Cerita korban salah tangkap dalam kasus penggranatan terhadap Presiden Sukarno di Perguruan Cikini. Ia dituduh yang melempar granat. Menderita selama dalam penjara.
Mustafa Kamal Saleh dituduh terlibat penggranatan dalam Peristiwa Cikini. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
RUMAH lawas bernomor 21 itu sudah seabad lebih usianya. Dinding papannya masih banyak yang asli. Terpencil di tengah permukiman padat tak jauh dari stasiun Cikini, Mustafa Kamal Saleh sudah tinggal di rumah itu sejak lahir, 86 tahun silam.
Meski pendengarannya sudah berkurang, mantan pegawai Departemen Perdagangan (1947–1977) itu masih sanggup menceritakan Peristiwa Cikini yang terjadi pada 30 November 1957. Gara-gara rumahnya dikontrak para pelaku, dia sempat mendekam di penjara. Rabu, 10 Juli 2013, kepada M.F. Mukthi dan fotografer Micha Rainer Pali dari Historia, pria yang pernah ikut berjuang semasa zaman revolusi itu membagi kisahnya.
RUMAH lawas bernomor 21 itu sudah seabad lebih usianya. Dinding papannya masih banyak yang asli. Terpencil di tengah permukiman padat tak jauh dari stasiun Cikini, Mustafa Kamal Saleh sudah tinggal di rumah itu sejak lahir, 86 tahun silam.
Meski pendengarannya sudah berkurang, mantan pegawai Departemen Perdagangan (1947–1977) itu masih sanggup menceritakan Peristiwa Cikini yang terjadi pada 30 November 1957. Gara-gara rumahnya dikontrak para pelaku, dia sempat mendekam di penjara. Rabu, 10 Juli 2013, kepada M.F. Mukthi dan fotografer Micha Rainer Pali dari Historia, pria yang pernah ikut berjuang semasa zaman revolusi itu membagi kisahnya.
Apakah Anda masih ingat peristiwa penggranatan di SR Cikini?
Kalau penggranatan itu memang yang terkenal rumah sini, Ampiun 21. Sebetulnya yang berbuat (pelaku, red.) di belakang, mereka yang kontrak dengan kita. Orang Bima semuanya. Mereka kan guru sekolah semuanya. Kita juga nggak tahu kalau mereka berbuat begitu. Waktu [setelah] kejadian, pembongkaran [oleh aparat Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja, KMKBDR, kini Kodam] di rumah situ kedapetan satu peti granat di kolong balai-balai. Kita mau nggak mau tanggung jawab. Kita mana nggak mau kenal, orang dia tinggal sama kita. Mandi di kamar mandi sama-sama. Waktu itu belum ada satu bulan [mereka] masuk (mengontrak rumah No. 21, red.).
Berapa tarif sewa rumah yang dikontrakkan kepada Jusuf Ismail cs.?
Dia bukan bayar sama saya sih. Bayarnya sama ponakan saya, sebab itu kan rumah dulu yang tinggalin ponakan saya. Jadi dikontrak sama dia. Saya nggak tau kontraknya berapa.
Bisa ceritakan saat penggranatan terjadi, Anda sedang apa dan di mana?
Kebetulan waktu ada kejadian begitu, [kami] ini sedang pertandingan bulutangkis di jalan sekolahan itu. Kita tanya-tanya, ada apa itu. Ada temen satu yang keluar melihat. Banyak [korban] yang dibawa di becak-becak, banyak yang luka-luka. Sesudah itu, kita terus aja latihan bulutangkis. Kita, anak-anak muda, ada persatuan bulutangkis di sini. Saya ketuanya. Jadi semua bulutangkis, mereka (sebagian anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia, GPII, red.) juga ikut.
Apa yang terjadi pada diri Anda setelah Peristiwa Cikini terjadi?
Kurang lebih ada hampir satu bulan dari kejadian, baru kita ditangkep bersebelas. Saya paling terakhir ditangkap, subuh. Dateng itu dua orang pagi-pagi. Pakai pakaian preman, pakai pistol. Saya masih tidur dibangunin [istri]. Pas di depan itu saya berdiri, ada teman itu diseret-seret suruh naik [ke mobil]. Yang lain sudah ditangkepin. Nggak lama [sesudah] itu kita, ada enam jip, berangkat semua ke KMKB. [Kantor] KMKB itu masih di [tempat yang kini jadi] Istiqlal.
Setelah pemeriksaan, ke mana lagi Anda dibawa? Apakah langsung masuk penjara?
Kita masuk semua. Naik truk semuanya. Dibawa deh kita. Masing-masing dibagi-bagi, tiga orang di [penjara] Boedi Oetomo, lantas kita yang delapan orang ke Glodok, di rumah tahanan Glodok. Pas kita masuk, di dalam sudah berbaris orang-orang. Orang Masyumi semua. “Ada yang dari PKI nggak? Ada PKI kita gantung ini hari,” dia (petugas, red.) bilang begitu. Kita memang bukan PKI. Cuma kita memang sudah janji, siapa saja yang tanya, mau dari luar, [kita sepakat jawab] nggak tau. Ya emang kita nggak tau persoalannya. Kenapa kita ditangkap, kita nggak tau.
Nama Mustafa di situ paling sial, ada enam orang. Udah kumpul di situ, [kami] cerita masing-masing. Ada yang [ditahan] enam tahun. Hati saya [langsung] kecil. Saya punya anak lima sudah. Nggak bisa tidur. Gimana bisa tidur, numpuk satu velbed rame-rame. Waktu di RTM Glodok, makanannya nasi putih, ikan, [wadahnya] piring kaleng gede. Namanya rumah tahanan militer.
Setelah dari Glodok Anda dibawa ke mana?
Besoknya, kita dibawa ke Gang Tengah, Rumah Tahanan Salemba. Kita udah pada nunduk aja, malu kita. Bukan apa-apa, karena kita bukan orang bersalah. Ada teman saya, Haji Misbah, itu pake kimono doang. Nggak pake celana dalem, nggak pake apa. Pas masuk, semua dicopotin. Kita di blok B. Saya dapet kamar nomor 21, ada di situ tulisan: Kamar Maut. Ya nggak ada yang berani masuk kamar maut.
Nggak ada air, nggak ada makanan. Minumnya pakai pispot. Habis nggak ada gelas. Gelas nggak boleh bawa. Waktu solat subuh, teman saya Haji Misbah azan pakai pispot. Enak bener suaranya. Habis bangun pagi-pagi, telanjang bulet kita mandi semua. Namanya laki-laki.
Lama-lama dateng makannya, teh doang. Pispot tempatnya. Terus, jagung rebus. Cuma segini (segenggam, red.), Pak. Saya mikir ke burung peliharaan di rumah. Di rumah burung kita kasih makan jagung, di sini kita makan jagung rebus. Apa boleh buat dah, makan dikit-dikitlah. Sedih, sedih. Di sini kan tahanan biasa. Nasi penuh gabah. Kalau ketemu tulang ikan aja begini (luar biasa, red.). Dateng sayur, sayur sudah item. Dipanggilnya sayur kecubluk. Cuma kalau kita nggak makan, mati kita. Mau nggak mau ya makan. Ya udah deh terima aja. Makan sama-sama.
Berapa lama di Salemba?
Kita nggak lama di situ, hampir satu tahun kurang lebih. Tiap Senin [istri] dateng besuk. Besuk itu nggak [boleh] lihat orangnya, cuma rantangnya aja. Makanannya juga tinggal sedikit, mungkin juga diambili sama sipir-sipir. [Saya] nangis, sedih kita.
Nggak lama setelah itu, datang panggilan KMKB. Tiga orang. Saya pakai pici. Di sana sudah ada bapak nungguin. Duduk di meja, depannya Mayor Samosir. Sambil dia ngetik, kita ditanya. Kita jelasin sejelas-jelasnya. “Lah kamu tukang ngelempar granat,” kata dia.
“Yah, Pak, maaf aja,” saya bilang. “Jangankan Bapak bilang lempar granat, liat pun belum pernah.” Ya kita bukan tentara, mana pernah liat granat. Setelah itu, kita diunjukin tu granat. Kaya nanas. Terus saya ditanya macam-macam. [Setelah tak terbukti bersalah], “Udah dah, pulang lo semua. Ampasnya. Salah nangkep,” kata dia (Mayor Samosir). Udah dah kita pulang. Besoknya diperiksa satu-satu, semua. Di KMKB, dikasih briefing.*