Kongres kedua Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) di Surakarta. (Wereldmuseum Amsterdam).
Aa
Aa
Aa
Aa
PARA pegawai pegadaian bumiputra gelisah. Sudah diturunkan gajinya, mereka juga harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar para kuli. Berdasarkan surat edaran yang dikeluarkan Dinas Pegadaian, pekerjaan para kuli yang dipecat dialihkan kepada para pegawai. Para pegawai tak terima dan menganggapnya sebagai penghinaan. Mereka pun kena skors. Keluhan para pegawai itu tak dihiraukan, malahan dijadikan dalih untuk memecat mereka.
Alhasil, pada 12 Januari 1922, para pegawai pegadaian Ngupasan, Yogyakarta, melakukan aksi mogok. Aksi itu merembet ke kantor-kantor pegadaian di berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemogokan tersebut melibatkan seribu dari lima ribu pegawai pegadaian di Jawa. Hampir semua organisasi dan partai politik mendukung aksi ini, termasuk Boedi Oetomo.
“Sikap moderatnya yang lama untuk sementara membukakan jalan ke arah zaman radikalisme, dan memuncak pada dukungan partai terhadap pemogokan menentang sistem pegadaian tahun 1922,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918.
PARA pegawai pegadaian bumiputra gelisah. Sudah diturunkan gajinya, mereka juga harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar para kuli. Berdasarkan surat edaran yang dikeluarkan Dinas Pegadaian, pekerjaan para kuli yang dipecat dialihkan kepada para pegawai. Para pegawai tak terima dan menganggapnya sebagai penghinaan. Mereka pun kena skors. Keluhan para pegawai itu tak dihiraukan, malahan dijadikan dalih untuk memecat mereka.
Alhasil, pada 12 Januari 1922, para pegawai pegadaian Ngupasan, Yogyakarta, melakukan aksi mogok. Aksi itu merembet ke kantor-kantor pegadaian di berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemogokan tersebut melibatkan seribu dari lima ribu pegawai pegadaian di Jawa. Hampir semua organisasi dan partai politik mendukung aksi ini, termasuk Boedi Oetomo.
“Sikap moderatnya yang lama untuk sementara membukakan jalan ke arah zaman radikalisme, dan memuncak pada dukungan partai terhadap pemogokan menentang sistem pegadaian tahun 1922,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918.
Menurut A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum, wakil Boedi Oetomo di Volksraad (Dewan Rakyat) mencela tindakan keras pemerintah terhadap para pemogok (pemecatan ratusan pemogok), penangkapan pemimpin-pemimpin pemogokan yaitu Abdoel Moeis dan Reksodiputro, dan menyatakan simpati kepada para pemogok.
“Karena sikap ini pemerintah menuduh Boedi Oetomo telah berbelok ke jalan revolusioner,” tulis Pringgodigdo.
Jalan Menuju Radikal
Perubahan Boedi Oetomo ke arah radikal telah mencuat sejak kongres di Semarang pada 26–28 September 1919, di mana kaum muda mendesak agar organisasi menempuh politik kerakyatan. Namun, mereka kalah dalam pemungutan suara, 47:46. “Tanda betapa masih kuatnya aliran kolot itu dalam Boedi Oetomo,” tulis Pringgodigdo.
Akhirnya, menurut Sartono Kartodirdjo dalam Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2, Boedi Oetomo menyadari bahwa hanya politiklah sarana yang efektif untuk memperjuangkan kemajuan rakyat secara resmi dinyatakan dalam kongresnya di Solo pada Desember 1921.
Alasannya, perhatian pemerintah terhadap pengajaran dan pendidikan sangat kurang, menuntut agar sebagian besar anggota Volksraad terdiri dari orang-orang Indonesia, demikian pula dengan dewan-dewan daerah (gemeenteraad, gewestelijke raad, dll.). Terkait ini, sejak awal pembentukan Volksraad, Boedi Oetomo bersama Sarekat Islam, Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia Belanda (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, ISDV), dan Insulinde, tergabung dalam Radicale Concentratie (Konsentrasi Radikal), menuntut pembentukan pemerintahan parlementer dengan pemerintah yang bertanggungjawab kepada parlemen, parlemen diberi kekuasaan legislatif dan dipilih oleh rakyat.
Menurut Nagazumi, tuntutan tersebut tidak terwujud karena pergantian gubernur jenderal dari Van Limburg Stirum yang progresif dan berpikiran maju, ke Jenderal D. Fock, yang tidak toleran terhadap organisasi-organisasi pribumi. Selain itu, perhatian utama D. Fock adalah mengatasi kesulitan keuangan yang memuncak akibat resesi ekonomi, baik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Sehingga, pemerintahannya mengurangi anggaran untuk kesejahteraan, pendidikan, dan dinas pemerintahan.
Perubahan politik kolonial itu, menurut Nagazumi, telah menikam dalam-dalam kepentingan organisasi Boedi Oetomo.
Kongres Desember 1932 di Solo lebih melangkah maju lagi. Tujuan Boedi Oetomo diubah secara radikal yaitu mencapai Indonesia merdeka.
Memilih antara Ko atau Non-Ko?
Golongan muda yang terpengaruh gerakan non-kooperasi di India yang dipimpin oleh Mahatma Gandhi, menuntut agar Boedi Oetomo memilih jalan non-kooperasi dalam kongres 1923. Namun, golongan tua masih mendominasi dan berusaha membersihkan Boedi Oetomo dari tuduhan pemerintah sebagai organisasi “kiri”.
Oleh karena itu, tulis Pringgodigdo, Boedi Oetomo tidak aktif mendukung pemogokan Serikat Buruh Pekerja Kereta Api (Vereeniging van Spoor-en Tramweg Personeel) pada Mei 1923 yang ditindak keras oleh pemerintah jajahan.
Dalam kongres 1924, golongan tua masih mengendalikan Boedi Oetomo dan menyetirnya kembali ke jalur pendidikan dan kebudayaan. Akhirnya, golongan muda mengambil alih kepengurusan pada kongres 1925. Kedudukan pengurus besar dipindahkan ke Semarang, pusat pergerakan revolusioner. Boedi Oetomo menetapkan non-kooperasi, sehingga tiga wakilnya di Volksraad mengundurkan diri.
Nagazumi menilai tarik-menarik dalam Boedi Oetomo membuat vitalitas organisasi habis, dan partai pada dasawarsa berikut terombang-ambing antara politik kooperasi dan non-kooperasi dengan pemerintah.
Sementara Pringgodigdo menilai lain, bahwa gelombang pasang surut apapun yang bergolak dalam diri Boedi Oetomo, sifat nasionalnya tetap nyata. Hal ini terlihat dari protes yang dilayangkan kepada pemerintah kolonial karena pemerintah di negeri Belanda menangkap beberapa mahasiswa Indonesia pada 1927. Boedi Oetomo juga bergabung dengan federasi partai-partai politik, yaitu Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada Desember 1927.
“Golongan muda tak jemu-jemu mendesak agar Boedi Oetomo lebih banyak memperhatikan soal-soal politik dan menjunjung tinggi asas Indonesia Raya (jangan Jawa Raya),” tulis Pringgodigdo.
Desakan itu berhasil. Putusan penting dalam kongres 1928 adalah menambahkan satu kalimat dalam pasal tujuan perhimpunan: membantu terlaksananya cita-cita persatuan Indonesia. Langkah nyata dari upaya persatuan Indonesia tersebut adalah dengan membuka keanggotaan bagi semua orang Indonesia mulai tahun 1931.
“Sifat ‘ke-Jawa-an’ dihapus dengan perubahan dalam Anggaran Dasar yang untuk selanjutnya menyebutkan bahwa Boedi Oetomo terbuka untuk semua orang Indonesia dari bagian Nusantara manapun,” tulis Pringgodigdo.
Selain itu, kongres 1931 juga menugaskan pengurus untuk berusaha mempersatukan perkumpulan-perkumpulan yang bersifat kebangsaan Indonesia. Kongres Desember 1932 di Solo lebih melangkah maju lagi. Tujuan Boedi Oetomo diubah secara radikal yaitu mencapai Indonesia merdeka.
Berfusi Jadi Parindra
Dalam kongres fusi pada 24–26 Desember 1935, Boedi Oetomo melebur dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), Sarekat Sumatra, Tirtajasa, dan Partai Sarekat Celebes, membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra). Parindra dipimpin oleh Soetomo, pendiri Studie Club Indonesia (kemudian menjadi PBI) pada Oktober 1930, setelah keluar dari Boedi Oetomo.
“Walaupun ia adalah seorang yang paling giat dari kalangan siswa STOVIA dalam mendirikan Boedi Oetomo tahun 1908, Soetomo telah meninggalkannya lantaran kecewa terhadap haluannya yang konservatif,” tulis Nagazumi. Setelah Soetomo meninggal pada 30 Mei 1938, Parindra dipimpin oleh Woerjaningrat.
Menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Parindra yang cenderung moderat merupakan organisasi politik besar, yang adakalanya bersedia bekerjasama dengan Belanda atau menolak tergantung pada keadaan. Meskipun hanya dapat mewujudkan sedikit dari program-programnya, baik di Volksraad atau lingkungan politik secara umum, Parindra berhasil mengerjakan hal-hal di bidang lain yang hasilnya berharga bagi masyarakat Indonesia.
“Partai tersebut mendirikan koperasi untuk pedagang pengecer dan petani, bank yang memiliki persyaratan pengajuan kredit yang dapat dipenuhi orang Indonesia, wisma untuk buruh-buruh miskin, program untuk memerangi buta aksara, dan sejumlah kegiatan sosial yang bermanfaat,” tulis Kahin.
Parindra menggalang organisasi-organisasi nasionalis terpenting (Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, Partai Katolik Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia, dan Partai Arab Indonesia) untuk membentuk federasi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada 21 Mei 1939, sebagai pengganti PPPKI yang telah lumpuh.
GAPI menuntut hak menentukan nasib sendiri bagi Indonesia; kesatuan bangsa berlandaskan demokrasi sosial, politik, dan ekonomi; parlemen Indonesia yang dipilih secara demokratis dan bertanggungjawab kepada rakyat Indonesia; dan solidaritas antara kelompok-kelompok politik di Indonesia dan Belanda demi mempertahankan front antifasisme yang kuat.
Tuntutan tersebut tidak dikabulkan pemerintah kolonial Belanda, sampai akhirnya Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang yang melarang semua organisasi pergerakan.*