Hamka sebagai tahanan sedang menjalani perawatan di RS Persahabatan, Rawamangun, Jakarta, 1964. (Koleksi Keluarga Buya Hamka).
Aa
Aa
Aa
Aa
SETIAP selesai salat subuh dilanjutkan wirid dan doa, jemaah laki-laki dan perempuan di mesjid, yang kemudian bernama Mesjid Agung Al-Azhar, membentuk halakah atau melingkar. Kepada mereka, Hamka memberikan pengajian tafsir Al-Qur’an, sejak tahun 1958. Para jemaah terkadang payah mengingat kembali tafsir-tafsir itu sehingga perlu untuk mengumpulkannya. Tafsir itu kemudian direkam dengan tape recorder.
Setelah Gema Islam terbit, banyak yang mengusulkan agar tafsir itu dimuat di majalah bulanan tersebut. Didirikan oleh Jenderal TNI H. Sudirman, komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung, dan Kolonel Muchlas Rowi, kepala Pusat Rohani Islam Angkatan Darat, pada 1962, Gema Islam dianggap sebagai pelanjut Panji Masyarakat, yang dibredel rezim Orde Lama pada Mei 1960 karena memuat risalah Bung Hatta berjudul “Demokrasi Kita”.
“Sungguh mundur maju saya mengabulkan permintaan itu, karena ada beberapa kesulitan yang harus diatasi. Kesulitan yang pertama ialah soal huruf Al-Qur’an,” tulis Hamka dalam Gema Islam, Tahun I, Januari 1962. Hamka mengajukan syarat jika tafsir ini akan dimuat di Gema Islam, hurufnya harus bahasa Arab, di bawahnya ditulis artinya dalam huruf latin. Pihak redaksi dapat memenuhinya.
SETIAP selesai salat subuh dilanjutkan wirid dan doa, jemaah laki-laki dan perempuan di mesjid, yang kemudian bernama Mesjid Agung Al-Azhar, membentuk halakah atau melingkar. Kepada mereka, Hamka memberikan pengajian tafsir Al-Qur’an, sejak tahun 1958. Para jemaah terkadang payah mengingat kembali tafsir-tafsir itu sehingga perlu untuk mengumpulkannya. Tafsir itu kemudian direkam dengan tape recorder.
Setelah Gema Islam terbit, banyak yang mengusulkan agar tafsir itu dimuat di majalah bulanan tersebut. Didirikan oleh Jenderal TNI H. Sudirman, komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung, dan Kolonel Muchlas Rowi, kepala Pusat Rohani Islam Angkatan Darat, pada 1962, Gema Islam dianggap sebagai pelanjut Panji Masyarakat, yang dibredel rezim Orde Lama pada Mei 1960 karena memuat risalah Bung Hatta berjudul “Demokrasi Kita”.
“Sungguh mundur maju saya mengabulkan permintaan itu, karena ada beberapa kesulitan yang harus diatasi. Kesulitan yang pertama ialah soal huruf Al-Qur’an,” tulis Hamka dalam Gema Islam, Tahun I, Januari 1962. Hamka mengajukan syarat jika tafsir ini akan dimuat di Gema Islam, hurufnya harus bahasa Arab, di bawahnya ditulis artinya dalam huruf latin. Pihak redaksi dapat memenuhinya.
Ketika redaksi menanyakan nama tafsirnya, Hamka menjawab “Al-Azhar, untuk menghormati Mesjid Agung Kebayoran Baru, yang telah diberi nama oleh Syekh Mahmud Syaltut, Syekh Jami’ Al-Azhar Mesir pada ziarahnya di bulan Januari 1961.”
Wartawan Rosihan Anwar dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka menyebut bahwa tafsir-tafsir Al-Qur’an Hamka dimuat dalam Gema Islam sehingga menambah daya tarik majalah itu di mata pembacanya. Rosihan mengasuh rubrik “kronik dan komentar Islam” di Gema Islam dengan nama samaran Al-Bahist.
Tafsir Al-Azhar dimuat dalam Gema Islam dari Januari 1962 sampai Januari 1964, baru sampai juz 19. Pasalnya, Hamka ditangkap pada 27 Januari 1964.
Menurut M. Yunan Yusuf dalam Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Hamka melanjutkan penulisan Tafsir Al-Azhar ketika menjadi tahanan rumah di bungalo Herlina, bungalo Harjuna, bungalo Brimob Megamendung, dan kamar tahanan polisi Cimacan, Puncak, Bogor. Karena kesehatannya menurun, Hamka dipindahkan ke Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta. Selama perawatan, dia melanjutkan penulisan tafsirnya. Dan setelah bebas pada 21 Januari 1966, dia memperbaiki dan menyempurnakan tafsirnya.
“Abang saya, Zaki yang membawakan bahan-bahan untuk menulis di penjara. Bang Zaki membawa buku-buku, baik buku milik Buya Hamka maupun buku pinjaman dari Museum Gajah. Dua hari sekali Bang Zaki mengantarkan buku-buku itu,” kata Irfan Hamka, kepada Historia.
“Yang kami sesalkan adalah manuskrip,” lanjut Irfan. “Buya Hamka menulis tangan. Tafsir Al-Azhar itu, misalnya, selesai satu juz, terus Abang Zaki yang ambil, Abang Zaki yang mengoreksi. Kalau dikumpulkan manuskrip tafsir tulisan tangan itu, mungkin satu kamar penuh. Manuskrip-manuskrip itu diserahkan kepada penerbitan, dan setelah dicetak, manuskrip itu dibakar. Tidak ada satu pun manuskrip yang tersisa.”
Menurut Yunan, juz 1–4 Tafsir Al-Azhar diterbitkan oleh penerbit Pembimbing Massa pimpinan Haji Machmud. Juz 15–30 diterbitkan Pustaka Islam Surabaya dan juz 5–14 diterbitkan Yayasan Nurul Islam Jakarta.
Hamka sendiri menyebut bahwa di setiap juz tafsirnya terdapat keterangan tempat penulisannya. Ternyata, menurut Yunan, tidak semua juz tercantum keterangan tempat penulisannya, seperti juz 1–3, 5–12, 26 dan 30. Yang ada keterangannya yaitu juz 4, 13–17, dan 19 ditulis di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta. Sedangkan juz 20 di rumah tahanan Cimacan, Puncak, Bogor; serta juz 21–24, sebagian juz 25, dan juz 27–29 ditulis di bungalo Brimob Megamendung.
Keunikan Tafsir Al-Azhar
Ali Audah, 90 tahun, sastrawan dan penerjemah karya-karya berbahasa Arab, telah membaca dan memeriksa Tafsir Al-Azhar. “Dalam penulisan tafsirnya, Hamka betul-betul hati-hati, sehingga apa yang disebut Israiliyat, yaitu kisah-kisah yang berasal dari Yahudi, saya tidak lihat. Biasanya, tafsir tidak lepas dari itu,” kata Ali Audah kepada Historia.
Menurut Rosnani Hashim dalam “Hamka Intellectual and Social Transformation of the Malay World,” termuat di Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago, dalam penyusunan tafsirnya, Hamka merujuk kapada karya-karya tafsir klasik dan modern, termasuk dari aliran Sunni, Mu’tazilah, dan sumber-sumber Syiah.
“Keunikan tafsirnya adalah kemampuannya mengaitkan dengan isu-isu kontemporer, dengan budaya dan kehidupan masyarakat khususnya budaya Melayu-Minangkabau termasuk pengalaman hidupnya sendiri,” tulis Rosnani.
Rosnani mencontohkan. Dalam tafsir surat al-Baqarah ayat 195 mengenai jihad fi sabilillah, Hamka menceritakan kisah Tentara Nasional Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman dan tentara Hizbullah sebagai telah berjihad fi sabilillah. Dalam menafsirkan ayat 209 dari surat yang sama, tentang perintah Allah agar tidak mengikuti langkah-langkah setan, Hamka menjelaskan bagaimana negara-negara muslim tertentu atau individu menolak perintah Allah dengan mencontohkan Mustafa Kemal Ataturk, pemimpin Turki sekuler.
Tafsir Al-Azhar bercorak sastra budaya kemasyarakatan, yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat.
Dia juga menceritakan bagaimana orang-orang Buton, Sulawesi, mentaati hukum Allah dengan menerapkan hudud (hukuman bagi dosa-dosa tertentu yang ditetapkan dalam Al-Qur’an) kepada pencurian, perzinaan, dan sebagainya, meskipun pemerintah kolonial Belanda keberatan. Hamka bahkan mengutip pengalaman pribadinya, seperti percakapan dengan anaknya, untuk menjelaskan ayat-ayat tertentu seperti ayat 219 surat al-Baqarah mengenai kedekatan pertolongan Allah tentang nasibnya sendiri di penjara. Dia juga menceritakan pengalaman gurunya yang berpoligami ketika menafsirkan ayat-ayat terkait surat an-Nisa.
Tafsir Al-Azhar, Rosnani melanjutkan, juga dipengaruhi kondisi sosial-politik Indonesia. Salah satu isu penting terkait khilafiyyat dan furu’iyyat (perbedaan hal-hal sepele dalam beragama, seperti salat subuh pakai doa kunut atau tidak, dan lain-lain, red). Hamka merasa bahwa ini bisa memecah belah umat Islam. Isu penting lainnya adalah antara pengikut agama yang berbeda, khususnya muslim dan Kristen. Ada situasi ketika konflik mereka cukup tegang. Hamka mengambil pendekatan dialog dan ini dipengaruhi interpretasi dari beberapa ayat tentang kerukunan antaragama seperti surat al-Imran ayat 64, al-Baqarah ayat 256, dan al-Taubah ayat 29.
Tersebab Tafsir Al-Azhar berkaitan dengan kehidupan masyarakat, ahli tafsir Al-Qur’an, Quraish Shihab, menyebut Tafsir Al-Azhar bercorak “sastra budaya kemasyarakatan”.
“Yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit atau problem mereka berdasarkan ayat-ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah terdengar,” tulis Quraish Shihab dalam pengantar buku Yunan Yusuf.
Akal dan Taklid
Menurut Rosnani, perhatian utama Hamka dalam tafsirnya adalah mengenai ‘aql (akal). Hamka berpendapat bahwa ‘aql memungkinkan manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, dan untuk menghargai ciptaan Tuhan di sekelilingnya.
“Penggunaan ‘aql sangat penting dalam memeriksa ambiguitas dan makna Qur’an,” tulis Rosnani.
Hal senada dikemukakan Yunan yang menyebut Tafsir Al-Azhar “bercorak rasional”. Menurutnya, Hamka berpendapat bahwa dengan akal yang diberikan Tuhan, manusia mempunyai kebebasan berkehendak (free will) dan berbuat; menentukan menjadi kafir atau mukmin, menimbang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang memberikan manfaat dan mana yang membawa mudarat. Namun, Hamka tidaklah memberikan kemampuan itu sebesar kemampuan yang diberikan Mu’tazilah –aliran teologi Islam rasional yang oleh mayoritas muslim disebut “mempertuhankan akal”– kepada akal manusia.
“Menurut Hamka akal hanya mampu mengetahui adanya Tuhan serta mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara untuk mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang jahat, yang dalam pandangan Mu’tazilah juga dapat diketahui dengan akal, namun dalam pandangan Hamka, hal itu hanya bisa diketahui berdasarkan wahyu Allah,” tulis Yunan.
Kendati demikian, Hamka tetap menempatkan akal pada posisi yang penting. Dengan akallah manusia dapat mengungkap berbagai rahasia alam. Dengan akal pula manusia mempunyai kecerdasan yang menjadi nilai dan pertimbangan dalam menjalani kehidupan.
Di samping itu, Hamka sangat menentang taklid, yaitu orang yang percaya dengan membabi buta atas apa yang dikatakan orang lain atau apa yang diterima dari seorang guru. Menurut Hamka, taklid adalah musuh kemerdekaan berpikir yang akan menimbulkan kebekuan paham agama.
“Sikap menolak taklid inilah kemudian membuat Hamka menjadi pemikir bebas yang tidak terikat kepada salah satu mazhab atau aliran manapun dalam Islam,” tulis Yunan.*