Menghalau Racun Pembunuh Hama

Demi mencapai swasembada pangan, pemerintah Orde Baru menggenjot penggunaan pestisida. Indonesia pun menjadi pasar besar industri pestisida. Lingkungan rusak, petani rugi.

OLEH:
Fajar Riadi
.
Menghalau Racun Pembunuh HamaMenghalau Racun Pembunuh Hama
cover caption
Seorang petani di Garut menyemprot ladang sayuran dengan pestisida tanpa menggunakan alat pengaman. (Eko YD/Historia.ID).

“PERNAH di sebuah kota di jantung Amerika manusia hidup dalam harmoni dengan  lingkungannya,” Rachel Carson memulai cerita. 

Namun, semuanya lenyap. Penyakit misterius menyapu manusia hingga ternak. Pohon-pohon bersemi tapi tak ada lebah, tak ada penyerbukan dan takkan ada buah. Sungai-sungai seolah tak bernyawa; ikan-ikan mati. “Apa yang telah membungkam suara-suara dari musim semi di kota-kota yang tak terhitung jumlahnya di Amerika?” 

Rachel Carson pun menjelaskan bagaimana interaksi makhluk hidup dengan lingkungan dan bagaimana manusia menunjukkan karakter jahatnya dengan mencemari lingkungan, terutama dalam penggunaan pestisida. 

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, setiap manusia sekarang mengalami kontak dengan bahan kimia berbahaya, dari saat dia berada di janin hingga kematian,” tulis Carson. “Dalam waktu kurang dari dua dekade penggunaan pestisida sintetis di seluruh dunia, kematian terjadi hampir di mana-mana.” 

Karya Rachel Carson berjudul Silent Spring, terbit 17 Juni 1962, menggugah kesadaran masyarakat akan bahaya pestisida, bahkan mendorong munculnya gerakan lingkungan di seluruh dunia.

“PERNAH di sebuah kota di jantung Amerika manusia hidup dalam harmoni dengan  lingkungannya,” Rachel Carson memulai cerita. 

Namun, semuanya lenyap. Penyakit misterius menyapu manusia hingga ternak. Pohon-pohon bersemi tapi tak ada lebah, tak ada penyerbukan dan takkan ada buah. Sungai-sungai seolah tak bernyawa; ikan-ikan mati. “Apa yang telah membungkam suara-suara dari musim semi di kota-kota yang tak terhitung jumlahnya di Amerika?” 

Rachel Carson pun menjelaskan bagaimana interaksi makhluk hidup dengan lingkungan dan bagaimana manusia menunjukkan karakter jahatnya dengan mencemari lingkungan, terutama dalam penggunaan pestisida. 

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, setiap manusia sekarang mengalami kontak dengan bahan kimia berbahaya, dari saat dia berada di janin hingga kematian,” tulis Carson. “Dalam waktu kurang dari dua dekade penggunaan pestisida sintetis di seluruh dunia, kematian terjadi hampir di mana-mana.” 

Karya Rachel Carson berjudul Silent Spring, terbit 17 Juni 1962, menggugah kesadaran masyarakat akan bahaya pestisida, bahkan mendorong munculnya gerakan lingkungan di seluruh dunia. 

Setahun setelah terbitnya Silent Spring, pemerintah Amerika Serikat menerbitkan laporan Use of Pesticide yang mengungkap fakta-fakta sekaligus membenarkan tulisan Carson. Salah satu jenis pestisida yang dikritik habis-habisan adalah Dichloro Diphenyl Trichloroetane (DDT). DDT adalah pembasmi agas paling jempolan. Namun jika terus-menerus memapar manusia, ia menyebabkan kanker. Berkat kritik Carson –meski butuh waktu sepuluh tahun setelah Silent Spring terbit– DDT menjadi pestisida yang kali pertama dilarang penggunaannya. 

Sejumlah pestisida yang dinyatakan terlarang lantas tak diedarkan di negara-negara maju. Namun, ironisnya, sejumlah pabrikan mengekspornya ke negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Dan celakanya, pada tahun-tahun itu, pemerintah Indonesia lagi gencar-gencarnya mengkampanyekan peningkatan produksi pangan, khususnya beras. 

Rachel Carson, penulis buku Silent Spring. (Bob Schutz/npr.org).

Industri Pestisida Global 

Di awal masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menargetkan swasembada pangan. Untuk itu dia melanjutkan dan mengembangkan Program Bimbingan Massal (Bimas) yang dianggap kurang berhasil mengatrol produksi beras semasa Orde Lama. Berdasarkan saran-saran dari kaum teknokrat, diterapkanlah intensifikasi pertanian, yang identik dengan Revolusi Hijau. Salah satu pokok pelaksanaan intensifikasi adalah penggunaan pestisida guna mengendalikan hama tanaman. 

“Para ahli tersebut mengajukan solusi terhadap masalah pertanian: undang perusahaan raksasa multinasional untuk mengambil alih [pertanian Indonesia] lewat ‘manajemen modern’ dan ‘keahlian Barat’,” tulis antropolog Richard W. Franke, “Hunger for Profit: Ten Years of Food Production Failure”, dalam Ten Years Military Terror in Indonesia karya Malcolm Caldwell.

Mula-mula CIBA (Chemical Industry of Basel), raksasa industri farmasi asal Basel, Swiss, menjadi satu-satunya perusahaan penyedia pestisida yang mendukung Bimas. Maka, programnya dikenal dengan nama Bimas CIBA, yang berlangsung selama musim penghujan 1969/1970. Jalinan kerjasama sudah dimulai sejak 1967 namun kesepakatan pertama dilakukan pada 24 Mei 1968. 

“CIBA akan menyemprot insektisida tiga kali pada sawah seluas 300.000 hektar mulai musim penghujan 1968-1969. Pemerintah menyepakati pembayaran kepada CIBA sebesar 40 dolar Amerika per hektar, atau 12 juta dolar Amerika secara keseluruhan,” tulis Alexis Rieffel, dosen departemen ekonomi Universitas Princeton, “The Bimas Program for Self-Sufficiency in Rice Production”, dalam Spring Review of Small Farmer Credit: The Bimas Program in Indonesia

Setelahnya, sejumlah perusahaan multinasional mengikuti. Mereka mendapatkan jatah sejumlah luas lahan tertentu untuk disemprot pestisida dan akan mendapatkan pembayaran per hektarnya. Hoechst dari Jerman Barat memperoleh jatah 250.000 hektar; COOPA –terdaftar sebagai perusahaan dagang dari Lichtenstein, Jerman– 150.000 hektar; AHT (Agrarund Hydro-Teknik) dari Jerman Barat 60.000 hektar, dan Mitsubishi dari Jepang 25.000 hektar. 

Perusahaan-perusahaan itu menyediakan pestisida, sedangkan pemerintah Indonesia menyediakan benih unggul yang diperoleh dari International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina. Perusahaan-perusahaan itu menyediakan kredit bagi petani untuk membeli pestisida mereka. Dan petani akan membayarnya di kemudian hari, tentu dengan harga yang lebih tinggi. 

“Kredit ini, ditambah biaya manajemen yang besar, harus dibayar dalam waktu satu tahun oleh Bank Sentral atas dasar biaya tetap per hektar,” tulis C. Peter Timmer, guru besar studi pembangunan Universitas Harvard, dalam The Political Economy of Rice in Asia: Indonesia

Dalam waktu sekejap, sawah-sawah di Indonesia, khususnya di Jawa, digerojok pestisida dari perusahaan-perusahaan multinasional. 

Presiden Soeharto menyaksikan pameran Pelita bidang pertanian didampingi oleh Menteri Pertanian Prof. Ir. Thojib Hadiwidjaja di Bina Graha Jakarta, 17 Maret 1971. (Perpusnas RI).

Meracuni Sawah

Otto Soemarwoto, guru besar ilmu pertanian Universitas Gadjah Mada, sejak mula mengkritik keras penggunaan pestisida secara serampangan. Dalam orasi guru besarnya yang dimuat Lembaran Minggu edisi Januari 1970, Soemarwoto mengatakan negara-negara maju sudah melarang berbagai jenis pestisida berbahaya namun industri kimia getol menyelundupkan pestisida-pestisida itu ke negara-negara berkembang. 

“Pestisida-pestisida ini memiliki kesamaan, atau bahkan jauh lebih mematikan efeknya di negara-negara tropis seperti Indonesia,” katanya. 

Hasil investigasi David Weir dan Mark Schapiro, dua wartawan Centre for Investigative Reporting, terhadap distribusi pestisida di berbagai negara menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara tujuan aliran pestisida-pestisida terlarang. 

“Perusahaan-perusahaan multinasional telah menemukan suatu tragedi yang cerdik: mereka hanya mengapalkan secara terpisah bahan-bahan kimia dari pestisida yang dilarang ke sebuah negara di Dunia Ketiga, kemudian menghasilkannya di sana dalam ‘pabrik-pabrik formulasi’,” tulis Weir dan Schapiro dalam Lingkaran Racun Pestisida. Dari Dunia Ketiga, pestisida yang sudah jadi itu diekspor kembali ke negara-negara Dunia Ketiga lainnya yang memang belum atau sama sekali tidak memiliki larangan penggunaan pestisida beracun. 

Datangnya bibit-bibit unggul jenis baru dari IRRI di Filipina justru memicu peningkatan impor pestisida. Biasanya bibit baru akan mengundang hama baru, sehingga perlu ditangani dengan produk pestisida yang baru pula. Maka, dalam satu dasawarsa 1970-an saja, impor pestisida meningkat empat kali lipat. 

Untuk memasarkan produk dari perusahaan-perusahaan multinasional itu, pemerintah melibatkan tenaga-tenaga penyuluh, yang secara resmi bertugas membimbing para petani mengelola sawah, sebagai tenaga pemasaran. 

Miges Baumann, pengajar ilmu sosial di Universitas Bern, Swiss, pada awal 1980-an melakukan penelitian tentang gencarnya pemasaran pestisida di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Dalam pengamatan Baumann, jika suatu perusahaan menetapkan daerah tertentu sebagai sasaran promosi, maka tenaga penyuluh bekerjasama dengan Dinas Pertanian gencar mengedarkan selebaran, demo penyemprotan pestisida, dan menawarkan beragam hadiah, yang diselingi dengan pertunjukan film. Cara-cara tersebut terbukti ampuh membujuk petani. 

Sayangnya, masyarakat kurang diberi pemahaman soal risiko kesehatan yang mengiringi penggunaan pestisida. Khawatir gagal panen, para petani cenderung memakai pestisida tanpa aturan. Bahkan terkadang mereka memakai berbagai jenis pestisida kendati tak cocok dengan yang dibutuhkan. 

“Kebanyakan (petani, red.) buta huruf dan tidak memahami petunjuk dalam paket. Bahan-bahan kimia tersebut dicampur tanpa mengukur ketelitian dan tanpa sarung tangan, para petani mengenakan celana pendek waktu menyemprotkannya, dan kadang-kadang tanpa mengenakan baju,” tulis Baumann, “Mengikuti Yusuf Surianto Wiraniaga Pestisida”, dalam Lingkaran Racun Pestisida

Tanpa pengawasan dari negara-negara importir, berton-ton racun yang mengalir ke negara mereka. Celakanya, semprotan pestisida tak hanya membunuh hama. “Sejumlah jenis pestisida, yang belum pernah diujicoba sebelumnya di lahan pertanian di Indonesia tidak hanya membunuh hama penggerek batang padi dan berbagai jenis serangga sebagaimana yang dimaksudkan, tetapi juga membunuh ikan di saluran irigasi,” tulis Franke. 

Petani menyemprotkan pestisida untuk membasmi hama di sawah. (Perpusnas RI).

Bisnis Kroni 

Sejumlah kritikan yang muncul dianggap angin lalu. Aroma korupsi merebak. Menurut sosiolog George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan, kedatangan pabrikan-pabrikan pestisida itu disambut baik dan turut memperkaya rezim. Bersama kroninya, Soeharto membentuk jaringan pemasok pestisida yang cukup kuat. Misalnya, keluarga Wanandi menjadi pemasok produk Sandoz yang berpusat di Swiss. Sementara grup Salim menjadi distributor produk CIBA-Geigy, hasil merger dua perusahaan farmasi CIBA dan Geigy. Sandoz dan CIBA-Geigy lalu bergabung menjadi Novartis. 

“CIBA secara khusus telah terlibat dalam skandal senilai hampir US$1 juta yang disebut proyek Bimas Gotong Royong, untuk meluncurkan Revolusi Hijau di Indonesia pada 1969–1970,” tulis Aditjondro. “Sebuah kasus korupsi pernah diselidiki oleh Komisi Empat, komisi antikorupsi yang dibuat oleh Soeharto, namun rekomendasi-rekomendasinya belum pernah ditindaklanjuti.” 

Kasus lainnya menerpa COOPA. Sejumlah suratkabar nasional, terutama Indonesia Raya, menyingkap bahwa COOPA bukan perusahaan yang beralamat di Lichtenstein tapi sebuah perusahaan fiktif. Perusahaan ini juga gagal memenuhi kontrak senilai Rp150 juta atau US$400.000 (menurut Aditjondro nilainya mencapai US$711.000). Paket teknologi yang dijanjikan pemerintah, dan seyogianya disediakan COOPA, tidak sampai ke masyarakat. Dan ketika media mengendus bahwa pengendali COOPA adalah orang dekat presiden, Soeharto mengatakan bahwa kasus ini akan ditangani di luar pengadilan.

Faktor korupsi dan inefisiensi membuat hasil panen tidak memuaskan. “Bahkan di daerah pertanian terbaik, panen anjlok dari 2,5 ton per hektar pada 1965 menjadi 2 ton per hektar pada 1968–1979; sementara di banyak daerah panen hampir seluruhnya gagal karena pestisida dan pupuk tak pernah tiba,” tulis Franke. Kelaparan juga melanda pantai utara Jawa. 

Namun, demi mencapai swasembada pangan, pemerintah menggenjot penggunaan pestisida. Bimas Gotong Royong sendiri dihentikan pada 1970/1971 karena hasilnya kurang memuaskan. Gantinya adalah program Intensifikasi Massa (Inmas), Inmas Baru, dan Bimas yang disempurnakan, hingga Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus. Hasilnya, pada 1984, Indonesia mencapai sasaran swasembada pangan. 

Sekira sepuluh tahun kemudian, hama wereng kembali menerjang akibat penggunaan varietas baru dan timbunan pestisida di sawah. 

Presiden Soeharto meninjau pemupukan sawah, salah satu bagian Intensifikasi Pertanian, di lahan Pusat Penelitian Pertanian Sukamandi, Jawa Barat. (soeharto.co).

Tak Terkendali 

Setelah sejumlah penelitian menyebut beberapa jenis hama kebal terhadap pestisida tertentu, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden No. 3/1986 yang melarang penggunaan 57 jenis pestisida. Namun, laporan dari Komisi Pestisida pada 1992 menyebutkan, pestisida terlarang tersebut masih dipergunakan di lapangan, terutama pada tanaman padi. 

Gita Pertiwi, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpusat di Karanganyar, menemukan bahwa setiap tahun terbit banyak regulasi tentang pestisida namun kebanyakan berisi pemberian izin perusahaan pestisida untuk membuat dan memperdagangkan produknya. “Sejak 1996–2003, tercatat ada 20 Surat Keputusan Menteri Pertanian RI yang mengatur pendaftaran, pemberian izin, dan pengawasan berbagai jenis pestisida yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia,” tulis Gita Pertiwi dalam Monitoring Pestisida Terbatas pada 2010. 

Pada 2001 pemerintah menderegulasi aturan pendaftaran pestisida. Jumlah dan jenis pestisida yang beredar pun melonjak. Mengingat pasar pestisida nasional tak kurang dari Rp6 triliun, pemerintah maupun pengusaha sepertinya tak hendak mengendalikan peredarannya. 

Sementara dampak dari penggunaan pestisida juga tak sedikit. Dalam penelitian berjudul “Health hazards due to the use of pesticides in Indonesia”, Mustamin, ahli pestisida yang juga pejabat Kementerian Kesehatan RI era 80-an, menyebut jumlah kasus keracunan atau kematian karena pestisida yang dilaporkan sekira 2.705 kasus kecelakaan manusia yang mengakibatkan 236 orang meninggal pada periode 1979–1986. 

Lebih dari 20 tahun setelahnya, Otto Soemarwoto menyebut jumlah kasus keracunan pestisida diperkirakan 300.000 kasus, kendati hanya sebagian kecil yang bersifat fatal. “Diperkirakan 5.000–50.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang atau bahkan mungkin sampai 500.000 orang menjadi cacat seumur hidup,” tulis Soemarwoto dalam Dampak Lingkungan terhadap Kesehatan, terbit 1998.

Selain mengancam kesehatan bahkan keselamatan para petani, pestisida justru membuat hilangnya kesuburan tanah, hama lama imun sementara hama baru terus muncul, yang menurunkan produksi padi. Sementara bisnis pestisida jalan terus, petani masih juga menjadi korban.*

Majalah Historia No. 16 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6563e5b3e7f08a97065f049b