Menggusur Marhaenis Gadungan

Partai memecat pimpinan dan anggota yang disebut Marhaenis gadungan. Mereka melawan balik setelah Sukarno tumbang.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Menggusur Marhaenis GadunganMenggusur Marhaenis Gadungan
cover caption
Pengurus DPP PNI hasil kongres di Solo. Kiri-kanan: Zaini Mansjur, Sumari, I.G.M. Subamia, Manai Sophiaan, Slamet Ginting, S. Hadikoesoemo, M. Isa, Ali Sasrtoamidjojo (ketua umum), Hardi, Mh. Isnaeni, Osa Maliki, Steve Latuihamallo, dan M. Idris. (Repro Banteng Segitiga).

PADA 7 Juli 1963, PNI merayakan ulang tahun ke-36 di Stadion Utama Senayan. Dalam pidatonya, Ketua Umum PNI Ali Sastroamidjojo menerima Marxisme sebagai sumber Marhaenisme yang diusulkan Sukarno tiga tahun sebelumnya dalam kongres kesembilan di Solo. Definisi “Marhaenisme sebagai Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia” ini secara resmi diterima dalam kongres kesepuluh PNI pada September 1963 di Purwokerto.  

Setahun kemudian, dalam sidang Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Bandung pada November 1964, PNI menafsirkan Marxisme sebagai sumber Marhaenisme dalam Deklarasi Marhaenis. Deklarasi ini menyebutkan bahwa “Marhaenisme sebagai suatu faham revolusioner yang berdiri di atas sendi-sendi aksi massa yang bertujuan menegakkan PNI sebagai partai pelopor. Untuk itu, unsur buruh dan petani ditetapkan sebagai soko guru partai dengan tidak mengurangi peranan golongan-golongan progresif lainnya.”

PADA 7 Juli 1963, PNI merayakan ulang tahun ke-36 di Stadion Utama Senayan. Dalam pidatonya, Ketua Umum PNI Ali Sastroamidjojo menerima Marxisme sebagai sumber Marhaenisme yang diusulkan Sukarno tiga tahun sebelumnya dalam kongres kesembilan di Solo. Definisi “Marhaenisme sebagai Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia” ini secara resmi diterima dalam kongres kesepuluh PNI pada September 1963 di Purwokerto.  

Setahun kemudian, dalam sidang Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Bandung pada November 1964, PNI menafsirkan Marxisme sebagai sumber Marhaenisme dalam Deklarasi Marhaenis. Deklarasi ini menyebutkan bahwa “Marhaenisme sebagai suatu faham revolusioner yang berdiri di atas sendi-sendi aksi massa yang bertujuan menegakkan PNI sebagai partai pelopor. Untuk itu, unsur buruh dan petani ditetapkan sebagai soko guru partai dengan tidak mengurangi peranan golongan-golongan progresif lainnya.”  

Dalam penjelasan Deklarasi Marhaenis disebutkan dua golongan yang dilarang memimpin unit partai dan ormas apapun: pengusaha besar atau pemilik perusahaan dagang besar atau lainnya dan unsur feodal terutama tuan tanah yang memiliki tanah luas atau mereka yang memiliki tanah lebih kecil tetapi berjiwa tuan tanah.  

“Program ini adalah pembersihan berencana pimpinan partai dan ormas di semua tingkat,” tulis J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946–1965.

Surachman. (koransulindo.com).

Pembersihan Massal

PNI Jawa Tengah, benteng kekuatan konservatif atau sayap kanan, sekuat tenaga menentang Deklarasi Marhaenis, karena memiliki banyak anggota dan pendukung dari kalangan pemilik tanah. Ketika terjadi aksi sepihak sebagai pelaksanaan UU Land Reform No. 5/1960, “DPD PNI Jawa Tengah memanfaatkan pengaruhnya untuk menolong para tuan tanah mengelak dari undang-undang tersebut,” tulis Rocamora.  

Di lain pihak, pimpinan muda PNI dan Petani (Petani Nasionalis Indonesia), underbouw partai, mengkritik pelaksanaan program land reform (reforma agraria) yang tidak berjalan dengan baik. Sejak awal September 1962, Surachman, sekretaris jenderal Petani kemudian sekretaris jenderal PNI, mengimbau agar kaum tani mengambil tindakan sendiri dalam melaksanakan land reform.

Pada 1964, Surachman menegaskan azas “tanah buat penggarap” dalam tulisan dan pidatonya serta menyerang oknum land reform lokal yang apatis dan bersekongkol dengan tuan tanah. Bahkan, dia mendesak agar tanah bengkok (tanah ulayat yang diberikan kepada kepala dan pejabat desa) dihapuskan.  

“Ketegangan antara pemimpin muda PNI di DPP dan DPD semakin tajam pada 1964 dan 1965 karena semakin banyaknya peristiwa aksi sepihak di wilayah pedesaan,” tulis Rocamora.  

Aksi sepihak terutama terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Aksi ini membangkitan antikomunis yang sengit dari PNI di daerah. Secara sadar mereka membela tuan tanah, mereka juga menuduh PKI memanfaatkan aksi sepihak untuk mendiskreditkan lurah-lurah dari PNI dan menarik keanggotaan dari petani.  

Dalam konferensi luar biasa di cabang-cabang PNI Jawa Tengah pada akhir Oktober 1964, pimpinan daerah memerintahkan semua cabang partai dan unit ormas mengeluarkan pernyataan terbuka yang menyerang aksi sepihak dan bekerjasama dengan polisi dan Angkatan Darat untuk menindaknya. Pada April 1965, kampanye ini mencapai puncaknya ketika PNI Jawa Tengah menyebarkan brosur yang dikenal dengan “buku putih” berjudul “Adjakan PNI-Front Marhaenis Djawa Tengah” dan pamflet berbahasa Jawa berjudul “Den Petitis Nindakake Deklarasi Marhaenis.”  

Ketua Umum DPP PNI Osa Maliki (tengah) bersama Ketua I DPP PNI Hardi (kanan) mengadakan konferensi pers sebelum peringatan ulang tahun PNI ke-40. (Repro Banteng Segitiga).

Menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Kepolitikannya 1963–1969, brosur tersebut menggambarkan bagaimana pimpinan pusat tidak senang dengan kebijakan-kebijakan Hadisubeno, ketua PNI Jawa Tengah. Dalam konflik dengan PKI, PNI Jawa Tengah tidak bisa disalahkan karena PKI-lah yang membuat aksi-aksi sepihak yang menimbulkan konfrontasi. Pimpinan pusat partai dicurigai kemasukkan orang-orang yang menjadi alat PKI sehingga lebih mempercayai PKI daripada instansi partai di Jawa Tengah. Sementara pamflet berbahasa Jawa berisi ajakan untuk berhati-hati dalam melaksanakan Deklarasi Marhaenis sambil menunggu penjelasan dari pimpinan pusat.  

DPP PNI menilai brosur itu merusak kebulatan internal partai dan merongrong kewibawaan pimpinan partai. Serangan terhadap PKI dianggap merugikan politik persahabatan dengan PKI. Oleh karena itu, DPP PNI mengeluarkan surat keputusan pada 14 Mei 1965 yang menetapkan Hadisubeno Sosrowerdojo, ketua I DPD PNI Jawa Tengah dan DPP pleno PNI, untuk mengundurkan diri. Sedangkan Oemar Said, ketua III DPD PNI Jawa Tengah, Soetopo Koesoemodirdjo, ketua I PNI cabang Pati dan Sugeng Tirtosiswojo, ketua I PNI cabang Cilacap, dipecat sementara selama satu tahun.  

Hardi, wakil ketua I DPP PNI dan Mh. Isnaeni, wakil sekretaris jenderal DPP PNI, mengeluarkan surat tugas kepada Hadisubeno selaku anggota DPP pleno PNI untuk mengadakan konsultasi cabang PNI di daerah-daerah. Ali dan Surachman menentangnya karena surat tugas tersebut dikeluarkan tanpa sepengetahuan anggota pimpinan lainnya. Hardi dan Isnaeni tak menerima kesalahan yang ditimpakan kepada mereka.  

“Sejak itu pengelompokan dalam pimpinan PNI semakin nyata, di mana terdapat kelompok Ali-Surachman dan kelompok Hardi-Hadisubeno-Isnaeni,” tulis Nazaruddin.  

Menurut Rocamora, pada saat yang sama, DPP PNI semakin ditekan oleh ormas PNI untuk memecat para pemimpin sayap kanan. Sukarno dalam pertemuan besar latihan kader pada 24 Maret 1965, menyampaikan pidato yang mendesak partai memecat mereka yang disebutnya Marhaenis gadungan. Pada Mei 1965, dia menggambarkan Marhaenis gadungan sebagai orang yang plintat-plintut, Nasakom-phobia, kapitalis besar, tuan tanah feodal, penentang Deklarasi Marhaenis, serta menentang rumusan Marhaenis sebagai Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Bahkan, Sukarno dalam rapat raksasa pada 25 Juli 1965 untuk merayakan ulang tahun partai ke-38, secara terbuka mencaci maki para pemimpin partai yang belum memulai pembersihan. Seminggu setelah pidato Sukarno, KBM, Petani, GMNI, Pemuda Marhaenis, dan Gerakan Nelayan Marhaenis mengeluarkan resolusi yang mendesak partai untuk memecat Hadisubeno, Hardi, dan Mh. Isnaeni.  

Akhirnya, dalam rapat DPP Pleno pada 4 Agustus 1965 secara aklamasi diputuskan memecat tujuh anggota DPP PNI antara lain: Hardi, Osa Maliki, Mh. Isnaeni, Hadisubeno, M. Achmad, Sabillal Rasjad, dan Karim M. Durjat. Dua bulan kemudian, anggota DPP PNI lainnya, Ukar Bratakusumah, beserta 150 pimpinan partai lainnya di seluruh Indonesia, juga dipecat.  

“Inilah tindakan pembersihan besar-besaran pertama dalam sejarah PNI, yang merupakan puncak pertikaian panjang antara kelompok sayap kiri dan kanan,” tulis Rocamora. Namun, penyebab langsung adalah perkembangan yang dimulai sesudah kongres kesepuluh pada 1963. Kekalahan kekuatan sayap kanan dalam kongres tersebut menyebabkan mereka semakin terkucil pada 1964 dan 1965.

Presiden Soeharto dan Ketua Umum PNI Hadisubeno Sosrowerdojo bersama pengurus DPP PNI hasil kongres XII di Semarang. (Repro Banteng Segitiga).

Marhaenis Gadungan Melawan

Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, kubu Hardi menyerang balik Ali-Sartono. Surachman sebagai menteri pengairan rakyat dan pembangunan desa, termasuk dalam 15 menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, yang ditetapkan untuk ditahan. Namun, dia meloloskan diri dan bergabung dengan perlawanan PKI di Blitar Selatan. Mantan aktivis CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) ini dituding sebagai PKI yang menyusup ke PNI.  

Pada 1968, Surachman tewas ditembak dalam pengepungan oleh Operasi Trisula ABRI. Pada 6 Oktober 1965, Marhaenis gadungan yang dipecat membentuk DPP PNI tandingan yang disebut kubu Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja. Menurut Nazaruddin, PNI Osa-Usep ini kelanjutan dari PNI Hardi-Hadisubeno yang dilahirkan beberapa waktu menjelang peristiwa G30S. Atas dasar pertimbangan politik-psikologis, pimpinannya diperbarui menjadi Osa-Usep.  

Ali-Sartono dan Sukarno tidak mengakui kubu Osa-Usep. Namun, Osa-Usep diakui oleh penguasa Orde Baru. Salah seorang pendiri PNI, Iskaq Tjokroadisurjo berusaha menengahi perseteruan kedua kubu dengan membentuk Panitia Penegak Persatuan dan Kesatuan PNI/Front Marhaenis atau disebut Panitia Iskaq untuk menyelenggarakan kongres luar biasa. Ali-Sartono menolak tawaran Iskaq karena mendapat kesan Iskaq lebih pro kepada Osa-Usep.  

Letjen TNI Soeharto berhasil mempertemukan kedua kubu dalam pertemuan tiga kali berturut-turut dan menyepakati kongres luar biasa pada 24–27 April 1966. Dalam kongres ini kubu Osa-Usep menang didukung oleh militer dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa) Bandung.  

Menurut dokumen yang dimiliki Kemal Asmara Hadi dan diterima Historia, kongres luar biasa di Bandung yang diprakarsai Letjen TNI Soeharto luar biasa kacau. Sebagian besar yang hadir bukan anggota PNI. Sama sekali tidak mencerminkan suatu kongres partai. Peserta kongres yang berasal dari PNI Ali Sastroamidjojo disoraki, dihujat, dan diusir keluar ruangan kongres, dan bahkan ada yang disekap. Pengamanan kongres didukung oleh oknum tentara bukan oleh anggota PNI tidak mengamankan justru menciptakan keonaran. Di tengah hiruk pikuk, kongres menyusun DPP PNI dengan Ketua Umum Osa Maliki dan melarang PNI Ali Sastroamidjojo.

Pada 20 Desember 1967, PNI mengeluarkan pernyataan kebulatan tekad yang mengganti Deklarasi Marhaenis dengan Yudia Pratidina Marhaenis yaitu Marhaenisme adalah Pancasila; melempar mental Orde Lama dan membina Orde Baru; serta menjauhkan diri dari kultus terhadap Sukarno dan menghapus gelar Bapak Marhaenisme.  

Osa Maliki meninggal pada 15 September 1969. Dalam kongres PNI ke-12 di Semarang pada 11–18 April 1970, terdapat kubu Hardi dan kubu Hadisubeno. Pemerintah Orde Baru merestui Hadisubeno sebagai ketua umum. Hardi tidak disukai pemerintah karena anti-Dwi Fungsi ABRI.

Kepemimpinan Hadisubeno tidak lama karena dia meninggal pada 24 April 1971. Jabatan ketua umum tidak diganti sampai kongres berikutnya, tugas sehari-hari dilaksanakan oleh ketua I Mh. Isnaeni. Karena krisis kepemimpinan dan banyak anggota PNI berpaling ke Golkar, maka PNI mengalami kemunduran dalam Pemilu 1971.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6690ac5e81d6e31fe8135808