Meraba Ramalan Jayabaya

Sejumlah ramalan kerap dikaitkan dengan nama Jayabaya. Perubahan dan perkembangan ramalan dibikin sesuai kondisi zaman. Akan datangkah Ratu Adil?

OLEH:
Yudi Anugrah Nugroho
.
Meraba Ramalan JayabayaMeraba Ramalan Jayabaya
cover caption
Petilasan Prabu Jayabaya di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.

SUATU waktu Prabu Jayabaya mengunjungi Ki Ajar Subrata, seorang pandita di Gunung Padang. Begitu melihat tujuh macam sajian yang disuguhkan, seketika Sang Prabu menikamkan kerisnya ke tubuh Ki Ajar. Dalam benak Prabu Anom berbentur seribu tanya tentang perbuatan ayahnya terhadap Ki Ajar, mertuanya. Sesampai di istana Kadhiri, Sang Prabu sudi memberi penjelasan. 

“Ki Ajar yang telah kubunuh lancang membuka rahasia ramalan Kitab Musarar, dengan menggunakan pralambang tujuh hidangan dan satu murid perempuannya sebagai sajian. Dia berdosa terhadap Pandita Ngali Samsujen dari Negeri Rum, guruku juga gurunya,” ujar Sang Prabu. 

Sang Prabu menceritakan bahwa suguhan itu merupakan tanda peralihan zaman di Tanah Jawa. Hal itu berlangsung setelah runtuhnya Jenggala, Kadhiri, Ngurawan, dan Singasari. Hidangan kunyit satu rimpang menjadi tanda berlangsungnya masa Pajajaran, juwadah (nasi beras ketan) satu takir untuk masa Majapahit, melati satu contong (Demak), serta gedok (talas hutan) beserta batangnya (Pajang) dan bawang putih satu talam (Mataram). Kemudian Mataram terpecah ditandai dengan darah satu pitrah (wadah sejenis takir, terbuat dari daun pisang). 

Sementara sajian berupa murid perempuan Ki Ajar, Endang, menandakan zaman semakin menggila. Peralihan zaman akan berlangsung hingga kedatangan Satria Piningit, seorang raja dan waliullah (wakil Tuhan). Masa itu ditandai dengan suguhan bunga pacar satu contong (terbuat dari daun, berbentuk kerucut). 

SUATU waktu Prabu Jayabaya mengunjungi Ki Ajar Subrata, seorang pandita di Gunung Padang. Begitu melihat tujuh macam sajian yang disuguhkan, seketika Sang Prabu menikamkan kerisnya ke tubuh Ki Ajar. Dalam benak Prabu Anom berbentur seribu tanya tentang perbuatan ayahnya terhadap Ki Ajar, mertuanya. Sesampai di istana Kadhiri, Sang Prabu sudi memberi penjelasan. 

“Ki Ajar yang telah kubunuh lancang membuka rahasia ramalan Kitab Musarar, dengan menggunakan pralambang tujuh hidangan dan satu murid perempuannya sebagai sajian. Dia berdosa terhadap Pandita Ngali Samsujen dari Negeri Rum, guruku juga gurunya,” ujar Sang Prabu. 

Sang Prabu menceritakan bahwa suguhan itu merupakan tanda peralihan zaman di Tanah Jawa. Hal itu berlangsung setelah runtuhnya Jenggala, Kadhiri, Ngurawan, dan Singasari. Hidangan kunyit satu rimpang menjadi tanda berlangsungnya masa Pajajaran, juwadah (nasi beras ketan) satu takir untuk masa Majapahit, melati satu contong (Demak), serta gedok (talas hutan) beserta batangnya (Pajang) dan bawang putih satu talam (Mataram). Kemudian Mataram terpecah ditandai dengan darah satu pitrah (wadah sejenis takir, terbuat dari daun pisang). 

Sementara sajian berupa murid perempuan Ki Ajar, Endang, menandakan zaman semakin menggila. Peralihan zaman akan berlangsung hingga kedatangan Satria Piningit, seorang raja dan waliullah (wakil Tuhan). Masa itu ditandai dengan suguhan bunga pacar satu contong (terbuat dari daun, berbentuk kerucut). 

Narasi tersebut merupakan rangkaian episode yang tertuang dalam Serat Jayabaya, ditulis seorang pujangga istana yang tak diketahui namanya. Adalah J.J. de Hollander yang kali pertama memuatnya dalam Handleiding bij de beoefening der Javaansche Taal-en Letterkunde tahun 1848. Serat ini kemudian menarik perhatian sarjana Belanda lainnya. 

Serat Jayabaya hanyalah satu dari sekian banyak versi apa yang disebut ramalan atau pralambang Jayabaya. Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, terdapat banyak versi mengenai pralambang Jayabaya, yang tercantum dalam tulisan maupun masih tradisi lisan, namun “umumnya mempunyai inti yang sama: suatu ramalan akan kedatangan Ratu Adil,” tulisnya dalam “Catatan tentang Segi-segi Mesianistis dalam Sejarah Indonesia”, diterbitkan Lembaran Sejarah No. 7, Juni 1971. Menurut Sartono, selain bersifat spekulatif-teoritis, pralambang Jayabaya merupakan kekuatan praktis yang hidup dalam masyarakat. 

Lontar Kakawin Bharatayuda. (Eka343/Wikimedia Commons).

Ramalan dan Sang Prabu 

Raja Jayabaya, bergelar Sri Maharaja Sri Warmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhaya-Lanchana, berkuasa di Kadhiri pada 1130–1160. Pada masanya, Panjalu yang beribukota di Kadiri atau Daha mencapai puncak kejayaan. Dia juga berhasil menaklukkan Jenggala, yang dulunya satu-kesatuan di bawah kerajaan Kahuripan. 

Untuk melegitimasi kekuasaannya, Jayabaya meminta para pujangga mengubah epik perang saudara itu dalam Kakawin Bharatayuda. Kakawin ini mengadaptasi Mahabarata yang mengisahkan perang saudara antara Pandawa dan Kurawa. “Karya sastra Bharatayudha ditulis oleh Mpu Sedah pada Jumat 6 September 1157, diselesaikan oleh Mpu Panuluh,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Negarakertagama

Dalam Bharatayuda, Raja Jayabaya dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, yang “menjadi sesembahan alam semesta”. Sebagai titisan Wisnu, dia diyakini punya ketajaman mata batin sehingga mampu meramalkan peristiwa-peristiwa yang belum terjadi. Inilah yang membuat sejumlah ramalan disematkan pada namanya. 

Edy Sedyawati, guru besar arkeologi Universitas Indonesia, mengatakan sosok Raja Jayabaya dianggap penting oleh masyarakat Jawa. Sosoknya kerap hadir dalam beberapa suluk (tuturan yang disampaikan dalang) pada pertunjukan wayang yang menggunakan lakon cerita dari teks Bharatayuda. Kebesarannya kemudian disandingkan dengan beberapa ramalan agar bertuah dan dipercaya sebagai buah karyanya. 

“Padahal ramalan itu jelas tidak dikeluarkan Raja Jayabaya. Bahasa yang digunakan dalam ramalan adalah bahasa Jawa Baru, sedangkan pada masa Kadhiri menggunakan bahasa Jawa Kuna,” ujar Edy Sedyawati kepada Historia. Menurutnya, apa yang dipercaya sebagai ramalan Jayabaya merupakan hasil ingatan kolektif masyarakat Jawa yang berkembang melalui tradisi lisan. 

Dari semua raja Jawa abad pertengahan, nama Jayabaya sendirilah yang diingat karena Bharatayuda. Karena itulah ramalan kuno itu diatasnamakan padanya.

Pralambang Jayabaya menarik perhatian beberapa sarjana Belanda pada awal abad ke-19. Terlebih kala itu muncul banyak huru-hara dan kerusuhan yang mencemaskan pemerintah. 

Pada 1873, J.A.B. Wiselius menerjemahkan redaksi Serat Jayabaya yang tertera dalam buku Hollander. Wisselius menduga Serat Jayabaya disusun antara tahun 1740 dan 1755. Penulisan kembali ramalan Jayabaya, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, memiliki tujuan untuk “memenangi hati rakyat yang dilanda kesusahan,” tulis Wiselius dalam “Djajabaja: Zijn Leven En Profetieen”, dimuat Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (1873). 

Namun, dalam “Iets over een ouderen Dipanegara in verband met een prototype van de vootspelling van Jayabaya”, dimuat T.B.G. deel XXXII, 1889, J. Brandes menemukan ada empat redaksi dari ramalan Jayabaya, dan yang tertua atau yang disebutnya sebagai prototipe, disusun sebelum 1715. Ini merujuk pada penggunaan gelar Erucakra (Ratu Adil) oleh Raden Mas Sungkawa alias Dipati Dipanegara, putra Paku Buwana I, yang melawan Belanda dalam perang suksesi, perebutan takhta di Mataram. 

Menurut sejarawan Bernard Hubertus Maria Vlekke, asal-usul dan penyebaran yang cepat dari ramalan-ramalan ini diakibatkan kehinaan Kerajaan Mataram di tangan Belanda pada sekitar 1750. “Dari semua raja Jawa abad pertengahan, nama Jayabaya sendirilah yang diingat karena Bharatayuda. Karena itulah ramalan ‘kuno’ itu diatasnamakan padanya,” tulisnya dalam Nusantara: Sejarah Indonesia. “Jayabaya dalam sejarah sama sekali tidak berhubungan dengan ramalan itu.” 

Sejak itu, tulis Vlekke, sastra mitologis-historis Jawa harus disesuaikan dengan situasi baru. Setelah 1755, suatu versi baru Babad Tanah Jawi dikarang. Pujangga istana Surakarta dan Yogyakarta mulai mencari karya-karya yang lebih kuno untuk mendapatkan petunjuk apa yang akan terjadi di masa depan. Pada tahun-tahun itulah, ramalan-ramalan dikarang dan dikatakan berasal dari Raja Jayabaya. 

Buku-buku tentang ramalan Jaya.

Membaca Zaman 

Kepercayaan akan ramalan Jayabaya biasanya tumbuh di tengah kemelut sosial ekonomi yang parah dan kekacauan. Begitu pula yang terjadi pada abad ke-19, yang diwarnai dengan sejumlah gerakan Ratu Adil di Jawa. Termasuk kemunculan Pangeran Diponegoro. 

“Segera sesudah pecah Perang Jawa, ramalan Jayabaya tampaknya ditulis ulang agar lebih cocok dengan peristiwa-peristiwa baru,” tulis Peter Carey, sejarawan Inggris terkemuka dalam kajian Asia Tenggara, dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Tatanan Lama di Jawa 1785–1855

Berbagai versi ramalan Jayabaya itu menunjukkan ada perubahan dan perkembangan ramalan, yang dibikin sesuai kondisi zaman. Menurut Sartono Kartodirdjo, seperti bentuk kebudayaan lainnya, terdapat sinkretisme unsur-unsur kebudayaan Melayu-Polinesia, Hindu, dan Islam dalam pralambang Jayabaya. Maka, dalam hal ini, ia sama dengan historiografi babad; mempunyai segi mitologi dan kronologis. 

“Perbedaannya ialah, bahwa dalam pralambang ada konsepsi mengenai masa depan dan karena unsur profetis-mesianistis itu, pralambang menjadi suatu falsafah sejarah,” tulis Sartono. 

Selain itu, pralambang Jayabaya mendekati bahan historiografi karena menyebutkan kerajaan-kerajaan sejak Jenggala sampai Mataram. “Urutan ini sama dengan yang kita jumpai dalam Babad Tanah Jawi,” tulis Sartono. “Hal ini menunjukkan bahwa penyusunan pralambang Jayabaya mempergunakan bahan-bahan yang disediakan oleh tradisi pada masa penyusunannya.” 

Dennys Lombard melihatnya dari pandangan orang Jawa soal waktu. Gagasan itu mungkin diambil dari kosmologi India yang mengenal empat yuga yang silih-berganti. Yuga yang penghabisan, kaliyuga, adalah masa yang kita alami dan yang konon berakhir dengan bencana besar yang mendahului awal baru. “Di Jawa terdapat pendapat bahwa akan tiba suatu ‘masa malapetaka’ (jaman kalabendu), zaman edan, yang merupakan percobaan yang mutlak menuju peremajaan kembali umat manusia,” tulis Lombard.

Dari situlah para penulis babad mencoba mengaitkan kenyataan sejarah dengan irama waktu mistis itu, terutama dengan memusatkan perhatian pada keruntuhan keraton-keraton yang berturut-turut. “Memang tidak ada peristiwa yang dengan lebih jelas menandai akhir suatu dunia selain kehancuran istana,” tulis Lombard. 

Dari keruntuhan keraton muncul keraton baru, siklus inilah yang kemudian jadi bahan “membaca” zaman. 

Betapa besar pengaruh ramalan Jayabaya dan hasrat rakyat untuk lepas dari kesengsaraan, membuahkan kepercayaan masyarakat akan datangnya Ratu Adil muncul di setiap periode zaman. Ramalan-ramalan Jayabaya kerap mencuat pada waktu-waktu kekacauan yang menyertai pergantian kekuasaan: pendudukan Jepang, gagalnya penjajahan kembali Belanda, hingga berkuasanya Orde Baru. Menjelang pendudukan Jepang, misalnya, orang meyakini ramalan “jago kate berbulu kuning menguasai Pulau Jawa selama seumur jagung”. 

Di masa setelah kemerdekaan terbit beragam buku mengenai ramalan Jayabaya dengan beragam versi. Misalnya, Peranan Ramalan Djojobojo dalam Revolusi Kita yang ditulis Tjantrik Mataram, cetakan pertama tahun 1948. Di dalamnya terdapat penambahan gejala-gejala dari pengaruh dunia modern dengan teknik modern dan adat-istiadat baru, misalnya “kereta berjalan tanpa kuda”. Ada juga penambahan variasi lokal mengenai suatu ramalan yang berkaitan erat dengan keadaan setempat. 

Kini, meski tak sekuat di masa lalu, ramalan Jayabaya masih hidup di tengah masyarakat. Terkadang untuk menerka datangnya bahaya. Seringkali di bongkar-pasang guna menerka siapa pemimpin negara: Notonagoro. Padahal itu bukan ramalan Jayabaya. Entah sumbernya dari mana.*

Majalah Historia No. 19 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6596ac46c67c0fe034683cec