Tim peneliti mandiri menemukan struktur tidak biasa di Gunung Padang. Temuan ini diklaim dapat menggeser peta arkeologi kuno dunia. Memicu kontroversi dan dipetisi para ahli.
Situs megalitik Gunung Padang. (Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang).
Aa
Aa
Aa
Aa
LANGIT pagi itu cerah. Tiga orang penduduk, Endi, Soma, dan Abidin, berniat membuka lahan pertanian di sekitar Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat pada 1979. Ketika bekerja, mereka kaget lantaran menemukan tumpukan batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak.
Mereka segera melaporkan temuan itu kepada Edi, penilik kebudayaan Kecamatan Campaka, Cianjur. Atas dasar laporan ini, tim ahli Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang dipimpin arkeolog D.D. Bintarti meneliti situs itu pada Maret 1979. Bintarti lalu membuat laporan mengenai Gunung Padang.
“Dinding bangunan induk terbuat dari susunan batu yang disusun sedemikian rupa sehingga tidak mudah rubuh. Bentuk punden berundak berteras-teras, dibatasi dinding batu, memanjang ke belakang, dan susunannya semakin meninggi,” tulis Bintarti dalam “Punden Berundak di Gunung Padang, Jawa Barat”, jurnal Amerta 4, 1981.
LANGIT pagi itu cerah. Tiga orang penduduk, Endi, Soma, dan Abidin, berniat membuka lahan pertanian di sekitar Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat pada 1979. Ketika bekerja, mereka kaget lantaran menemukan tumpukan batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak.
Mereka segera melaporkan temuan itu kepada Edi, penilik kebudayaan Kecamatan Campaka, Cianjur. Atas dasar laporan ini, tim ahli Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang dipimpin arkeolog D.D. Bintarti meneliti situs itu pada Maret 1979. Bintarti lalu membuat laporan mengenai Gunung Padang.
“Dinding bangunan induk terbuat dari susunan batu yang disusun sedemikian rupa sehingga tidak mudah rubuh. Bentuk punden berundak berteras-teras, dibatasi dinding batu, memanjang ke belakang, dan susunannya semakin meninggi,” tulis Bintarti dalam “Punden Berundak di Gunung Padang, Jawa Barat”, jurnal Amerta 4, 1981.
Penelitian mengenai Gunung Padang itu bukanlah yang pertama. Pada 1914, buletin Rapporten van de Oudheidkundige Dienst, terbitan Dinas Kepurbakalaan Hindia Belanda (Oudheidkundige Dienst in NederlandschIndië) yang dipimpin seorang arkeolog Belanda N.J. Krom, sudah melaporkan keberadaan situs itu. Dinas itu bertanggung jawab atas penelitian arkeologi di Hindia Belanda. Laporan Krom menjadi bukti awal penelitian Gunung Padang.
“Pada puncak ini, dekat Gunung Melati, empat teras dihubungkan dengan tangga teras yang dibentuk dari batuan kasar dan tajam, dihiasi batuan kolumnar andesit seperti lingga. Pada setiap teras terdapat sebuah gundukan tanah yang diperkirakan kuburan, yang dikelilingi dan ditimbuni batu dan dilengkapi dua batu runcing,” tulis Krom dalam Inventaries der Hindoe-Oudheiden op Java en Madoera.
Krom keliru dengan jumlah teras Gunung Padang. Dia menyebutkan empat buah, padahal penelitian-penelitian setelahnya memberitakan lima teras. Dugaan Krom bahwa Gunung Padang digunakan sebagai kuburan purba juga keliru. Nyatanya, tak ditemukan kerangka manusia di situs itu. Berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Bandung pada 2002, Gunung Padang merupakan tempat pemujaan.
Situs Gunung Padang terdiri dari lima teras, dengan luas situs sekitar 4.000 meter persegi. Ketinggiannya sekitar 894 meter. Sementara luas arealnya mencapai 15 hektar. Para arkeolog mempercayai Gunung Padang sebagai situs megalitik terbesar di Asia Tenggara.
Setiap teras mempunyai pola bangunan batu yang berbeda-beda. Makin ke atas makin sedikit. Batuan penyusun Gunung Padang adalah batu besar andesit, andesit basaltik, dan basal berbentuk tiang-tiang dengan panjang dominan sekitar satu meter dan diameter dominan 20 cm. Tiang-tiang ini mempunyai sisi membentuk segibanyak dengan bentuk batu tetragon (empat sisi) atau pentagon (lima sisi).
Mengenai usia, para arkeolog belum sepakat. Perkiraan sementara sekitar 2500-400 SM.
Sempat terlupakan, Gunung Padang menjadi buah bibir setelah adanya penemuan dan asumsi, lengkap dengan kontroversinya. Ini berkat penelitian Tim Katastropik Purba, yang difasilitasi Staf Khusus Presiden Bidang Sosial dan Bencana Alam Andi Arief.
Menggeser Peta Arkeologi
Mulanya, Tim Katastropik Purba yang mulai bekerja sejak Maret 2011 bertugas untuk mendapatkan data kebencanaan yang bisa dijadikan bahan pertimbangan pengambil kebijakan. Ketika meneliti sesar Cimandiri, yang membentang dari Pelabuhan Ratu, Cianjur, hingga Padalarang, mereka menemukan tak ada intrusi magma di bawah permukaan Gunung Padang berdasarkan citra georadar.
Mereka pun melakukan penelitian lengkap dengan metodologi geofisika. Hasilnya, mereka meyakini Gunung Padang adalah bukit buatan manusia di masa lalu, bukan sebuah gunung. Dugaan ini berawal dari kecurigaan bentuk Gunung Padang yang apabila dilihat dari utara akan mirip segitiga sama kaki.
“Alam tidak pernah menghasilkan sesuatu yang simetris,” tutur Andi Arief kepada Historia.
Letak Gunung Padang juga dianggap aneh. Ia berdiri sendiri tanpa ada gunung lain yang menyertainya. “Tidak pernah ada gunung sendirian, minimal terdapat punggung-punggung gunung lain yang menyertai,” ujar Andi. “Jika ada gunung sendiri, kalau tidak gunung batu, gunung pasir, atau memang mengandung sesuatu.”
Tim juga menduga ada struktur bangunan mirip piramida di situs itu. Hal itu diungkapkan Andi Arief pada “International Conference on Indonesian Studies” yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia di Inna Grand Bali Beach, Sanur, pada 9–11 Februari 2012. Kontan saja, penemuan ini menarik animo masyarakat. Berita Gunung Padang laris.
Tim Katastropik Purba kemudian menginisiasi pembentukan Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang dengan anggota peneliti diperluas yang melibatkan para pakar dari berbagai disiplin ilmu, dari arsitek hingga arkeolog. Ketuanya Ali Akbar, arkeolog Universitas Indonesia. Tim ini mulai bekerja sejak Mei 2012 dengan menggunakan beberapa metode: citra satelit, ground-penetrating radar (georadar), geoelektrik, pengeboran, dan analisis karbon.
Tim mengambil sampel tanah dari dua titik pengeboran, masing-masing titik diambil 16 sampel. Sampel ini kemudian diuji menggunakan metode perhitungan radioisotope carbon C14 (carbon dating) atau penanggalan karbon. Sampel dibawa ke Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Uji laboratorium menunjukkan hasil yang mencengangkan. Sampel karbon di sisi barat teras kedua pada kedalaman 3,5 meter menghasilkan perkiraan usia 4700 SM. Sementara di sisi selatan teras kelima pada kedalaman 8–10 meter perkiraan 10.900 SM.
Menurut Ali Akbar, hasil uji carbon dating menunjukkan usia Gunung Padang dari sisi geologi masih sangat muda untuk ukuran gunung api purba. “Gunung api purba seharusnya jika dibor di kedalaman segini (10 meter) usianya sudah jutaan tahun. Jadi ini sangat muda dari segi geologi. Tapi secara arkeologi ini sangat tua,” ujar Ali Akbar.
Untuk memperkuat hipotesis perkiraan usia Gunung Padang, Tim membawa sampel ke Laboratorium Beta Analityc Radiocarbon Dating (BETA) di Miami, Amerika Serikat, yang diakui secara internasional. Hasilnya, pada kedalaman 0,5 meter situs ini berusia 500 SM. Sementara pada kedalaman 3,5 meter, situs ini berusia 4700 SM.
Jika terbukti keabsahannya, temuan ini sangat fantastis. Gunung Padang lebih tua ketimbang Stonehenge di Inggris yang dibangun 2400-2200 SM. Dan jauh lebih tua dari Piramida Giza di Mesir yang dibangun sekitar 3000 SM. Penemuan ini dapat menggeser peta arkeologi kuno dunia. “Temuan Gunung Padang dapat mengubah buku sejarah dari halaman pertama,” ujar Andi Arief.
Apabila lapisan tanah disingkap, akan terlihat struktur bangunan seperti Machu Picchu, yang strukturnya juga punden berundak-undak.
Anomali Struktur
Dalam penelitian selanjutnya, Tim Terpadu Penelitian Mandiri menemukan ada suatu bentuk yang tidak biasa (anomali) di perut Gunung Padang. Ini memperkuat dugaan adanya bangunan kuno di Gunung Padang yang tertimbun selama ribuan tahun.
“Di bawah Gunung Padang terdapat sesuatu yang secara geologi disebut anomali. Batuan kolom yang secara alami memiliki posisi vertikal, tapi dari citra georadar memperlihatkan posisi rebah (horizontal). Jelas ini, kesimpulannya, tidak alami,” tutur Ali Akbar.
Hasil survei geolistrik memperlihatkan citra warna yang bermacam-macam dan tidak beraturan. “Seharusnya secara sederhana warna itu berbeda hanya pada setiap lapisan. Ini, misalnya pada warna merah, tersebar ke mana-mana. Secara geologis ini juga disebut anomali.”
Tim mengklaim mendapat temuan penting, yaitu di bawah Gunung Padang ada struktur anomali yang terdiri dari susunan batu kolom andesit, sama seperti struktur teras batu pada permukaan gunung. Susunan batu kolom andesit ini sudah tertimbun lapisan tanah setebal setengah sampai dua meter yang bercampur bongkahan dan pecahan batu kolom andesit.
Menurut Andi Arief, anomali ini disebabkan adanya struktur tidak biasa di bawah lapisan permukaan Gunung Padang yang terlihat sekarang. Struktur ini, menurutnya, mirip Machu Picchu di Peru, tapi jauh lebih tua. “Sudah ditemukan sebuah struktur bangunan yang terdiri dari beberapa lapisan. Apabila lapisan tanah disingkap, akan terlihat struktur bangunan seperti Machu Picchu, yang strukturnya juga punden berundak-undak,” kata Andi Arief.
Hal ini diperkuat temuan Ali Akbar, yang meneliti di luar pagar situs Gunung Padang, berupa struktur batu mirip terasering dengan tinggi sekitar 1,5 meter dan lebar 1,5 meter. Struktur pola terasering ini tersebar mengelilingi situs hingga ke kaki gunung. Mirip Machu Picchu.
Berdasarkan temuan ini, tim makin yakin bahwa situs Gunung Padang yang telah dijadikan kawasan cagar budaya sejak 1998 merupakan bagian dari megastruktur seluas 15 hektar dengan tinggi 147 meter.
“Situs yang selama ini kita lihat, dan sudah ditetapkan menjadi cagar budaya itu sebenarnya adalah bagian atasnya saja. Padahal, temuan pentingnya adalah satu keseluruhan gunung,” ujar Ali Akbar.
Semen Purba
Temuan penting lainnya dari Tim Terpadu Penelitian Mandiri adalah material pengisi batu-batu kolom. Bahkan batuan kolom yang sudah terpisah-pisah direkatkan kembali oleh material ini. Danny Hilman, anggota tim sekaligus pakar gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyebutnya “semen purba”.
Semen purba, menurut Ali Akbar, diduga dipergunakan untuk memudahkan penyusunan batuan kolom andesit. “Kemungkinan fungsi awalnya itu sebagai peluncur, untuk memudahkan penyusunan batu. Dan ketika kering kemudian akhirnya menjadi perekat.”
Andang Bachtiar, geolog Tim Terpadu Penelitian Mandiri yang juga pembina IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia), melakukan analisis kimia atas material semen purba ini. Hasilnya mengejutkan. Material penyusun semen ini mempunyai komposisi utama 45% mineral besi dan 41% mineral silika. Sisanya 14% mineral lempung dan juga terdapat unsur karbon. Campuran ini adalah komposisi bagus untuk semen perekat yang sangat kuat.
Tim membawa temuan semen purba itu ke Batan untuk tes carbon dating. Dari tes tersebut, usia semen purba itu diperkirakan 5000 SM.
Tim meyakini bahwa konstruksi dari bangunan yang dipercaya tertimbun di dalam situs memiliki teknologi yang tergolong canggih untuk masa itu. Mereka menyimpulkan material di antara batu-batu kolom andesit ini adalah adonan semen buatan manusia. Artinya, teknologi masa itu kelihatannya sudah mengenal metalurgi.
Mereka meyakini konstruksi bangunan Gunung Padang dirancang oleh arsitek ulung dengan teknologi yang tergolong sangat luar biasa.
Kegiatan ini dilaksanakan tanpa mengikuti kaidah-kaidah keilmuan, wawasan pelestarian, dan ketentuan administrasi sesuai izin yang dikeluarkan.
Kontroversi
Kontroversi menyertai hasil temuan Tim Terpadu Penelitian Mandiri. Arkeolog terkemuka Indonesia, Mundardjito, menanggapi hasil temuan yang mengungkap adanya piramida, emas, atau struktur lain di dalam Gunung Padang sebagai sebuah pseudo-archaeology, arkeologi semu.
Dengan tegas dia menampik dugaan struktur bangunan di perut Gunung Padang adalah piramida. Menurutnya, stuktur bangunan di situs tersebut hanya berupa tumpukan batu yang dibuat per teras. Tumpukan batu tersebut, diangkut oleh puluhan orang dari bawah ke atas.
Menurutnya, tidak pernah tercatat dalam sejarah bangunan peninggalan zaman dulu di Nusantara berbentuk piramida. Pasalnya, Nusantara terletak di kawasan tropis, karakteristik masyarakatnya selalu memusatkan kegiatannya di halaman. Begitu pula dengan masyarakat Gunung Padang, sehingga mereka membuat teras-teras sebagai pusat kegiatan saat itu.
Sutikno Bronto, geolog yang mendalami gunung api purba, mengatakan Gunung Padang hanya sebuah gunung api purba, bukan gundukan tanah berisi sesuatu, apalagi piramida. Menurutnya, kekar kolom (columnar joint) batuan andesit di Gunung Padang berasal dari rongga vulkanik gunung purba. Kekar kolom tersebut tidak hanya ditemukan di Gunung Padang, melainkan juga di bekas gunung purba lainnya di Jawa Barat seperti Gunung Lalakon dan Gunung Sadahurip.
Sementara Fadhlan S. Intan, ahli geologi dari Puslit Arkenas, menolak pendapat Tim Terpadu Penelitian Mandiri tentang semen purba. Menurutnya, materi yang dianggap sebagai semen purba itu hanyalah bagian batu andesit yang mulai melapuk.
Adu argumen kemudian mewarnai pemberitaan media dan forum-forum diskusi. Kehebohan ini menarik banyak orang untuk datang ke Gunung Padang. Mundardjito, arkeolog Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, cemas potensi kerusakan pada situs tersebut. Menurutnya, kondisi Gunung Padang saat ini mengkhawatirkan. Dalam satu minggu diperkirakan sebanyak 16.000 pengunjung datang ke situs itu. Mereka menginjak-injak batu, mengangkat batu atas dasar mitos tertentu, ada pula yang memukul-mukul batuan andesit itu.
Dipetisi
Pada 26 April 2013, Puslit Arkenas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan diskusi ilmiah bertema “Rasionalitas Gunung Padang dan Piramida Atlantis” di gedung pusat Puslit Arkenas, Jakarta. Hadir sejumlah arkeolog, vulkanolog, serta para ahli dari Ikatan Ahli Arkeolog Indonesia. Di akhir diskusi, para peneliti tersebut membuat sebuah petisi untuk presiden atas nama Forum Pelestari Situs Gunung Padang.
Petisi itu muncul untuk menyikapi rencana ekskavasi massal situs megalitikum Gunung Padang yang melibatkan 100 arkeolog dan sejumlah elemen lain seperti TNI, Polri, budayawan, masyarakat lokal, dan aktivis lingkungan hidup.
“Kegiatan ini dilaksanakan tanpa mengikuti kaidah-kaidah keilmuan, wawasan pelestarian, dan ketentuan administrasi sesuai izin yang dikeluarkan. Tim ini juga berencana melibatkan masyarakat awam sebagai relawan,” tulis petisi tersebut.
Dalam petisi itu, mereka mendesak pemerintah segera mengeluarkan moratorium untuk menghentikan kegiatan penggalian. Mereka cemas Gunung Padang akan rusak akibat ekskavasi.
Petisi itu mendapatkan dukungan dari 34 peneliti ahli. Mereka berafiliasi di bawah bendera Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Kelompok Riset Cekungan Bandung, dan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia. Sebagian besar dari mereka adalah peneliti dari Puslit Arkenas. Petisi ini dikenal sebagai Petisi 34, merujuk jumlah orang yang menandatanganinya pada 26 April.
Andi Arief menganggap petisi itu sebagai sebuah kesalahpahaman. Dia mengatakan, keterlibatan TNI dan masyarakat hanya sebatas membantu tim untuk membersihkan semak belukar di kawasan Gunung Padang. “Rencananya kami akan melakukan kegiatan bebersih, untuk membersihkan tumpukan tanah dan semak belukar agar struktur bangunan seperti Machu Picchu terlihat,” ujar Andi Arief.
Sementara Ali Akbar mengatakan tidak mungkin tim mendapat temuan bagus jika tidak mengikuti kaidah keilmuan yang tertib. Namun, dia menyebut petisi tersebut sebagai bentuk apresiasi masyarakat, yang belum terbiasa dengan adanya penelitian mandiri. “Penelitian selama ini hanya dilakukan pemerintah. Tapi pada prinsipnya, itu adalah apresiasi masyarakat yang bagus supaya situs terlindungi,” ujar Ali Akbar.
Menanggapi perihal petisi, pemerintah mengadakan mediasi. Hasilnya, terbentuklah Tim Nasional Gunung Padang pada 10 Mei 2013, yang masih berbentuk formatur. Tim ini terdiri dari beberapa ahli dari berbagai disiplin ilmu, yang akan mulai bekerja pada 2014 menunggu anggaran pemerintah. Tim dipimpin Soeroso, mantan sekretaris Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Terpadu Penelitian Mandiri menyambut baik adanya Tim Nasional Gunung Padang. “Tidak akan ada tumpang tindih pekerjaan dalam penelitian ini. Tim Mandiri akan tetap bekerja walaupun ada tim lain,” ujar Ali Akbar.
Tak seperti maknanya dalam bahasa Sunda –kata “padang” berarti caang atau terang-benderang– kejelasan soal Gunung Padang masih buram. Buku sejarah dari halaman pertama masih belum berubah.*