Menjejaki Supersemar Asli

Hingga sekarang Supersemar asli belum ditemukan. Kemungkinan besar disimpan Soeharto. Dengan Supersemar, PKI dibubarkan dan Sukarno dilengserkan.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Menjejaki Supersemar AsliMenjejaki Supersemar Asli
cover caption
Brigjen TNI M. Jusuf dan Brigjen TNI Amirmachmud yang membawa Supersemar dari Sukarno kepada Soeharto. (Repro H. Amirmachmud Prajurit Pejuang).

JAM menunjukkan pukul delapan malam lebih ketika Presiden Sukarno membubuhkan tanda tangannya di Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Setelah dilihat sebentar, Sukarno kemudian menyerahkan surat itu kepada Mayjen TNI Basuki Rachmat.

Sukarno kemudian menawari makan malam, tetapi ditolak karena sudah malam. “Maaf, Pak. Karena hari sudah malam,” kata salah seorang dari jenderal itu. Ketiga jenderal itu, Menteri Veteran Mayjen TNI Basuki Rachmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen TNI Muhammad Jusuf, dan Pangdam V/Jaya Brigjen TNI Amirmachmud, pamit untuk kembali ke Jakarta dengan mobil. Di jembatan Situ Duit Bogor, Amirmachmud meminjam naskah Supersemar dari Basuki Rachmat. Dia membacanya dengan menggunakan baterai karena gelap malam.

“Setelah saya pelajari maka saya berseru: kok ini penyerahan kekuasaan. Kita semuanya sungguh kaget karena memang pada waktu itu tidak memikirkan ataupun berangan-angan adanya penyerahan kekuasaan,” kata Amirmachmud dalam otobiografinya, Prajurit Pejuang.

JAM menunjukkan pukul delapan malam lebih ketika Presiden Sukarno membubuhkan tanda tangannya di Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Setelah dilihat sebentar, Sukarno kemudian menyerahkan surat itu kepada Mayjen TNI Basuki Rachmat.

Sukarno kemudian menawari makan malam, tetapi ditolak karena sudah malam. “Maaf, Pak. Karena hari sudah malam,” kata salah seorang dari jenderal itu. Ketiga jenderal itu, Menteri Veteran Mayjen TNI Basuki Rachmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen TNI Muhammad Jusuf, dan Pangdam V/Jaya Brigjen TNI Amirmachmud, pamit untuk kembali ke Jakarta dengan mobil. Di jembatan Situ Duit Bogor, Amirmachmud meminjam naskah Supersemar dari Basuki Rachmat. Dia membacanya dengan menggunakan baterai karena gelap malam.

“Setelah saya pelajari maka saya berseru: kok ini penyerahan kekuasaan. Kita semuanya sungguh kaget karena memang pada waktu itu tidak memikirkan ataupun berangan-angan adanya penyerahan kekuasaan,” kata Amirmachmud dalam otobiografinya, Prajurit Pejuang

Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan bahwa Amirmachmud menginterpretasikan surat itu sebagai pengalihan kekuasaan (transfer of authority), sesuatu yang dibantah kemudian oleh Presiden Sukarno. 

“Dari fotokopi Supersemar yang tersimpan di ANRI, meski terdapat berbagai versi, substansinya sama yakni pemberian tugas kepada Soeharto untuk pengamanan jalannya pemerintahan dan pengamanan keselamatan pribadi presiden, kemudian melaporkan pelaksanaannya kepada Sukarno. Itu yang tidak sepenuhnya dijalankan oleh Soeharto,” tegas Asvi.

Basuki Rachmat (tengah) yang menyerahkan Supersemar kepada Soeharto di Kostrad. (Repro Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar).

Dasar Pembubaran PKI

Ketiga jenderal itu tiba di kediaman Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Soeharto di Jalan Haji Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat, sekira pukul 22.15. Soeharto tidak ada di rumah, tetapi di Kostrad bersama para panglima daerah dan panglima angkatan. Mereka menyusul ke Kostrad. Basuki Rachmat kemudian menyerahkan Supersemar kepada Soeharto. Namun, Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, mengaku menerima Supersemar di rumahnya, bukan di Kostrad. 

“Setelah saya membaca surat perintah tertanggal 11 Maret 1966 itu dan memahami isinya, seketika itu saya mengambil keputusan: bubarkan PKI, segera adakan rapat staf, dan undang semua panglima angkatan di Kostrad, Jenderal Basuki Rachmat bersiap-siap memberikan penjelasan mengenai surat perintah itu,” kata Soeharto. 

Setelah Basuki Rachmat menjelaskan kronologis mulai dari sidang kabinet, kepergian ke Bogor, dan menerima Supersemar, Soeharto memerintahkan Brigjen TNI Soetjipto, Ketua G-V KOTI (Komando Operasi Tertinggi), untuk menyiapkan surat keputusan pembubaran PKI. Soetjipto menelepon stafnya, Kolonel Soedharmono agar menyusun rancangan surat keputusan pembubaran PKI.

“Pak Tjipto meminta saya agar menyiapkan konsep keputusan Presiden Pangti ABRI/KOTI tentang pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Pak Tjipto minta agar konsep itu sudah siap malam ini juga. Dia sempat menjelaskan, hal ini adalah atas perintah Pangkopkamtib, sebagai hasil keputusan rapat KOTI yang dipimpin langsung oleh Pangkopkamtib,” kata Soedharmono dalam otobiografinya, Perjalanan Dalam Masa Pengabdian

Soetjipto tidak memberi tahu Soedharmono bahwa dasar pembubaran PKI adalah Supersemar. “Kami belum mengetahui saat itu ada Supersemar,” kata Soedharmono. Oleh karena itu, Soedharmono dan staf lain, Lettu Moerdiono, mendiskusikan materi dan dasar hukumnya. “Apakah Penpres tentang kepartaian yang berlaku tidak cukup kuat dipakai sebagai dasar hukum?” tanya Soedharmono. Moerdiono menganggap kurang kuat dan masih mempelajari peraturan perundangan yang lain. 

Ketika tengah berdiskusi, kata Soedharmono, sekitar pukul 01.00 dini hari, datang Brigjen TNI Budiono, Sekretaris MBAD (Markas Besar Angkatan Darat), membawa dokumen penting yang rahasia untuk difotokopi karena di MBAD tidak ada alat fotokopi.

“Ternyata dokumen yang akan difotokopi itu adalah Surat Perintah Sebelas Maret. Saya minta satu kopi, dan aslinya dibawa kembali oleh Brigjen Budiono. Dengan adanya Supersemar terselesaikanlah masalah dasar hukum yang kami persoalkan tadi. Supersemar memberi wewenang kepada Pangkopkamtib untuk atas nama Presiden/Pangti ABRI/KOTI mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan menjamin ketertiban,” kata Soedharmono. 

Soedharmono hanya menyiapkan konsep surat. Sebab, menurut Alamsyah Ratu Perwiranegara, Asisten VII Men/Pangad, “naskah pembubaran PKI itu disiapkan oleh Ketua G-V KOTI Brigjen Soetjipto SH yang mengetiknya sendiri di depan saya di kamar ajudan Pangkostrad.” 

“Setelah selesai diketik oleh Soetjipto SH, surat tersebut dia serahkan kepada saya selaku asisten yang dekat Pak Harto ketika itu. Naskah itu saya paraf setelah saya baca sebentar lalu saya serahkan pada Pak Harto untuk ditandatangani,” kata Alamsyah dalam otobiografinya, Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu.

Soeharto membenarkan bahwa sebelum diterimanya, surat itu diparaf oleh Alamsyah. Soeharto menyetujui dan menandatangani surat itu: Keputusan Presiden No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Tepat pukul 06.00, Radio Republik Indonesia mengumumkan pembubaran PKI. “Tak syak lagi, ini tindakan pertama dengan landasan Supersemar yang amat penting,” kata Soeharto.

Presiden Soeharto menerima Menteri Peridustrian M. Jusuf (bersalaman) dan Mendagri Amirmachmud dalam acara rekonstruksi Supersemar tahun 1976. (Repro Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit).

Supersemar Asli di Tangan Soeharto?

Dalam biografinya, Panglima Para Prajurit, M. Jusuf pernah menegaskan kepada Atmadji Sumarkidjo: “Kalau surat yang asli sudah dibawa Basuki Rachmat ke Soeharto. Jadi kau jangan tanyakan lagi kepadaku.” 

Budiono yang ditugaskan mengkopi Supersemar di kantor G-V KOTI membawa naskah Supersemar asli kembali ke markas Kostrad. Kemungkinan besar diserahkan kepada Soeharto. Oleh karena itu, Sauki Hadiwardoyo, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sistem Kearsipan ANRI, mengungkapkan bahwa pihak ANRI telah berupaya menemui mantan Presiden Soeharto. Namun, setiap kali ada waktu yang disepakati untuk bertemu, selalu ditunda oleh pihak Soeharto. 

“Kami tidak menangkap kesan, apakah Pak Harto bersedia ditemui untuk masalah Supersemar ini, atau tidak,” kata Sauki dikutip Kompas, 9 Februari 2001. ANRI tidak berhasil menemui Soeharto sampai meninggal pada 27 Januari 2008. 

Asvi menduga kuat Supersemar asli masih ada dan kemungkinan besar di tangan Soeharto. Alasannya, secara logika sesuatu yang dianggap penting pasti akan disimpan dan Soeharto adalah orang yang sangat menghargai sesuatu yang sangat penting. Salah satu contoh yang tidak diketahui banyak orang bahwa Soeharto pernah menyimpan bendera pusaka merah putih di rumahnya. 

“Mungkin juga Supersemar sama dengan bendera pusaka itu,” kata Asvi. “Dengan telah ditetapkannya Supersemar sebagai DPA (Daftar Pencarian Arsip), maka ANRI seharusnya bisa memeriksa ke Cendana, rumah Soeharto.”

Amirmachmud (kiri) dan Alamsyah Ratu Perwiranegara yang memaraf surat keputusan pembubaran PKI sebelum ditandatangani oleh Soeharto. (Repro H. ARPN: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu).

PKI Dibubarkan, Sukarno Dilengserkan

Alamsyah Ratu Perwiranegara dan Soetjipto menyampaikan surat pembubaran PKI kepada beberapa tokoh Front Pancasila dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), seperti Subhan ZE dan Lukman Harun, yang diundang ke Kostrad. Mereka bersorak gembira dan akan mengerahkan massa untuk menyambut terbitnya surat yang mengakhiri riwayat PKI itu.

Sementara itu, Brigjen TNI Kemal Idris pergi menemui tokoh-tokoh KAMI di markasnya di Kopur 2 di Kebon Sirih. Mereka yang berkumpul: Liem Bian Koen (Sofjan Wanandi), Cosmas Batubara, David Napitupulu, Abdul Gafur, dan lain-lain.

“Mereka kami lindungi. Di tengah mereka kelelapan tidur, mereka saya bangunkan. Saya mengatakan: kalian menang. Keinginan membubarkan PKI segera terlaksana. Sejak hari ini PKI dibubarkan,” kata Kemal dalam biografinya, Bertarung Dalam Revolusi

Setelah itu, tentara dan mahasiswa menggelar pawai kemenangan. Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD (sekarang Kopassus), berkonvoi keliling kota Jakarta untuk show of force. KAMI, Front Pancasila, dan sejumlah organisasi massa bergabung dengan RPKAD dan Kostrad.

Menurut aktivis KAMI, Jusuf Wanandi, demonstrasi kemenangan itu merupakan show of force dan pameran persatuan unsur-unsur angkatan bersenjata yang pro-Soeharto dengan rakyat, terutama mahasiswa dan pemuda. Dalam demonstrasi tersebut, “salinan Supersemar dan surat pembubaran PKI disebarluaskan,” kata Jusuf dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru.

Sukarno terkejut menerima laporan bahwa Soeharto membubarkan PKI berdasarkan Supersemar. Sukarno mengeluarkan surat perintah susulan yang kemudian disampaikan khusus kepada Soeharto oleh Waperdam II Dr. J. Leimena pada 13 Maret 1966, tetapi Soeharto tidak memberikan reaksi apa-apa. Pada 14 Maret 1966, Sukarno memanggil semua panglima angkatan bersenjata ke Istana. Dia menegaskan bahwa Supersemar tidak pernah dimaksudkan untuk membubarkan PKI. 

Menghadapi kemarahan Sukarno, kata Jusuf, Soeharto tetap tenang. “Mungkin karena miskin, susah di masa mudanya, dia mempunyai kekuatan batin yang hebat. Dia bisa saja menyerah saat itu, tetapi dia tidak mau. Dia berlaku pura-pura tidak tahu.” Sesudahnya, Soeharto menetralisasi satu per satu para panglima itu agar berada di belakangnya. 

Langkah kedua, lagi-lagi Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri loyalis Sukarno yang dianggap terkait PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965.

Massa menyambut keputusan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, 12 Maret 1966. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965-1973).

Dengan demikian, Jusuf mengakui bahwa “perjuangan kami sudah mencapai tiga perempat jalan: PKI dilarang, kabinet dirombak, dan menteri yang prokomunis disingkirkan. Namun, kekhawatiran kami yang paling besar adalah Sukarno mencabut Supersemar.”

Kekuatan anti-PKI mendorong Soeharto segera mengadakan Sidang MPRS untuk mengeluarkan ketetapan yang mengukuhkan Supersemar. Pada 20 Juni–6 Juli 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum. Pidato pertanggungjawaban Sukarno yang berjudul Nawaksara ditolak MPRS. Pada saat yang sama, MPRS menetapkan TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tetang Supersemar.

Sukarno sempat mengecam aksi Soeharto menggunakan Supersemar di luar kewenangan yang dia berikan. Dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah), 17 Agustus 1966, Sukarno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah transfer of sovereignity dan bukan pula transfer of authority. Sama sekali bukan pengalihan kekuasaan.

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya penetapan Supersemar sebagai ketetapan MPRS telah mengikis habis kekuasaan Sukarno sekaligus menghilangkan kemampuannya untuk mencegah tindakan politis yang dilakukan Soeharto atas nama surat tersebut. “Dia pun tak akan dapat mencabut surat perintah itu,” tulis Baskara dalam Membongkar Supersemar

Menurut Jusuf, TAP MPRS itu juga tidak menyebut kewajiban untuk melindungi Sukarno, keluarga, ideologi, dan ajarannya. Padahal di dalam Supersemar disebutkan bahwa pengemban amanah wajib melakukan itu. “Inilah bukti kelicikan Soeharto agar dia tidak terdorong untuk berhadapan dengan Sukarno. Pendekatan bertahap ini berhasil,” ujar Jusuf.

Jusuf pun menyimpulkan bahwa Supersemar adalah “kemenangan hukum dan politik Soeharto, walaupun belum sepenuhnya karena secara konstitusional Sukarno masih presiden dan masih berkuasa.” Soeharto baru berkuasa penuh ketika dilantik sebagai penjabat presiden pada 12 Maret 1967.*

Majalah Historia No. 29 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65f1ca2f7678a9fca87098f8