Meringkus Bandit-bandit Ibukota

Sebuah nama yang pernah membuat ciut nyali para pelaku kejahatan di Jakarta: Tekab.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Meringkus Bandit-bandit IbukotaMeringkus Bandit-bandit Ibukota
cover caption
Letda Chairul Bahar Muluk, salah satu anggota Tekab yang jadi terdakwa penganiayaan Martawibawa alias Tan Tjong, tersangka kasus makelar mobil dan keimigrasian. (Perpusnas RI).

DOR! Usman rebah. Peluru timah putih menembus mata kakinya. Petualangan perampok asal Surabaya itu berakhir di jeruji besi setelah Team Khusus Anti Banditisme (Tekab) menyergapnya di bilangan Senen, Jakarta Pusat, 22 Februari 1971.  

Usman bukan sembarang penjahat. Berjuluk “kilat” karena terampil merampok dan jago melarikan diri, dia tergolong bandit sadis. Di Surabaya, seorang polisi pernah ditikamnya sampai tewas. Dia juga tak segan menodong seorang nenek tua demi menggasak koper berisi pakaian.  

Merantau ke Jakarta, Usman tergabung dalam kelompok rampok bersenjata api. Sebanyak tiga kali Usman dan kawanannya beraksi di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sudah sejak lama dia menjadi target operasi Tekab.

DOR! Usman rebah. Peluru timah putih menembus mata kakinya. Petualangan perampok asal Surabaya itu berakhir di jeruji besi setelah Team Khusus Anti Banditisme (Tekab) menyergapnya di bilangan Senen, Jakarta Pusat, 22 Februari 1971.  

Usman bukan sembarang penjahat. Berjuluk “kilat” karena terampil merampok dan jago melarikan diri, dia tergolong bandit sadis. Di Surabaya, seorang polisi pernah ditikamnya sampai tewas. Dia juga tak segan menodong seorang nenek tua demi menggasak koper berisi pakaian.  

Merantau ke Jakarta, Usman tergabung dalam kelompok rampok bersenjata api. Sebanyak tiga kali Usman dan kawanannya beraksi di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sudah sejak lama dia menjadi target operasi Tekab.  

Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso memberikan reaksi positif atas tindakan anak buahnya menembak seorang bandit. “Baik dan teruskan! Selamat!” lansir Kompas, 2 Maret 1971.  

Nama Tekab pun akrab di telinga masyarakat Jakarta.

Mayor Polisi Seman Partodihardjo, komandan Tekab. (Ekspres).

Jakarta Rawan Kejahatan

Akhir 1960-an kejahatan marak di kota Jakarta. Saban hari hampir terdengar berita perampokan. Gerombolan garong menguasai beberapa sudut kota. Menurut Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta, Bilangan Senen dan sekitar Pasar Blok M merupakan titik paling rawan. Tak cuma kerugian materi, banyak korban mengalami kekerasan: ditikam atau ditembak. Selain itu, ditemukan mayat-mayat terkapar di beberapa tempat. Mati tak wajar akibat penganiayaan. Pembangunan ibukota menuju metropolitan berdampak terhadap maraknya tindak kriminal.  

“Saat itu keadaan yang saya hadapi amat rawan dan rumit. Permukiman penduduk tidak tertib dan tidak terencana. Arus urbanisasi semakin pesat. Gangguan keamanan pun meningkat,” ungkap Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta kala itu, dalam Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan K.H.  

Komando Daerah Kepolisian (Komdak) Metro Jaya tak ingin terus kecolongan. Pangdak (sekarang Kapolda) Mayjen Polisi Soekahar mengeluarkan instruksi: bentuk satuan tugas darurat. Perintah tersebut disanggupi Letkol Polisi Darwo Sugondho, kepala Reserse Kriminal Komdak Metro Jaya, dengan menyiapkan Team Khusus Anti Banditisme (Tekab) untuk memberi perhitungan terhadap pelaku kejahatan di Jakarta.  

“Apabila dipandang perlu, Tekab akan bertindak lebih keras lagi. Kalau perlu juga dengan menembak penjahat itu di tempat,” ujar Darwo dalam Kompas, 24 Februari 1971. Atas prakarsanya, Darwo disebut-sebut sebagai “Bapak Tekab”.

Penyidikan pelaku kriminal oleh Tekab. (Ekspres).

Tekab Mengkilap

Dibentuk tanpa surat keputusan, Tekab bukanlah organ resmi kepolisan. Ia adalah lembaga ekstra Komdak Metro Jaya. Mula-mula hanya beranggotakan enam orang yang dikomandoi seorang kepala tim. Kepala tim berganti setiap tahun, dari Aiptu I Nyoman Oka, Ipda Soenanto, Iptu Djaluddin Zen, kemudian Mayor Polisi Seman Partodihardjo. Pada era Djalaluddin, sebutan kepala tim berubah menjadi komandan Tekab.  

Tak sembarang polisi bisa jadi anggota Tekab. Pemberani, jago beladiri, berfisik kuat, dan mahir menembak adalah kualifikasi mutlak. Karena jam terbang operasi yang tinggi, seorang anggota Tekab harus memiliki kecerdasan dan mental di atas rata-rata. Penampilannya pun tak biasa. Berambut cepak dan berpakaian ala preman lengkap dengan pistol di pinggang. Tak ketinggalan walkie talkie merk Motorolla –yang sempat jadi tren kala itu: walkie Teke’– untuk mempermudah komunikasi di antara sesama anggota Tekab.  

Di tahun perdananya, Tekab langsung menggebrak. Operasi-operasinya berpengaruh signifikan dalam menghadapi aksi kejahatan. Sepanjang tahun 1969, dilansir Kompas, 2 Februari 1970, sebanyak 12.547 kasus kejahatan di Jakarta ditangani. Jumlah itu melonjak drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 6.953 kasus kejahatan.  

Ketika di bawah komando Seman, Tekab kian populer. Teke’, demikian Tekab disebut kalangan bandit, menjadi momok menakutkan. Mulai dari copet amatiran, penadah, sampai perampok kelas kakap. Pemalsu obat, pemerkosa, hingga penyelundup. Dengan teknik penyamaran, operasi Tekab acapkali berbuah sukses.  

“… ketentraman kembali berangsur-angsur dirasakan warga kota dan pendatang baru. Ini berkat kerja Tim Khusus Anti Banditisme (Tekab) Komdak Metrojaya pimpinan Mayor Polisi Seman, yang rajin mengoperasi setiap daerah yang dianggap rawan. Seringkali jebakan anak buah Seman ini berhasil –menyamar sebagai tukang becak atau pejalan kaki– membawa banyak bandit ke pengadilan dengan kaki cidera oleh peluru penembak jitu,” tulis Tempo, 21 Desember 1974.

Kunci sukses Tekab adalah kecepatan bergerak. Untuk menyokong gerak operasi, Tekab mengerahkan informan-informan; umumnya mantan bandit yang telah insaf. Selepas dari lembaga pemasyarakatan, mereka didatangi Tekab, diajak bergaul, dan diseleksi. Yang dianggap kompeten akan dibina untuk mengorek informasi dan sindikat pelaku kriminal. Para informan Tekab ini dikenal dengan istilah “Kibus” (Kaki Busuk).  

“Mereka dikaryakan untuk mengejar dan menangkap bandit. Hasilnya memang hebat,” kata Seman, komandan Tekab, dikutip Ekspres, 4 Februari 1972.  

Operasi Tekab kemudian diperluas ke seluruh Jakarta. Setiap Komando Wilayah (Kowil, sekarang Polresta) membentuk Tekab. Tekab 001 untuk Kowil 71/Jakarta Pusat. Tekab 002 untuk Kowil 72/Jakarta Utara. Tekab 003 untuk Kowil 73/Jakarta Barat. Tekab 004 untuk Kowil 74/ Jakarta Selatan. Tekab 005 untuk Kowil 75/Jakarta Timur. Yang paling terkenal, Tekab 007, merupakan kode untuk Tekab Komdak Metro Jaya.  

Tekab Jakarta segera menjadi model untuk kepolisian kota-kota besar provinsi lain. Terbentuklah Tekab di Bandung, Surabaya, dan Medan.  

“Tekab ini dulu terkenal, berwibawa,” ujar sastrawan Teguh Esha kepada Historia.

Menurut mantan wartawan Jakarta dekade 1970-an ini, Tekab merupakan produk kepolisan paling berhasil ketika kekuasaan polisi masih terintegrasi di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) –kini, Tentara Nasional Indonesia. Popularitasnya yang mengkhalayak turut didukung media saat itu.  

“Media massa kan publikasikan, ya terkenal. Jadi kayak publik figur tapi invisible gerakannya. Bandit-bandit ngeper (takut) juga tuh,” seloroh Teguh.

Pengadilan tiga orang anggota Tekab dalam kasus penganiayaan Martawibawa. (Perpusnas RI).

Sisi Gelap Tekab

Sebagai konsekuensi popularitasnya, citra Tekab rentan terhadap penyalahgunaan wewenang. Entah dilakukan oknum maupun orang dalam kepolisian. Fenomena Tekab gadungan pun jamak terjadi. Modusnya macam-macam: dari informan nakal yang memeras warga, oknum polisi yang mengatasnamakan Tekab, hingga pelaku kejahatan yang nekat mengaku Tekab untuk memuluskan aksinya.  

Namun pada medio 1973, Tekab harus menghadapi masalah hukum yang serius. Martawibawa alias Tan Tjong, tahanan Komdak Metro Jaya, meninggal dunia akibat penganiayaan yang dilakukan tiga anggota Tekab. Ketiganya adalah perwira muda Letda Polisi Chairul Bahar Muluk beserta dua pembantunya, Peltu Sutaryo dan Pelda I Wayan Mangku.  

Martawibawa tersangka kasus makelar mobil dan keimigrasian itu mengalami kekerasan fisik setelah Tekab menyidiknya: mata lebam, rahang bergeser, luka di kepala, serta tangan dan kaki lecet. Di pengadilan militer, Muluk mengakui menghajar Martawibawa karena dianggap memberikan keterangan berbelit-belit. Pengadilan memutuskan ketiganya bersalah atas penganiayaan yang berujung pada kematian. Muluk diganjar hukuman penjara tiga tahun sedangkan dua rekannya setahun lima bulan.  

Kejadian tersebut merusak reputasi Tekab yang kadung dianggap sebagai pelindung warga ibukota. Komandan Tekab, Mayor Polisi Seman, pun menyesali tindakan anak buahnya. “Ia (Muluk) polisi muda kepercayaan saya, sayang ia kurang bisa menahan luapan emosinya. Muluk adalah tenaga muda yang cekatan menghadapi tugasnya,” ujar Seman dikutip Tempo, 14 Juli 1973.  

Dalam Kompas, 25 Juni 1973, Seman menyatakan, Tekab sedapat-dapatnya tak akan menggunakan kekerasan lagi. “Saya tidak mau peristiwa Martawibawa terulang kembali, hingga anggota-anggota saya dihadapkan ke Mahkamah ABRI,” ujarnya.  

Tak sampai di situ, Tekab kembali bikin ulah. Dalam operasi mengejar seorang direktur yang melarikan uang perusahaan, Tekab menggeledah rumah sang buronan tengah malam. Si nyonya rumah yang tengah tidur lantas terbangun. Merasakan gelagat yang tak baik, dia menegur anggota Tekab yang memasuki rumahnya tanpa izin maupun surat perintah. Alih-alih melunak, yang ditegur malah beringas seraya membentak, “Tekab Jakarta masuk mana saja bebas.”

Perilaku minus aparat Tekab sampai ke telinga Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal TNI Soemitro. Sebagaimana diwartakan Ekspres, 18 Mei 1973, dalam pertemuan Kopkamtib yang dihadiri Kapolri Jenderal Polisi Widodo Budidarmo, Soemitro melayangkan teguran keras: tidak ingin mendengar lagi bercokol “polisi kampungan”.

Martawibawa korban penganiayaan Tekab. (Ekspres).

Tereduksi

Nama besar Tekab berhasil membuat nyali para penjahat menciut. Prestasi mereka juga dibanggakan kepolisian, khususnya Komdak Metro Jaya. Kendati demikian, jumlah kejahatan senantiasa meningkat. Teori efek menetes ke bawah (trickle down effect) yang menjadi landasan kebijakan ekonomi Orde Baru pada kenyataannya kurang mampu menyentuh lapisan bawah.

“Strategi pembangunan salah, hanya berpihak kepada elite. Kapitalistik dan menindas. Akibatnya kejahatan tak dapat terbendung. Orang yang tak bermaksud jahat karena lapar bisa jadi kejam,” ujar Teguh.

Dalam tubuh Tekab sendiri makin banyak ditemui kendala. Dalam Tempo, 22 Juli 1978, Seman yang telah pensiun menggambarkan tugas Tekab yang nyaris 24 jam. Selain mengorbankan waktu, tak jarang mereka harus bertaruh nyawa setiap operasi. “Pukul 7 pagi sudah harus siap di pos. Paling cepat pukul 4 sore baru bisa pulang, untuk kemudian dinas lagi pukul 8 malam sampai pukul 3 dinihari. Jadi, praktis hanya 4 jam berkumpul dengan keluarga,” jelasnya.  

Sementara dana yang dialokasikan untuk Tekab tak memadai. Biaya tambahan operasional pun sangat sulit. Yang ada hanya perangsang untuk operasi khusus –pembongkaran kasus narkotika, misalnya. Itu pun paling banter hanya Rp1.500 –termasuk ongkos makan dan transportasi. Padahal operasi bisa berlangsung seminggu. Belum lagi biaya-biaya tambahan seperti kopi dan rokok guna mendapat informasi dari para informan. Untuk mengatasi krisis ini, Tekab menerima sumbangan tak wajib dari para pelapor yang meminta bantuan untuk mengusut kejahatan yang dialaminya.

“Ada sedikit dana tapi tidak cukup,” kata Letkol Polisi Kusparmono Irsan, komandan Satuan Reserse Komdak Metro Jaya. Seretnya “minyak pelumas ini” membuat suatu kasus jadi lama terpecahkan. Akhirnya kritik datang bertubi-tubi. “Padahal kita tidak pernah istirahat. Apalagi rileks,” kata Kusparmono.  

Semprotan buat anggota Tekab datang dari tiga jurusan. Pertama, semprotan dari anak-istri yang merasa kurang diberi waktu dan perhatian. Malah istri sering mencurigai mereka punya gendak (simpanan). Kedua, semprotan dari atasan yang selalu menginginkan penyelesaian perkara lebih cepat. Dan ketiga, semprotan dari masyarakat yang umumnya tak mau tahu kesulitan Tekab. “Pokoknya kalau tidak ingin dimaki, perkara harus cepat dibongkar,” keluh Letnan Satu Tambunan, anggota Tekab, kepada Tempo.  

Menurut I Gde Putu Gunawan dalam “Kejahatan di Jakarta: Peranan Polri dalam Pencegahannya 1970–1980-an”, tesis sejarah di Universitas Indonesia, peran Tekab mulai tereduksi ketika Awaloedin Djamin menjabat Kapolri. Di era Awaloedin, kepolisian mulai melibatkan peran masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Alasannya, mengurangi kejahatan tak mungkin hanya dengan menangkap pelakunya.  

Awaloedin kemudian mencanangkan Sistem Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Swakarsa (Siskamtibmas Swakarsa). Melalui Siskamtibmas, partisipasi masyarakat diperluas guna membantu kinerja kepolisian. Sejak 1981, program Siskamtibmas Swakarsa dijalankan masing-masing kepolisian daerah (Polda).  

“Penjabaran dari Siskamtibnas Swakarsa mengutamakan pencegahan kejahatan dengan membimbing, mendorong, mengarahkan, dan menggerakkan masyarakat agar mereka terhindar dari kejahatan baik sebagai pelaku maupun korban,” tulis Putu Gunawan. Salah satu wujudnya adalah sistem keamananan lingkungan (siskamling).  

Seiring waktu, popularitas Tekab tenggelam tatkala tentara mulai turun tangan menangani keamanan sipil melalui Petrus (penembak misterius).*

Majalah No. 33 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66fa26118a84efdb806277b7