunya pameran Kejatuhan dan Hati: Denyut Romansa di Tengah Gejolak Revolusi.
Dalam pameran ini, pengunjung dapat menelusuri perjalanan hidup Rukiah yang terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama berjudul “Terbitnya mentari merah” (1926–1946) menjabarkan masa-masa awal kehidupan Rukiah, mulai dari lahir pada 1927, menempuh pendidikan guru dua tahun (1943–1945), hingga menjadi pengajar Sekolah Rendah Gadis di Purwakarta pada 1945.
Bagian kedua berjudul “Merekah merah” (1946–1965) menyajikan kiprah Rukiah dalam dunia sastra Indonesia dan aktivitasnya sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), serta perannya dalam sejumlah surat kabar yang dikelola organisasi berhaluan kiri, salah satunya Api Kartini, terbitan berkala yang diasuh Gerwani.
Di bagian ketiga yang berjudul “Merah tersimpan dalam laci” (1965–1977), Rukiah dihadapkan pada kondisi tak menentu. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 tak hanya membuat PKI menjadi organisasi terlarang, tetapi juga menghancurkan Gerwani, Lekra, dan organisasi-organisasi kiri lainnya.
Pameran Kejatuhan dan Hati karya S. Rukiah. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).
Rukiah yang menjadi bagian dari Lekra turut terdampak kebijakan tersebut. Selain dipecat dari Balai Pustaka, empat karyanya yakni Kejatuhan dan Hati, Tandus, Kisah Perjalanan Si Apin, dan Teuku Hassan Djohan Pahlawan masuk dalam daftar buku pelajaran yang dilarang berdasarkan instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965. Tak hanya itu, ia juga ditangkap dan ditahan di Kompleks Korps Polisi Militer/Gabungan Tentara Purwakarta, sementara suaminya, Sidik Kertapati menjadi eksil.
Setelah menjalani hukuman tahanan rumah di Bandung, pada 1969 Rukiah dibebaskan dan pulang ke Purwakarta dengan syarat tidak boleh menulis lagi. Ia kemudian memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bekerja sebagai penjahit, penjual kue, dan asisten bidan di rumah bersalin milik kakaknya.
Bagian keempat yang berjudul “Menyalakan kembali pendar merah” (1977–sekarang) mengetengahkan upaya membangkitkan kembali karya-karya Rukiah yang tutup usia tahun 1996. Karya-karyanya menarik perhatian peneliti dan akademisi dari dalam maupun luar negeri.
Instalasi pada pameran Kejatuhan dan Hati karya S. Rukiah. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).
Selain menelusuri rekam jejak Rukiah, pada pameran tersebut pengunjung juga dapat melihat arsip novel Kejatuhan dan Hati sejak diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Rakyat pada 1950 hingga dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh John H. McGlynn.
Di salah satu sudut pameran, pengunjung juga dapat membaca buku-buku anak karya Rukiah seperti Kisah Perjalanan Si Apin, Djaka Tingkir, dan Teuku Hassan Djohan Pahlawan serta berbagai kumpulan dongeng dan cerita rakyat yang ia tuliskan kembali untuk anak-anak. Tak hanya itu, pengunjung juga dapat mendengarkan rekaman audio yang berisi korespondensi Rukiah dengan sastrawan H.B. Jassin.
Menariknya lagi di salah satu ruangan pameran terdapat instalasi bagi pengunjung untuk mengungkapkan isi hati dan pandangannya berkaitan dengan cinta. Selain itu, di pameran tersebut pengunjung juga dapat menikmati karya-karya seni para seniman yang merespons Kejatuhan dan Hati.*