Mengukir Nama di Ladang Cinta

Fredy S merupakan penulis novel populer terproduktif era 1980 hingga 1990-an. Namun sosoknya justru tenggelam oleh karya-karyanya yang berjumlah ratusan.

OLEH:
Wenri Wanhar
.
Mengukir Nama di Ladang CintaMengukir Nama di Ladang Cinta
cover caption
Fredy S berpose di depan lukisan-lukisan karyanya. (Dok. Keluarga Fredy S/Historia.ID).

RUMAH dua tingkat di Bintara, Bekasi itu berpagar jerajak besi. Halamannya dipenuhi aneka bunga. Beranda dibiarkan kosong; tak ada meja maupun kursi. Sebuah sepeda mini terparkir di garasi. Dua bocah laki-laki asyik bermain. Mereka cucu si empunya rumah: Fredy Siswanto atau Fredy S.

Ruangan di dalamnya cukup luas. Agak menjorok ke dalam, anak tangga meliuk ke lantai dua. Di bawahnya, kolam ikan mini tak lagi terawat. Dinding kolam itu bercorak ala lembah di pegunungan. Kering. Berdebu.

RUMAH dua tingkat di Bintara, Bekasi itu berpagar jerajak besi. Halamannya dipenuhi aneka bunga. Beranda dibiarkan kosong; tak ada meja maupun kursi. Sebuah sepeda mini terparkir di garasi. Dua bocah laki-laki asyik bermain. Mereka cucu si empunya rumah: Fredy Siswanto atau Fredy S.

Ruangan di dalamnya cukup luas. Agak menjorok ke dalam, anak tangga meliuk ke lantai dua. Di bawahnya, kolam ikan mini tak lagi terawat. Dinding kolam itu bercorak ala lembah di pegunungan. Kering. Berdebu.

“Maaf, agak berantakan. Semenjak Fredy sakit, sempit sekali waktu untuk mengurus rumah. Anak-anak juga sudah tinggal di rumah masing-masing dengan keluarganya. Paling seminggu sekali datang ke mari,” kata Sri Suyati, biasa disapa Yati, istri pertama Fredy S.

Fredy terbaring di ranjang di dalam kamar utama yang terletak di depan ruang tamu. Tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang. Ia sudah tak bisa bicara. Separuh tubuhnya lumpuh. Hanya tangan kirinya yang masih berfungsi. Sejak awal Mei 2001, Fredy terserang stroke. Kondisi kesehatannya sempat membaik tapi kambuh lagi.

“Papa berhenti mengarang novel pas pembuluh darahnya pecah tahun 2004,” ujar Risma Yunita Dwy Siswanto, 20 tahun, anak Fredy dari istri ketiganya, Nurlela Komala.

Fredy S terbaring sakit terkena stroke, Mei 2014. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Bermula dari Gambar

Sejak kecil, di antara kawan-kawan sepermainan, Fredy dikenal jago gambar. Ia memang hobi dan terus melakoni hobi ini hingga remaja. Lulus SMA, ia menjadikan hobi gambarnya sebagai pekerjaan.

Fredy membuat komik dan terbit atas nama Fredy Santosa, Fredy, atau Fredy S –ada juga Sagita; diambil dari horoskopnya, Sagitarius. “Dicetak dan diedarkan Penerbit Sutawijaya, Semarang,” ujar Yati.

TB Sutawijaya beralamat di Jalan Mataram, Semarang. Pemiliknya The Tjie To. Selain sebagai penerbit dan toko buku, Sutawijaya dikenal sebagai distributor komik untuk wilayah Jawa Tengah. Hingga kini, beberapa komiknya dijual lewat dunia maya. Antara lain Gema Tangismu, Karang Tajam, Segaris Harapan, Kepergian Seorang Kekasih, Lagu Sendu, Selembut Sutra, dan Pengorbanan Ibu. Komik ini bergenre roman percintaan, yang kala itu populer.

Menurut Marcel Bonneff dalam disertasinya yang kemudian diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Komik Indonesia, berbeda dari komik wayang dan silat yang membawa pembaca ke alam yang berbeda dari dunia nyata, di luar ruang dan waktu kita, komik remaja justru ingin menyuguhkan alam kontemporer.

Fredy S terbilang terlambat terjun ke dunia komik. Kala itu, pamor komik romansa mulai tergeser komik silat. Bahkan, sebagaimana pengamatan Bonneff pada April 1972, jumlah komik remaja mulai dikurangi untuk memberi tempat bagi komik silat. Mungkin karena itu pula Fredy banting setir menulis roman percintaan –kendati sempat menulis cerita silat seperti serial Retno Wulan dan Pendekar Gagak Rimang.

Selain bikin komik, Fredy menjadi pelukis poster dan spanduk film. Maklum, ia harus menghidupi keluarganya setelah menikah dengan Sri Suyati pada 1972. “Dua kamar di rumah kami dibobol jadi satu untuk tempat Fredy melukis spanduk film,” ujar Yati.

Fredy membuat spanduk film untuk bioskop Gajah Mada di Semarang dan bioskop Ratih di Jalan Mangkubumi, Yogyakarta. Tak terhitung jumlah poster film yang dilukisnya.

Salah satu dari ratusan judul novel karya Fredy S. (M. Awaludin Yusuf/Historia.ID).

Penulis Produktif

Dari komik dan cerita silat, Fredy menjajal bikin novel. Novel pertamanya, Senyummu Adalah Tangisku, diterbitkan Mutiara di Jakarta tahun 1978. Tebalnya 208 halaman. “Seingat saya penerbitnya di Pasar Baru, Jakarta. Kantornya persis di belakang Metro. Sekarang sudah tak ada, entah jadi apa,” kenang Yati.

Novel pertamanya meraih sukses. Bahkan, dua tahun setelah novel itu terbit, PT Inem Film mengangkatnya ke layar lebar. Novel berikutnya, Sejuta Serat Sutera, juga difilmkan.

Selain Mutiara, beberapa penerbit mencetak karyanya: Bintang Usaha Jaya, Sanjaya, Cintamedia, Matahari, Generasi Harapan, Alam Budaya, Sari Buana, Gultom Agency, dan sebagainya. Bahkan beberapa penerbit di Malaysia tertarik seperti Words & Wisdom dan Ciptaan Jiwaseni.

“Saya sendiri tidak tahu bagaimana novel saya bisa dibaca orang Malaysia dan Brunei, sampai suatu hari ada orang dari Kuala Lumpur yang datang ke rumah saya dan mau menerbitkan novel-novel karangan saya,” kata Fredy, dikutip Kompas, 6 September 1997.

Kepada Fredy, pakcik-makcik dari Negeri Jiran bercerita awalnya mereka mendapatkan novel Fredy S di Medan. Karena pasokan dari Medan tak bisa memenuhi permintaan pasar Malaysia, mereka datang ke Jakarta. Fredy menghargai satu judul novelnya sekitar Rp1,5 juta.

Hingga Agustus 1997, sekitar 100 judul novelnya diterbitkan beberapa penerbit di Kuala Lumpur, Malaysia. Novel-novel itu beredar dalam bahasa Indonesia, Melayu, atau Inggris. Flowery Happiness, yang dicetak Words & Wisdom tahun 2005, menggunakan bahasa Inggris-Malaysia. Kau Segalanya Bagiku diterbitkan Ciptaan Jiwaseni pada 1989 tetap menggunakan bahasa Indonesia.

“Lima tahun lalu kami masih dapat royalti dari penerbit Malaysia. Ketemunya janjian di hotel,” kata Yati. “Seingat saya, lima juta rupiah. Itu besar sekali bagi saya. Alhamdulillah.”

Pamor komik romansa tergeser komik silat. Mungkin karena itu pula Fredy S banting setir menulis roman percintaan.

Fredy S hadir kala roman populer memasuki masa keemasan. Menurut penelitian Redyanto Noor, dosen Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang, yang kemudian diterbitkan jadi buku Perempuan Idaman Novel Indonesia: Erotik dan Narsistik, pada 1980-an hingga 1990-an tercatat lebih dari 500 judul novel populer yang diterbitkan. Fredy S menempati urutan pertama dari segi produktivitas dengan 116 judul, jauh meninggalkan nama-nama seperti Mira W, Marga T, hingga Abdullah Harahap.

Fredy S memang penulis populer terproduktif. Ia bilang dalam sebulan mampu merampungkan dua sampai tiga judul novel dengan rata-rata 200-an halaman. “Kata para penerbit swasta yang menerbitkan novel saya, satu bulan bisa terjual 40.000–80.000 eksemplar,” kata Fredy kepada Kompas. Angka tadi terbilang luar biasa. Mengingat buku-buku sastra umumnya hanya mencapai angka penjualan sekitar empat ribu eksemplar. Itu pun bertahun-tahun.

“Sekarang ini beberapa penerbit swasta kaki lima mengontrak saya untuk jangka waktu per dua tahun, atau dengan hitungan kontrak sampai 100 judul novel,” kata Fredy.

Produktivitas Fredy S berbanding lurus dengan popularitasnya. Bahkan mengimbangi nama-nama penulis yang sudah mapan. Pada 2005, Mohamad Mokhtar Hassan, dosen Akademi Pengajian Melayu di Universiti Malaya pernah bikin penelitian mengenai minat pembaca di Medan dan Pekanbaru terhadap novel Indonesia. Hasilnya, novel populer menduduki tempat utama. Dari sisi popularitas seorang penulis, Hamka menjadi penulis terpopuler, diikuti Mira W, Marah Rusli, dan Fredy S. Mereka mengungguli Sutan Takdir Alisyahbana hingga Sanusi Pane.

Dalam makalah “Novel Popular Malaysia Indonesia: Kajian Perbandingan”, disampaikan dalam konferensi internasional “Toward A Better Cooperation Between Indonesia and Other Countries: Prospect and Retrospect” di Universitas Indonesia pada 2010, Hassan menulis bahwa Hamka dan Marah Rusli, kendati tak produktif, adalah penulis mapan yang amat diminati pembaca. Sementara Mira W dan Fredy diminati karena keduanya adalah penulis produktif.

Sekalipun produktif dan digemari pembacanya, Fredy S tak mendapat tempat dalam kesusastraan Indonesia.

TB Gultom Agency di Pasar Senen, Jakarta Pusat. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Gultom Agency

Kendati dicetak banyak penerbit, novel-novel Fredy S lekat dengan nama Gultom Agency yang bermarkas di Pasar Senen, Jakarta Pusat.

Gultom Agency milik Romauli Gultom. Dari namanya mudah ditebak, ia berdarah Batak. Orangnya tak banyak bicara dan tak suka publisitas. Berkat tangan dinginnya, Gultom Agency menjadi toko buku sekaligus penerbit besar.

Selain karya Fredy S, Gultom Agency juga menerbitkan karya penulis roman lainnya seperti Motinggo Busye, Abdullah Harahap, Eddy D. Iskandar, hingga Maria A. Sardjono. Dari komik, yang terkenal adalah Tatang S. Salah satu keunikan Gultom Agency adalah daya jelajah distribusinya yang menembus toko buku, lapak, hingga terminal-terminal.

Keluarga Fredy S dan Gultom menjalin hubungan baik. Fredy dan Yati sering berkunjung ke rumah Gultom di Pacuan Kuda, Pulomas, Jakarta Timur.

Rumah Gultom cukup megah dibanding rumah-rumah di sekitarnya. Bergerbang besi dengan motif bunga. Di tengah-tengahnya terukir RG 70, merujuk pada singkatan nama dan nomor rumahnya. Sayang, Gultom tak mau diwawancarai.

“Gultom itu kaya raya. Fredy beberapa kali dikasih hadiah mobil,” ujar Yati.

Sandro Siregar, adik ipar Gultom, membenarkan. “Mobil itu bonus. Dari semua penulis hanya Fredy yang dikasih mobil. Tiap tahun, seingat saya. Itu karena novelnya laku sekali, kayak kacang goreng,” ujarnya.

Menurut Sandro, mula-mula hubungan kerja sama Fredy S dengan Gultom Agency bersifat beli putus. Karena novel-novel itu laku di pasaran, Gultom Agency mengontrak Fredy. “Dulu 100 juta besar, bos.”

“Kita beli rumah ini di zaman Gultom,” ujar Yati. “Waktu Fredy mulai main cewek, ia suka ngebon di Gultom. Agar keluarga saya tidak terlantar, Gultom menggaji saya tiap bulan. Tiap tanggal 25 saya jemput gaji ke Senen. Gaji itu cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan menyekolahkan anak-anak.”

Tak hanya Yati. Keluarga istri kedua dan ketiga Fredy juga dekat dengan Gultom.

Hingga awal tahun 2000, Fredy masih kerap datang ke Gultom Agency untuk menyerahkan naskah novelnya. Arif Daulay, pekerja toko buku Gultom Agency, masih ingat kedatangan Fredy. “Waktu itu Fredy sudah kena stroke,” katanya kepada Historia.

Menurut Arif, Fredy datang membawa empat naskah. Setelah mendapat honor untuk naskah-naskah tersebut, Fredy pergi. “Semenjak itu, Fredy tak pernah datang lagi.”

Sejak 2004 Fredy S tak lagi berkarya. Roman percintaan juga mulai ditinggalkan pembacanya. Maka, Gultom meninggalkan bisnis penerbitan dan beralih ke bisnis tekstil. Ia punya toko grosir busana muslim di Thamrin City, sekitar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bagaimana dengan Gultom Agency? “Sekarang hanya menerbitkan TTS (teka-teki silang),” ujar Arif.

Kiprah Gultom di dunia penerbitan diteruskan kerabat-kerabatnya: Sandro dengan Sandro Agency dan Ronny dengan TB Ronny Saputra dan Bintang Indonesia. Toko buku sekaligus penerbit itu berdiri berderet di area Pasar Inpres, Jakarta.

“Sekarang yang jalan buku-buku agama dan kamus. Novel sudah tidak jalan. Untungnya kecil,” ujar Sandro.

Novel-novel populer yang meniru dan mencatut nama Fredy S. (Yusuf Fadilah/Historia.ID).

Atas Nama Fredy S

Ketika mengunjungi Fredy S, Historia membawa sejumlah novel. Fredy yang tergolek langsung sumringah. Ia mengacungkan jempol ketika diperlihatkan novel Seribu Wajah Cinta. Namun ia menggeleng ketika diperlihatkan novel-novel cetakan baru atas nama Fredy S. Tangan kirinya bergerak ke kiri dan kanan. Ia mencoba bicara tapi lidahnya sudah tak lagi punya kuasa. Novel-novel ini, umumnya tipis dan baru terbit, ditulis cetakan pertama tapi tanpa tahun terbit.

Yati menjelaskan, selepas 1990-an, banyak novel orang lain terbit dengan menggunakan nama Fredy S. Fredy manggut-manggut.

Atas seizin Fredy S? Fredy mengiyakan. Beberapa penulis yang mencatut nama Fredy S adalah kawan-kawannya sendiri. Ini bermula pada 1986 setelah Fredy membeli rumah di Bintara, Bekasi. Di masa jayanya, saban hari rumah itu selalu ramai. Banyak kawannya datang dan menginap. Umumnya baru merantau ke ibu kota.

Mereka mengadu nasib berbekal kepandaian mengarang. Berharap Fredy membantu menerbitkannya. Dan Fredy mengulurkan tangan. Namun, penerbit umumnya enggan menerbitkan karya penulis baru. Maka, untuk menyiasatinya, mereka memakai nama Fredy S. Fredy tak keberatan.

“Saya pernah ingatkan Fredy agar jangan terus-terusan begitu. Nanti kalau karya-karya itu kurang bagus dan nggak laku, namanya yang jelek,” kata Yati. “Tapi Fredy cuek saja. Ia memang senang bantu orang.”

Bila dinilai sudah bagus, Fredy S menyarankan teman-temannya menggunakan nama sendiri. Ia bahkan mengajak dan menemani mereka untuk menemui penerbit. “Setahu saya, kawan-kawannya kemudian tidak pakai nama asli juga tapi nama samaran. Nama-nama perempuan,” ujar Yati.

Fredy S sendiri ingin menjajal pakai nama lain untuk karya-karyanya. Ada beberapa nama yang sudah dipersiapkan antara lain Topan Halilintar dan Srikandi. Katanya untuk jaga-jaga jika orang sudah bosan dengan nama Fredy S. Namun penyakit jua yang menghalanginya berkarya.

Pamor Fredy S memang sudah meredup. Namun, karya-karyanya masih dijajakan di sejumlah lapak, entah karya lama maupun baru, karyanya maupun “atas nama”.

Fredy S meninggal dunia pada 24 Januari 2015.*

Majalah Historia No. 19 Tahun II 2014.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6454b6b90bddb76379a0c14c