Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tempat eks Masyumi mengelola dakwah, berlokasi di Jalan Kramat Raya No. 45, Jakarta Pusat. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
MUKTAMAR di Malang, 7 November 1968, sudah akan berakhir ketika panitia menerima telegram dari Istana Negara. Sekretaris Negara Alamsjah Ratu Perwiranegara, pengirim telegram, memaklumatkan pesan pemerintah: menolak pemilihan Mohamad Roem sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Tak pelak seluruh peserta muktamar kecewa.
Sebelumnya, harapan merehabilitasi Partai Masyumi terkubur karena tak mendapat restu dari militer. Pembentukan partai Islam baru mendapat lampu hijau asalkan tak melibatkan bekas tokoh-tokoh Masyumi dalam jajaran pimpinan. Demikianlah, pada 20 Februari 1968, Parmusi didirikan di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua aktivis Muhammadiyah. Tak senang, para bekas aktivis Masyumi menyusun rencana untuk mengambil alih kepemimpinan partai melalui muktamar pertama di Malang. Dalam muktamar, peserta menjatuhkan pilihan kepada Roem, yang dianggap tak sekeras Mohammad Natsir.
“Fakta bahwa Roem termasuk pemimpin kelas satu di Masyumi menyebabkan kemoderatannya yang bagaimanapun tidak dapat diterima oleh ABRI,” tulis Anwar Harjono, ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), sayap pemuda Masyumi, dalam biografinya Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan yang ditulis Lukman Hakiem.
MUKTAMAR di Malang, 7 November 1968, sudah akan berakhir ketika panitia menerima telegram dari Istana Negara. Sekretaris Negara Alamsjah Ratu Perwiranegara, pengirim telegram, memaklumatkan pesan pemerintah: menolak pemilihan Mohamad Roem sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Tak pelak seluruh peserta muktamar kecewa.
Sebelumnya, harapan merehabilitasi Partai Masyumi terkubur karena tak mendapat restu dari militer. Pembentukan partai Islam baru mendapat lampu hijau asalkan tak melibatkan bekas tokoh-tokoh Masyumi dalam jajaran pimpinan. Demikianlah, pada 20 Februari 1968, Parmusi didirikan di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua aktivis Muhammadiyah. Tak senang, para bekas aktivis Masyumi menyusun rencana untuk mengambil alih kepemimpinan partai melalui muktamar pertama di Malang. Dalam muktamar, peserta menjatuhkan pilihan kepada Roem, yang dianggap tak sekeras Mohammad Natsir.
“Fakta bahwa Roem termasuk pemimpin kelas satu di Masyumi menyebabkan kemoderatannya yang bagaimanapun tidak dapat diterima oleh ABRI,” tulis Anwar Harjono, ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), sayap pemuda Masyumi, dalam biografinya Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan yang ditulis Lukman Hakiem.
Penolakan itu menjadi titik mula Orde Baru menghabisi orang-orang eks Masyumi di gelanggang politik. Tak mendapat restu pemerintah, Parmusi kembali memakai struktur kepemimpinan sebelum muktamar. Toh, pengaruh tokoh-tokoh Masyumi belum sepenuhnya hilang. “Terutama setelah diloloskannya undang-undang pemilihan umum pada pengujung 1969, mereka makin lama makin menoleh ke bekas tokoh-tokoh Masyumi, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah, untuk memperoleh dukungan bagi Parmusi,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia.
Selain menduduki posisi kepemimpinan partai di daerah-daerah, bekas tokoh-tokoh Masyumi masuk dalam daftar kandidat untuk pemilihan umum. Pukulan telak terjadi pada 1971 ketika Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengumumkan 2.500 nama eks Masyumi/PSI yang tidak boleh dipilih dalam pemilu. Ketika juru bicara Parmusi di daerah-daerah makin kritis terhadap pemerintah, pemerintah mulai mengintervensi partai. Pada Oktober 1970, John (Jaelani) Naro, salah seorang ketua partai yang dekat dengan Ali Moertopo, mengambil alih kepemimpinan Parmusi. “Konflik internal” ini memudahkan pemerintah untuk ikut campur. M.S. Mintaredja, salah seorang menteri dalam kabinet Soeharto, kemudian ditunjuk sebagai ketua umum.
Dalam pemilihan umum 1971, perolehan kursi Parmusi tidaklah buruk. Ia menempati urutan ketiga di bawah Golkar dan Partai NU. Melihat kekuatan politik Islam bisa menjadi ancaman, pada 1973 pemerintah menerapkan kebijakan penggabungan dan penyederhanaan partai politik. Parmusi melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan orang-orang eks Masyumi makin kehilangan panggung.
Sadar Orde Baru tak berniat memberi tempat, para tokoh Masyumi memutuskan untuk menapaki aktivitas lainnya, yakni berdakwah. Dalam kata-kata Natsir: “Sebelumnya kita melakukan dakwah melalui politik, tapi sekarang kita menjalankan politik melalui dakwah.”
Menyusun Strategi Dakwah
Pada 26 Februari 1967, pengurus Masjid Al Munawaroh, Kampung Bali, Tanah Abang, menggelar acara halalbihalal. Panitia mengundang ulama-ulama se-Jakarta. Natsir, yang baru saja dibebaskan dari tahanan, hadir. Begitu pula sejumlah tokoh eks Masyumi lainnya.
Dalam musyawarah di sesela acara, mereka sepakat membentuk yayasan yang kemudian didirikan pada Mei 1967 dan diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Natsir diangkat menjadi ketuanya.
“Keputusan mantan pemimpin Masyumi untuk membentuk DDII merupakan pilihan strategis untuk melepaskan diri dari kebuntuan politik dan pada saat yang sama menghindari tekanan Soeharto,” tulis Noorhaidi Hasan dalam Laskar Jihad.
Berdirinya DDII kembali menarik sejumlah organisasi massa Islam yang tak lagi punya naungan. Persatuan Islam (Persis), misalnya, kembali menjadi pemasok kader untuk digembleng menjadi dai. Menurut Tiar Anwar Bachtiar, ketua Pemuda Persis, selepas Masyumi bubar ada usulan dari anggota Persis untuk mendirikan partai bernama Jamaatul Muslimin. Niat itu urung. “Untuk menyelamatkan organisasi (Persis) agar tidak dibubarkan seperti Masyumi dengan tidak terlibat lagi dalam politik selama Orde Baru,” ujarnya.
DDII bermarkas di Jalan Kramat Raya No 45. Agenda utama DDII adalah menjadi organisasi pendidik calon dai. Anak-anak muda lulusan pesantren dari berbagai daerah diundang. “Pak Natsir merekrut tamatan-tamatan pesantren dari Madura, Nusa Tenggara Barat, Surabaya, lalu mendidik mereka di Darul Falah di Ciampea, Bogor,” ujar Amlir Syaifa Yasin, sekretaris umum DDII.
Darul Falah adalah pesantren yang dikonsep menjadi sekolah peternakan dan pertanian. Sejak Orde Lama, Darul Falah menjadi pusat pendidikan kader Masyumi, terutama yang tergabung dalam Serikat Tani Islam Indonesia (STII).
“Eks anggota Masyumi daerah juga diminta mengirim santri ke Bogor. Tidak langsung dikirim untuk jadi santri. Ada juga yang diajak ke sana untuk belajar bertani,” ujar Cholil Badawi, bekas anggota Masyumi yang kini menjadi anggota Dewan Pembina DDII.
Selain mengundang calon santri, DDII juga menyasar tokoh-tokoh muda yang menonjol dalam soal pemikiran Islam. Umumnya pelatihan dipusatkan di gedung Panitia Haji Indonesia, Kwitang, Jakarta Pusat. “Pak Natsir sendiri jadi mentor bersama Prawoto Mangkusasmito, M. Rasjidi, dan Osman Raliby,” ujar Amlir.
Imaduddin Abdurrahim, seorang sarjana teknik elektro Institut Teknologi Bandung (ITB), merasakan sentuhan pendidikan Islam ala Natsir. Imaduddin, yang menjadi sekretaris jenderal Federasi Organisasi Mahasiswa Islam Internasional (IIFSO), lantas menggagas Latihan Mujahid Dakwah (LMD) di Masjid Salman ITB pada 1974. Dari sinilah lahir kader-kader yang menjadi dai di kampus-kampus.
Untuk mempercepat pengaruhnya di kampus-kampus, DDII mensponsori proyek pembangunan masjid dan pusat Islam di kampus-kampus.
Dukungan Timur Tengah
Sambil mendidik kader, Natsir membina hubungan dengan lembaga-lembaga Islam internasional. Kucuran dana dari negara-negara Timur Tengah pun mengalir deras ke DDII. Sebagian bantuan berwujud beasiswa. “Sewaktu Pak Natsir mendapat Jaizah Faisal, Raja Faisal menawarinya hadiah. Pak Natsir cuma minta anak-anak Indonesia diberi beasiswa belajar di Saudi,” kata Amlir.
Sejak 1975, DDII telah menerima puluhan hibah dari Arab Saudi setiap tahunnya bagi generasi muda Indonesia yang ingin mempelajari Islam di universitas Timur Tengah. Menurut Imdadun Rahmat, hingga 2004, DDII telah mengirim 500 mahasiswa ke Timur Tengah dan Pakistan. “Mereka kebanyakan direkrut dari kader organisasi-organisasi Islam modernis yang secara struktural maupun kultural terkait dengan Masyumi,” tulis Imdadun Rahmat dalam Arus Baru Islam Radikal.
Perubahan peta politik di Timur Tengah akibat keberhasilan Revolusi Iran berdampak pada kegiatan dakwah DDII. Sebagai agen utama dari kampanye melawan Syiah di Indonesia, DDII menerima kucuran dana dari Arab Saudi. Mereka menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku terbitan Ikhwanul Muslimin –organisasi perkumpulan muslim yang didirikan Hassan al-Banna di Mesir– dan aliran Wahabi.
Mereka juga bisa membangun masjid, pesantren, dan sekolah tinggi di berbagai kota –Natsir menyebut ketiganya sebagai “tiga pilar dakwah”. Begitu juga pembangunan panti asuhan, rumah sakit, hingga distribusi terjemahan Al-Qur’an dan pelatihan dai. DDII segera menempati posisi penting dalam peta organisasi Islam di Indonesia.
“Dalam negosiasi untuk dukungan keuangan, ia menjadi jembatan antara Arab Saudi dan sejumlah organisasi muslim, terutama dari ujung modernis seperti Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persis,” tulis Noorhaidi. “Terlepas dari perbedaan doktrin, hal yang sama berlaku untuk Nahdlatul Ulama yang tradisional. Bantuan keuangan Timur Tengah terutama membanjiri pesantren terkenal melekat pada organisasi tersebut.”
Kembali ke Politik
Sementara dakwah di kampus-kampus tumbuh subur, tak demikian halnya dalam percaturan politik. Para pemimpin Masyumi tak mau berkompromi dengan pemerintah. “Nyaris tak seorang pun mantan pemimpin Masyumi yang bersedia duduk di lembaga-lembaga resmi bentukan Orde Baru,” tulis Remy Madinier, sejarawan Prancis, dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral.
Meskipun demikian, elemen-elemen Islam sanggup menekan pemerintah dalam perdebatan utama, misalnya dalam penyusunan undang-undang selama Orde Baru. “DDII menjadi pencetus kampanye-kampanye pengerahan umat secara besar-besaran untuk menekan rezim penguasa agar memberi konsesi penting: Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, peraturan pengajaran agama di sekolah tahun 1988, dan terutama undang-undang tahun 1989 yang memberi kewenangan besar pada Pengadilan Agama Islam,” tulis Madinier.
Kondisi kelompok Islam yang dikucilkan akibat “Islam-fobia” di kalangan militer menimbulkan keprihatinan Natsir. Dia menyebut rezim memperlakukan muslim layaknya “kucing kurap”. Namun, ketimpangan kekuasaan dalam politik nasional tak urung membuat Natsir turun gunung. Dia merasa perlu mendukung ketua PPP yang baru, Ismail Hasan Metareum, menjelang pemilu 1992.
“Pak Natsir tulis selebaran bunyinya ‘Saya Mohammad Natsir dengan ini mendukung PPP’,” kenang Amlir. “Lima rim ada. Jaringan DDII diminta memperbanyak dan menyebarkannya ke daerah-daerah.”
Dukungan Natsir mendongkrak suara PPP. Tetapi yang terpenting, dukungan Natsir menjadi isyarat bagi para pengikutnya untuk kembali berpolitik. Sejak itu, banyak orang yang sebelumnya enggan masuk partai mulai berbondong-bondong masuk PPP.
Tumbangnya Orde Baru pada 1998 memberi angin segar. Dalam musyawarah di kantor DDII, berbagai organisasi masyarakat yang tergabung dalam Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) –dulunya Forum Ukhuwah Islamiyah, didirikan Natsir pada 1989– mendirikan sebuah partai yang disebut-sebut sebagai “pewaris Masyumi”: Partai Bulan Bintang (PBB).
Sementara jaringan dakwah kampus, yang tergabung dan berafiliasi dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), membentuk Partai Keadilan –kini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Orang-orang yang tadinya dibesarkan dengan buku-buku Ikhwanul Muslimin lari ke PKS. Yang masih punya visi seperti Pak Natsir, yang sifatnya agak inklusif, mungkin masuk PBB,” tutur Amlir.
Menyerukan Jihad
Represi negara mendorong DDII mengambil jalan radikal. DDII menjalin hubungan erat dengan organisasi baru yang berdiri pada 1987 bernama Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) –mulanya didirikan sebagai organisasi pendukung gerakan intifada Palestina.
Paham yang dianut para aktivis DDII ini mewarnai “jihad” yang mereka tempuh dalam melawan kristenisasi dan liberalisasi. Tak jarang apa yang mereka pahami sebagai jihad berarti melawan lewat cara-cara kekerasan. Seruan jihad begitu kentara dalam konflik-konflik di berbagai daerah pascareformasi 1998.
Ketika Maluku diguncang konflik sosial bernuansa agama, Ja’far Umar Thalib, pendiri Laskar Jihad, menyerukan “solidaritas sesama muslim”. Thalib, yang mengaku sebagai salafi, dulunya salah satu penerima beasiswa DDII untuk belajar di LIPIA dan Arab Saudi. Dia punya banyak pengikut. Kepada mereka, dia menyerukan jihad melawan Kristen. Fatwa jihad diikuti banyak relawan. Jamaah Islamiyah dan kelompok radikal lainnya seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mengirim pasukan.
DDII sendiri membentuk Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) di berbagai kota. Tujuannya menghimpun dana bantuan kemanusiaan bagi korban konflik. Menurut Zachary Abuza, doktor dari Trinity College, dalam Militant Islam in Southeastt Asia: Crucible of Terror, dana itu juga dipakai membiayai aktivitas para laskar Jamaah Islamiyah, yang didirikan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.
Ketika konflik sosial mereda, gerakan diarahkan untuk menggapai cita-cita negara Islam. Upaya ini berjalan seiring dengan upaya menerapkan syariat Islam yang dilakukan lewat jalur parlemen, perjuangan yang gagal dilakukan Masyumi dalam sidang BPUPKI maupun Konstituante. Setidaknya peraturan daerah bernuansa syariat Islam marak di sejumlah daerah, dari Aceh sampai Garut, dari Serang sampai Lombok.*