Menggoreskan Nama di Sinema

Setelah novel pertamanya difilmkan, Fredy S merambah dunia sinematografi. Terlibat dalam produksi film cinta hingga horor.

OLEH:
Wenri Wanhar
.
Menggoreskan Nama di SinemaMenggoreskan Nama di Sinema
cover caption
Fredy S (berkacamata hitam) bersama kru PT Virgo Putra Film di Ancol, Jakarta, 2000. (Dok. Keluarga Fredy S/Historia.ID).

SETELAH membaca Senyummu Adalah Tangisku, Ny. Leonita Sutopo, juragan PT Inem Film, tertarik mengangkat novel itu ke layar lebar. Ia pun menyampaikan ketertarikannya ke si empunya karya. Fredy S senang novel perdananya, yang diterbitkan Mutiara pada 1978, difilmkan. Maka, ia mengangguk.

Leonita serius menggarap film ini. Tak tanggung-tanggung, ia menggandeng sederet artis papan atas. Mulai Rano Karno sampai Sukarno M. Noor. Dari Anita Carolina hingga Farida Pasha. Bahkan, untuk menggubah cerita dari novel menjadi gambar hidup, ia mendapuk Dasri Yacob, seorang sutradara kawakan. Dasri Yacob pula, bersama Fredy S, yang bikin skenario film.

SETELAH membaca Senyummu Adalah Tangisku, Ny. Leonita Sutopo, juragan PT Inem Film, tertarik mengangkat novel itu ke layar lebar. Ia pun menyampaikan ketertarikannya ke si empunya karya. Fredy S senang novel perdananya, yang diterbitkan Mutiara pada 1978, difilmkan. Maka, ia mengangguk.

Leonita serius menggarap film ini. Tak tanggung-tanggung, ia menggandeng sederet artis papan atas. Mulai Rano Karno sampai Sukarno M. Noor. Dari Anita Carolina hingga Farida Pasha. Bahkan, untuk menggubah cerita dari novel menjadi gambar hidup, ia mendapuk Dasri Yacob, seorang sutradara kawakan. Dasri Yacob pula, bersama Fredy S, yang bikin skenario film.

Film Senyumu Adalah Tangisku diputar di bioskop-bioskop pada 1980, mengangkat kisah cinta Rafli (Rano Karno), anak pengusaha kaya yang nakal karena kurang kasih sayang, dengan Erena (Anita Carolina). Orang tua Rafli tak merestui hubungan mereka. Situasi kian pelik karena teror Rosa (Sandra Ciptadi), teman satu sekolah, yang ingin merusak hubungan mereka.

“Waktu film itu main di bioskop, kami masih tinggal di Semarang,” ujar Sri Suyati, 59 tahun, istri pertama Fredy S.

Setahun kemudian, PT Inem Film kembali memfilmkan novel Fredy S yang berjudul Sejuta Serat Sutera. Dasri Yacob kembali dipercaya sebagai sutradara. Sementara penulis skenarionya dibuat keroyokan. Kali ini Dasri Yacob dan Fredy S dibantu Buyung Pramunsie dan Usman Effendy –nama terakhir kelak jadi karibnya. Film ini bercerita tentang hubungan asmara antara Budi (Rudi Salam), seorang pelukis, dan Retno Sari (Tanty Josepha), seorang perawat, di tengah konflik keluarga kaya raya.

Dua novelnya difilmkan, asa Fredy S melambung. Pada 1981, ia hijrah ke Jakarta untuk menjajal peruntungan di dunia film. “Ia berangkat ke Jakarta sendirian,” ujar Sri Suyati.

Di Jakarta, Fredy S menemui Bambang Siswanto, pamannya yang sudah menjadi bintang film, yang memperkenalkannya ke banyak orang, terutama kalangan perfilman.

Majalah remaja Team, edisi Juli 1986. Fredy S menjadi wartawan di majalah film, musik dan olahraga ini selama dua tahun.

Poduksi Film

Pada masa Orde Baru, semasa Departemen Penerangan masih bertaji, para pekerja di bidang film maupun televisi, dari sutradara hingga penata artistik, harus mendapat sertifikasi dari Karyawan Film dan Televisi (KFT), organisasi yang didirikan pada 22 Maret 1964. Ada seleksi dan saringan khusus. Maka, Fredy mengikuti kursus yang diadakan KFT.

“Saya suka dan masuk menjadi pekerja film sejak novel saya Senyumku Adalah Tangisku diangkat ke film layar lebar, dan sukses. Saya melihat peluang di dunia film,” kata Fredy S dikutip Kompas, 6 September 1997.

Selama menjalani kursus, Fredy S menjalin hubungan baik dengan Usman Effendy dan A.R. Fawzi. Dari Usman Effendy, pekerja film yang juga memimpin majalah dwimingguan Team, Fredy mendapat pekerjaan sebagai wartawan. Dari A.R Fawzi, jurnalis TVRI, Fredy mendapat tumpangan tempat tinggal.

Sembari belajar di KFT, Fredy S bekerja di majalah Team untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Majalah ini, yang berkantor di Jalan Kartini Petak X, Jakarta Pusat, mengulas dunia hiburan dan sesekali olahraga. Saat Pekan Olahraga Nasional (PON) X dihelat di Jakarta pada September 1981, Fredy mendapat tugas meliput.

“Waktu saya bersama anak-anak nonton berita TVRI yang menayangkan PON X, kami melihat Fredy di televisi. Kebetulan kamera menyorot dia. Anak-anak langsung teriak, ‘Papa...’,” ujar Sri Suyati.

Fredy melakoni pekerjaan ini selama dua tahun. Selain itu, Fredy mengambil pekerjaan melukis poster dan spanduk film untuk bioskop. Satu di antaranya spanduk film Gadis Marathon (1981). “Lukisan itu dikerjakan Fredy di rumah A.R. Fawzi,” kata Budi, adik ipar A.R. Fawzi.

Budi pernah tinggal di rumah Fawzi di Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Menurutnya, kalau lagi melukis, Fredy mengenakan celana pendek dan kaos kutang. Kepalanya diikat pakai kain. “Kalau sudah begitu, udeh deh tuh dia asyik sendirian,” kata Budi.

Di rumah itu pula, Fredy menemukan cinta yang lain: Eka Suzana, anak si empunya rumah. Mereka menikah dan memiliki seorang anak sebelumnya akhirnya bercerai. “Setahu saya, dari cerita-cerita yang saya dengar, waktu sekolah film, mama yang tanggung papa,” kata Nila Damayanti, anak semata wayang dari pernikahan Fredy dengan Eka.

Pada 1982, Fredy memboyong keluarganya di Semarang ke Jakarta. Mereka mengontrak rumah di Pangkalan Asam, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sembari menulis novel, Fredy mulai berkecimpung di dunia film.

Film layar lebar yang naskah cerita dan skenarionya ditulis oleh Fredy S.

Berbekal ilmu di KFT dan perkenalannya dengan banyak orang, pada 1983 Fredy terlibat dalam produksi tiga film sekaligus: Gepeng Bayar Kontan (produksi PT Tiga Sinar Film), Lara Jonggrang (Candi Prambanan) (produksi PT Virgo Putra Film), dan Penakluk Srigala (PT Inem Film). Ia jadi penulis skenario. Dari ketiganya, hanya Gepeng Bayar Kontan yang diangkat dari novelnya.

Berdasarkan dokumen-dokumen yang ditemukan Historia di gudang rumahnya, Fredy juga menulis skenario film Rhoma Irama, antara lain Kemilau Cinta Di Langit Jingga (PT Firman Abadi Film Production, 1985) dan Bunga Desa (PT Firman Mercu Alam Film, 1988).

Sukses menjajal sebagai penulis skenario, Fredy “naik pangkat” jadi asisten sutradara. Ia melakoninya antara lain dalam film Cinta Di Awal 30 (1985), Takkan Lari Jodoh Dikejar (PT Tobali Indah Film, 1990), Disini Mau Disana Mau (PT Rapi Film, 1990), dan Misteri Janda Kembang (Soraya Intercine Film, 1991).

Menurut Ekky Soekarno, bintang film dan pemusik, dalam hal karya Fredy S lebih kuat di novel dibanding film. “Saya kenal banget sama dia. Novel-novelnya yang hebat. Cerita asyik. Kata-katanya mudah dipahami. Enak dibaca. Tema-temanya juga tentang keseharian. Kisah-kisah cinta di novelnya tidak murahan. Berkelas,” ujar Ekky, yang juga dikenal sebagai penabuh drum grup musik cadas EdanE. Namun, begitu difilmkan kekuatan novel itu, “menurut saya ya berkurang nilainya. Bagus sih. Tapi, ya, begitu. Tidak sehebat cerita di novelnya.”

Ekky berkawan dekat dengan Fredy S. Mereka beberapa kali terlibat dalam produksi film. “Pertama jumpa ya di studio film. Waktu itu saya belum nikah. Tahun 1980-an. Saya bantu-bantu dia garap musik untuk filmnya. Fredy orangnya asyik.”

Satu di antaranya Disini Mau Disana Mau. Dalam film ini Ekky menata musiknya, sedangkan Fredy S jadi penulis skenario (bersama A. Rachman) merangkap asisten sutradara. Selain film, suami Soraya Haque itu pernah menggarap musik untuk sinetron yang disutradarai Fredy S.

“Saya lupa judulnya. Diputar di RCTI,” ujar Ekky.

Karier Fredy S di dunia sinema sejatinya tinggal selangkah lagi. Namun, belum sempat merasakan jadi sutradara film, muncul wahana baru yang lebih menantang: televisi.

Salah satu film layar lebar yang diangkat dari novel Fredy S.

Menjajal Layar Kaca

Pada 1990-an, televisi swasta mulai berkecambah dan produksi sinema elektronik alias sinetron mendapat tempat. Banyak orang film ambil bagian. Fredy S tak mau ketinggalan.

“Pengalaman langsung dalam pembuatan film ditambah ilmu dari mengikuti pendidikan di KFT menjadi modal saya sekarang di dunia sinetron,” ujar Fredy S dikutip Kompas, 6 September 1997. Tahun itu Fredy telah menyutradarai lima judul sinetron melalui berbagai rumah produksi.

Menurut Apa Siapa Orang Film Indonesia, yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan, Fredy menghasilkan sejumlah sinetron sebagai sutradara antara lain Fatamorgana (1995) –juga sebagai penulis skenario– dan Bukan Sekedar Sandiwara (1997). Sinetron lainnya Kharisma Kartika, Satria Keadilan, Lembayung Cinta, dan Biar Orang Bicara. “Bila di film kurang menonjol, Fredy mencetak prestasi lumayan waktu pindah ke layar kaca.”

Awal 2000-an, Fredy memberanikan diri mendirikan rumah produksi. Namun usaha yang dirintisnya kandas di tengah jalan.

Di rumah istri ketiganya di Cibubur, jejak karya Fredy di dunia sinetron masih tersimpan rapi. Sebuah naskah skenario berjudul Pisau Penyabut Nyawa. “Saya ikut main di sinetron ini,” kata Risma Yunita Dwy Siswanto, 20 tahun, seraya menunjuk naskah itu. “Sinetron ini ditayangkan TPI sekitar tahun 2000-2001.”

Risma, anak Fredy dari istri ketiganya, Nurlela Komala, masih ingat, ia ikut membintangi tiga judul sinetron besutan papanya. Seluruhnya produksi PT Virgo Putra Film, termasuk Pisau Penyabut Nyawa. “Yang ngajarin saya akting juga papa.”

Fredy S kalau bikin film, nggak mau diedit sama orang. Soalnya motongnya suka sembarangan. Sebagai sutradara ia berkorban mengedit sendiri.

Sebagai sutradara, Fredy tak mau karyanya asal jadi. Makanya, ia berjibaku mengawal proses produksi dari awal sampai akhir. Tak hanya menulis skenario dan menyutradarai, ia juga terlibat dalam proses editing. “Karena kecapekan, terlalu diforsir, ia jatuh sakit. Stroke!” ujar Sri Suyati lirih.

Fredy S terkena stroke awal Mei 2001. Saat itu, setelah beberapa hari berjibaku merampungkan produksi sinetronnya, Jelangkung 2 produksi PT Virgo Putra Film, ia pulang ke rumah Nurlela Komala, istri ketiganya, di Bekasi –sekarang pindah ke Cibubur. “Sesampai di rumah bapak langsung mandi. Sehabis mandi bapak mengeluh kurang enak badan. Lalu saya pijitin. Tapi malah semakin menjadi-jadi. Langsung saja saya bawa ke klinik,” kata Nurlela Komala, 43 tahun.

Fredy dirawat di klinik, tak jauh dari rumahnya, selama beberapa hari. Ferry Angriawan, pemilik PT Virgo Putra Film yang juga mantan suami artis Meriam Belina, membantu biaya pengobatan.

“Sakitnya memang waktu kerja di Virgo Putra Film,” ujar Sri Suyati. “Ia kalau bikin film, nggak mau diedit sama orang. Soalnya motongnya suka sembarangan. Sebagai sutradara ia berkorban mengedit sendiri. Akhirnya dua hari dua malam nggak tidur. Makan sembarangan. Pas pulang, langsung sakit.”

Sinetron Jelangkung 2 akhirnya tayang di RCTI pada 2002. Tapi, karena stroke, Fredy S terpaksa meninggalkan dunia film dan sinetron. Bahkan, sekalipun sempat menulis, Fredy akhirnya tutup buku dengan novel populer. Ia kemudian hanya bisa berbaring di ranjang di rumah istri pertamanya di Bintara, Bekasi, sampai meninggal dunia pada 24 Januari 2015.*

Majalah Historia No. 19 Tahun II 2014.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6454de2ba1a2ca3407587fff