Menteri Lisensi Tersangkut Korupsi

Menteri perekonomian diadili atas tuduhan memiliki devisa di luar negeri untuk membeli mobil dan tiket kereta api. Ia dituduh membuat kebijakan guna mendapatkan dana untuk partai.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Menteri Lisensi Tersangkut KorupsiMenteri Lisensi Tersangkut Korupsi
cover caption
Iskaq Tjokrohadisurjo memimpin rapat PNI. (Repro Alumni Desa Bersemangat Banteng).

PADA Agustus 1955, Letnan Satu Polisi Militer R.A. Prawirakusumah bersama dua sejawatnya mendatangi rumah Iskaq Tjokrohadisurjo di Jalan Diponegoro 6 Jakarta. Mereka membawa surat perintah penangkapan bernomor 168/D.G. III-6/SP/55 dari Corps Polisi Militer Bandung. Isi surat: “menangkap Iskaq, menggeledah rumahnya, dan menyita surat dan atau barang yang berkaitan dengan perkaranya” terkait kebijakannya selama menjabat menteri perekonomian.

Mereka tak menemukan Iskaq di rumahnya. Iskaq, yang sudah tak menjabat menteri perekonomian menyusul jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I, sudah terbang ke Belanda dengan anaknya, Irmin. Ia hendak berobat dan mengurus sekolah anaknya di Rotterdam. Pemerintah segera mencabut paspor Iskaq.

PADA Agustus 1955, Letnan Satu Polisi Militer R.A. Prawirakusumah bersama dua sejawatnya mendatangi rumah Iskaq Tjokrohadisurjo di Jalan Diponegoro 6 Jakarta. Mereka membawa surat perintah penangkapan bernomor 168/D.G. III-6/SP/55 dari Corps Polisi Militer Bandung. Isi surat: “menangkap Iskaq, menggeledah rumahnya, dan menyita surat dan atau barang yang berkaitan dengan perkaranya” terkait kebijakannya selama menjabat menteri perekonomian.

Mereka tak menemukan Iskaq di rumahnya. Iskaq, yang sudah tak menjabat menteri perekonomian menyusul jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I, sudah terbang ke Belanda dengan anaknya, Irmin. Ia hendak berobat dan mengurus sekolah anaknya di Rotterdam. Pemerintah segera mencabut paspor Iskaq.

Iskaq tak tahu-menahu tentang rencana penangkapan dirinya. Setelah urusan di Belanda rampung, dengan enteng ia kembali ke tanah air. Namun, ketika transit di Singapura, Lim Kay yang diutus Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Indonesia (PNI) menemui dan mencegahnya melanjutkan perjalanan pulang. Sebab, tim penangkap sudah siaga di Bandara Kemayoran. Pertimbangan lainnya, “penangkapan terhadap Iskaq pada saat menjelang pemilu akan merugikan PNI. Inilah yang dikehendaki pihak lawan politik PNI yang sedang berkuasa,” tulis R. Nalenan dalam biografi Iskaq Tjokrohadisurjo, Alumni Desa Bersemangat Banteng.

Lim Kay lantas membantu penerbangan Iskaq dari Singapura ke Jerman Barat, karena pemerintah Singapura hanya memberi waktu dua minggu untuk tinggal sementara. Lim Kay juga memberi sejumlah uang untuk biaya hidup di sana. Iskaq pun lolos dan tinggal di Jerman Barat sembari menunggu perubahan politik di tanah air. Ia juga mengabaikan panggilan Kejaksaan Agung yang memintanya pulang untuk dimintai keterangan.

Di Indonesia, partainya tak menghadapi masalah dalam Pemilu 1955, bahkan berhasil memenanginya. PNI mendapat 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante. Kemenangan ini membuat PNI berhak menyusun kabinet. Terbentuklah Kabinet Ali Sastroamidjojo II sejak 24 Maret 1956. Ini kesempatan emas bagi Iskaq untuk kembali ke tanah air.

Pada 24 April 1956, setelah sekira delapan bulan di Jerman Barat, Iskaq mendarat di lapangan terbang Kemayoran. Mr. Oemar Senoadji, kepala Jawatan Reserse Pusat, menjemputnya dan membawanya ke rumah Jaksa Agung Soeprapto. Sehari setibanya di Indonesia, Iskaq diperiksa Jaksa Agung di Kejaksaan Agung selama 75 jam. Pemeriksaan kedua dilakukan pada 27 April 1956 selama 15 menit. Pertanyaan yang diajukan seputar kebijakannya selama menjadi menteri perekonomian.

Terhadap pemeriksaan itu, para politisi dan ahli hukum melihat ada kesan Jaksa Agung ragu-ragu untuk mengambil tindakan terhadap Iskaq. “Amatlah sulit untuk menghilangkan kesan, demikian kalangan tadi, seolah-olah Jaksa Agung mendapat suatu tekanan dari golongan tertentu, supaya Iskaq jangan dituntut,” tulis harian Indonesia Raya, 27 April 1956.

Kesan tersebut terbukti benar. Hasil pemeriksaan: tak ditemukan alasan untuk menghadapkan Iskaq ke pengadilan.

Iskaq Tjokrohadisurjo tiba di Indonesia setelah delapan bulan di Jerman Barat. (Repro Harian Indonesia Raya).

Bank PNI

PNI jelas tak ingin pengusutan kasus Iskaq mencoreng nama partai. Perannya dalam membangun PNI juga tak kecil. Ia ikut membidani PNI pada 4 Juli 1927 –waktu itu masih bernama Perserikatan Nasional Indonesia sebelum ganti nama pada 1928. Iskaq adalah politisi kawakan PNI yang punya peran penting dalam membesarkan PNI, termasuk ketika menjabat sebagai menteri perekonomian Kabinet Ali I. Namun kebijakan-kebijakannya selama menjadi menteri itulah yang kerap jadi sorotan publik.

Salah satu program penting Kabinet Ali I adalah mempersiapkan pemilu pertama setelah Indonesia merdeka. Menjelang pemilu, partai-partai jelas memerlukan dana besar. Saat inilah, menurut Deliar Noer dalam Partai Islam dalam Pentas Nasional, PNI mengambil langkah-langkah yang mengabaikan peraturan dan tata cara berpolitik yang sehat. Iskaq sebagai menteri perekonomian dan Ong Eng Die sebagai menteri keuangan, keduanya dari PNI, membuat sejumlah kebijakan untuk mendapatkan dana partai.

Sebelum duduk di kabinet, Iskaq adalah ketua Komite Dana Partai PNI dan Ong Eng Die anggotanya. Iskaq bertanggung jawab untuk menghimpun dana partai sejak 1950. Dalam rapat Dewan Partai pada Maret 1952 muncul desakan untuk memperbaiki keanggotaan Komite Dana Partai dengan memasukkan “... para sahabat yang memegang kedudukan penting seperti direktur bank” sebagai anggotanya. Karena desakan tak berhenti, PNI akhirnya membentuk Bank Umum Negara (BUN) pada 24 November 1952. Suwirjo, wakil ketua PNI, menjabat presiden, Ong Eng Die menjadi wakilnya, Iskaq ketua dewan direksi, dan empat direkturnya semuanya pimpinan PNI: dr. A.K. Gani, dr. Soeharto, Notohamidprodjo, dan Mohammad Said.

Iskaq sebagai menteri perekonomian dan Ong Eng Die sebagai menteri keuangan, keduanya dari PNI, membuat sejumlah kebijakan untuk mendapatkan dana partai.

Menurut J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi, salah satu tujuan BUN untuk sebanyak mungkin mengambil keuntungan dari pemerintah terungkap dalam penunjukkan ketua Badan Koordinasi Perekonomian Nasional Sarino Mangunpranoto sebagai penghubung antara pimpinan PNI dan Menteri Perekonomian Sumanang dari PNI dalam Kabinet Wilopo. Namun hasilnya tak sesuai harapan. Prosedur resmi dalam Kementerian Perekonomian mengharuskan pengusaha yang mengajukan lisensi mendapatkan persetujuan salah satu dari tiga direktur jenderal, yang semuanya bukan dari PNI. Keadaannya membaik setelah pembentukan Kabinet Ali.

“Dengan kedua kementerian yang mengurusi masalah ekonomi ada di tangan partai, para pengusaha PNI mulai menikmati dua tahun kejayaan yang tidak pernah diperoleh sebelumnya,” tulis Rocamora.

Sebagian besar berkat upaya Iskaq dan Ong Eng Die, lanjut Rocamora, BUN berkembang pesat dari sebuah bank kecil menjadi bank yang berhasil menghimpun dana deposito hingga Rp10 juta hanya dalam waktu setahun lebih setelah pendiriannya.

“Keduanya memerintahkan umpamanya agar dana yang berada di bawah supervisi kementerian disimpan di Bank Umum Nasional, suatu bank PNI,” tulis Deliar Noer.

Sambil memperkuat keuangan BUN, Iskaq dan Ong Eng Die juga berupaya menempatkan orang-orang PNI di lembaga-lembaga perbankan. Iskaq juga merombak personalia dan administrasi kementeriannya untuk maksud yang sama. Saroso, seorang PSI yang menjabat direktur Perdagangan dan Industri, dan Arifin Harahap, kepala Kantor Pusat Urusan Impor (KPUI), serta I.J. Kasimo, ketua Yayasan Kopra dari Partai Katolik, diganti dengan orang-orang PNI.

“Kebijakan Iskaq dan Ong Eng Die dalam perbankan mendapat kecaman pedas,” tulis Rocamora, “tapi isu yang akhirnya memaksa Iskaq mengundurkan diri adalah kebijakannya terhadap importir nasional.”

Karikatur perjalanan Iskaq Tjokrohadisurjo di harian Indonesia Raya.

Lisensi Impor

Kebijakan ekonomi Iskaq dituduh diskriminatif. Ia dengan mudah memberikan fasilitas kepada pengusaha PNI atau penyokong PNI dan Kabinet Ali I. Iskaq, misalnya, memberikan lisensi impor kain mori (cambrics) dan bahan-bahan batik lainnya kepada NV Suez dan NV Goenoeng Perahoe, dua perusahaan yang punya hubungan dengan PNI. Iskaq juga memerintahkan agar impor kertas untuk pemilu dilakukan perusahaan Interkertas di mana pemegang sahamnya orang-orang PNI.

Jusuf Wibisono, mantan menteri keuangan Kabinet Sukiman, menuding hanya 10 persen dari daftar importir Iskaq yang bonafit, selebihnya importir aktentas, istilah untuk pengusaha musiman yang tak punya modal apalagi kantor dan kerjanya hanya menjual surat izin impor. Tudingan ini didasarkan data yang diperoleh dari kalangan bisnis. “Lisensi istimewa diberikan kepada pengusaha-pengusaha yang sanggup memberikan 10% dari harga lisensi kepada kas partai PNI,” tulis Soebagijo I.N. dalam biografi Jusuf Wibisono, Karang di Tengah Gelombang. Jusuf mencibir “lisensi istimewa” Iskaq bukan kebijakan ekonomi “nasional” tapi “nasionalis”, merujuk pada PNI.

Iskaq menepis tuduhan itu. “Partai saya benar menerima sumbangan dari pelbagai pedagang, akan tetapi sumbangan diberikan dengan rela langsung kepada partai dan tidak berdasarkan suatu syarat untuk mendapatkan lisensi impor... Lisensi istimewa itu justru dikeluarkan untuk kepentingan Lebaran,” kata Iskaq dikutip Nalenan. Agaknya Iskaq melanjutkan kebijakan tunjangan hari raya untuk pegawai negeri yang sudah dilakukan Kabinet Sukiman Wirjosandjojo di mana Iskaq menjabat menteri dalam negeri.

Pada 20 Oktober 1953, hanya satu setengah bulan setelah Iskaq dilantik, Ketua Seksi Ekonomi Fraksi Masyumi DPR Sementara KH Tjikwan mengajukan mosi untuk mendorong interpelasi guna meminta keterangan Iskaq soal kebijakan ekonominya, terutama lisensi impor. Setelah voting pada 5 April 1954, mosi itu ditolak dengan suara 60 banding 101.

Mosi kedua dari Masyumi disampaikan Jusuf Wibisono pada November 1953. “Jusuf menegaskan,” tulis Soebagijo, “bahwa semua tindakan pemerintah yang katanya untuk melaksanakan programnya, terutama dalam bidang ekonomi dan keuangan, membuat rakyat menjadi bertambah melarat.” Mosi Jusuf ditolak dengan suara 115 lawan 92.

Kegagalan mosi tak menyurutkan tuduhan miring terhadap kebijakan Iskaq. Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam Kongres Ekonomi Seluruh Sumatra di Medan pada November 1954 menegaskan, “Para pengusaha Ali-Baba, yang cuma beberapa gelintir itu, menjadi kaya raya tanpa bekerja. Berbekal tameng atas nama pribumi, mereka menjual lisensi sebagai importir. Mereka menikmati rente ekonomi yang luar biasa empuk hanya karena mereka punya akses dan lobi kepada menteri perekonomian. Berpuluh juta, barangkali beratus juta rupiah uang negara, yang diperoleh dari pajak rakyat, sudah dikorbankan untuk kepentingan satu golongan kecil orang atas nama nasional.”

Lisensi istimewa diberikan kepada pengusaha-pengusaha yang sanggup memberikan 10% dari harga lisensi kepada kas partai PNI.

Kebijakan ekonomi Iskaq, yang disebut Indonesianisasi, mirip atau bisa dibilang kelanjutan Program Benteng, kebijakan ekonomi yang digagas dan digulirkan Sumitro Djojohadikusumo, menteri perdagangan Kabinet Natsir, pada April 1950. Pada hakikatnya, program ini untuk melindungi dan membantu pengusaha-pengusaha pribumi, namun malah jadi ladang korupsi. Ekonomi nasional juga merosot: utang pemerintah meningkat berkali-kali lipat, persediaan uang asing jatuh, dan inflasi melonjak.

Akhirnya sejumlah partai koalisi mulai bersuara menentang kebijakan ekonomi Iskaq. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) menuntut penggantian Iskaq dan Ong Eng Die. Partai Nahdlatul Ulama (NU) mengajukan nota politik ketidakpuasan dengan perkembangan ekonomi dan keuangan serta menuntut perubahan personel kabinet. Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang lebih hati-hati mendapat desakan dari Perti cabang Aceh untuk menuntut pembubaran kabinet. Sementara suara partai Persatuan Indonesia Raya (PIR), pendukung utama kabinet, terpecah.

Karena desakan begitu kuat, pemerintah mengadakan reshuffle kabinet. Iskaq meletakkan jabatan sebagai menteri perekonomian pada 8 November 1954 dan posisinya diganti oleh Ir. Rooseno dari PIR.

Setelah tak lagi menjabat menteri, Iskaq kembali ke aktivitasnya. Ia sempat menjadi pengacara. Namun, di dalam parlemen, Margono Djojohadikusumo (tak berpartai) mendesak pembentukan suatu panitia untuk memeriksa korupsi Iskaq, terutama dalam bidang perdagangan dan impor. Pada 28 Januari 1955, terbentuklah Panitia Pemeriksa dengan beranggotakan Tjikwan, Margono, Jusuf Muda Dalam, dan Siauw Giok Tjhan.

“Walaupun tidak berhasil menyimpulkan pemeriksaannya, panitia ini menyelesaikan sebuah laporan yang merekomendasikan agar Iskaq mempertanggungjawabkan berbagai kasus korupsi di kementeriannya,” tulis Siauw Tiong Djin dalam buku biografi Siauw Giok Tjhan.

Pada saat inilah muncul upaya penangkapannya yang gagal. Pengaruh yang kuat dan kemenangan PNI dalam pemilu membuat Jaksa Agung tak melanjutkan pemeriksaan. Namun Kabinet Ali II hasil pemilu hanya bertahan setahun. Tawar-menawar dalam kabinet dan munculnya pergolakan di berbagai daerah membuat kabinet kembali jatuh. Presiden Sukarno kemudian mengumumkan keadaan darurat perang (SOB) yang memberi jalan bagi militer untuk membuka kembali kasusnya.

Rumah Iskaq Tjokrohadisurjo di Jalan Diponegoro 6 Jakarta Pusat. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Dihadapkan ke Pengadilan

SOB memberi militer kekuasaan penuh untuk mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan sipil. Kaum militer yang sudah lama yakin bahwa penghambat pembangunan adalah para politisi korup, mendapatkan kesempatan untuk menindak mereka. Pada akhir Maret 1957, Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal TNI A.H. Nasution “menginstruksikan Komando Corps Polisi Militer Mayor Sudarno untuk menahan serta memeriksa beberapa bekas menteri dan pejabat-pejabat tinggi,” tulis Soebagijo.

Pada 28 Maret 1957, Pembantu Letnan Polisi Militer M.A. Zallex berdasarkan surat perintah No. 015/III/II-N1/57 menangkap dan menahan Iskaq. Ia kemudian membawa Iskaq ke Hotel Talagasari, Bandung, tempat yang dipakai militer untuk menahan terduga korupsi lainnya.

“Semuanya diperlakukan dengan baik. Tiap orang mendapat satu kamar dengan kamar mandi dan WC serta perlengkapan lainnya. Makanan dan minuman yang disuguhkan cukup membangkitkan selera. Boleh mendengar radio dan membaca surat kabar. Keluarga sewaktu-waktu dapat mengunjungi,” tulis Nalenan.

Selama di Hotel Talagasari, Tim Pemeriksa yang diketuai Mayor R. Nulkan memeriksa Iskaq terkait kebijakan ekonominya sewaktu menjabat menteri perekonomian. Iskaq menjelaskan secara gamblang, sebagaimana yang sudah ia jelaskan kepada Jaksa Agung Soeprapto pada 27 April 1956.

Setelah setengah tahun berada di Hotel Talagasari, status Iskaq diubah oleh Nasution dengan Surat Keputusan KPTS/ PM/052/1957 tanggal 10 Oktober 1957, menjadi tahanan rumah dengan syarat: “dilarang meninggalkan rumahnya dengan alamat Jalan Diponegoro 6 Jakarta, dilarang mengubah kekayaan dan harta benda yang telah terdaftar, dilarang berhubungan dengan orang luar baik langsung maupun tidak, dan dilarang membicarakan perkaranya dengan siapa pun.”

Tiga bulan kemudian, Nasution mengeluarkan Surat Keputusan KPTS/Peperpu/09/1958 yang membebaskan Iskaq dari tahanan rumah dengan syarat tak diperkenakan pergi ke luar negeri dan dilarang melakukan perbuatan yang akan mengacaukan pemeriksaan. Keputusan tersebut menjadikan Iskaq tahanan kota. Pada 11 Maret 1958, Nasution sekali lagi mengeluarkan Surat Keputusan KPTS/ Peperpu/095/1958 yang membebaskan Iskaq.

Pembebasan itu tak berarti Iskaq lolos dari jerat hukum. Pada 14 April 1958, Kejaksaan Agung memeriksa Iskaq dan menemukan bukti baru yang cukup untuk mengajukannya ke pengadilan. Yakni terkait kepemilikan devisa di luar negeri tanpa seizin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) serta tiket pesawat terbang dan kereta api.

Iskaq Tjokrohadisurjo bersama Presiden Sukarno dalam kunjungan kerja di Bukittinggi, Sumatra Barat. (Repro Alumni Desa Bersemangat Banteng).

Membela Diri

Iskaq menjawab semua tuduhan itu dengan menjelaskan satu per satu. Pada 1953, sebelum menjadi menteri perekonomian, sebagai pengacara ia menangani klien di Makassar mengenai perkara klaim asuransi jiwa sebesar f.100.000, yang dibayarkan di Belanda. Ia berhasil dan mendapatkan honor 10 persen atau f.10.000.

Pada akhir masa jabatannya sebagai menteri perekonomian, pertengahan tahun 1954, Iskaq mendapat tugas untuk berunding soal pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan Belanda. Di sana, sahabatnya, Mr. Muchjidin meminjaminya uang f.7.200 untuk mencukupi pembelian Mercedes Benz 300 seharga f.17.200. Merujuk keputusan Dewan Moneter tanggal 26 Juli 1954, Iskaq menganggap mobil itu sebagai devisa bebas yang tak perlu izin LAAPLN, bukan devisa negara.

Iskaq menguatkan argumennya dengan keputusan rapat ke-81 Kabinet Ali I tanggal 4 November 1954 bahwa menteri keuangan mengeluarkan instruksi umum untuk membebaskan presiden, wakil presiden, dan para menteri dari pembayaran Tambahan Pembayaran Impor (TPI) dalam pembelian sebuah mobil di luar negeri yang dibawa ke Indonesia. Jika mobil tersebut dijual, baru dikenakan TPI. Ia juga mengajukan pengalaman menteri agama yang bisa memasukkan mobilnya ke Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Dewan Moneter No. 5/I tanggal 5 Februari 1955.

Sebulan setelah membeli mobil itu, Iskaq memberi tahu Jaksa Agung dalam suatu pembicaraan. Selain itu, kepemilikan devisa di luar negeri yang kemudian dibelikan mobil telah diketahui oleh Inspeksi Keuangan dan dilaporkan ke ketua Dewan Moneter.

Sementara mengenai uang dari Lim Kay sejumlah M$3.363 atau US$1.008 untuk pembelian tiket pesawat Singapura–Jerman Barat pada 1954 dan menerima uang sebanyak f.5.000 dari Seylhouwer di Jerman Barat untuk tiket kereta api dari Jerman Barat ke Paris, Iskaq menganggap aneh dan salah alamat tuduhan itu. Soalnya, kejadian tersebut terjadi pada 1955 ketika ia tak lagi menjabat menteri perekonomian. Menerima sumbangan tak bisa dianggap sebagai penyalahgunaan dan sama sekali tak merugikan pemerintah sehingga tak perlu izin LAAPLN.

Setelah mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum Mr. Baharsan dan pembelaan Iskaq, pada 4 Januari 1960 Hakim Pengadilan Ekonomi Jakarta M. Soebagio memutuskan menolak eksepsi Iskaq dan menjatuhkan vonis hukuman penjara sembilan bulan dan denda Rp200.000, tambahan hukuman kurungan lima bulan jika denda tak dibayar. Terdakwa juga menanggung biaya perkara. Barang bukti berupa mobil Mercedes Benz 300 disita untuk negara.

Iskaq naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Ia berharap pengadilan membebaskannya dari segala tuduhan dan mengembalikan mobil Mercedes Benz 300. Bandingnya ditolak. Tak patah arang, Iskaq meminta grasi kepada presiden. Presiden mengabulkan. Sukarno bagaimanapun mengenal Iskaq sebagai sesama pendiri PNI pada 1927 di Bandung. Berkat grasi tersebut, Iskaq tak harus menjalani hukuman. Tapi ia tak bisa mendapatkan kembali mobilnya, Mercedes Benz 300.*

Majalah Historia No. 2 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6438f873e51864745d49c0ca