Merawat Semangat Oposan

PNI mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di berbagai daerah. Tempat menggembleng semangat nasionalisme, tetapi tidak untuk pengkaderan.

OLEH:
Aryono
.
Merawat Semangat OposanMerawat Semangat Oposan
cover caption
Museum M.H. Thamrin, dulu menjadi tempat Perguruan Rakyat. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

KABAR pertemuan Arnold Manonutu dengan Semaoen di kota Amsterdam, Belanda, tercium intelijen Belanda. Dia pun mulai dimata-matai. Bahkan, pemerintah Hindia Belanda melarang orangtuanya mengirim uang bulanan.  

Merasa tak nyaman, Arnold pulang ke tanah air. Tak berselang lama tinggal di Batavia, Arnold mendapat surat dari orangtuanya di Manado bahwa dia dicalonkan sebagai sekretaris di Minahasa Raad atau Dewan Minahasa, menggantikan G.S.S.J. Ratulangi. Namun, Arnold ditolak Residen Manado, karena dituduh pernah bekerjasama dengan Semaoen yang komunis.  

Tak patah arang, Arnold mencoba peruntungan dengan menjadi pegawai swasta di perusahaan Mitsui dari Jepang di Batavia pada 1928. Di perusahaan ini kariernya cemerlang. Bahkan, dia dipromosikan sebagai kepala kantor cabang anak perusahaan yang akan buka di Batavia, tetapi dia menolak. Dia memilih mengajar di Perguruan Rakyat milik PNI.

KABAR pertemuan Arnold Manonutu dengan Semaoen di kota Amsterdam, Belanda, tercium intelijen Belanda. Dia pun mulai dimata-matai. Bahkan, pemerintah Hindia Belanda melarang orangtuanya mengirim uang bulanan.  

Merasa tak nyaman, Arnold pulang ke tanah air. Tak berselang lama tinggal di Batavia, Arnold mendapat surat dari orangtuanya di Manado bahwa dia dicalonkan sebagai sekretaris di Minahasa Raad atau Dewan Minahasa, menggantikan G.S.S.J. Ratulangi. Namun, Arnold ditolak Residen Manado, karena dituduh pernah bekerjasama dengan Semaoen yang komunis.  

Tak patah arang, Arnold mencoba peruntungan dengan menjadi pegawai swasta di perusahaan Mitsui dari Jepang di Batavia pada 1928. Di perusahaan ini kariernya cemerlang. Bahkan, dia dipromosikan sebagai kepala kantor cabang anak perusahaan yang akan buka di Batavia, tetapi dia menolak. Dia memilih mengajar di Perguruan Rakyat milik PNI.

Logo Perguruan Rakyat.

Perguruan Rakyat

Perguruan Rakyat didirikan pada 11 Desember 1928. Ia merupakan fusi dari dua perkumpulan yang fokus pada pendidikan bumiputra: Pustaka Kita yang diketuai Soenario dan Perhimpunan Untuk Belajar yang dipimpin Sudarmoatmodjo.  

“Perguruan Rakyat lahir sebagai imbangan terhadap Taman Siswa yang terlalu bersifat sukuisme Jawa dan perguruan Mohammad Syafei di Kayutanam yang bersifat Minangkabau. Perguruan Rakyat didirikan dengan maksud membuang jauh sifat sukuisme,” ujar Arnold Manonutu kepada Matullada, seperti terekam dalam wawancara sejarah lisan produksi Arsip Nasional RI tahun 1974.  

Perguruan Taman Siswa didirikan Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta pada Juli 1922, sementara perguruan Mohammad Syafei dengan nama Indonesische Nationale School (INS) Kayutanam di Sumatra Barat, berdiri tahun 1926.  

Beberapa elite PNI turut membidani kelahiran Perguruan Rakyat. Bahkan, untuk urusan pembiayaan, tulis Ruben Nalenan dalam biografi Iskaq Tjokrohadisurjo: Alumni Desa Bersemangat Banteng, biaya penyelenggaraan berasal dari dua sumber: pelajar dan elite PNI. Sebagai pengurus awal, Perguruan Rakyat diketuai Mohammad Razif, dengan sekretaris I Arnold Manonutu dan sekretaris II Sudarmoatmojo.  

Kurikulum pun disusun. Mata pelajaran yang diajarkan di Perguruan Rakyat seperti geografi, sosiologi, tatanegara, tatabuku, stenografi, bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Jerman, dan bahasa Belanda. Pengajarnya, ujar Iskaq, diambil dari mahasiswa di Jakarta seperti Amir Sjarifuddin dan Sumanang yang kuliah di Sekolah Hukum. “Jika diajarkan bahasa Indonesia saja, maka diploma dari Perguruan Rakyat tidak diakui oleh pemerintah, dan yang terpenting mereka bisa bekerja di seantero Hindia Belanda,” terang Oom No, sapaan akrab Arnold Manonutu, kepada Matullada.  

Perguruan Rakyat juga membuka Perguruan Rendah Oemoem Penambah (PROP) dan Perguruan Rendah Oemoem Luas (PROL) setingkat MULO. Kemudian membuka Perguruan Rendah Oemoem (PRO) setara HIS, dan Perguruan Oemoem Pendidikan (POP) setingkat Kweekschool. Menurut Arnold, semua pelajaran disampaikan pada pagi hari, sama seperti sekolah pemerintah.

Ilustrasi Arnold Mononutu. (Betaria Sarulina/Historia.ID).

Demi menunjang proses belajarmengajar, Mohammad Husni Thamrin membantu dengan membeli rumah bekas pendinginan daging di Gang Kenari, yang terletak di samping gedung Permufakatan Nasional.  

Bukan saja membuka kelas di tingkat dasar hingga menengah, Perguruan Rakyat juga membuka Universitas Rakyat atau Volks Universiteit, yang kemudian dikenal sebagai Perguruan Rakyat Malam karena memberikan pelajaran pada malam hari. Ceramah diberikan seminggu sekali, dengan mengundang pembicara dari luar seperti Ki Hajar Dewantara yang bicara tentang perguruan dan pendidikan, Sardjito tentang penyakit malaria, Purbatjaraka tentang bahasa Indonesia, Kusuma Subrata tentang dewan kabupaten, dan Jamaludin Adinegoro tentang jurnalistik. Dalam sekejap, 300 siswa sudah mengikuti pendidikan di Perguruan Rakyat Malam.

Pemerintah kolonial mengetahui aktivitas Perguruan Rakyat. Seminggu sekali, Departemen Pendidikan memeriksa dan memuji kurikulum yang diajarkan. Bahkan, tulis Nalenan, Departemen Pendidikan pernah menawarkan bantuan, tetapi ditolak pengurus Perguruan Rakyat karena akan mengikat cita-cita dan perjuangan Perguruan Rakyat.  

Saat malaise tahun 1930-an, Perguruan Rakyat limbung karena masalah dana. Bantuan dari Komisi Fonds Nasional Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dipimpin Sartono mengalami penurunan. Namun, Perguruan Rakyat mampu bertahan. Pada 1972, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menetapkan Perguruan Rakyat sebagai perguruan nasional pertama di Jakarta.

Logo Universitas 17 Agustus 1945.

Universitas 17 Agustus 1945

Tujuh tahun setelah Indonesia merdeka, sistem pendidikan nasional belum membaik. Beberapa elite PNI seperti Suwiryo dan Iskaq Tjokrohadisurjo berembug tentang penyelenggaraan pendidikan nasional. Pada 14 Juli 1952 berdiri Yayasan Pendidikan 17 Agustus 1945 yang diketuai Iskaq. Pada 24 Agustus 1952, Yayasan mendirikan Universitas 17 Agustus 1945 atau Untag. Iskaq hanya menjabat setahun, kemudian digantikan Abdurrachman hingga tahun 1961.

Pada 1962, masa kepemimpinan Prayudi Atmosudirjo, terjadi perubahan dalam anggaran dasar yayasan. Disebutkan, tulis Nalenan, pengisian lowongan pengurus Yayasan 17 Agustus 1945 dilakukan oleh Dewan Pimpinan PNI. Bahkan, Dewan Pimpinan PNI yang saat itu dipegang Ali Sastroamidjojo berhak pula melakukan penggantian total pengurus yayasan.  

“Secara campur tangan, memang ada dari unsur PNI. Untag ini berbeda dari GBM, Wanita Nasional, yang anggota juga masuk PNI. Untag juga tidak bisa disebut sebagai anggota Front Marhaenis,” ujar sejarawan Peter Kasenda kepada Historia. Sejak 1962, mulai berdiri cabang Untag di beberapa daerah seperti di Cirebon, Semarang, Surabaya, yang dikelola tokoh PNI lokal.

Saat Orde Baru, Untag menahbiskan diri sebagai kampus oposan. “Ini kampus dikenal sebagai gudangnya Sukarnois, bahkan dari yang saya dengar, beberapa eks tapol 65 juga ditampung bekerja di Untag,” kata Kasenda.  

Pemerintah berupaya menggembosi Untag. Caranya antara lain dengan memindahkan kampus dari Jalan Cik Di Tiro, Jakarta Pusat, ke daerah Sunter, Jakarta Utara, dan melarang Untag di daerah bernaung dalam satu yayasan pendidikan di pusat.  

Meski dalam tekanan pemerintah, Untag berhasil mengembangkan satu mata kuliah khusus tentang nasionalisme. Pada 1987, kata Kasenda, semua Untag menyelenggarakan mata kuliah khas yang berkaitan dengan sejarah nasionalisme atau wawasan kebangsaan. “Sekolah menjadi jalan untuk menanamkan nilai-nilai yang diperjuangan oleh PNI,” ujar Kasenda.

Pengurus Perguruan Rakyat pertama di tahun 1928. (Perpusnas RI).

Yayasan Pendidikan Marhaenis

Upaya pendidikan juga dilakukan “organisasi simpatisan” PNI, yakni Ikatan Guru Nasional (IGN). Menurut J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi, organisasi ini didirikan PNI Jawa Tengah dalam konferensi mereka di Pati, April 1955. Selama beberapa tahun ia berusaha membangun cabang-cabang di hampir semua kota kabupaten, beberapa kota besar di Jawa, dan beberapa tempat di Sumatra Utara. Ketua pertamanya adalah Hadisoenarto, yang kemudian digantikan Rh. Koesnan dalam konferensi IGN kedua di Purworejo pada Januari 1958. Nama organisasi juga diubah jadi Ikatan Guru Marhaenis (IGM).  

“Bertolak belakang dengan Iprin (Ikatan Pamong Rakjat Indonesia), dorongan untuk menciptakan IGM tampaknya tidak semata-mata untuk menandingi PKI melainkan terutama merupakan keinginan para pemimpin PNI yang kebanyakan di antaranya memang menjadi guru. Mereka ingin menciptakan organisasi yang bisa dipakai secara langsung demi tujuan-tujuan PNI,” tulis Rocamora.  

Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan DPP PNI, IGM mengorganisasi konferensi para pendidik PNI pada 1956 dan kemudian sekali lagi pada 1958 untuk mendiskusikan dan memformulasikan prinsip-prinsip pendidikan Marhaenis.

“IGM juga aktif mendirikan sekolah-sekolah PNI yang diselenggarakan melalui Jajasan Pendidikan Marhaenis,” tulis Rocamora. Di Jawa Tengah saja, PNI punya 97 sekolah pada 1959, kebanyakan tingkat sekolah menengah.  

Di masa Orde Baru, setelah peleburan partai-partai politik, nama yayasan diubah menjadi Yayasan Pendidikan Pancasila (YPP). Pusatnya berada di Surakarta. Menurut Sakiran, kala itu ketua YPP Wonogiri, sejak awal yayasan ini punya tujuan ikut memajukan pendidikan rakyat, terutama masyarakat di lapis bawah dan kaum pinggiran, yang dulu sulit masuk sekolah negeri. “Sebab waktu itu jumlah sekolah negeri masih sangat terbatas,” ujarnya dalam wawancara dengan Suara Merdeka, 17 Januari 2004. 

Keberadaan YPP Wonogiri terbilang menonjol. Ia memiliki setidaknya 30 sekolah formal, dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas/kejuruan.

Pengkaderan

Selain yayasan-yayasan di atas, PNI juga mengelola yayasan pendidikan lain seperti Yayasan Perguruan Dwijaya dan Yayasan Pendidikan Sekolah Rakyat 17 Agustus 1945. Namun, meski membidani sekolah-sekolah, PNI tidak menggunakannya untuk melakukan pengkaderan. DPP PNI memiliki Departemen Pendidikan Kader yang antara lain bertanggungjawab atas perencanaan dan penyelenggaraan kursus-kursus kader.  

Menurut Kasenda, pengkaderan di tubuh PNI tak seketat Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Partai Sosialis Indonesia (PSI). Bentuk agitasi massa merupakan bentuk umum kaderisasi PNI. Pendadaran kader juga lebih banyak dilakukan di dalam organ onderbouw PNI.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
668df33811808f75f0f92752