Merampog Harimau

Di Jawa, harimau tak hanya diadu dengan kerbau. Ia juga dirampog sampai mati oleh banyak orang kala perayaan Idulfitri dan tahun baru Islam.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Merampog HarimauMerampog Harimau
cover caption
Rampogan harimau di Kediri. (Wereldmuseum Amsterdam).

KENDATI sudah lama divonis punah, sejumlah peneliti meyakini harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) masih berkeliaran di Pegunungan Muria, Jawa Tengah. Semasa hidup, mereka pernah menjadi hewan aduan dalam pergelaran kerajaan di Jawa.

Di Asia Tenggara, hewan kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari pesta-pesta besar kerajaan sejak abad ke-16. Selain dijadikan bahan pangan, mereka diadu satu sama lain agar bisa menjadi tontonan khalayak ramai. Setiap kerajaan memiliki hewan aduan khasnya. Di Aceh, Birma (Myanmar), Kamboja, dan Siam (Thailand), misalnya, gajah merupakan hewan aduan utama. Di kerajaan-kerajaan tersebut, gajah dipandang sebagai simbol kekuatan militer.

“Para raja mengumpulkan gajah dalam jumlah besar, menungganginya dalam latihan perang maupun peperangan... dan mengidentifikasikan diri dengannya dalam perlombaan dengan hewan-hewan lain,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450–1680.

KENDATI sudah lama divonis punah, sejumlah peneliti meyakini harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) masih berkeliaran di Pegunungan Muria, Jawa Tengah. Semasa hidup, mereka pernah menjadi hewan aduan dalam pergelaran kerajaan di Jawa.

Di Asia Tenggara, hewan kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari pesta-pesta besar kerajaan sejak abad ke-16. Selain dijadikan bahan pangan, mereka diadu satu sama lain agar bisa menjadi tontonan khalayak ramai. Setiap kerajaan memiliki hewan aduan khasnya. Di Aceh, Birma (Myanmar), Kamboja, dan Siam (Thailand), misalnya, gajah merupakan hewan aduan utama. Di kerajaan-kerajaan tersebut, gajah dipandang sebagai simbol kekuatan militer.

“Para raja mengumpulkan gajah dalam jumlah besar, menungganginya dalam latihan perang maupun peperangan... dan mengidentifikasikan diri dengannya dalam perlombaan dengan hewan-hewan lain,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450–1680.

Sedangkan kerajaan di Champa dan Jawa menjadikan kerbau dan harimau sebagai hewan aduan. Di Jawa, orang menganggap kerbau jauh lebih bersemangat ketimbang gajah. Orang asing juga tak selalu kagum melihat pertarungan antargajah. Kalaupun gajah diadu dengan hewan lain, harimau contohnya, pertarungannya tak selalu berimbang. Karenanya, di kerajaan Ayutthaya (Thailand), seekor harimau dipaksa menghadapi dua sampai tiga ekor gajah dalam satu pertarungan.

Di Jawa, orang lebih senang menyaksikan pertarungan antara kerbau dan harimau yang ditangkap dari hutan sekitar Kediri, Blitar, dan Tumapel. Raja sengaja menghelat acara itu secara terbuka dan mengundang orang asing agar turut menyaksikannya.

Rampogan harimau lawan kerbau di Solo, 1868. (Wikimedia Commons).

Di tengah selahan tanah yang dikelilingi pagar, kerbau dan harimau beradu kuat. Sebelum pertarungan, kerbau dan harimau dipaksa mengamuk. Kerbau disiram air cabai sementara harimau disundut besi panas. Pertarungan pun dimulai. Dan akhirnya harimau mati, kerbau menang. Rakyat bersorak-sorai. John Crawfurd, seperti dikutip Anthony Reid, menulis, “Tidak sedikit kegembiraan menyaksikan hewan kecil dan jinak ini mengalahkan lawannya yang buas dan kejam.”

Kerbau tak selalu sendirian menghadapi harimau. Jika ukuran kerbau kecil, terkadang harimau dimasukkan ke tengah kepungan kerbau agar pertarungan lebih berimbang.

Pertarungan yang telah diadakan di Mataram sejak abad ke-17 itu mempunyai arti mendalam bagi orang Jawa. Menurut Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa, mereka mencitrakan diri sebagai kerbau (maesa) dan melihat orang asing sebagai harimau (simo). Namun, bagi Robert Wessing, antropolog Universitas Illinois, identifikasi orang Jawa terhadap harimau jauh lebih kompleks, bahkan sangat ambigu.

“Orang Jawa juga melihat harimau sebagai perwujudan leluhur sehingga mereka kerap memanggilnya nenek. Tapi kemudian harimau dapat menjadi bencana atau pengganggu keselarasan sehingga harus disingkirkan,” tulis Wessing dalam “A Tiger in The Heart: The Javanese Rampok Macan,” Journal KITLV 148 No. 2 (1992). Selain itu, harimau dicitrakan serupa dengan niat jahat atau nafsu buruk di dalam diri yang harus ditaklukkan.

Pertarungan antara kerbau dengan harimau dapat diterjemahkan sebagai pertarungan antara keselarasan dengan kekacauan.

Pandangan orang Jawa terhadap kerbau lebih sederhana ketimbang terhadap harimau. Orang Jawa kuno memandang kerbau sebagai kendaraan bagi manusia di kehidupan akhirat. Dalam literatur weda, kerbau dipercaya sebagai pengusir kejahatan dan pemurni harmoni. “Dengan demikian, pertarungan antara kerbau dengan harimau di alun-alun utara itu dapat diterjemahkan sebagai pertarungan antara keselarasan dengan kekacauan,” lanjut Wessing.

Pertarungan itu mulai berubah bentuk memasuki abad ke-18. Harimau bukan hanya diadu dengan kerbau, tetapi juga dengan manusia. Kala itu, Mataram telah terbagi dua menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. “Rampogan macan”, nama acara baru ini, dihelat di alun-alun utara dua kerajaan tersebut. Pigeaud, ahli sejarah Jawa kuno, menyebut tradisi mengadu harimau dengan manusia di Jawa telah ada lebih awal. Namun, Wessing menyatakan tak ada bukti tertulis yang menyebut ajang adu harimau dengan manusia sebelum masa Islam. Reid pun berpendapat serupa: “Tidak ada tradisi rampogan pada abad ke-17 atau sebelumnya.”

Litografi rampogan harimau karya L.H.W.M. de Stuers dalam "De Indische Archipel", Den Haag, 1865-1876. (Wereldmuseum Amsterdam).

Rampogan di Kesultanan Yogyakarta digelar secara berkesinambungan sejak 1791 kala perayaan Idulfitri dan tahun baru Islam. Waktu ini dipilih karena umat muslim tengah memulai hari baru dalam siklus hidupnya. Dosa-dosa di masa lalu dianggap telah gugur. Dan harimau disimbolkan sebagai dosa-dosa itu. Sebagai perwujudannya, harimau diadu sampai mati dengan manusia. Khalayak ramai diperkenankan menyaksikan acara ini. Bahkan, acara ini terkadang dihelat secara khusus untuk menyambut tamu-tamu asing sultan. Perhelatan di hadapan orang asing ini merupakan simbolisasi kekuatan militer Kesultanan Yogyakarta.

Dalam rampogan, sejumlah harimau dimasukkan ke dalam beberapa kandang. Kandang-kandang itu ditempatkan di tengah alun-alun. Ribuan prajurit bertombak mengelilinginya dalam beberapa barisan. Dari kejauhan, di tempat yang aman, sultan memperhatikan acara itu, bagian demi bagian, mulai pembunyian gamelan, penyalaan api, sampai pelepasan harimau dari kandang. Prajurit bertombak kemudian memburu harimau yang dilepas satu demi satu. Kemudian prajurit berebut menombaknya hingga mati. Inilah sebab acara itu disebut rampogan (rebutan).

Rampogan menyebar hingga keresidenan Kediri, Blitar, dan Tumapel memasuki dekade 1860-an. Di Yogyakarta, acara itu kian kehilangan makna pentingnya. Sementara Kasunanan Surakarta masih menggelar rampogan sampai abad ke-19. Junghuhn, seorang ahli tanaman yang mencintai alam Hindia Belanda, pernah menuliskan pengalaman menyaksikan rampogan di Surakarta pada Agustus–September 1844. Dia menyaksikannya sedari pagi hingga siang. Ketika beberapa kandang sudah habis terbakar dan dua abdi sedang membuka kandang keempat atau kelima, matahari biasanya sudah jauh di atas kepala.

Hingga memasuki awal abad ke-20, beberapa kabupaten di Jawa masih menggelar acara ini. Pemerintah Hindia Belanda melarang rampogan sejak 1905. Hari Lebaran di beberapa kabupaten pun menjadi kurang ramai. Namun, itu tak berarti banyak bagi kelangsungan hidup harimau Jawa. Mereka tetap diburu dan terusir dari habitatnya lantaran perambahan hutan di Jawa. Tak sampai satu abad, mereka pun punah berkalang tanah.*

Majalah Historia No. 12 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65ffe067a37e401135dd9b28