RATU Kencono Wulan memang hanyalah permaisuri ketiga Sultan Hamengkubuwono II. Namun, berkat kecantikan dan kepintarannya, dia begitu berkuasa di kesultanan Yogyakarta pada awal abad ke-19.
Barang siapa ingin naik pangkat atau mendapatkan tanah jabatan (lungguh), datanglah pada Sang Ratu. Syaratnya: punya cukup uang. Sang Ratu memang dikenal doyan menumpuk harta dan mengeruk keuntungan gila-gilaan. Hal itu disebut pula dalam Babad Jatuhnya Yogyakarta. Tingkah Sang Ratu sudah diketahui Sultan. Namun Sultan bergeming, karena Ratu Kencono Wulan adalah permaisuri favoritnya.
Kelihaian Sang Ratu bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga dalam ranah politik, termasuk soal suksesi.
RATU Kencono Wulan memang hanyalah permaisuri ketiga Sultan Hamengkubuwono II. Namun, berkat kecantikan dan kepintarannya, dia begitu berkuasa di kesultanan Yogyakarta pada awal abad ke-19.
Barang siapa ingin naik pangkat atau mendapatkan tanah jabatan (lungguh), datanglah pada Sang Ratu. Syaratnya: punya cukup uang. Sang Ratu memang dikenal doyan menumpuk harta dan mengeruk keuntungan gila-gilaan. Hal itu disebut pula dalam Babad Jatuhnya Yogyakarta. Tingkah Sang Ratu sudah diketahui Sultan. Namun Sultan bergeming, karena Ratu Kencono Wulan adalah permaisuri favoritnya.
Kelihaian Sang Ratu bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga dalam ranah politik, termasuk soal suksesi.
Sultan Hamengkubuwono II memiliki tiga permaisuri: Ratu Kedaton yang berdarah Madura; Ratu Mas, putri Pangeran Pakuningrat era Mataram; dan Ratu Kencono Wulan. Soal siapa calon putra mahkota, Ratu Mas bersikeras keturunannya paling berhak karena ia adalah trah Mataram. Namun, Ratu Kencono Wulan melawan dan terus bersekongkol dengan banyak pihak agar anak menantunya, Notodiningrat (kelak Pakualam II), yang dipromosikan sebagai pengganti Sultan.
Sikap Ratu Kencono Wulan ini cukup membuat kecut H.W. Daendels, gubernur jenderal Hindia Belanda. Bahkan, seorang komentator dari Inggris mengatakan dengan nada mengejek bahwa Ratu Kencono Wulan adalah satu-satunya perempuan Jawa yang bisa membuat Sang Marsekal Guntur ketakutan.
Ratu Kencono Wulan hanyalah salah satu perempuan perkasa yang dibahas dalam buku ini. Peter Carey dan Vincent Houben, penulisnya, juga mengangkat perempuan prajurit, perwira militer dalam Perang Jawa, pengusaha, hingga pujangga.
Arsip-arsip Belanda umumnya mencerminkan suatu realitas kolonial Hindia Belanda yang didominasi laki-laki, yang kental sentimen male chauvinist (pemuja kejantanan).
Gugatan Pasifikasi
Buku ini mulanya sebuah artikel kecil yang ditulis Peter Carey dan Vincent Houben ketika mengawali karier sebagai sejarawan Indonesia. Judulnya “Spirited Srikandhis and Sly Sumbadras: The Social, Political and Economic Role of Women at the Central Javanese Court in the 18 and Early 19 Centuries”, yang dimuat dalam antologi Indonesian Women in Focus: Past and Present Notions (1986) suntingan Elisabeth Locher-Scholten dan Anke Niehof. Demi memberi konteks sejarah bagi peran perempuan pada era Reformasi sekarang, Peter Carey memutuskan mengalihbahasakan dan menerbitkannya jadi buku.
Dalam pengantarnya, Carey menyebutkan, arsip-arsip Belanda umumnya mencerminkan suatu realitas kolonial Hindia Belanda yang didominasi laki-laki, yang kental sentimen male chauvinist (pemuja kejantanan). Ini terutama menonjol pada masa Daendels. Terlihat dari catatan-catatan Daendels di pinggir surat Residen Yogya: “perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi!”.
“Realitas itu juga bisa ditelusuri dalam roman dan memoar para pengarang Hindia Belanda...,” tulis Carey.
Dalam bab pertama buku ini, Carey dan Houben mengulas sosok perempuan Jawa dalam sastra kolonial Hindia Belanda. Sampel yang diambil adalah Heilig Indie (Hindia Suci) karya J.B. Ruzius pada 1905 dan De Stille Kracht (Kekuatan Gaib) karya Louis Couperus yang terbit 1909. Dalam kedua sastra itu, sosok perempuan Jawa terutama dari kalangan elite digambarkan sebagai boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri; tipe perempuan elok tetapi kepalanya kosong.
Carey dan Houben membuka pembahasan mengenai perempuan-perempuan perkasa dari era prakolonial. Mereka adalah Ken Dedes dan Dewi Mundingsari. Keduanya memiliki vagina yang bersinar; dan hanya lelaki dengan kekuatan gaib luar biasa bisa menikahi mereka. Ken Dedes akhirnya jadi istri Ken Angrok, raja Tumapel-Singhasari yang terkenal. Sementara Dewi Mundingsari, putri Pajajaran, jadi istri Baron Sukmul yang mistis –ayah Jan Pieterzoon Coen– yang mendirikan sebuah kerajaan baru di Pelabuhan Sunda Kelapa. Bahkan, sosok mistis Ratu Kidul dihadirkan sebagai wujud pertalian antara penegakan kedaulatan kerajaan dan perempuan berdaya gaib luar biasa.
Pada bab-bab berikutnya Carey dan Houben menampilkan sosok-sosok perempuan Jawa yang menonjol di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya dalam kurun abad ke-18 dan 19, kajian utama buku ini. Mulai dari prajurit estri atau perempuan masa Mangkunegara I hingga peran Ratu Kedaton, permaisuri Sultan Hamengkubuwono V, sebagai aktor intelektual dalam pemberontakan yang gagal di daerah Kedu.
Misalnya, pembahasan mengenai peran perempuan di palagan Perang Jawa. Mereka memberi tempat untuk dua perwira perempuan: Raden Ayu Yudokusumo dan Nyi Ageng Serang.
Raden Ayu Yudokusumo, salah satu putri Sultan Hamengkubuwono I, menjadi satu dari beberapa panglima kavaleri senior Pangeran Diponegoro di daerah mancanegara timur yang kemudian bergabung dengan Raden Tumenggung Sosrodilogo di wilayah Jipang-Rajegwesi. Pada Perang Jawa, mereka membakar pertahanan Belanda di pesisir utara.
Nyi Ageng Serang, masih trah Sunan Kalijaga, mengangkat senjata demi menyokong putranya, Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo yang dalam sumber Belanda disebut Pangeran Serang II, dalam kancah Perang Jawa.
Merevisi Citra
Tingkah polah perempuan Jawa yang digambarkan dalam buku ini seolah menjadi bukti bahwa citra perempuan Jawa dalam karya sastra kolonial perlu direvisi. Setidaknya, masih ada cerita tentang kebebasan bertindak dan berinisiatif mandiri dalam diri perempuan Jawa.
“Kita hanya perlu membandingkan kisah Raden Ayu Serang pada bagian awal abad dengan seorang Raden Ajeng Kartini pada ujungnya,” tulis Carey dan Houben. “Perempuan yang sezaman dengan Sang Raden Ayu sakti itu memiliki lingkup dan kans hidup yang berbeda jauh dengan generasi penerusnya pasca-Perang Jawa, ketika kebudayaan Jawa seperti dijinakkan menjadi semacam kebudayaan museum.”
Carey dan Houben menyebut buku kecil ini hanyalah pengantar singkat tentang sejarah dan kontribusi perempuan Jawa. Mereka menyarankan penelitian lebih jauh, terutama berdasarkan arsip dan karya sastra Jawa, agar bisa membuat kesimpulan yang benderang tentang peran perempuan Jawa dalam sejarah. Kendati tipis, buku ini layak dibaca.*