Si Huma (Repro Majalah HAI No. 23/VII Edisi 21-27 Juni 1983).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEPUCUK surat berkop Sekretariat Negara diterima Partono awal 1980-an. Surat itu ditandatangani Gufran Dwipayana, kepala Pusat Produksi Film Negara (PPFN) –kini, Produksi Film Negara (PFN)– yang juga asisten menteri sekretaris negara bidang mass media/dokumentasi. Isinya, Partono diminta membantu PPFN dalam membuat film animasi.
Beberapa hari berselang, Partono mendatangi kantor PPFN di Jalan Otto Iskandardinata Raya, bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Sesampai di sana, dia diterima Dwipayana, yang kemudian menjelaskan maksud undangannya dan keinginannya membuat sebuah film animasi yang akan diproduksi dan disokong penuh oleh PPFN.
“Pada pertemuan pertama itu belum tercetus tentang Si Huma. Baru sekadar ngobrol tentang kemungkinan produksi serial animasi di tivi saja,” kenang Partono, saat ditemui di studio animasinya di perumahan Pertamina, Rawamangun, Jakarta Timur. Studio animasi ini menempati sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai galeri lukisan untuk menyimpan karya beberapa pensiunan pegawai Pertamina.
SEPUCUK surat berkop Sekretariat Negara diterima Partono awal 1980-an. Surat itu ditandatangani Gufran Dwipayana, kepala Pusat Produksi Film Negara (PPFN) –kini, Produksi Film Negara (PFN)– yang juga asisten menteri sekretaris negara bidang mass media/dokumentasi. Isinya, Partono diminta membantu PPFN dalam membuat film animasi.
Beberapa hari berselang, Partono mendatangi kantor PPFN di Jalan Otto Iskandardinata Raya, bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Sesampai di sana, dia diterima Dwipayana, yang kemudian menjelaskan maksud undangannya dan keinginannya membuat sebuah film animasi yang akan diproduksi dan disokong penuh oleh PPFN.
“Pada pertemuan pertama itu belum tercetus tentang Si Huma. Baru sekadar ngobrol tentang kemungkinan produksi serial animasi di tivi saja,” kenang Partono, saat ditemui di studio animasinya di perumahan Pertamina, Rawamangun, Jakarta Timur. Studio animasi ini menempati sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai galeri lukisan untuk menyimpan karya beberapa pensiunan pegawai Pertamina.
PPFN sudah lama bergelut dengan dunia animasi. Menurut Giannalberto Bendazzi dalam Animation: A World History, upaya Indonesia membuat animasi lokal sudah dilakukan setelah Indonesia merdeka. Pada awal 1950-an, PFN mengirim Dukut Hendronoto ke Studio Disney untuk magang. Sekembalinya ke Indonesia, dia mulai memproduksi film animasi, berdurasi kurang dari lima menit, umumnya bercorak propaganda (antara lain berjudul Si Doel Memilih untuk kampanye pemilihan umum 1955).
“Harus kita akui, produksi animasi PFN menjadi salah satu bagian penting benang merah sejarah animasi di Indonesia,” tulis Dwi Koendoro, kartunis-cum-animator, dalam “Menghimpun Karya Animasi Indonesia”, dimuat Pekan Komik & Animasi Nasional 98 (6-12 Februari 1998) suntingan Edy Sedyawati cs.
Hendronoto lalu membagi pengetahuannya kepada Saleh Hasan, yang mulai bekerja di PPFN pada bagian produksi film animasi pada 1960, dan artis lainnya di PFN. Namun, PFN fokus pada pembuatan film.
Pada 1970-an, agensi periklanan Anima Indah mulai memproduksi iklan berbentuk animasi untuk sinema dan televisi. Di sini pula Partono mendapatkan ilmu animasi.
Iklan Animasi
Partono belajar membuat karikatur dan kartun secara otodidak. Dia kemudian rajin mengisi halaman-halaman media massa ibukota. Rupanya, karyanya disukai orang. Salah satunya Luqman Latif Keele, seniman berkebangsaan Amerika berdarah Turki yang juga pemilik PT Anima Indah.
Melihat goresan tangan Partono, insting Keele tergerak. Dia pun mengirim surat kepada Partono untuk membuat janji pertemuan.
“Dia mengundang saya untuk bertemu di satu tempat, di Jalan Museum, seberang Monas. Setelah bertemu dan ngobrol beberapa kali, dia meminta saya untuk sekolah animasi di Jepang,” ujar Partono.
Bukan hanya Partono. Keele juga merekrut beberapa artis visual. Di studio Anima Indah, mereka belajar animasi. Mereka juga mendapat kesempatan memperdalam teknis dan seni animasi antara lain dari Clair Weeks, animator Walt Disney Studio dalam tour keliling Asia untuk menggelar workshop.
Pada pertengahan 1970-an, Partono dan beberapa kawannya berangkat ke Tokyo untuk belajar animasi dan desain di studio-studio animasi di sana. Dia menghabiskan waktu empat tahun di sana. “Sembari menggarap beberapa film iklan yang bakal ditayangkan di Indonesia,” tulis Dwi Koendoro. Beberapa karya mereka tayang di TVRI antara lain iklan Tablet Vit C Abriscor, Saringan Air Filopur, Bopen BIC. Film-film iklan itu, “tidak kalah dengan film iklan animasi produksi mancanegara.”
Sepulang dari Negeri Sakura, keahlian Partono dilirik pemerintah. Dia diundang ke PPFN untuk menularkan ilmunya kepada beberapa orang di sana. Begitulah mula hubungannya dengan PPFN terjalin. Hingga akhirnya dia mendapat undangan untuk bertemu dengan Dwipayana.
Setelah bertemu dengan Dwipayana, Partono kerap datang ke PPFN dan berdiskusi dengan petinggi-petinggi PPFN, termasuk Saleh Hasan. “Kami berembug untuk membuat suatu serial siaran lokal dalam wujud film animasi,” ujar Partono. “Saat itu saya masih umur 26.”
PPFN sudah melahirkan film boneka Si Unyil, yang tayang perdana pada 5 April 1981. Kisahnya tentang kehidupan sehari-hari Unyil dan kawan-kawannya yang sarat pesan-pesan pendidikan. Setahun kemudian, lahir film boneka Si Titik yang menitikberatkan pada pesan pelestarian lingkungan. Tokohnya, anak perempuan bernama Titik, digambarkan selamat dari kecelakaan pesawat di tengah hutan lalu berteman dengan binatang-binatang hutan, bahkan mengajari baca-tulis. Si Unyil masih bertahan, sementara Si Titik hanya tayang delapan episode karena dianggap kurang tepat untuk pendidikan jiwa anak karena mengandung unsur khayali. Melalui proyek ini, PPFN ingin jadi yang pertama memproduksi serial animasi kartun di Indonesia.
Namun beberapa kali bertemu, Partono dan orang-orang PPFN belum juga menemukan ide bentuk animasi apa yang akan digarap. Genap sebulan, Dwipayana habis kesabaran. Semua awak proyek film animasi dikumpulkan di PPFN. “Pak Dipo kan dikenal galak tuh. Dia bilang, segera dikerjakan karena presiden juga ingin liat,” kenang Partono.
Produksi
Tugas pun dibagi. Saleh Hasan menentukan karakter dan cerita, sementara Partono di bagian teknis produksi animasi.
Setelah memeras otak, Saleh akhirnya mendapatkan karakter yang diinginkannya: Huma. Bang Aleh, sapaan akrab Saleh Hasan, punya alasan tersendiri. Dia membuat kriteria bahwa “tokoh itu harus mempunyai nama yang tak berbau etnis-kedaerahan, melainkan mewakili nasional,” tulis PFN dalam lamannya.
Laman PFN menjelaskan pertimbangan pemilihan nama itu. Huma berarti ladang atau kebun, menunjukkan corak masyarakat Indonesia yang agraris. Huma juga berarti (Hu)-bungan (Ma)-syarakat dan dalam bahasa Arab Huma berarti “berdua”, “sehingga tujuan memproduksi serial ini tak saja sekedar tontonan, tapi tuntunan.” Tokoh lainnya, Windi, datang dari negeri asing. Kata “Windy” dalam bahasa Inggris berarti “berangin”, yang merepresentasikan Windi berasal dari negeri angin alias khayal.
Dari pilihan karakternya jelas bahwa serial animasi ini menampilkan dua maskot cilik yang “berasal” dari dunia berbeda. Huma berasal dari bumi, sedangkan Windi berasal dari negeri antah berantah. Dari segi penampilan, Huma layaknya anak manusia, sementara Windi memiliki bentuk kepala yang khas, dua mata mengisi ¾ wajahnya, giginya tunggal dan tonggos, plus sejumput rambut kuncung yang berkibar di ubun-ubun. Si Huma anak pintar, Windi anak super.
Partono tak kalah sibuk. Untuk membantu kerja-kerjanya, merekrut banyak orang untuk dilatih menjadi pewarna dan penjiplak gambar. “Waktu itu saya ambil anak dari Solo dan Jogja, dari ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang drop out, 30 orang itu kami tempatkan dalam beberapa rumah di sekitar PFN, dan kami latih,” ujar Partono.
Setelah semua tenaga siap, produksi dimulai. Saleh Hassan terlebih dahulu membuat komik cerita yang akan dijadikan story board. Dari sini, gambar digarap beberapa animator di ruang animasi. Para animator membuat gambar itu di atas kertas khusus.
“Pakai kertas khusus impor dari Jepang. Harganya sekira 1000 rupiah. Dua sisi kertas berbeda: satu sisi kasar seperti kulit jeruk, sisi lainnya halus. Bagian kasar untuk yang sket, dan yang halus untuk yang sudah jadi,” ujar Partono.
Gambar kemudian diwarnai dan dijiplak. Setelah dirasa bagus, gambar berpindah tangan ke para korektor yang meneliti garis dan warna. Setelah dirasa sempurna, barulah masuk ke ruang kamera.
Semua proses itu dikerjakan di PFN. Kala itu PFN, seperti termuat dalam Lima Puluh Tahun Perusahaan Film Negara: 6 Oktober 1945-1995, sudah memiliki kamera khusus animasi Ox-Berry, bahkan menahbiskan diri memiliki studio dan laboratorium film terbesar se-Asia Tenggara. Menurut majalah HAI edisi Juni 1983, kamera ini didatangkan ke Indonesia pada 1971 dengan harga 300 juta rupiah. Dan saat itu, hanya dua negara di Asia yang memiliki kamera animasi Ox-Berry ini: Indonesia dan Iran.
Setelah menjadi animasi, pengisian suara dilakukan. Suara Si Huma diisi Septian Dwi Cahyo, raja pantomim era 1980-an, sementara Windi diisi Agus NS, juara pembaca cerita anak 1982.
Menurut Partono, secara animasi Si Huma disebut limited animation atau animasi terbatas sebab hanya menggunakan 8 hingga 12 gambar per detik. Sementara untuk animasi produksi Walt Disney, disebut full animation, dalam 1 detik memerlukan 18 hingga 25 gambar.
Produksi per episode Si Huma memakan waktu 40 hari. Menurut laporan HAI edisi Juni 1983, Saleh Hassan sudah membuat 26 cerita yang berarti 26 episode. Dari situ, sudah bisa ditentukan besaran biayanya. Jika per episode rata-rata 15 menit masa putar dikalikan 26 episode maka ketemu angka 390 menit. Sebagai perbandingan, pada 1980-an, biaya untuk membuat film biasa (16 mm) untuk 10 menit memerlukan 6 juta rupiah.
“Bisa dikatakan dalam membuat Si Huma kami seperti di-jor saja untuk urusan dana. Berapa pun dikasih oleh Pak Dipo,” ujar Partono, menyebut panggilan akrab Dwipayana.
Serial animasi Si Huma tayang perdana pada 10 Maret 1983, tepat pada Hari Film Nasional. TVRI menanyangkannya dua minggu sekali, dengan durasi 10 menit per episode. Si Huma menjadi produksi pertama serial siaran lokal dalam bentuk animasi yang ditayangkan TVRI.
Sarat Pesan
Di tepi hutan, Huma yang bertelanjang kaki duduk di bawah pohon rindang. Di pangkuannya, terdapat sebuah buku dengan gambar burung garuda –lambang negara– lengkap dengan keterangan sila pertama hingga kelima. Usai membaca, ia melamun. Dalam lamunannya, ia dikejar seekor burung garuda raksasa. Ia berlari masuk hutan. Burung garuda menukik tajam dan dalam sekejap tubuh Huma sudah dalam genggaman. Garuda raksasa tadi kembali menjulang.
Setelah terbang beberapa saat, garuda itu melemparkan Huma ke atas pohon tinggi. Huma kebingungan. Ia melongok ke bawah. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, muncullah Windi dengan penampilan khasnya.
“Windi, tolong aku. Aku dibawa burung raksasa ke atas sini!,” teriak Huma dari atas pohon.
Windi, digambarkan bermata besar dan hampir memenuhi ¾ wajahnya, segera menaiki kuda lumping berwarna putih yang bisa terbang. Ia pun melesat ke atas pohon, menjemput Huma.
“Ternyata si burung garuda tadi mempertemukan kita setelah lama berpisah ya Windi. Hebat ya dia,” ujar Huma kegirangan.
Dalam “penerbangan” kedua anak ini berselisih mengenai arah tujuan mereka. Terjadi tarik-menarik tali kendali kuda lumping bisa terbang itu. Tiba-tiba dari awan putih, muncul seorang tua berpakaian putih.
“Jangan bertengkar. Kalian harus bersatu. Jangan bercerai-berai,” demikian wejangan kepada dua bocah tadi. Setelah memberikan wejangan, kakek misterius berjanggut putih itu lenyap. Akhirnya, mereka pun kembali akur.
Kisah di atas adalah salah satu episode serial film animasi Si Huma, yang berjudul “Sang Garuda”. Umumnya cerita anak-anak, film animasi ini penuh muatan pesan moral. Yang membedakannya dari film-film animasi lainnya, Si Huma sedari awal diplot sebagai “penjaga gawang” ideologi Pancasila untuk anak-anak.
“Berangkat dari prinsip bangsa Indonesia, bahwa “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, itu lah yang menjadi dasar cerita setiap pertualangan si Huma dan Windi. Selain itu, tema-tema film animasi si Huma juga erat hubungannya dengan pengenalan Pancasila, namun dikemas layaknya kehidupan kita sehari-hari,” tulis PFN dalam lamannya.
Pada tahun-tahun itu pemerintah memang lagi getol melaksanakan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ke semua lapisan masyarakat melalui penataran, mata pelajaran, hingga lomba-lomba. Untuk anak-anak, film adalah sarana yang tepat. Tak heran dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Keempat (1984/1985-1988/1989) disebutkan film boneka Si Unyil dan film animasi Si Huma akan dilanjutkan dan dimanfaatkan lebih lanjut demi penanaman nilai-nilai P-4 kepada generasi muda. Dari sini kentara bahwa melalui film animasi pun, indoktrinasi disusupkan.
Kritik kemudian menghampiri Si Huma. Menurut jurnal East Asian Cultural Studies, Vol. 26-28, tahun 1987, para pemimpin berpendapat film boneka Si Unyil bisa dikategorikan sebagai acara yang sesuai dengan norma-norma sosial. Sebaliknya, Si Huma harus diganti dengan program lain dengan alasan film itu tidak logis karena memiliki watak orang dewasa yang menggurui. Jika hendak dilanjutkan, Si Huma harus benar-benar berubah. Menurut mereka, kartun anak-anak seperti Si Huma harus berhubungan dengan persoalan yang dimengerti anak-anak, misalnya, cerita tentang sebuah keluarga miskin, anak-anak terlantar, dan anak-anak yang menjual koran. Dengan demikian, anak-anak bisa melihat dan mempelajari apa upaya yang dilakukan atau bagaimana mereka bertahan hidup, karena mereka berasal dari keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.
“Memang diakui banyak juga kritik sih, karena terlalu menggurui. Huma itu, kalo kata orang luar, menggurui soal Pancasila,” ujar Partono yang pensiun sebagai pegawai negeri pada 2004.
Film animasi Si Huma tak bertahan lama. Tak seperti Si Unyil yang bertahan lebih dari satu dekade, Si Huma hanya bertahan dua tahun karena kurang mendapat sambutan.
Toh, kendati hidupnya singkat, Si Huma ikut memberi warna bagi perjalanan animasi Indonesia. “Harus kita akui, produksi animasi PFN menjadi salah satu bagian penting benang merah sejarah animasi di Indonesia,” tulis Dwi Koen.*