Menjajal Medan Konstituante

Hamka terjun ke gelanggang politik bukan untuk mencari jabatan. Mengusung Islam sebagai jalan hidup bernegara.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Menjajal Medan KonstituanteMenjajal Medan Konstituante
cover caption
Buya Hamka berjabatan dengan Presiden Sukarno didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Istri setelah pelantikan anggota Konstituante, 10 November 1956. (Repro Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka).

AWAL hijrah ke Jakarta pada 1950, Hamka menghadapi dilema. Terjun ke gelanggang politik atau tetap menjadi sastrawan. “Di manakah tempat saya?” tanyanya membatin, seperti cerita Hamka pada Emzita dalam “Seorang Ulama dan Pujangga Islam Indonesia”, termuat di Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka

Bertanya pada hati nuraninya sendiri, Hamka beroleh jawaban. “Usah engkau berkata juga ‘lapang siasat bukan medanku’ melainkan serahkan itu kepada keadaan, karena kehendak kuasa Tuhan lebih besar dari kehendak kuasamu.” 

Hamka memutuskan hijrah ke politik, mewakili unsur Muhammadiyah dalam Dewan Pimpinan Masyumi. Mendekati Pemilu 1955, A.R. Sutan Mansur, ketua umum Muhammadiyah, mengajukan Hamka sebagai calon anggota Konstituante –badan pembuat Undang-Undang Dasar baru dan dasar negara– mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah.

Hamka menerima usulan itu dengan satu syarat: hanya mau namanya terdaftar sebagai pengumpul suara bagi kemenangan Masyumi. Karena menurut Hamka, tujuan utama bergabung ke Masyumi bukan untuk meraih jabatan politik.

AWAL hijrah ke Jakarta pada 1950, Hamka menghadapi dilema. Terjun ke gelanggang politik atau tetap menjadi sastrawan. “Di manakah tempat saya?” tanyanya membatin, seperti cerita Hamka pada Emzita dalam “Seorang Ulama dan Pujangga Islam Indonesia”, termuat di Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka

Bertanya pada hati nuraninya sendiri, Hamka beroleh jawaban. “Usah engkau berkata juga ‘lapang siasat bukan medanku’ melainkan serahkan itu kepada keadaan, karena kehendak kuasa Tuhan lebih besar dari kehendak kuasamu.” 

Hamka memutuskan hijrah ke politik, mewakili unsur Muhammadiyah dalam Dewan Pimpinan Masyumi. Mendekati Pemilu 1955, A.R. Sutan Mansur, ketua umum Muhammadiyah, mengajukan Hamka sebagai calon anggota Konstituante –badan pembuat Undang-Undang Dasar baru dan dasar negara– mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah.

Hamka menerima usulan itu dengan satu syarat: hanya mau namanya terdaftar sebagai pengumpul suara bagi kemenangan Masyumi. Karena menurut Hamka, tujuan utama bergabung ke Masyumi bukan untuk meraih jabatan politik. 

Hasil pemilu Konstituante keluar pada 16 Juli 1956. Hamka terpilih menjadi anggota Konstituante. Tapi Hamka menolak jabatan itu. Teman-temannya mencoba membujuk Hamka agar bersedia duduk di Konstituante mewakili Masyumi. Hamka justru lebih memilih terbang ke Makassar menjadi dosen di Universitas Muslimin Indonesia. 

Sutan Mansur turun tangan membujuk Hamka. Dia mengirim telegram ke adik iparnya itu, memintanya segera kembali ke Jawa dan menerima amanah menjabat anggota Konstituante. Mendapat telegram dari Sutan Mansur, Hamka tak kuasa menolak lagi. Tak lama berselang, dia pun dilantik Presiden Sukarno jadi anggota Konstituante pada 10 November 1956. 

Konstituante terdiri dari beberapa fraksi partai. PNI, Masyumi, NU, dan PKI adalah empat fraksi besar dalam Konstituante. Sedangkan fraksi kecilnya antara lain Murba, Acoma, dan Partai Buruh. Fraksi-fraksi itu lalu mengerucut menjadi tiga faksi berdasarkan gagasan dasar negara yang mereka usung: Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi. 

PNI dan PKI berkoalisi dengan sejumlah fraksi kecil mengusung dasar negara Pancasila. Masyumi, NU, dan sejumlah partai Islam mengajukan dasar negara Islam. Sementara itu, Murba, Acoma, dan Partai Buruh mengedepankan dasar negara Sosial Ekonomi.

Presiden Sukarno membuka sidang Konstituante. (Wikimedia Commons)

Memperjuangkan Islam

Sebagai wakil dari kelompok pengusung Islam, Hamka mengatakan Islam lebih superior daripada Pancasila dan Sosial Ekonomi. Buktinya Islam bisa menjiwai kemerdekaan dan Proklamasi Indonesia. Hamka bercerita tentang seorang pemuda yang maju ke palagan dengan pekik “Allahu Akbar”. Dia tewas. Lalu Hamka bertanya ke peserta rapat, “Apakah yang terasa dalam hati ketika putra yang dicintainya tewas dan diantarkannya ke pusara, Pancasilakah atau Allahu Akbar?” dikutip Risalah Perundingan Tahun 1957 Djilid VII

Hamka memperkuat argumennya dengan bersandar pada sejarah. Hamka bilang Islam bukan gagasan baru. Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Maulana Hasanuddin, Sultan Hairun, Sultan Baabullah, Raja Aji, dan Iskandar Muda sudah memperjuangkan Islam sebagai dasar bermasyarakat. Jauh sebelum Pancasila dan Sosial Ekonomi muncul. “Kamilah yang meneruskan wasiat mereka,” kata Hamka.

Kepada kelompok non-Islam, Hamka menjamin jika negara berdasar Islam terwujud, kaum mayoritas tak bakal menindas kebebasan beragama kaum minoritas. Penerapan itu justru bakal menguntungkan kaum minoritas. Sebab menjadikan Islam sebagai dasar negara berarti membebaskan pemeluk agama lain menerapkan hukum agama ke kelompoknya. 

“Bahwa dalam negara berdasar Islam, hendaklah orang Kristen menjalankan Injilnya,” kata Hamka, dikutip Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Djilid III

Bernamalah dia totaliter. Tetapi nama totaliter tidak populer. Ditukarlah namanya jadi Demokrasi Terpimpin.

Argumen Hamka beroleh timpalan dari fraksi Katolik. “Iman kami, kepercayaan kami kepada kebenaran agama kami yang absolut itu, tidak mengizinkan kami menerima Islam sebagai dasar negara,” kata PS Da Cunha, wakil fraksi Katolik.

Sementara itu, Nyoto, wakil fraksi PKI, mengkritik argumen Hamka mengenai Islam sebagai jiwa kemerdekaan dan proklamasi. “Saudara Hamka mencoba merenggutkan Pancasila dari semangat dan jiwa merdeka. Usahanya ini sama sia-sianya dengan usaha memisahkan sisi muka dari sisi belakang medali yang satu dan sama.” 

Perdebatan soal dasar negara berlangsung sengit. Dua tahun lebih tak selesai. Ini berbeda dari soal bahasa dan kebudayaan nasional. Hampir tak ada perdebatan panjang antarfaksi. 

Hamka sempat berpidato mengenai bahasa Indonesia dan kebudayaan nasional. Menurut Hamka, Islam turut berperan menjiwai pembentukan bahasa Indonesia dan kebudayaan nasional. Tapi argumen Hamka tak mendapat serangan berarti dari faksi Pancasila dan Sosial Ekonomi. Sebaliknya, faksi Islam juga enggan menanggapi gagasan faksi Pancasila dan Sosial Ekonomi terkait bahasa Indonesia dan kebudayaan nasional. Untuk urusan satu ini, kompromi antarfaksi bisa terwujud.

Presiden Sukarno membacakan Dekrit Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, 5 Juli 1959. (ANRI).

Beralih Lapangan

Hingga April 1959, Konstituante telah merampungkan beberapa pasal UUD baru. Antara lain wilayah negara, bentuk pemerintahan, bahasa, kebudayaan, dan hak asasi manusia. “Konstituante telah mengerjakan tugasnya dengan baik, sehingga sudah lebih dari 90% materi bahan-bahan konstitusi baru sudah disetujui…,” kata Wilopo, ketua Konstituante, dikutip Hikmah, 15 Maret 1959. 

Sukarno berseberangan pendapat dengan Wilopo. Dia menilai kerja Konstituante mengecewakan. Belum ada kesepakatan tentang dasar negara. Dia mengutarakan pandangannya di depan anggota Konstituante pada 22 April 1959. Ketimbang Konstituante berdebat bertele-tele soal dasar negara, Sukarno mengajak Konstituante kembali ke UUD 1945. 

Faksi Pancasila dan Sosial Ekonomi mengiyakan ajakan Sukarno. Faksi Islam terpecah dua. Sebagian anggota NU menerima, sedangkan semua anggota Masyumi menolak tegas. 

Hamka berpendapat Sukarno lagi bersiasat menegakkan Demokrasi Terpimpin dengan ajakannya. Menurut Hamka, Demokrasi Terpimpin cenderung mengumpulkan kekuasaan hanya pada genggaman Sukarno. 

“Bernamalah dia totaliter. Tetapi nama totaliter tidak populer. Ditukarlah namanya jadi Demokrasi Terpimpin,” kata Hamka dalam rapat Konstituante, 5 Mei 1959, dikutip Risalah Perundingan Tahun 1959 Djilid II

Pemerintah, melalui Perdana Menteri Djuanda, menanggapi singkat pidato Hamka. Djuanda menilai pidato Hamka bersifat provokatif dan mengejek pribadi presiden ketimbang kritik membangun. “Pemerintah selanjutnya berpendapat kurang bermanfaat untuk melayani ejekan pembicara yang terhormat tersebut,” kata Djuanda pada 21 Mei 1959. 

Perdebatan sengit di Konstituante bertambah. Bukan hanya tentang dasar negara, tetapi juga soal ajakan kembali ke UUD 1945. Untuk mengatasinya, Konstituante sepakat menggelar voting pada Mei–Juni 1959. Hasilnya faksi Pancasila dan Sosial Ekonomi unggul atas faksi Islam dalam tiga kali voting. Tetapi jumlah suara faksi Pancasila dan Sosial Ekonomi belum memenuhi syarat kuorum. Konstituante pun memutuskan reses sejenak. 

Belum usai masa reses Konstituante, Sukarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959. Salah satu isinya membubarkan Konstituante. Faksi Islam tersentak. Mereka kaget. Gagasan mereka menguap. Siasat tiga tahun di jalur konstitusional tersapu oleh dekrit sehari. 

Mengetahui waktunya sudah habis di lapangan siasat, Hamka bersikap tenang menghadapi dekrit. Hamka mengalihkan tenaga dan pikirannya ke lapangan lain. Hamka kembali sibuk dengan urusan pena. Hamka menerbitkan majalah Pandji Masjarakat sebulan sebelum dekrit, Juni 1959. “Menulislah, kalau ada yang akan ditulis,” kata Hamka. 

Pembubaran Konstituante justru mengembalikan Hamka ke pilihan awalnya: pahlawan pena. Hamka pun menjauh lagi dari lapangan siasat.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65d6f3636b007731b3a32e75