Bung Karno mungkin satu-satunya kepala negara di dunia, setidaknya yang pertama, yang pernah membacakan ayat suci Al-Qur'an ketika berpidato pada Sidang Umum PBB tahun 1960.
Presiden Sukarno menyampaikan pidato "To Build the World Anew" di Sidang Umum PBB 1960. (ANRI).
Aa
Aa
Aa
Aa
DALAM pidatonya bertajuk To Build the World Anew itu, Bung Karno antara lain mengungkapkan kelemahan-kelemahan PBB, seperti tampak pada keanggotaan Dewan Kemanan yang tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara di Asia dan Afrika.
Dewan Keamanan hanya mencerminkan peta ekonomi, militer, dan kekuatan dunia tahun 1945, dan negara-negara besar itulah yang menentukan perang dan damai. “Ketidakseimbangan dunia saat ini tidak lagi terletak pada negara-negara besar yang selalu saling menguji kekuatan masing-masing, tetapi terletak pada pertentangan hidup di antara bangsa-bangsa yang baru berkembang dengan bangsa-bangsa imperialis,” kata Bung Karno.
Negara-negara berkembang ini, lanjut Bung Karno, tidak mempunyai hak baik sendiri-sendiri mapun bersama-sama untuk mencoba menentukan hari depan dunia. “Kalau dulu kami tidak punya suara, kami sekarang tidak lagi menjadi sasaran penjajahan, tetapi merupakan bangsa yang hidup dan bersemangat, yang memiliki peranan tertentu, sumbangan bagi dunia, dan hak untuk didengar pandangannya.”
DALAM pidatonya bertajuk To Build the World Anew itu, Bung Karno antara lain mengungkapkan kelemahan-kelemahan PBB, seperti tampak pada keanggotaan Dewan Kemanan yang tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara di Asia dan Afrika.
Dewan Keamanan hanya mencerminkan peta ekonomi, militer, dan kekuatan dunia tahun 1945, dan negara-negara besar itulah yang menentukan perang dan damai. “Ketidakseimbangan dunia saat ini tidak lagi terletak pada negara-negara besar yang selalu saling menguji kekuatan masing-masing, tetapi terletak pada pertentangan hidup di antara bangsa-bangsa yang baru berkembang dengan bangsa-bangsa imperialis,” kata Bung Karno.
Negara-negara berkembang ini, lanjut Bung Karno, tidak mempunyai hak baik sendiri-sendiri mapun bersama-sama untuk mencoba menentukan hari depan dunia. “Kalau dulu kami tidak punya suara, kami sekarang tidak lagi menjadi sasaran penjajahan, tetapi merupakan bangsa yang hidup dan bersemangat, yang memiliki peranan tertentu, sumbangan bagi dunia, dan hak untuk didengar pandangannya.”
Untuk menggugah semangat membangun dunia baru dan elan perjuangan the new emerging forces dari negara-negara Asia dan Afrika, yang sebagiannya kita ketahui penganut Islam, Bung Karno mengutip Al-Qur’an surat Ar-Ra’du ayat 11. Yakni “Innallaha la yughayiru maa bi qaumin hatta yughayiruu maa bi anfusihim”. Firman ini dia terjemahkan menjadi “Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasibnya sendiri.”
A. Hassan (duduk kiri), pendiri Persis. (Wikimedia Commons).
Tafsir Dinamis
Proklamator Republik Indonesia itu sejatinya tidak persis menerjemahkan ayat, tetapi menafsirkannya. Dengan mengambil inspirasi dari ajaran Islam itu, Bung Karno menghendaki bangsa-bangsa yang baru lepas dan tengah berusaha dari kungkungan kolonialisme dan imperialisme itu bergerak menuju keadaan yang lebih baik.
Tuhan, dalam pemahaman Bung Karno, tidak akan mengubah nasib bangsa-bangsa “yang luka-lukanya belum tersembuhkan” dan bahkan hidup dalam kesengsaraan itu, jika mereka secara bersama-sama mengubah nasib mereka. Sejak intensif memperdalam ajaran Islam ketika dibuang ke Ende, Bung Karno selalu menganjurkan agar orang “mengambil apinya, bukan abunya”. Dia rupanya terinspirasi oleh buku kesukaanya karya Ameer Ali, The Spirit of Islam.
Ayat Al-Qur’an yang dibawakan Bung Karno di PBB, jika disalin (istilah yang sering digunakan Bung Karno untuk penerjemahan secara letterlijk) ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah yang ada pada diri mereka.”
Dalam perspektif Bung Karno, yang pernah aktif di Muhammadiyah selama masa pembuangannya di Bengkulu itu, Islam selalu tampak dari seginya yang dinamis. Bagi dia, “Islam is progress”, yang oleh Muhammadiyah sekarang dijadikan semacam tagline untuk muktamarnya di Makassar pada Agustus 2015, “Islam berkemajuan”. Maka tidak mengherankan jika Bung Karno itu mempunyai penafsiran yang dinamis mengenai ayat yang kerap dikutip para mubalig dalam ceramah-ceramah mereka.
KH Mustofa Bisri. (Wikimedia Commons).
Tafsir Kemunduran
Interpretasi Bung Karno terhadap ayat di atas, memang berbeda dari yang dipahami oleh KH Mustofa Bisri, alias Gus Mus. Dalam salah satu tulisannya beberapa tahun lalu, “penyair balsem” yang kini Rais Aaam PBNU itu justru menerangkan ayat itu dari pendekatan negatif. Jadi, menurut Gus Mus, Allah tidak akan mengubah nikmat atau karunia menjadi azab kepada suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka.
Merujuk kepada multikrisis yang terjadi pada masa-masa akhir keruntuhan Orde Baru yang terus berlanjut pada tahun-tahun pertama masa reformasi, Gus Mus menyatakan, kurang lebih, bahwa azab dan kesengsaraan yang menimpa bangsa Indonesia itu disebabkan oleh perilaku korup dan kesewenang-wenangan (sebagian) bangsa Indonesia sendiri. Dan seperti wabah, azab itu juga menimpa orang-orang yang saleh sekalipun.
Tafsir Gus Mus sejatinya sejalan dengan tafsir-tafsir kitab kuning pada umumnya. Kebanyakan ulama tafsir klasik memang menjelaskan ayat favorit Bung Karno itu dari sudut pandang yang negatif. Pengubahan oleh Allah nasib suatu kaum ke arah yang buruk itu, menurut mereka, disebabkan karena banyaknya maksiat, dan tindakan yang menyalahi fitrah mereka sendiri – dorongan kejiwaan dan kemampuan untuk berbuat baik. Dengan kata lain, dalam pandangan para mufasir (ahli tafsir) klasik, ayat yang diusung Bung Karno untuk menyemangati the new emerging forces dalam sidang PBB itu justru tengah membicarakan kemunduran suatu kaum.
Kiri-kanan: Buya Hamka, Sukarno, serta Mohammad Hatta dan istrinya. (Repro Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka).
Terjadinya krisis yang menimpa suatu kaum, dalam pandangan para mufasir, tidak harus dilakukan oleh seluruh kaum. Namun, bisa juga dilakukan oleh sebagian (kecil) dari mereka. Ini kebalikan dari konsep minoritas kreatif yang pernah dikemukakan oleh sejarawan Arnold Toynbee: tentang sekelompok orang atau bahkan individu yang mampu mencari jalan kemajuan dalam sebuah peradaban.
Sementara itu, pengubahan yang dilakukan oleh mayoritas, oleh pada umumnya anggota kaum, contohnya dalam konteks Indonesia adalah keruntuhan akhlak sosial pada era Soeharto, sebagaimana digambarkan Syu’bah Asa dalam Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik (2000:169).
Dalam tulisannya, Syu’bah menggambarkan keadaan itu “...ketika semua orang (banyak sekali) terlibat tindak ketidakjujuran dengan suap-menyuap, korupsi kecil-kecilan, perampasan hak orang, penipuan kecil-kecilan, mark-up (penggelembungan anggaran) oleh pegawai pemerintah maupun terkadang swasta, pungli, ‘ongkos administrasi’, upeti dari bawahan, komisi tak halal, pemotongan dana bantuan (bahkan untuk pembangunan masjid), kolusi kecil-kecilan, pemutaran atau pendepositoan dana organisasi untuk kepentingan pribadi, pengubahan milik umum (yayasan, misalnya) menjadi milik perorangan, dan sifat bohong yang hampir merata. Kita lihat: banyak sekali ustaz, atau ulama, terutama yang dekat dengan pemerintah, di samping para guru agama dan kepala sekolah agama, terlibat dan basah kuyup. Ini jenis perubahan yang membuat lapisan orang-orang miskin dan anak-anak miskin tidak bisa berdaya: tidak bisa ‘membeli hukum’, bahkan hampir tidak bisa ‘membeli’ sekolah.”
Pertanyaannya sekarang: apakah Bung Karno salah memilih ayat? Tidak juga. A. Hassan, guru orang-orang Persis yang sering berkorespondensi, bertukar pikiran, mengenai Islam dengan Bung Karno dalam pembuangan di Ende, juga menafsirkan ayat itu secara dinamis.
Dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, kawan dialog yang pernah menerima kiriman jambu mete Bung Karno dari Ende ini menyatakan, “Kemuliaan suatu kaum, dengan tanggungan Allah, akan datang, apabila orang-orangnya telah memperbaiki diri masing-masing.” Begitu juga Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, “Kita harus berusaha sendiri mengubah nasib kepada yang lebih baik, mempertinggi mutu ilmu dan mutu amal... Kita harus berusaha mencapai kehidupan yang lebih maju .... sebagai Muslim kita tidak boleh menyerah kepada takdir... Kita mesti tahu bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita, kalau kita sendiri tidak mengubahnya.”
Seperti halnya A. Hassan, Hamka termasuk dekat dengan Bung Karno. Ketika menjadi wartawan Pandji Islam di Medan, Hamka pernah mewawancarai Bung Karno di Bengkulu. Tulisan-tulisan Sukarno tentang Islam, seperti “Memoedakan Pengertian Islam”, banyak dimuat di majalah yang dipimpin penulis roman yang kelak menjadi penulis tafsir dan ketua MUI pertama itu.
Begitu pula Nurcholish Madjid. Yang agak membedakannya dengan Bung Karno, A. Hassan maupun Hamka adalah apa yang harus diubah oleh suatu kaum. Cak Nur menafsirkan “sampai mereka mengubah apa yang ada dalam mereka” sebagai sikap mental atau pandangan hidup alias weltanschaung yang menghambat ke arah kemajuan, kemodernan atau tamaddun.
Jadi, dalam pandangan pendiri Paramadina itu, Tuhan tidak akan mengubah nasib atau keadaan suatu bangsa sampai mereka mengubah sikap mental yang ada dalam diri mereka. Sekadar menebak, mungkin sejenis sikap-sikap yang menurut Presiden Joko Widodo harus direvolusi itu atau dalam istilah Bung Karno, nation and character building. Wallahu a’lam.
Penulis adalah pengasuh Balai Pendidikan Pondok Pesantren Darul Ihsan, Anyer, Serang, Banten.