Menikmati Peradaban Sungai Mekong

Kehidupan di Luang Prabang berjalan lambat tapi menyenangkan. Nikmat seperti menghirup teh saat senja.

OLEH:
Dania Wie
.
Menikmati Peradaban Sungai MekongMenikmati Peradaban Sungai Mekong
cover caption
Pemberhentian slow boat di Pak Beng. (Dania Wie/Historia.ID).

DARI Huay Xai, kota perbatasan Laos dengan Thailand, saya menumpang slow boat menuju Luang Prabang. Hari sudah senja ketika kapal kayu beratap tanpa dinding dan berkapasitas 70 penumpang itu tiba di Pak Beng, sebuah kota kecil di tepi sungai yang indah. Kami harus singgah dan bermalam karena pertimbangan keamanan dan keselamatan. 

Begitu kapal berlabuh, penduduk setempat, yang sebagian besar berprofesi sebagai penyedia jasa pariwisata, langsung berkerumun menawarkan penginapan. Setelah beberapa puluh langkah menyusuri jalan beraspal yang cukup curam, saya tiba di sebuah penginapan. Bangunannya berstruktur kayu, bertingkat dua, dan memiliki deret jendela berwarna kontras. Kendati cukup banyak turis terlihat di jalanan utama, malam di Pak Beng terasa senyap. 

Keramaian menyeruak pada jam enam pagi. Penduduk mulai membuka kios untuk berjualan sandwich, pisang, dan minuman yang biasa dicari para turis sebagai bekal perjalanan menuju Luang Prabang.

DARI Huay Xai, kota perbatasan Laos dengan Thailand, saya menumpang slow boat menuju Luang Prabang. Hari sudah senja ketika kapal kayu beratap tanpa dinding dan berkapasitas 70 penumpang itu tiba di Pak Beng, sebuah kota kecil di tepi sungai yang indah. Kami harus singgah dan bermalam karena pertimbangan keamanan dan keselamatan. 

Begitu kapal berlabuh, penduduk setempat, yang sebagian besar berprofesi sebagai penyedia jasa pariwisata, langsung berkerumun menawarkan penginapan. Setelah beberapa puluh langkah menyusuri jalan beraspal yang cukup curam, saya tiba di sebuah penginapan. Bangunannya berstruktur kayu, bertingkat dua, dan memiliki deret jendela berwarna kontras. Kendati cukup banyak turis terlihat di jalanan utama, malam di Pak Beng terasa senyap. 

Keramaian menyeruak pada jam enam pagi. Penduduk mulai membuka kios untuk berjualan sandwich, pisang, dan minuman yang biasa dicari para turis sebagai bekal perjalanan menuju Luang Prabang. 

Dari Pak Beng, ada banyak pilihan moda transportasi menuju Luang Prabang, dari minibus, mobil travel, hingga pesawat. Saya memilih melanjutkan perjalanan dengan slow boat agar dapat mengalami pesona Sungai Mekong: ketenangan, keharmonisan, serta aktivitas masyarakat yang hidup di pinggiran sungai. 

Sungai Mekong merupakan sungai terpanjang di Asia Tenggara, mengalir sepanjang 4.800 km dari dataran tinggi Tibet hingga Vietnam. Ia melewati lima negara Indochina, dengan jarak terpanjang di Laos. Sungai Mekong memiliki keanekaragaman hayati yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya, lebih dari seratus kelompok etnis, selama ribuan tahun. Tak heran jika penduduk Laos menyebut sungai ini dengan nama “Mae Nam Khong”, yang berarti “Ibu Para Sungai”. 

Kapal terus melaju. Kapal yang saya naiki tidak hanya diisi turis. Banyak penduduk setempat ikut kapal untuk singgah di daratan-daratan yang kami lewati. Mereka membawa barang kebutuhan sehari-hari, dari sayuran, ikan segar, ayam hidup, hingga lemari dan matras-kasur yang ditaruh di atap kapal. Kapal beberapa kali singgah di daratan berpasir dan berbatuan untuk menurunkan penumpang. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Namun, saat kapal merapat, seorang penduduk akan berteriak memanggil yang lain, hingga lama-kelamaan banyak orang mendekat ke kapal dan membantu menurunkan barang-barang bawaan. Anak-anak, memakai kain tradisional berwarna cerah, berlarian melambaikan tangan ke arah kapal. 

Setelah mengarungi Sungai Mekong selama delapan jam, kapal tiba di Luang Prabang saat matahari bersinar terik. Dari kejauhan terlihat bentuk kota tua Luang Prabang yang tumbuh pesat di sekitar Bukit Phou Si, area semenanjung yang dikelilingi Sungai Mekong dan Sungai Nam Khan. 

Patung Budha berbaring di Wat Tham Phu Si. (Dania Wie/Historia.ID).

Kejayaan Masa Lalu 

Bagi masyarakat setempat, Bukit Phou Si adalah tempat sakral. Bukan hanya karena posisinya yang sentral dan bentuknya yang agung, tetapi juga karena ia jantung kota Luang Prabang. Banyak yang menganggap Bukit Phou Si merupakan miniatur dari Gunung Meru, gunung yang merupakan pusat dari seluruh alam semesta dalam kosmologi Hindu-Buddha. Bukit Phou Si juga dipercaya sebagai tempat berlabuh binatang sakral Sang Naga yang melindungi kota Luang Prabang. 

Untuk mencapai puncak bukit, kita harus mendaki 328 anak tangga yang dihiasi ornamen berbentuk badan naga. Terasa berat. Namun, area yang terawat rapi dan bersih serta keindahan alamnya membuat perjalanan tak terasa melelahkan. Di puncak bukit terdapat beberapa kuil pemujaan seperti Wat Chom Si yang berwarna emas dan berdiri agung. Di puncak bukit ini pula kita bisa memandang keindahan panorama Luang Prabang. 

Luang Prabang mengalami masa kejayaan pada abad ke-14 hingga 16 ketika menjadi ibukota Lan Xang, kerajaan pertama yang menyatukan daerah-daerah yang sekarang kita kenal sebagai negara Laos. Pengaruh agama Buddha begitu terasa. Raja mensponsori pembangunan stupa dan kuil-kuil. Salah satunya Wat Xieng Thong yang dibangun pada 1560. 

Ornamen Mosaik Wat Xien Thong. (Dania Wie/Historia.ID).

Wat Xien Thong menampilkan eksotisme arsitektur lokal. Hampir seluruh bagian bangunan berbahan dasar kayu dan berlapis cat warna emas. Bentuk atapnya bertumpuk-tumpuk, dihiasi ornamen-ornamen berbentuk naga. Dinding bagian dalam didominasi warna merah dengan hiasan cermin mosaik warna-warni dan lukisan berwarna emas. Patung-patung Buddha berderet. Saya merasakan debaran kagum sekaligus ketenangan begitu menikmati objek grande yang rendah hati ini. 

Masa kejayaan Lan Xang berakhir setelah meninggalnya Raja Sourigna Vongsa. Lan Xang pun terpecah menjadi tiga kerajaan: Luang Prabang, Vientiane, dan Champasak. Mereka kemudian berada di bawah kekuasaan negara-negara di sekitarnya, terutama Siam –kini Thailand. Bahkan, tulis Grant Evans dan Milton Osborne dalam A Short History of Laos, karena letaknya yang terkurung daratan dan jauh dari perubahan politik-ekonomi yang dibawa ekspansi Eropa, kerajaan-kerajaan pedalaman itu hampir menghilang pada abad ke-19. Hanya ekspansi kolonial Prancis yang menghindarkan kemungkinan apa yang sekarang disebut Laos terserap Siam dan Vietnam. 

Dengan masuknya Prancis ke Laos, kebudayaan Prancis pun mengakar di Luang Prabang. Alih-alih menerapkan bentuk bangunan Eropa, pemerintah kolonial Prancis mengembangkan arsitektur lokal di Luang Prabang. Mereka mendirikan bangunan-bangunan administrasi dengan material bata berpadu struktur kayu. Mayoritas bangunan memiliki jendela-jendela yang besar, balkon, dan teras sebagai adaptasi cuaca di Laos yang hangat dan lembap.

Sekalipun ibukota kemudian dipindahkan ke Vientiane, Luang Prabang memiliki kedudukan penting sebagai tempat tinggal keluarga Raja Sisavang Vong. Sekarang bangunan tersebut beralih fungsi jadi museum yang dikenal dengan nama Royal Palace Museum (Haw Kham) atau The Luang Prabang National Museum. 

Royal Palace Museum. (Dania Wie/Historia.ID).

Royal Palace Museum awalnya didesain dengan gaya French Beaux-Arts. Namun, Raja Sisavang Vong menginginkan citarasa lokal, sehingga leburlah gaya arsitektur tradisional Laos dan Prancis. Keberadaan kolom-kolom klasik dan pedimen mewakili gaya arsitektur Eropa, sedangkan bentuk atap yang bertumpuk dan meruncing serta ornamen-ornamen mencitrakan gaya arsitektur Laos. Sebuah perpaduan yang harmonis. 

Di kompleks yang sama terdapat Haw Pha Bang, kuil terpenting di Luang Prabang. Di dalam kuil tersimpan patung Buddha yang bernama Phra Bang. Patung tersebut merupakan hadiah Raja Khmer (sekarang Kamboja) untuk Fa Ngum, menantunya yang jadi raja pertama Lan Xang, sebagai sarana menyebarkan ajaran Theravada Buddha. Lebih dari sekadar saksi sejarah, Phra Bang dipercaya sebagai pelindung kota Luang Prabang. Bahkan, nama Luang Prabang berasal dari nama Phra Bang itu sendiri. 

Sejak memerdekakan diri, dan kemudian dikenal sebagai Republik Demokrasi Rakyat Laos (LPDR), negeri ini nyaris tak pernah lepas dari konflik. Laos terisolasi. Perekonomian berada di titik terendah. Infrastruktur rusak parah. Hingga akhirnya Laos membuka diri dan mulai berbenah. 

Pada 1989, pemerintah Laos merevitalisasi Luang Prabang. Hasilnya, badan PBB urusan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) menobatkan Luang Prabang sebagai salah satu situs warisan budaya dunia pada 1995. 

Wat Pha Bang. (Dania Wie/Historia.ID).

Penuh Warna 

Di mata para pelancong, Luang Prabang lebih populer daripada Vientiane, ibukota Laos saat ini. Wajah kota menyajikan harmoni alam dan aktivitas masyarakatnya. 

Hari-hari di Luang Prabang selalu penuh warna. Pepohonan rindang. Bunga-bunga bermekaran. Jubah-jubah biksu dan calon biksu yang berwarna burnt sienna. Aroma bunga kamboja, kopi, dan roti yang baru matang di pagi hari. Semuanya membuat seluruh indera bekerja, merekam kenangan akan Kota Luang Prabang. 

Sebagai situs budaya yang dilestarikan, Luang Prabang membatasi diri terhadap penggunaan kendaraan besar seperti truk dan bus. Mayoritas penduduk menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Hari terasa berjalan lambat tapi menyenangkan. Saya seperti menjadi bagian dari kota. Sepanjang hari, saya berjalan kaki dan tersesat, mengunjungi beberapa kuil yang tersebar di setiap sudut kota, bermain Pétanque –mainan tradisional Prancis, dan berinteraksi dengan penduduk lokal yang setiap sore berkumpul untuk bermain air di Sungai Nam Khan. 

Pada pukul setengah sepuluh malam, para pedagang pasar malam di pusat kota mulai membereskan barang dagangan. Restoran dan kafe tidak melayani tamu, meski akhir minggu sekalipun. Hampir seluruh lampu jalanan dimatikan. Jalanan begitu sepi dan gelap. Luang Prabang terasa damai dalam lelapnya malam. 

Dibutuhkan waktu minimal empat hari untuk menikmati kehidupan yang tenang dan damai di Luang Prabang. Banyak aktivitas yang patut dicoba. Anda bisa mengikuti kursus memasak tradisional atau belajar tenun tradisional. Selain mendukung aktivitas masyarakat setempat, tentunya akan ada kepuasan sendiri saat Anda pulang dengan membawa keahlian baru. Jika ingin mencari suasana berbeda, Anda dapat mengunjungi objek-objek wisata di sekitar Luang Prabang yang tak kalah menarik, seperti air terjun Kuang Si, air terjun Tad Sae, atau Gua Pak Ou yang menyimpan banyak patung Buddha. 

Ritual "The Alms giving ceremony". (Dania Wie/Historia.ID).

Hari terakhir di Luang Prabang, saya sempatkan bangun lebih awal dan mengikuti ritual yang paling ditunggu-tunggu wisatawan. Ritual tersebut adalah pemberian makanan kepada biksu-biksu yang dikenal dengan sebutan “The Alms giving ceremony”. Ritual ini sangat populer. Bahkan banyak wisatawan mengunjungi Luang Prabang semata untuk mengikuti ritual ini, karena dipercaya dapat mengabulkan permintaan orang yang mengikuti ritual. 

Jalan Sisavangvong, di pusat kota tua, menjadi salah satu tempat paling ramai. Pada pukul lima pagi, banyak orang sudah berkumpul di jalur pejalan kaki, mencari posisi tempat duduk yang pas. Penduduk setempat maupun turis, dengan membawa makanan dalam wadah, berderet dan berlutut di sepanjang jalan. Pada jam enam pagi, para biksu akan keluar dari kuil-kuil dan berjalan keliling kota. Mereka lalu membuka tas anyaman bambu yang mereka bawa agar para pengikut ritual dapat memasukkan sepotong makanan, biasanya berupa nasi, ke dalamnya. 

Setelah mengikuti ritual itu, tiba saatnya saya meninggalkan Luang Prabang. Saya menunggu minibus di penginapan sambil berbincang-bincang dengan pemilik penginapan, seorang lelaki asal Belgia yang sudah sepuluh tahun lebih tinggal di kota ini. Luang Prabang telah memikatnya. Baginya, Luang Prabang adalah “rumah” yang selama ini dia cari. Aktivitas masyarakat yang tenang dan damai, keindahan alam dan kesederhanaan kehidupan kotanya, dirasa lebih dari definisi “rumah” yang selama ini didambakannya. 

Sama seperti dirinya, saya juga terpikat oleh nuansa magis Luang Prabang yang cantik. Setiap langkah membawa saya lebih dalam ke lorong waktu. Luang Prabang akan selalu hidup dalam kenangan.*

Majalah Historia No. 18 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
658448feb01cba673abef570
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID