Menservis Sejarah Tenis

Tenis sempat menjadi media resistensi di masa kolonial Belanda. Kini menjadi olahraga bergengsi.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Menservis Sejarah TenisMenservis Sejarah Tenis
cover caption
Turnamen tenis di Semarang pada 12 April 1948. (Arsip Nasional Belanda).

YAYUK Basuki tampil trengginas. Di set pertama dia melumat petenis Kanada, Patricia Hy-Boulais, tanpa balas dengan skor 6-0. Dalam pertandingan yang berlangsung 20 menit itu, Yayuk bermain ofensif. Passing shoot-nya efektif mematikan gerakan maju lawan. Tatkala memegang servis, game dimenanginya dengan telak tanpa membuat lawan mencetak skor (love game) atau dengan angka meyakinkan 40-15.

Di set kedua, pertarungan berlangsung alot. Yayuk sempat tertinggal 3-5. Di game kesembilan, petenis wanita peringkat satu Indonesia itu kembali menemukan pola permainannya. Dia melakukan service break hingga skor 4-5. Kejar-mengejar terjadi hingga skor 6-6. Di babak tambahan tie break, Yayuk terus menekan hingga akhirnya berhasil memenangi pertandingan.

YAYUK Basuki tampil trengginas. Di set pertama dia melumat petenis Kanada, Patricia Hy-Boulais, tanpa balas dengan skor 6-0. Dalam pertandingan yang berlangsung 20 menit itu, Yayuk bermain ofensif. Passing shoot-nya efektif mematikan gerakan maju lawan. Tatkala memegang servis, game dimenanginya dengan telak tanpa membuat lawan mencetak skor (love game) atau dengan angka meyakinkan 40-15.

Di set kedua, pertarungan berlangsung alot. Yayuk sempat tertinggal 3-5. Di game kesembilan, petenis wanita peringkat satu Indonesia itu kembali menemukan pola permainannya. Dia melakukan service break hingga skor 4-5. Kejar-mengejar terjadi hingga skor 6-6. Di babak tambahan tie break, Yayuk terus menekan hingga akhirnya berhasil memenangi pertandingan.  

Hari itu, 2 Juni 1997, stadion Wimbledon gemuruh oleh puluhan pendukung Indonesia. Sorak-sorai dan riuh tepuk tangan bersambutan. Yayuk Basuki bak pahlawan. Untuk kali pertama, Indonesia meloloskan wakilnya ke perempat final turnamen Wimbledon, kejuaraan tertinggi tenis dunia.

“Saya akan menularkan kemampuan tenis ini untuk petenis putri Indonesia,” kata Yayuk usai pertandingan dikutip Kompas, 2 Juni 1997.  

Di perempat final Yayuk dikalahkan petenis Ceko, Jana Novotna, penyandang status peringkat tiga dunia –yang kemudian menjadi runner up. Kendati demikian, Yayuk mencatatkan namanya dalam peringkat 19 Women’s Tennis Association (WTA) atau Asosiasi Tenis Wanita. Prestasi terbaik yang pernah ditorehkan petenis Indonesia hingga saat ini.

Asal-Usul

Berbalas memukul bola sekepalan tangan dengan menggunakan raket, demikian tenis dimainkan. Dari berbagai sumber sejarah yang dihimpun, Philip K. Hitti, seorang orientalis dan islamolog asal Lebanon, menyatakan jazirah Arab sebagai asal olahraga tenis. Pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258), masyarakat Arab telah mengenal permainan bola yang menggunakan sebuah potongan kayu besar bernama thabthab.

“Permainan ini disebut-sebut cikal bakal olahraga tenis dalam bentuknya yang primitif,” tulis Hitti dalam History of Arabs.

Pasca-Perang Salib, olahraga ini berkembang di Prancis dan diminati kalangan kerajaan. Menurut Malcolm D. Whitman, mantan petenis Amerika, dalam Tennis: Origins and Mysteries, kata tenis berasal dari kata kerja bahasa Prancis, tenes, yang berarti memperhatikan. Kata ini diserap dari nama sebuah kota di Mesir, Tinnis, yang terletak dekat delta Sungai Nil. Kota ini terkenal dengan produksi linen yang kemungkinan digunakan untuk membuat bola tenis pada Abad Pertengahan.

Pada 1877, popularitas tenis menggeser kriket sebagai olahraga masyarakat di Inggris. Ketika itu untuk kali pertama diadakan kejuaraan tenis di kota Wimbledon. Dari pertandingan lokal yang hanya menyertakan petenis Inggris, ia berkembang jadi ajang internasional. Kejuaraan Wimbledon atau All England menjadi cikal bakal turnamen tenis era modern yang mendunia.

Lapangan tenis pun turut mengalami perkembangan menjadi tiga jenis: clay court (lapangan tanah liat), grass court (lapangan rumput), dan hard court (lapangan semen).  

“Dari Asia, Jepang-lah yang menjadi perintis jalan, lalu India menyusul sebelum Perang Dunia II dan sesudahnya Philipina dan Indonesia,” tulis A. Katili, mantan petenis Indonesia, dalam Tennis dan Bintang-bintangnya.

Keluarga Hurip tahun 1939. Kiri ke kanan atas: Sulastri, dr. Hurip, Sabarniati, Samboedjo. Bawah: Santoso dan Sanjoto. (Repro Tennis dan Bintang-bintangnya).

Tenis Nasionalis

Besar kemungkinan orang Belanda-lah yang memperkenalkan tenis ke Indonesia. Namun muncul pula anggapan ia dibawa para pelaut Inggris yang singgah di kota-kota besar Kepulauan Nusantara.

Di era kolonial Hindia Belanda, tenis digemari masyarakat Eropa kelas atas. Selain orang Belanda, masyarakat Tionghoa kerap mengayunkan raket di lapangan tenis. Setiap tahun, kejuaraan tenis digelar Algemeene Nederlandsch Indische Law Tennis Bond (ANILTB) atau Persatuan Tenis Hindia Belanda untuk memperebutkan hadiah uang tunai yang besar.

Pada akhir 1920-an, pemuda-pemuda bumiputra mulai terpikat tenis. Kebanyakan dari mereka adalah kaum terpelajar yang menuntut ilmu di kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Tenis pun mulai dipertandingkan dalam kegiatan berbagai organisasi pemuda.  

Dari organisasi Indonesia Muda, yang mempelopori Sumpah Pemuda, lahir jago-jago tenis. Pada 1935, tiga petenis Indonesia berhasil menembus kejuaraan ANILTB di Malang, Jawa Timur. Mereka adalah Hoerip bersaudara: Samboedjo, Soemadi, dan Soelastri. Di laga puncak turnamen, tiga bersaudara berjaya.  

Soemadi dan Samboedjo bersua di final tunggal putra yang akhirnya dimenangkan Samboedjo. Pada partai ganda putra, pasangan putra Hoerip bersaudara mengalahkan pasangan Belanda, Bryan/Abendanon. Sedangkan untuk ganda campuran, Samboedjo dan Soelastri mendepak pasangan Bryan/Nn. Schermbeek. Kemenangan itu menjadi berkesan karena membuktikan keunggulan anak jajahan atas penjajahnya.

“Olahraga ini pun mulai dilihat sebagai penghimpun massa, terutama oleh kaum nasionalis yang mencita citakan kemerdekaan Indonesia,” tulis laman resmi induk organisasi tenis Indonesia, pelti.or.id.

Indonesia Muda terdorong mengadakan pekan olahraganya sendiri. Tenis termasuk cabang yang dipertandingkan. Dr. Hoerip, ayah dari Hoerip bersaudara yang kemudian diakui sebagai Bapak Tenis Indonesia, memprakarsai kejuaraan tenis di Semarang pada Desember 1935. Dr. Hoerip menghimpun 70 petenis dari seluruh Jawa. Perhelatan itu melahirkan Persatuan Tenis Indonesia (Pelti) tanggal 26 Desember 1935.  

Gagasan pembentukan Pelti berasal dari Mr. Budiyanto Martoatmodjo, tokoh tenis dari Jember. Tujuannya mengembangkan olahraga tenis tanah air dan membumikannya ke tengah masyarakat Indonesia. Beberapa tokoh lain yang turut mendirikan Pelti antara lain Buntaran Martoatmodjo (kemudian jadi ketua Pelti pertama), Dr. Rasjid, Dr. Mokhtar, Dr. Sardjito, R.M. Soeprapto, Nitiprodjo, R.M. Wazar (Bandung), Djajamihardja (Batavia), Mr. Susanto Tirtoprojo (Surabaya), Mr. Soedja (Purwokerto), serta Mr. Oesman Sastroamidjojo, ahli olahraga tenis yang terkenal di Eropa.

“Kejuaraan Tenis Seluruh Jawa dari Persatuan Lawn Tenis Indonesia,” lansir De Locomotif, 30 Desember 1935.

Berdirinya Pelti menandai tonggak perkembangan tenis Indonesia. Proses rintisannya penuh onak dan kesulitan. Mulai dari peralatan seadanya, gizi pemain di bawah takar, hingga lapangan yang tak memadai. A. Katili, petenis Indonesia saat itu, mengenang, “Kebanyakan dari lapangannya tak memenuhi syarat, sehingga lebih pantas disebut lapangan sawah,” dalam Kompas, 9 Januari 1970.  

Kehadiran Pelti menjadi ancaman serius bagi ANILTB. Kecemasan ANILTB beralasan. Pemain unggulan Pelti bermunculan di tiap gelanggang tenis. Di Bandung, terdapat nama-nama seperti A. Katili, Ketje Soedarsono, Carebert Singgih, Caroline Singgih, dan Soedjono. Di Solo muncul Panarto Soeharto, Srinado, dan Soeparis. Sementara di Surabaya ada Doelrachman, Latip, Tubelaka, dan Latumeten.

ANILTB bahkan berniat mengakuisisi Pelti. Namun, pengurus Pelti bersikukuh untuk menjadi induk organisasi tenis nasional di Indonesia. Pada akhirnya ANILTB tak bergaung lagi seiring runtuhnya kekuasaan kolonial.  

Di masa pendudukan Jepang, Pelti memasuki masa nonaktif. Tenis hanya dipertandingkan di kota-kota besar karena ketersediaan bola yang terbatas. Dalam Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965, tercatat cuma ada dua turnamen yang diselenggarakan Ikatan Sport Indonesia (ISI) yang kemudian menjadi Tai Iku Kai, organisasi olahraga buatan Jepang. “Tan Liep Tjiawu keluar sebagai juara pada tahun 1942 dan pada 1943 Katili adalah pemain terkuat Indonesia.”

Tan Lip Tjiauw bersama Hilly Tjioe, peraih lima gelar nasional selama Kejuaraan Tenis Terbuka Indonesia, setelah menang dalam kompetisi di Semarang, Jawa Barat pada 1957.

Menembus Kancah Dunia

Sebelum Pelti berdiri, Kho Sin Kie sudah mengayunkan raketnya di gelanggang tenis tingkat dunia. Sin Kie adalah petenis Tionghoa kelahiran Jawa Tengah. Sebelum menjajal arena tenis di benua seberang, dia dikenal sebagai jawara tenis dari Jawa. Pelatih tenis ternama Hindia Belanda, Scheurleer, bahkan berujar, sebagaimana dikutip Katili, “Bakatnya (Kho Sin Kie) melebihi bakat pemain-pemain Belanda siapapun.”

Pada 1933, Sin Kie dikirim untuk mengikuti National Olympic Games di Tiongkok. Menariknya, dia kemudian mewakili Tiongkok dalam ajang Piala Davis di Eropa, kejuaraan beregu yang bergengsi, pada 1936. Tak tanggung-tanggung, lawan yang dihadapinya di babak pertama adalah Boussus, petenis nomor satu Prancis dan peringkat tujuh dunia. Sin Kie kalah tiga set langsung. Pada tahun yang sama, Sin Kie tampil di ajang Wimbledon. Namun, langkahnya terhadang di 16 besar oleh petenis Ceko, Czenar, dalam pertandingan sengit lima set.

Setelah menjuarai Bournmount Championship pada 1939, Kho Sin Kie kembali ke Jawa. “Dia terus mengalahkan pemain-pemain tenis di Jawa, tempat dia hidup hingga kemerdekaan Indonesia,” tulis Leo Suryadianata, sinolog Tionghoa Indonesia, dalam Prominent Indonesian Chinese.

Pada 1953 menjadi tahun yang bersejarah bagi Indonesia. Meski baru merdeka, Indonesia untuk kali pertama menyertakan pemainnya dalam kejuaraan Wimbledon. Panji Merah Putih diwakili Tan Liep Tjiaw, petenis kelahiran Pare, Kediri. Tan yang berbadan kecil dikenal dengan pukulan forehand-nya yang mematikan. Namun, langkah pemain berjuluk “Little Liep” ini terhenti di ronde kedua setelah ditaklukkan Philip Washer, petenis Belgia.  

Setelah Tan Liep Tjiaw, sekian dekade selanjutnya, petenis Indonesia sukar mencapai level internasional. Tenis belum diminati masyarakat kebanyakan karena tergolong olahraga mahal.

Memasuki tahun 1970, tenis Indonesia mulai menggeliat. Pelti rajin mengirimkan pemain-pemainnya ke luar negeri untuk latihan atau uji coba. Hasilnya, jago-jago tenis Indonesia unjuk gigi dalam berbagai kejuaraan regional. Beberapa nama yang mengorbit dan berprestasi seperti Atet Wijono dan Gondowidjojo (putra); Mien Suhadi, Lanny Kaligis, Lita Liem Sugiarto, dan Yolanda Soemarno (putri).

Petenis perempuan jauh lebih menonjol. Di kawasan Asia, rangking petenis perempuan Indonesia hanya terpaut di bawah Jepang. Lanny Kaligis dan Lita Liem Sugiarto menjadi pasangan petenis ternama yang disegani dari Indonesia.  

“Meskipun status mereka masih amatir murni, namun Lita Sugiarto dan Lanny Kaligis memiliki komitmen jelas untuk berprestasi di lapangan tenis,” tulis Benny Malili, mantan pemain dan pengamat tenis, dalam Kompas, 1 Desember 1997.

Tahun 1973, Lita menduduki peringkat 17 dan Lanny 50 grand prix internasional. Pada tahun yang sama, mereka menjadi pasangan ganda Indonesia pertama yang menembus perempat final ganda putri Wimbledon. Sebelumnya, Lanny mengukir sejarah di arena Asian Games 1966 dengan dua catatan: juara termuda (17 tahun) dan gelar triple champions (beregu, tunggal, dan ganda). Delapan tahun kemudian, Lita mengikuti jejak Lanny menjuarai Asian Games VII tahun 1974 di Taheran, Iran. Lita, pemain bertangan kidal, pada masanya bahkan menjadi petenis perempuan yang pernah mengumpulkan hadiah uang tertinggi ($1.000) dalam putaran turnamen Eropa dan Amerika.

Dalam perhelatan SEA Games, tim tenis Indonesia menjadi yang terkuat. Sejak 1977 hingga 1987 perolehan medali emas untuk cabang tenis seakan menjadi tradisi. Tim putra dan putri Indonesia selalu duduk di atas tampuk juara, rekor yang hanya bisa disamai cabang bulutangkis. Periode ini boleh dikatakan masa keemasan dalam sejarah tenis Indonesia.

Tintus Wibowo, Abdul Kahar, Wailan Walalangi, Suharyadi, Suzana Anggarkusuma, dan Yayuk Basuki adalah beberapa nama andalan tim tenis Indonesia. Yayuk yang bersinar sejak di tingkat junior bahkan disebut-sebut sebagai “Jaguar dari Asia”.  

“Yang memberikan julukan tersebut adalah para jurnalis asing saat saya menjuarai Pataya Open, 1991,” ujar Yayuk.

Mandeg Dan Intrik

Meski berkembang pesat pada 1980-an, di luar Asia Tenggara, tenis Indonesia tak mampu berbicara banyak. Bahkan di penghujung 1980, terkesan terjadi kemandegan prestasi anak negeri. Apa sebabnya?  

Menurut Wimar Witoelar, Indonesia tak pernah kekurangan bibit unggul. Persoalannya terletak pada pembinaan berkelanjutan yang tak ditunjang pemerintah. Urusan kocek juga acapkali menyusup.  

“Kalau di tingkat junior kita kuat tapi pembinaan selanjutnya kurang. Nah, itu seharusnya didukung negara. Tapi karena tak ada, mereka (para pemain) didukung orang kaya. Orang kaya suka punya kepentingan sendiri,” ujar Wimar yang pernah menjadi ketua Badan Tim Nasional (BTN) Pelti dekade 1990-an kepada Historia.  

Kemandegan ini turut dituggangi bisnis gelap dari luar lapangan. Ketua Pelti Moerdiono dalam Kompas, 15 Oktober 1987, mengungkapkan keberangannya pada judi tenis. Moerdiono, yang juga menteri sekretaris negara, telah lama mengendus praktik taruhan yang melibatkan oknum berduit dan petenis junior.  

“Kalau mau taruhan, mau bangkrut silahkan, itu urusan mereka. Tapi jangan merusak pemain-pemain tenis dan segala pembinaan yang sudah ada. Jangan merusak olahraga!” tegas Moerdiono.

Diakui Wimar, praktik judi dan taruhan pernah menodai pertenisan di Indonesia. Hal ini tak pelak mempengaruhi prestasi. “Sering pemain tenis dijadikan objek untuk menghibur orang kuat. Dijadikan objek taruhan.”  

Kehadiran Yayuk Basuki pada 1990-an menjadi oase dalam dinamika tenis Indonesia yang tengah gersang. Setelah era Yayuk, asa sempat kembali membubung tinggi melalui ayunan raket Wyne Prakusya dan Angelique “Angie” Widjaja.  

Wynne Prakusya mencapai puncak dalam kejuaraan Australia Open Junior 1998 sebagai finalis. Peringkat tertingginya adalah 74 WTA tahun 2002. Dalam kejuaraan beregu tenis wanita, Fed Cup 2004, Wynne memenangi 11 dari 12 pertandingan yang membawa Indonesia juara grup Asia/Oceania.  

Sedangkan Angie melejit setelah menjadi kampiun Wimbledon Junior pada 2001 di usia 17 tahun. Meski skala junior, dia orang Indonesia pertama yang memenangi gelar di Wimbledon. Pada tahun yang sama, Angie menjuarai turnamen Wismilak Internasional di Bali yang mencatatkan dirinya dalam peringkat 55 dunia.  

Namun, bak meteor, keduanya redup setelah bersinar sekejap. Wynne gantung raket akibat dibebat cedera tahun 2006. Angie memutuskan pensiun pada 2008. Tenis Indonesia masih dahaga prestasi.  

“Saya prihatin melihat perkembangan olahraga tenis. Untuk berbicara tingkat Asia Tenggara saja kita kesulitan, apalagi tingkat yang lebih tinggi. Dulu Indonesia disegani di Asia Tenggara, bahkan mereka belajar ke Indonesia tapi sekarang mereka malah meninggalkan kita,” ujar Yayuk Basuki, yang menjadi anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Partai Amanat Nasional kepada Historia.  

Menurut Yayuk, ada persoalan mendasar dalam mentalitas atlet tenis Indonesia. Kebanyakan atlet masih ragu menggantungkan masa depannya lewat olahraga. Padahal, jika prestasi bisa diraih, bonus atau sponsor akan datang dengan sendirinya. Sarana dan prasarana juga jadi hambatan. Di Jakarta, hampir tak ada lapangan tenis yang bisa dipakai event internasional.  

Kendati demikian, Yayuk tetap optimis tenis Indonesia akan bangkit. Untuk level junior, Indonesia selalu punya pemain-pemain berbakat. Bukan tak mungkin masa gemilang tenis Indonesia akan terulang.*

Majalah Historia No. 34 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
670f39369f5f81736d083e3a