Serdadu KNIL di tangsi Cimahi, 1927. (Spaarnestad Photo).
Aa
Aa
Aa
Aa
KOTA pelabuhan Tegal, sekira 1825, geger akibat berjangkitnya penyakit sifilis. Pemerintah kota pun berinisiatif membendung penyebarannya. Para penderita sifilis dikumpulkan di suatu tempat agar tak berkeliaran di jalanan.
“Bupati pun memutuskan menyisihkan sebagaian kecil gaji pegawai pemerintah dan pensiunan untuk digunakan membangun bangsal yang terpisah dari masyarakat,” tulis J.A. Vriesman, mantan residen kota Tegal, dalam suratnya kepada gubernur jenderal Hindia Belanda, termuat dalam Healers on The Colonial Market karya Liesbeth Hesselink.
Pemerintah kolonial tak menutup mata terhadap penyakit kelamin. Apalagi sebagian besar pengidapnya adalah tentara.
Pada paruh kedua abad ke-19, praktik hidup bersama dengan gundik menjadi gaya hidup serdadu di tangsi-tangsi militer Belanda. Tak jarang, seorang gundik dimiliki 2-3 serdadu. Sementara serdadu berpangkat rendah, dengan gaji minim dan tak mampu memelihara gundik, memilih menyalurkan hasrat seksualnya dengan perempuan publik –istilah untuk pelacur.
KOTA pelabuhan Tegal, sekira 1825, geger akibat berjangkitnya penyakit sifilis. Pemerintah kota pun berinisiatif membendung penyebarannya. Para penderita sifilis dikumpulkan di suatu tempat agar tak berkeliaran di jalanan.
“Bupati pun memutuskan menyisihkan sebagaian kecil gaji pegawai pemerintah dan pensiunan untuk digunakan membangun bangsal yang terpisah dari masyarakat,” tulis J.A. Vriesman, mantan residen kota Tegal, dalam suratnya kepada gubernur jenderal Hindia Belanda, termuat dalam Healers on The Colonial Market karya Liesbeth Hesselink.
Pemerintah kolonial tak menutup mata terhadap penyakit kelamin. Apalagi sebagian besar pengidapnya adalah tentara.
Pada paruh kedua abad ke-19, praktik hidup bersama dengan gundik menjadi gaya hidup serdadu di tangsi-tangsi militer Belanda. Tak jarang, seorang gundik dimiliki 2-3 serdadu. Sementara serdadu berpangkat rendah, dengan gaji minim dan tak mampu memelihara gundik, memilih menyalurkan hasrat seksualnya dengan perempuan publik –istilah untuk pelacur.
“Sebagai ujung tombak kolonialisme, serdadu harus dalam kondisi bugar. Namun, di sisi lain, mereka butuh memenuhi kebutuhan seksualnya. Inilah titik lemah serdadu. Nah, salah satu penyalurannya ya dengan mengunjungi rumah bordil yang tersebar di sekitar tangsi,” ujar Agus Setiawan, sejarawan Universitas Indonesia, kepada Historia.
Biasanya, serdadu mengeluhkan timbulnya bisul-bisul. Setelah terdeteksi terkena sifilis, mereka harus membuat penyataan dengan perempuan mana dia berhubungan, dan dianjurkan rutin melakukan perawatan. Serdadu yang positif sifilis dibebaskan dari tugas berat atau tidak dimasukkan dalam ekspedisi.
“Hal ini tentu mengerikan. Tentara kan garda terdepan pemerintah kolonial di tanah jajahan. Jika banyak serdadu yang sakit sifilis, tentu saja mengurangi jumlah tentara yang ada,” ujar Agus Setiawan.
Karena sifilis merebak di kalangan militer, pemerintah pun mencari cara memeranginya.
Regulasi Kolonial
Pada 15 Juli 1852, Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist mengeluarkan peraturan untuk mengatasi berbagai akibat pelacuran yang merugikan.
Menurut Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial, yang diterbitkan Arsip Nasional Republik Indonesia, peraturan itu memuat tiga hal penting. Pertama, anggaran tahunan dari direktur jenderal keuangan sebesar f20.000 untuk menanggulangi penyakit sifilis. Kedua, memerinci aturan prostitusi untuk menangkal aspek berbahayanya. Ketiga, peraturan ini hanya berlaku di beberapa daerah tertentu.
Mulanya, aturan ini hanya diberlakukan di Batavia, Semarang, dan Surabaya, tapi cakupannya kemudian diperluas. Setiap tahun anggaran juga naik.
Dengan peraturan itu mulailah diadakan pendaftaran pelacur. Pengobatan penyakit kelamin diperluas. Semua penderita penyakit kelamin yang berat dirawat di tempat-tempat penampungan.
Rumah sakit khusus didirikan antara lain di Kudus (Semarang), Madiun dan Bogor pada 1858, serta di Cianjur (Priangan) pada 1854. Menariknya, tidak semua dibangun pemerintah. Di Cianjur, misalnya, rumah sakit dibangun atas swadaya masyarakat, yang menunjukkan tingginya penerimaan masyarakat.
“Di rumah sakit sifilis di Cianjur (Priangan), pemerintah membayar obat-obatan dan gaji dokter djawa. Bangunan, pemeliharaan, biaya operasional, dan makanan dibayar penduduk,” tulis Liesbeth Hesselink.
Karena hasilnya belum memuaskan, aturan itu kemudian diperbarui dan diperketat. Pada 21 Januari 1874, keluar besluit dari gubernur jenderal Hindia Belanda yang memuat 23 pasal. Setiap pelacur yang didaftar akan diperiksa untuk mengetahui apakah terinfeksi atau tidak. Jika sehat, mereka diberi kartu yang berisi nomor urut pendaftaran hingga tempat tinggal.
Disebutkan pula, jika seorang perempuan sudah terdaftar sebagai perempuan publik, ia sulit lepas dari statusnya, kecuali mati, permintaan menikah, dan permintaan keluar sebagai perempuan publik dengan rujukan polisi.
Selain aturan, pemerintah mempersiapkan personil medis untuk memberantas sifilis, baik dokter Eropa maupun dokter dan perawat bumiputera. Khusus dokter Eropa dipusatkan di kota besar seperti Batavia, Semarang, Surabaya, dan Madiun. Para dokter sering melakukan pemeriksaan mendadak di tangsi-tangsi militer, sehingga para serdadu tak dapat menghindar.
Kendati segala upaya dilakukan, jumlah penderita sifilis tidak menurun.
“Saya berani mengatakan 90 persen dari yang terinfeksi penyakit kelamin berasal dari kalangan tentara beserta pejabatnya,” tulis Gani A. Jaelani, dosen sejarah Universitas Padjajaran, dalam disertasinya yang dipertahankan di EHESS-Prancis dan kemudian dibukukan dengan judul Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942. “Terakhir, kalau militer sering datang ke kampung, penularan penyakit pun akan berkembang.”
Muncul pandangan kritis terhadap aturan prostitusi tersebut. J. Haga dalam artikelnya “De Schaduwzijden van het Reglement op de Prostitutie in Nederlands-Indie”, termuat di Geneeskundige Tijdschrift voor NederlandschIndie tahun 1901, mengemukakan kelemahan aturan itu sehingga tak efektif mengurangi penyebaran penyakit kelamin. Menurut Haga, titik lemah aturan itu pada identifikasi pelacur yang terdaftar, sementara yang melakukannya secara rahasia justru lebih banyak. Tenaga medis juga kurang, tak sebanding dengan jumlah pasien yang diperiksa.
“Aturan itu memang terkesan angin-anginan. Seperti tertulis dalam besluit itu, perempuan yang ketahuan melamar bekerja di rumah bordil tanpa memeriksakan diri lebih dulu akan kena denda. Namun dalam praktiknya, hanya denda yang dikejar, sementara si perempuan dibiarkan saja bekerja di rumah bordil tanpa pemeriksaan lebih dulu,” ujar Agus Setiawan.
Pada 1 November 1910, Departemen Pendidikan, Keagamaan, dan Industri (Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid) membuat laporan yang menganjurkan keterlibatan pemerintah dalam pemeriksaan kesehatan pelacur dihentikan. Pada 1 Maret 1911, catat Gani A. Jaelani, tak ada lagi pemeriksaan kesehatan untuk para pelacur dan semua rumah sakit untuk penderita penyakit kelamin ditutup.
Sejak itu, jumlah rumah bordil tak terdeteksi lagi, sebab polisi terbentur aturan bahwa untuk memeriksa rumah bordil harus seizin kepala daerah setempat. I.H Misset dalam “De Politie en de Prostitutie”, termuat di De Nederlandsch Indie Politiegids pada 1917, memperkirakan terdapat 3.000- 4.000 perempuan publik di Batavia, 2.000 kasus tentara terjangkit sifilis, dan 6.000 kasus penyakit kelamin lainnya.
Pada 1930-an, ditemukan adanya penderita sifilis pada ibu hamil dan muncullah istilah sifilis bawaan, yang ditularkan ibu hamil kepada bayinya. Fenomena ini menjadi bahan penelitian kalangan dokter.
Hingga Belanda hengkang, sifilis masih menjadi bahan perbincangan para dokter di Indonesia. Namun upaya pencegahan dan penyembuhannya belum tersentuh.
Ancaman Lama
Malam hampir berakhir. Jalanan di Tanjung Priok, sekira Juni 1950, masih ramai meski di beberapa tempat gelap karena kurangnya penerangan jalan. Di sepanjang sebuah lorong jalan, 10-12 perempuan dengan rambut sedikit dikeritingkan sambil menenteng tas atoom berdiri menggerombol. Mereka pasang senyum menawan, memperlihatkan gigi emas mereka kepada lelaki yang lewat.
“Mampirlah, Bung,” sapa seorang perempuan, dikutip Merdeka, 10 Juni 1950. Mereka adalah sebagian kecil dari ribuan pelacur yang tersebar di seantero Jakarta, dari Tanjung Priok, Planet Senen, hingga Kali Got (Mangga Besar). Dan mereka berperan penting dalam penyebaran penyakit kelamin.
Salah satu orang yang memberi perhatian serius adalah Soetopo, seorang dokter ahli penyakit kulit dan kelamin yang pernah menjabat menteri kesehatan pada era Kabinet Abdul Halim. Dia kemudian menjabat kepala Lembaga Pusat Penjelidikan dan Pemberantasan Penjakit Kelamin (LP4K), yang didirikan Departemen Kesehatan tahun 1951 dan diresmikan Menteri Kesehatan J. Leimena. Gedung LP4K berlokasi di Jalan Indrapura, Surabaya. Ia bukan hanya berfungsi sebagai rumahsakit kelamin tapi juga menjalankan peran preventif, penyuluhan, penelitian, dan pendidikan.
Pada 1953, Soetopo melakukan penelitian mengenai penyakit venerik atau kelamin. Menurut hasil penelitiannya, 5-10 persen jumlah penduduk suatu daerah terkena penyakit kelamin. Dan di antara penyakit venerik, sifilis paling berbahaya. Dalam ceramahnya yang disampaikan pada peringatan Hari Kesehatan Dunia, 7 April 1953, di LP4K, Soetopo menyatakan prostitusi berkontribusi pada penyebaran penyakit kelamin. Dia menyesalkan, setelah Indonesia merdeka, terjadi penurunan norma-norma sosial. Para pemuda merayakan kebebasan, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Menurutnya, telah terjadi krisis moral dan perlu penangangan sistemik antara Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Tenaga Kerja.
“Berbeda dari WHO, yang menganjurkan pendekatan kesehatan masyarakat semata untuk pengendalian penyakit kelamin seperti pengobatan pasien sifilis dengan penisilin, Soetopo mengaitkan prevalensi penyakit kelamin pada prostitusi dan kerusakan moral yang meluas,” tulis Vivek Neelakantan dalam disertasinya di Universitas Sydney berjudul “Health and Medicine in Soekarno Era Indonesia”.
Menurut Vivek Neelakantan, LP4K memiliki empat program utama untuk menanggulangi sifilis. Pertama, diagnosis dan penanganan kasus sifilis. Kedua, melakukan penyelidikan penyakit sifilis di kalangan tentara, buruh, gelandangan, ibu hamil, pusat kesehatan anak. Ketiga, pembagian penisilin untuk para pelacur. Keempat, cek medis kepada pasangan tidak menikah dari penyakit seksual.
LP4K melakukan serangkaian penelitian untuk mengumpulkan data penyebaran sifilis. Selama 1952 hingga 1957, LP4K memeriksa 3.054 anggota kepolisian di Surabaya dan 4.570 anggota Angkatan Darat. Hasilnya, 21,5% polisi dan 33% personel Angkatan Darat menderita penyakit kelamin. Pemeriksaan kemudian dilakukan terhadap 2.857 buruh, 8.744 penduduk, dan 670 pelacur. Dari penyelidikan itu diketahui sifilis hinggap di 20,3% buruh, 18,4% penduduk, dan 86% pelacur.
“Dalam pemberantasan penyakit kelamin, dilakukan screening terhadap alat negara, pegawai, mahasiswa, karyawan pabrik dan kantor,” tulis Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia jilid 2 yang diterbitkan Departemen Kesehatan. “Dan pengawasan terhadap wanita tuna susial diperketat, dengan pemberian suntikan penisilin setiap minggu terus-menerus agar mereka tidak terinfeksi, sebab dapat menyebabkan reinfeksi.”
Sebuah percobaan dilakukan dengan penyuntikan penisilin secara teratur terhadap para pelacur yang bekerja di rumah-rumah pelacuran pada 1957 dan 1958. Datanya dikumpulkan. Hasilnya, dengan penyuntikan secara terus-menerus, hanya empat minggu saja, ternyata menurunkan angka kejangkitan penyakit kelamin.
Dari hasil itu, sejak November 1958 cara pemberantasan tersebut diperkenalkan dan disarankan kepada semua Dinas Kesehatan untuk melaksanakannya. Usaha ini dijalankan sebuah tim dari LP4K yang mengunjungi daerah-daerah tersebut. Tim ini, bernama Team Penasehat Pemberantasan Penyakit Kelamin, juga dibentuk di tingkat daerah. Tugasnya memberi saran kepada Dinas Kesehatan serta bantuan berupa alat, tenaga medis, pendidikan, obat-obatan dan petunjuk medis dalam kaitan pemberantasan penyakit kelamin.
Upaya pemberantasan penyakit kelamin terus dilakukan di masa berikutnya.
Era Baru, Penyakit Lama
Januari 1967, sejumlah perempuan penghibur yang tinggal di Kampung Silir, Surakarta, gembira. Bagaimana tidak, sejak diresmikan pemerintah tahun 1961 sebagai kompleks lokalisasi, baru kali ini mereka didaftar secara resmi oleh kepala desa.
Menurut aturan baru, setiap perempuan yang baru saja datang ke Silir harus mendaftarkan diri kepada pemerintah setempat. Mereka pun wajib mematuhi aturan dalam Kompleks Silir seperti jam kerja, pemeriksaan kesehatan rutin, dan hubungan sosial dengan masyarakat sekitar.
Kompleks Silir, tulis Gavin W. Jones, Endang Sulistyaningsih dan Terence H. Hull dalam kertas kerja berjudul Prostitution in Indonesia, kemudian menjadi patron bagi beberapa lokalisasi yang muncul di era Orde Baru.
Seperti terjadi di masa lalu, keberadaan lokalisasi beriringan dengan tumbuhnya penyakit menular seksual seperti sifilis. Upaya pencegahan sifilis dilakukan dengan pengobatan massal gratis, yaitu menyuntikkan 3 mililiter penisillin aluminium monostearate (PAM) kepada setiap penghuni lokalisasi, rutin seminggu sekali.
Pengobatan massal dihentikan pemerintah pusat pada 1987 karena keterbatasan anggaran. Departemen Kesehatan menganjurkan setiap kepala daerah yang terdapat lokalisasi tetap melaksanakan program tersebut dengan penyandang dana lain. Sejumlah pelacur berinisiatif memeriksakan diri ke dokter, dengan biaya sendiri atau bantuan dari mucikari. Beberapa mucikari menyewa dokter spesialis untuk memeriksa PSK yang bekerja kepadanya.
Cara lain pencegahan penyebaran sifilis, selain suntik penisilin, adalah dengan menggunakan kondom.
Menurut buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia jilid 3, pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, terdapat 81 kabupaten yang melaksanakan pemberantasan penyakit kelamin. Selama Pelita I, terdeteksi 100.000 orang terkena penyakit kelamin dan dilakukan tindakan pencegahan terhadap 20.000 sumber penularan.
Dalam kurun 1975 hingga 1981, jumlah penderita sifilis secara nasional naik-turun. Penurunan signifikan terjadi pada 1981.
Menurut Hartadi dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Universitas Diponegoro berjudul “Prospek Penyakit Menular Seksual di Indonesia dalam Kaitannya dengan Era Globalisasi” tahun 1992, sejak 1986 sampai 1988, terdapat tujuh urutan Penyakit Menular Seksual (PMS) dilihat dari jumlah penderitanya. Sifilis berada di urutan buncit, sedangkan di urutan teratas adalah Non Spesifik Urethritis (NSU) semacam infeksi pada daerah genital yang tidak disebabkan kuman spesifik.