Menyelami Penguasa Laut Selatan

Mitos Ratu Kidul masih diyakini masyakarat Jawa hingga kini. Bagaimana cerita Ratu Kidul bermula.

OLEH:
Aryono
.
Menyelami Penguasa Laut SelatanMenyelami Penguasa Laut Selatan
cover caption
Ilustrasi prosesi labuhan dalam buku berjudul Mededelingen van wege het nederlandsche zendelinggenootschap, terbit tahun 1879.

SENAPATI memasuki samudera. Dia memusatkan pikiran, mengheningkan cipta, bersemedi untuk memohon petunjuk Yang Mahatahu. Badai datang. Angin ribut. Petir menyambar. Laut bergolak.  

Nyai Roro Kidul beranjak dari peraduan. Di halaman dia seorang manusia berdiri di tepi laut. Dia turun hingga ke pinggir laut dan mendekati Senapati.  

“Wahai Sang Raja, lenyapkanlah huru-hara yang membuat Laut Selatan bergolak. Segala isi laut ini Tuanlah pemiliknya. Mengapa Tuan merusak? Jika berkenan, Paduka dapat memerintah sekehendak Paduka. Bila maju perang, perintahkanlah makhluk halus dan jin untuk ikut mengalahkan musuh tuan, yaitu para raja di Tanah Jawa.”

Ucapan Roro Kidul mengena di hati Senapati. Maka, segalanya pulih seperti sedia kala. Roro Kidul segera pulang. Senapati mengikuti. Tiba di keraton, Roro Kidul dan Senapati duduk bersama. Keselarasan hati ditembangkan. Senapati memandang, Nyai mengerling. Mereka pun bercinta. Setelah tiga hari tiga malam, Senapati pulang ke Mataram.

SENAPATI memasuki samudera. Dia memusatkan pikiran, mengheningkan cipta, bersemedi untuk memohon petunjuk Yang Mahatahu. Badai datang. Angin ribut. Petir menyambar. Laut bergolak.  

Nyai Roro Kidul beranjak dari peraduan. Di halaman dia seorang manusia berdiri di tepi laut. Dia turun hingga ke pinggir laut dan mendekati Senapati.  

“Wahai Sang Raja, lenyapkanlah huru-hara yang membuat Laut Selatan bergolak. Segala isi laut ini Tuanlah pemiliknya. Mengapa Tuan merusak? Jika berkenan, Paduka dapat memerintah sekehendak Paduka. Bila maju perang, perintahkanlah makhluk halus dan jin untuk ikut mengalahkan musuh tuan, yaitu para raja di Tanah Jawa.”

Ucapan Roro Kidul mengena di hati Senapati. Maka, segalanya pulih seperti sedia kala. Roro Kidul segera pulang. Senapati mengikuti. Tiba di keraton, Roro Kidul dan Senapati duduk bersama. Keselarasan hati ditembangkan. Senapati memandang, Nyai mengerling. Mereka pun bercinta. Setelah tiga hari tiga malam, Senapati pulang ke Mataram.

Lukisan Nyai Roro Kidul karya Basoeki Abdullah.

Legitimasi Politik

Percintaan Senapati, pendiri dinasti Mataram, dengan Nyai Roro Kidul itu terekam dalam Babad Tanah Jawi edisi Balai Pustaka atau dikenal sebagai Babad Mayor Surakarta yang disusun Yasadipura I pada dekade pertama abad ke-19.

Babad Tanah Jawi merangkum sejarah Jawa untuk menunjukkan kedudukan Mataram sebagai penerus sah dari semua kerajaan pendahulunya. Versi pertama Babad ditulis atas perintah Sultan Agung tahun 1626. Ia kemudian direvisi tahun 1633 setelah kegagalan Sultan Agung menyerbu Batavia pada 1629.  

“Penulisan ulang cerita itu diperlukan untuk menjelaskan peristiwa itu sedemikian rupa sehingga tidak merusak reputasi Susuhunan tapi bahkan meningkatkannya,” tulis Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.

Untuk mengabadikan percintaan itu, Sultan Agung membuat tarian bedhaya. Setelah Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram pada 1755, Keraton Yogyakarta mendapat bagian bedhaya semang dan Keraton Surakarta bedhaya ketawang. Tarian ini menjadi sakral dan wajib saat upacara penobatan raja baru. Di kalangan masyarakat keraton terdapat kepercayaan bahwa saat bedhaya ketawang dipergelarkan, Ratu Kidul hadir bahkan ikut menari.

Hubungan dengan Ratu Kidul kemudian memberikan penguasa sumber legitimasi untuk menduduki takhta Jawa. Tak heran jika Babad itu terus ditulis ulang.  

Berbagai naskah Jawa lainnya juga menempatkan pentingnya persekutuan dengan Ratu Kidul. Misalnya, Serat Surya Raja yang ditulis putra mahkota Yogyakarta yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono II awal 1770 TJ (Maret 1774). Menurut M.C. Ricklefs dalam Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749–1792, putra mahkota mengidentifikasi diri dengan pangeran mistik Pujakusuma, yang dalam serat mempersatukan kerajaan. Tampaknya, ini ada kaitannya dengan rencana Sultan turun takhta, yang urung karena Belanda tak memberi restu.

Babad Diponegoro, yang dibuat ketika Pangeran Diponegoro diasingkan di Manado, Sulawesi, pada 1832–1833, juga menyinggung pertemuan dengan Ratu Kidul pada medio 1826. Namun, Diponegoro menolak tawaran bantuan pasukan untuk melenyapkan Belanda.  

“Sebagai muslim yang saleh, dia menaruh kepercayaan kepada Allah,” ujar sejarawan Peter B.R. Carey melalui surelnya kepada Historia. “Jadi sama sekali tidak patut Diponegoro meminta pertolongan dari dunia gaib.”  

Kendati Diponegoro seolah hendak mendemitologi Ratu Kidul, toh mitos Ratu Kidul tak serta-merta menghilang dari dunia batin orang Jawa. Ia tetap eksis.

Patung Nyai Roro Kidul sedang mengendarai Nogowarno, makhluk mistis yang berbentuk kuda sembrani berkepala naga, koleksi Museum Nasional Jakarta. (Aryono/Historia.ID).

Putri Sunda?

Asal-usul Ratu Kidul terus dikaji. Beragam versi muncul mengenai siapa sebenarnya Ratu Kidul ini. Namun, umumnya merujuk pada seorang putri dari Pajajaran di Jawa Barat.

Dalam Babad Tanah Jawi, percintaan Senapati-Ratu Kidul tidak muncul tiba-tiba. Pada awal naskah, Ratu Kidul sudah muncul sebagai Cemara Tunggal, yang dalam realitas adalah seorang putri dari Kerajaan Pajajaran.

Cemara Tunggal, yang mampu beralih bentuk antara pria dan perempuan, meninggalkan ibukota karena menolak menikah. Dalam inkarnasinya sebagai seorang bijak (ajar), dia meramal Raden Susuruh yang tampil dalam Babad sebagai pendiri Majapahit (kemudian dikenal sebagai Brawijaya) akan memerintah seluruh Jawa dan siapa pun yang memerintah Jawa akan menikahinya.

“Perjanjiannya dengan putra mahkota yang digulingkan dari Pajajaran yang menjadi pendiri dinasti Majapahit adalah prototipe dari kesepakatan yang dicapai dia [Ratu Kidul] dengan Senapati sebagai pendiri dinasti Mataram,” tulis J.J. Ras dalam “The Genesis of the Babad Tanah Jawi: Origin and Function of the Javanese Court Chronicle”, dimuat Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 143 (1987).  

Menurut Robert Wessing, karena Raden Susuruh berasal dari Jawa Barat, sumber spiritualnya berbaring di sana, dalam pengertian rohani Sunda lebih unggul dari Jawa. Bagi orang Jawa, Pajajaran memiliki makna spiritual tertentu. Pada saat yang sama, garis penguasa Majapahit, dan juga Mataram II, lebih tua dan lebih tinggi dari Pajajaran. Maka, keduanya disatukan agar muncul keseimbangan antara Jawa dan Sunda, duniawi (lahir) dan rohani (batin).  

“Sementara Mataram II yang kini Jawa mungkin secara politik berkuasa, Sunda adalah sumber kekuatan spiritual dan juga pasangan-spiritual penguasanya, Cemara Tunggal dan Nyai Roro Kidul,” tulis Wessing dalam “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul”, dimuat Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997.

Ras menemukan representasi serupa dalam naskah-naskah kuno dari kerajaan lain di Indonesia. Dalam Pararaton, misalnya, Ken Dedes, putri dari biksu Mahayana, digambarkan sebagai ardhanareswari, setengah lelaki setengah perempuan, penyatuan Siva-Durga.  

“Hal ini jelas bahwa Ratu Kidul sebagai penguasa alam roh merupakan representasi dari Durga, pasangan Siva, sedangkan Senapati, sebagai akibat dari pernikahannya dengan dia, ditempatkan di posisi Siva (Batara Guru), mirip dengan Angrok di Pararaton,” tulis Ras.

Prosesi labuhan di pantai sebagai persembahan kepada Nyai Roro Kidul.

Labuhan

Bagi Wessing, asal mula penghormatan untuk Ratu Kidul tidak jelas. Ada indikasi keberadaannya di Majapahit pada abad ke-14, di mana Raja Hayam Wuruk secara teratur membuat perjalanan suci ke pantai selatan. Kerajaan Pajang, yang kemudian digantikan Mataram II, memiliki keterkaitan dengan dewa sungai. Pemujaan roh laut, baik pribumi atau Islam, juga eksis di seluruh Indonesia. Lebih jauh lagi, Wessing menyebut mitos serupa di India, Tiongkok, dan daratan Asia Tenggara. Maka, bisa disimpulkan bahwa sosok Ratu Kidul dipengaruhi unsur-unsur dari berbagai sumber.  

“Dia adalah penguasa dunia roh Jawa dan, sebagai Nagini, pemilik tanah dan intisari kesuburannya,” tulis Wessing.

Sementara Ras menunjukkan bahwa sebuah ritual khusus telah dilakukan dari dahulu kala di pantai Parangtritis, selatan Yogyakarta. Benda-benda tertentu dilemparkan ke laut sebagai persembahan (labuhan) untuk Ratu Kidul –sebuah ritual yang masih bertahan hingga kini.

“Hal ini lebih dari mungkin bahwa ritual pengorbanan ini untuk menghormati Ratu Kidul adalah lebih tua, sebagai sebuah tradisi, dari kerajaan Mataram,” tulis Ras.*

Majalah Historia No. 27 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66754381dac161164da0532d