Menjinakkan Amukan Kelud

Sejarah mencatat Kelud sebagai salah satu gunung api paling aktif di Indonesia. Bersama letusannya, sistem mitigasi bencana gunung api berkembang.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Menjinakkan Amukan KeludMenjinakkan Amukan Kelud
cover caption
Danau kawah di puncak Gunung Kelud, 1928. (KITLV).

BELUM hilang dari ingatan. 13 Februari 2014, Kelud mengguncang Jawa untuk kesekian kalinya. Gunung api ini, yang terletak sekitar 27 km dari kota Kediri, Jawa Timur, meletus pada pukul 22.50. Letusannya terhitung besar dan destruktif, namun nyaris tak ada korban jiwa karena penduduk sudah diungsikan. Kelud sudah diawasi tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang telah menyiapkan langkah-langkah pencegahan sejak beberapa minggu sebelum meletus. 

Suara letusan bahkan terdengar sampai ke Purbalingga, Jawa Tengah, 300 km dari pusat letusan. Kota-kota di sekitarnya seperti Yogyakarta, Malang, dan Madiun lumpuh karena tertutup abu vulkanik. 

Ini bukan kali pertama Kelud meletus. Kelud yang memiliki ketinggian 1.713 m dari permukaan laut adalah gunung aktif bertipe stratovulkan, dengan ciri khas bentuk kerucut dan memiliki kantong magma. Jenis letusannya biasanya eksplosif. Ciri khas lainnya, keberadaan danau kawah yang biasanya memicu letusan ketika bersentuhan dengan kantong magma. 

Kelud mungkin gunung api yang namanya paling sering disebut dalam sejarah gunung api di Nusantara. Sudah lebih dari 30 kali ia meletus di pelbagai zaman. Bersamaan dengan letusan-letusannya, sistem mitigasi bencana gunung api pun berkembang. 

BELUM hilang dari ingatan. 13 Februari 2014, Kelud mengguncang Jawa untuk kesekian kalinya. Gunung api ini, yang terletak sekitar 27 km dari kota Kediri, Jawa Timur, meletus pada pukul 22.50. Letusannya terhitung besar dan destruktif, namun nyaris tak ada korban jiwa karena penduduk sudah diungsikan. Kelud sudah diawasi tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang telah menyiapkan langkah-langkah pencegahan sejak beberapa minggu sebelum meletus. 

Suara letusan bahkan terdengar sampai ke Purbalingga, Jawa Tengah, 300 km dari pusat letusan. Kota-kota di sekitarnya seperti Yogyakarta, Malang, dan Madiun lumpuh karena tertutup abu vulkanik. 

Ini bukan kali pertama Kelud meletus. Kelud yang memiliki ketinggian 1.713 m dari permukaan laut adalah gunung aktif bertipe stratovulkan, dengan ciri khas bentuk kerucut dan memiliki kantong magma. Jenis letusannya biasanya eksplosif. Ciri khas lainnya, keberadaan danau kawah yang biasanya memicu letusan ketika bersentuhan dengan kantong magma. 

Kelud mungkin gunung api yang namanya paling sering disebut dalam sejarah gunung api di Nusantara. Sudah lebih dari 30 kali ia meletus di pelbagai zaman. Bersamaan dengan letusan-letusannya, sistem mitigasi bencana gunung api pun berkembang. 

Pengungsi dari Blitar setelah letusan Gunung Kelud tahun 1919. (KITLV).

Para Pemuja Gunung

Aktivitas gunung api memainkan peran penting dalam menentukan takdir orang-orang di Nusantara. Jika tak ada material-material vulkanik, tanah takkan subur dan irigasi akan gagal. Bentang alam raksasa ini menghiasi daratan terutama di Jawa dan Sumatra. Penduduk lokal kerap dibuat takjub olehnya, antara ngeri dan terpesona. Namun, mereka juga belajar membaca aktivitas gunung api sebagai pertanda. 

“Para tetua menginterpretasikan gejala-gejala gunung api sebagai pertanda akan datangnya sesuatu, dan mewariskan pengetahuannya kepada generasi muda. Mereka adalah pengamat pionir, pendahulu dari vulkanolog modern dengan peralatan canggihnya,” tulis Alexander L. ter Braake, “Volcanology in The Netherland Indies”, termuat dalam Science and Scientist in The Netherland Indies suntingan Pieter Honig dan Frans Verdoorn. 

Di Jawa kuno, gunung kerap dipuja karena status kosmologinya sebagai pusat alam semesta, juga kediaman dewa-dewa; “penguasa gunung”. Praktik ini diperkirakan sudah berlangsung sejak zaman prasejarah. Menurut S. Supomo dalam “Lords of the Mountains in the Fourteenth Century Kakawin”, dimuat jurnal Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde (1972), sampai masa kekuasan raja-raja Hindu-Buddha, objek pemujaan mulai berevolusi. 

“Awalnya raja hanya dianggap sebagai keturunan para ‘penguasa gunung’, lalu ia menjadi inkarnasi ‘penguasa gunung’, dan akhirnya dianggap sebagai si ‘penguasa gunung’ itu sendiri,” tulisnya.

Praktik pemujaan gunung seperti itu umum ditemukan pada masa Majapahit, kerajaan Jawa terbesar pada abad ke-14. “Pada awal Nagarakartagama, Prapanca memohon perlindungan Parwanatha, ‘penguasa gunung’, yang tiada lain adalah raja yang sedang berkuasa, Hayam Wuruk,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3

Terlepas dari pemujaan yang telah melekat sebagai tradisi Jawa, nyatanya pendataan letusan gunung api sebelum kedatangan orang-orang Eropa terbilang cukup lemah. Serangkaian letusan memang tercatat. Salah satunya kitab Pararaton, yang mencatat letusan Kelud pada tahun 1311, 1334, 1376, 1385, 1395, 1411, 1450, 1451, 1462, dan 1481. Masalahnya, waktu pasti peristiwa letusan ini kadang meragukan karena kerap diubah untuk kepentingan penguasa; biasanya sebagai pertanda mistis untuk melegitimasi kesucian keluarga kerajaan. 

Kelud memang penuh aroma mistis. Setidaknya sejak masa Majapahit letusan Kelud diyakini sebagai pertanda akan munculnya peristiwa besar. Satu contohnya yang paling populer terjadi pada diri Sukarno. Dia lahir dan kehilangan kuasa politiknya setelah didahului dua letusan Kelud, masing-masing pada 1901 dan 1966. 

Observasi Gunung Kelud pasca letusan tahun 1901. (KITLV).

Menangkal dengan Sains

Orang-orang Eropa pertama yang bersentuhan dengan gunung api di Nusantara adalah para pelaut Portugis. Kebanyakan gunung api di bagian timur Nusantara. Belanda baru datang ke Jawa pada 1596 dalam sebuah pelayaran yang dipimpin Cornelis de Houtman. Sama seperti Portugis, mereka mencatat beberapa gunung api yang mereka temui selama perjalanan. Seiring waktu Belanda mendominasi politik di Nusantara, dan semakin banyak pula informasi mengenai gunung-gunung api yang dicatat dan dipelajari mereka. 

Setidaknya ada tiga periode observasi gunung api yang dilakukan Belanda, seperti dikemukakan M. Neumann van Padang, “History of the Volcanology in the Former Netherland East Indies,” tercantum dalam jurnal Scripta Geologica (1983): awal pengamatan gunung api sebelum 1800, eksplorasi oleh para ahli di abad ke-19, serta penelitian sistematik setelah 1900 yang dilakukan Dienst van de Mijnbouw (Departemen Pertambangan) dan setelah 1920 oleh Volcanological Survey.

Periode pertama adalah masa kontak pertama orang-orang Belanda dengan gunung-gunung api di Nusantara. Salah satu orang yang pertama mencatat tentang gunung api adalah Francois Valentijn. Selama masa tugasnya di Ambon, sebagai pegawai VOC, dia memetakan pulau-pulau sekaligus mengobservasi gunung-gunung api di Kepulauan Maluku. Hasil observasinya tercantum dalam bukunya Oud en nieuw Oost Indie (1724–1726). Pada periode ini, Kelud meletus pada 1586 yang menewaskan 10.000 orang. Jumlah tersebut adalah yang terbesar di antara letusan Kelud lainnya. 

Periode kedua ditandai dengan maraknya eksplorasi yang dilakukan para petualang-peneliti, terutama di Jawa. Pada 1816, Natuurkundige Commissie (Komite Ilmu Alam) dibentuk dengan tujuan mempromosikan riset ilmiah alam Hindia Belanda. Franz Wilhelm Junghuhn, ahli geologi keturunan Jerman-Belanda, menjadi orang Eropa pertama yang mencapai danau kawah Kelud pada 16 September 1844. 

Penelitian sistematis terhadap gunung api baru dilakukan pada periode ketiga. 

Pemerintah Belanda sebenarnya berupaya mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap letusan, terutama pada Kelud yang baru meletus tanggal 22–23 Mei 1901. Efek paling berbahaya dari tiap letusan Kelud adalah lava bercampur air yang mengalir turun ke bawah gunung. Dalam bahasa Jawa, fenomena ini disebut lahar. Karena itu upaya mitigasi terhadap Kelud difokuskan untuk mengarahkan aliran lahar ke tempat yang aman. Sebuah sodetan (jalur pengalihan) dibangun untuk mengalirkan lahar Kelud agar tak mengalir ke Blitar, yang dinamakan Kali Badak. 

Jembatan di Kali Badak putus akibat letusan Gunung Kelud tahun 1919. (KITLV).

Kelud meletus lagi pada 1919, kali ini cukup besar. Kali Badak ternyata tak kuat menampung lahar sehingga jebol. 15.000 hektar lahan rusak akibat lahar yang mengalir turun secepat 37,5 km/jam. “Lebih dari 5.000 orang tewas dan 104 desa hancur,” tambah Neumann. 

Belajar dari pengalaman letusan Kelud tahun 1919, gagasan membentuk sebuah badan penelitian gunung api muncul di antara para ahli. Setahun setelahnya, 16 September 1920, Vulkaanbewakingdienst (Dinas Penjagaan Gunung Api) dibentuk yang secara struktural berada di bawah Dienst van de Mijnbouw (Departemen Pertambangan). Sejak 1922, Vulkaanbewakingdienst berubah nama menjadi Vulkanologisch Onderzoek sebelum pada 1939 berubah lagi menjadi Volcanological Survey. 

Badan ini kali pertama dipimpin geolog G.L.L. Kemmerling. Penelitian gunung api pun mulai dilakukan secara sistematis. Hasil penelitian kemudian dipublikasikan di jurnal dan suratkabar Belanda secara reguler. 

Secara umum, Vulkaanbewakingdienst dibentuk untuk mempelajari cara melindungi penduduk dan mengurangi dampak bencana (mitigasi) gunung api. “Caranya dengan; (1) mempelajari jenis-jenis gunung api, (2) mencari cara memprediksi letusan, (3) mempelajari wilayah yang terancam, (4) mengembangkan sistem peringatan dan evakuasi penduduk, dan (5) meminimalisir efek letusan,” tulis Neumann. 

Penggali berpose di depan terowongan yang berfungsi mengalirkan air dari danau kawah Gunung Kelud, 1930. (Tropenmuseum).

Salah satu tugas pertama tim survei adalah meneliti Kelud dan efek letusannya pada 1919. Para peneliti setuju mengurangi jumlah air di danau kawah untuk meminimalkan aliran lahar efek letusan dengan cara membangun serangkaian terowongan air. Pekerjaan dimulai pada September 1919 dan baru selesai pada 1926; lima penggali tewas akibat runtuhnya terowongan selama pengerjaan. Tujuh terowongan utama yang dibuat sukses mengurangi volume air danau kawah pascaletusan dari 40 juta meter kubik menjadi hanya 1,8 juta meter kubik. 

“Kelud mungkin adalah sebuah usaha rekayasa yang pertama dan paling ambisius terhadap sebuah gunung api untuk mengurangi ancaman yang ditimbulkan danau kawahnya,” tulis Manfred J. van Bergen dkk. dalam Crater Lakes of Java: Dieng, Kelud and Ijen

Dalam meneliti gunung api, tim survei bekerja menggunakan prinsip-prinsip ilmu geologi, vulkanologi, meteorologi, dan lain-lain. Pos-pos observasi didirikan di sejumlah gunung, dilengkapi dengan instrumen penelitian seperti seismograf. Beberapa gunung diobservasi secara permanen: Tangkubanperahu dan Papandayan karena bahaya gas beracun; Kelud dan Merapi karena potensi letusannya; Kawah Ijen karena kandungan material beracun. 

“Nyaris tidak mungkin bagi tim survei untuk mengobservasi semua gunung api secara permanen. Hanya yang paling aktif dan penduduk yang wilayahnya paling terancamlah yang mendapatkan perhatian serius para ahli dari tim survei,” tulis ter Braake. “Gunung-gunung di Jawa yang berpenduduk padat menjadi subjek penelitian paling utama.” 

Kunjungan Presiden Sukarno pasca letusan Gunung Kelud tahun 1951. (ANRI).

Masa Indonesia

Sempat terhenti pada masa pendudukan Jepang, penelitian gunung api berlanjut setelah masa kemerdekaan. Pemerintah Indonesia membentuk Dinas Gunung Berapi (DGB) yang berada di bawah Jawatan Pertambangan, cikal bakal dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Pusatnya di Bandung. 

Salah satu tugas pertama DGB adalah menginspeksi letusan Kelud tahun 1951 yang terbilang lemah. Berkat terowongan air, lahar panas tak terbentuk. Namun, terowongan-terowongan tersebut menjadi rusak. Rehabilitasi terowongan baru dilakukan pada 1953. Akibatnya volume air kembali meningkat menjadi 50 meter kubik, ditambah efek penurunan dasar danau pascaletusan. 

Aktivitas Kelud kembali meninggi tahun 1966. Pada 14 April, DGB dengan bantuan polisi dan tentara segera mengungsikan penduduk. Kelud akhirnya meletus dengan hebat pada 26 April 1966. Lahar turun menjebol Kali Badak ke Blitar dengan kecepatan 47 km/jam. Lagi-lagi, Kali Badak dan terowongan air rusak akibat tak bisa menahan dampak letusan. 250 orang tewas. 

Dalam laporannya kepada pemerintah, Deputi Menteri Pertambangan Brigjen TNI R. Pirngadie mendesak pemerintah segera mengucurkan dana untuk rehabilitasi Kelud sebelum volume air danau kawah meningkat. 

“Langkah pertama yang perlu dilaksanakan untuk mencegah (mengurangi) bencana letusan Gunung Kelud adalah mengusahakan agar volume air yang tertimbun dalam danau kawah selalu dapat dikurangi hingga sekecil-kecilnya,” tulis Pirngadie dalam laporannya tertanggal 18 Mei 1966. Proyek itu ditaksir menghabiskan dana Rp3,5 miliar. 

Pada tahun itu juga proyek rehabilitasi dimulai. Sebuah terowongan baru dibangun di bawah terowongan lama, namanya Terowongan Ampera. Berkat terowongan baru tersebut volume air danau kawah dapat ditekan sampai hanya 4,3 juta meter kubik. 

Namun, sejak letusan tahun 2007 danau kawah itu menghilang dan digantikan dengan sebuah kubah lava yang berdiameter 469 m. Kubah lava ini akhirnya hancur menjadi abu vulkanik pada letusan tahun 2014. Kawah Kelud menjadi kering, kemungkinan danau akan terbentuk kembali beberapa tahun setelahnya. 

Di masa-masa tenang, Gunung Kelud adalah objek wisata yang menarik untuk dikunjungi karena panoramanya yang indah. Namun, di balik itu, merujuk pada catatan sejarahnya, Kelud bisa mengamuk kembali kapan saja. Karena itulah perencanaan mitigasi menjadi amat penting. 

“Ukuran Kelud mungkin lebih kecil dari gunung api lain di Indonesia, namun karena frekuensi tinggi letusannya, Kelud menjadi salah satu gunung dengan letusan paling mematikan di Indonesia,” seperti tercantum dalam Encyclopedia of Disasters: Enviromental Catastrophes and Human Tragedies yang disunting Angus Macleod Gunn.*

Majalah Historia No. 19 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6594c50f22201dcded58166d