Suasana rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta pada tanggal 18 November 1957. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka).
Aa
Aa
Aa
Aa
LAMPU di rumah Jalan Pegangsaan Timur No 56 masih menyala. Malam itu, 2 Desember 1957, ditingkahi kepulan asap rokok, para pemimpin kelompok fungsional beradu argumen tentang rencana aksi nasionalisasi semua kepentingan Belanda di Indonesia. Instruksi bersama sudah disiapkan; tinggal ditandatangani semua yang hadir.
“Bung Karno memberi restu,” ujar Abdul Majid Datuk, pemimpin Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia (KBKI) yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). “Pesan presiden pada Hari Kemerdekaan jelas. Jika Belanda tidak menarik diri dari Irian Barat, rakyat akan bertindak....”
Para pemimpin fungsional, gabungan dari front-front atau badan-badan kerjasama militer dan sipil yang dibentuk Angkatan Darat, terus berdebat. Tiba-tiba, datang perwakilan dari kabinet. Menteri Penerangan Soedibjo, yang juga ketua Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat, menyampaikan pesan pemerintah: “Saya meninggalkan pertemuan kabinet. Menteri-menteri tidak mendukung aksi ini. Jika kamu menandatangani perintah itu, kamu akan ditahan.”
LAMPU di rumah Jalan Pegangsaan Timur No 56 masih menyala. Malam itu, 2 Desember 1957, ditingkahi kepulan asap rokok, para pemimpin kelompok fungsional beradu argumen tentang rencana aksi nasionalisasi semua kepentingan Belanda di Indonesia. Instruksi bersama sudah disiapkan; tinggal ditandatangani semua yang hadir.
“Bung Karno memberi restu,” ujar Abdul Majid Datuk, pemimpin Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia (KBKI) yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). “Pesan presiden pada Hari Kemerdekaan jelas. Jika Belanda tidak menarik diri dari Irian Barat, rakyat akan bertindak....”
Para pemimpin fungsional, gabungan dari front-front atau badan-badan kerjasama militer dan sipil yang dibentuk Angkatan Darat, terus berdebat. Tiba-tiba, datang perwakilan dari kabinet. Menteri Penerangan Soedibjo, yang juga ketua Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat, menyampaikan pesan pemerintah: “Saya meninggalkan pertemuan kabinet. Menteri-menteri tidak mendukung aksi ini. Jika kamu menandatangani perintah itu, kamu akan ditahan.”
Sontak, Majid naik kursi. “Ini tanggungjawab saya. Kami tidak dikontrol kabinet. Para buruh di galangan kapal punya perintah mereka; mereka hanya menunggu panggilan telepon dari saya,” ujarnya, dikutip dalam biografinya, Datuk: An Indonesian Odyssey yang ditulis Ora Jonasson.
Ucapan Majid kembali menuai perdebatan. Karena upaya Soedibjo tanpa hasil, malam itu, rapat kabinet langsung membuat keputusan. Sebagaimana termuat dalam Arsip Sekretaris Negara Kabinet Perdana Menteri RI 1950-1959 No. 1160, kabinet menguasakan Soedibjo agar memberitahukan kepada Letkol Pamurahardjo selaku ketua Front Buruh-Tani Pemuda-Militer bahwa pemerintah memerintahkan pencabutan instruksi bersama tentang pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Pemerintah akan mengambil tindakan sebagaimana mestinya apabila instruksi bersama itu dijalankan.
Sementara itu, di Pegangsaan Timur, instruksi itu belum ditandatangani. Pertemuan masih berjalan alot sehingga malam berlalu tanpa kesepakatan.
Sebelum fajar merekah, Majid berinisatif menandatangani instruksi itu. Kurang dari sejam, dia membuat panggilan telepon ke seksi KBKI di Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran milik Belanda. Segera kaum buruh KBKI beraksi mengambilalih KPM, mengusir para manajer Belanda, dan mengganti bendera Belanda dengan bendera Indonesia. Serikat-serikat buruh lainnya melakukan aksi serupa yang menyasar perusahaan-perusahaan Belanda.
Membangun Kekuatan Sendiri
Pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda tak bisa dilepaskan dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang merugikan Indonesia. Demi mengamankan kepentingan ekonominya, delegasi Belanda menolak pemberian konsesi apapun dalam masalah keuangan dan ekonomi.
“Sebagai imbalannya, Belanda siap memberikan konsesi-konsesi politik,” tulis Thee Kian Wie dalam pengantar Pelaku Berkisah. Konsesi politik yang terpenting adalah pengakuan kedaulatan Indonesia, minus Irian Barat.
Salah satu hasil dari KMB adalah Persetujuan Keuangan-Ekonomi (Financieel-Economische Overeenkomst/Finec). Antara lain menyebutkan pemerintah Indonesia menjamin keberlangsungan kegiatan bisnis Belanda di Indonesia. Nasionalisasi diizinkan hanya bila perusahaan itu dipandang sebagai kepentingan nasional Indonesia dan bila perusahaan itu menyetujuinya. Jumlah kompensasi harus diputuskan oleh hakim dengan dasar nilai riil usaha itu.
“Ketentuan dalam perjanjian itu adalah dasar dari pelanggengan sistem ekonomi yang bahkan patriot Indonesia paling toleran sulit menerimanya, karena kadar dominasi ekonomi asing (selain dari pertanian) begitu ekstrim,” tulis Bruce Glassburner dalam “Economic PolicyMaking in Indonesia, 1956-1957”, termuat di The Economy of Indonesia: Selected Readings yang disuntingnya.
Kendati merugikan, kesepakatan itu ditandatangani delegasi Indonesia demi mengamankan pengakuan kedaulatan dari Belanda. Dan sesuai persetujuan Finec, perusahaan-perusahaan dan perkebunan Belanda yang diambilalih pada masa revolusi dikembalikan dan diizinkan beroperasi tanpa rintangan.
Suara yang menuntut nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing bukan tak terdengar. Di parlemen, Iwa Kusumasumantri (tak berpartai) menyuarakannya. Sebagai jawabannya, pada Juni 1950, Perdana Menteri Hatta menyatakan tak mungkin melakukan nasionalisasi karena pemerintah tak punya uang dan masih meminjam dari luar negeri. Indonesia juga mengalami kekurangan personel terlatih. Namun Hatta menjamin pemerintah akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan umum yang penting.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan umum itu dilakukan melalui pembelian saham. Salah satunya yang terpenting adalah nasionalisasi Javasche Bank, yang kemudian diubah jadi Bank Indonesia. “Ini lebih pada proses pengambilalihan yang merupakan keniscayaan untuk mewujudkan kedaulatan di bidang moneter. Tanpa adanya satu bank yang sifatnya bank sentral, mustahil mengoperasikan satu ekonomi nasional,” ujar Bondan Kanumoyoso, sejarawan dari Universitas Indonesia, kepada Historia.
Pemerintah juga coba meletakkan dasar bagi sektor publik yang besar. Segelintir perkebunan Belanda yang sekarat dan perusahaan industri dibeli dan diletakkan di bawah Pusat Perkebunan Negara (PPN) dan Bank Industri Negara yang semiotonom.
“Namun, sampai tahun 1958, tak satu pun yang tumbuh untuk membuat perbedaan signifikan dalam distribusi kekuatan ekonomi antara orang asing dan orang Indonesia, atau bahkan menimbulkan ancaman,” tulis J.A.C. Mackie dalam “The Indonesian Economy, 1950-1963”, termuat di The Economy of Indonesia: Selected Readings suntingan Bruce Glaasburner.
Program Benteng, yang dimaksudkan untuk menumbuhkan pengusaha bumiputera dan kekuatan penyeimbang kepentingan ekonomi Belanda, juga tak membuahkan hasil yang menggembirakan. Kebijakan ekonomi lainnya setali tiga uang.
Tuntutan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda kembali bergema pada pertengahan 1950-an, terutama disuarakan serikat-serikat buruh. Penyelesaian masalah Irian Barat yang berlarut-larut kemudian menjadi pintu masuknya.
“Sebetulnya penyebabnya bukan hanya masalah Papua. Masyarakat ketika itu mulai melihat banyak ketimpangan di dunia ekonomi Indonesia bahwa kita sudah merdeka tetapi sektor ekonomi modern tetap saja yang menjalankan perusahaan-perusahaan asing, terutama Belanda,” ujar Bondan. “Kekecewaan-kekecewaan politik kemudian menemukan pembenaran.”
Pada September 1957, Kabinet Djuanda memutuskan mengajukan persoalan Irian Barat untuk kali keempat ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan pemerintah mendapat dukungan dari partai dan organisasi massa. Bahkan dalam rapat raksasa di Lapangan Banteng, Jakarta, pada 18 November, yang dihadiri Presiden Sukarno, sebuah resolusi dibacakan yang menghendaki pemerintah melakukan tindakan balasan jika pemungutan suara di PBB merugikan Indonesia, termasuk dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.
Indonesia ternyata gagal memperoleh dukungan dalam pemungutan suara di PBB pada 29 November. Keesokan harinya, Djuanda membuat pernyataan yang mendesak rakyat Indonesia tetap mengobarkan semangat dalam perjuangan merebut Irian Barat melalui “jalan lain”.
Jalan itu dibahas dalam rapat kabinet 1 Desember. Kabinet memutuskan agar pemerintah mengambil sejumlah langkah penting terkait kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia. Kabinet membagi langkah itu dalam tiga fase. Soal nasionalisasi masuk dalam fase kedua: “Menentukan dengan tegas (nominatif) perusahaan-perusahaan (termasuk bank-bank) Belanda yang mana akan dioper (disita, dinasionalisasi, dan sebagainya) dan lain-lain tindakan-tindakan, terutama dalam rangka penyelesaian pembatalan KMB.”
Babak Baru
Kendati langkah itu sudah dipersiapkan, pemerintah terkejut atau “seolah-olah” terkejut dengan aksi pengambilalihan perusahaan Belanda yang dilakukan serikat-serikat buruh. Pemerintah juga tak berupaya menghentikannya. Pemerintah baru mengeluarkan peraturan-peraturan untuk “mengesahkan” pengambilalihan itu beberapa hari kemudian.
Apakah pemerintah benar-benar tidak tahu atau justru merancang skenario agar kaum buruh bergerak masih menjadi spekulasi. Paul F. Gardner, misalnya, melihat adanya skenario itu dan dengan demikian menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengelak dari tanggungjawab atas penyitaan milik asing. “Bagaimana pun juga, pola itu sering kali diulangi selama masa Sukarno, dan milik Amerika termasuk di antara yang dirampas,” tulisnya dalam 50 Tahun Amerika Serikat-Indonesia.
Setelah menimbang dalam waktu yang lama, pemerintah akhirnya mengambil langkah nasionalisasi. Pada 31 Desember 1958 pemerintah mengeluarkan UU No, 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda, yang berlaku surut mulai tanggal 3 Desember 1957. Dalam penjelasannya disebutkan, nasionalisasi perusahaan Belanda dimaksudkan untuk “memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia” dan “lebih memperkokoh potensi nasional kita, maupun untuk melikuidasi kekuasaan ekonomi kolonial, dalam hal ini ekonomi kolonial Belanda.”
Menurut J. Thomas Lindblad, sejarawan dari Universitas Leiden, transisi dari pengambilalihan ke nasionalisasi agak berlarut-larut, yang melibatkan banyak penyesuaian dan improvisasi dalam manajemen dan pengawasan. Adanya masa jeda itu menunjukkan tak adanya niatan untuk nasionalisasi tapi dipakai sebagai senjata dalam konflik melawan Belanda.
“Namun, perlunya mencapai dekolonisasi ekonomi mengesampingkan pengembalian properti-properti yang disita ke pemilik yang sah,” tulis Lindblad dalam “The Economic Decolonisation of Indonesia: a Bird’s-eye View”, dimuat Journal of Indonesian Social Science and Humanities, Vol. 4, 2011.
Sebuah babak baru dalam perekonomian nasional dimulai.*