Metamorfosis Ianfu

Masa lalu yang kelam dipaksa menjadi pemuas nafsu seksual tentara Jepang tak menyurutkan semangat para mantan ianfu untuk menuntut keadilan.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Metamorfosis IanfuMetamorfosis Ianfu
cover caption
Lukisan Mardiyem, mantan ianfu, dengan sayap kupu-kupu. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

BUNGA krisan itu bak lampu hias nan indah di ruang tamu. Menggantung di langit-langit tak jauh dari pintu masuk, ia seolah menyambut kedatangan para tamu. Cahaya kuning anggun memancar dari ke-16 kelopaknya. Di balik keindahannya, ia menyimpan kisah sedih yang dialami perempuan-perempuan Indonesia di suatu masa. Sebuah kejahatan besar terhadap kemanusiaan. 

Ia memang bukan bunga krisan biasa. Ia terbuat dari kondom. Setiap kelopak berisi ratusan kondom merek Okamoto asal Jepang, pabrik kondom yang memproduksi jutaan kondom dan menyebarkannya ke seluruh Asia-Pasifik ketika sistem ianfu (perempuan yang dipaksa militer Jepang menjadi budak seks) diterapkan. 

BUNGA krisan itu bak lampu hias nan indah di ruang tamu. Menggantung di langit-langit tak jauh dari pintu masuk, ia seolah menyambut kedatangan para tamu. Cahaya kuning anggun memancar dari ke-16 kelopaknya. Di balik keindahannya, ia menyimpan kisah sedih yang dialami perempuan-perempuan Indonesia di suatu masa. Sebuah kejahatan besar terhadap kemanusiaan. 

Ia memang bukan bunga krisan biasa. Ia terbuat dari kondom. Setiap kelopak berisi ratusan kondom merek Okamoto asal Jepang, pabrik kondom yang memproduksi jutaan kondom dan menyebarkannya ke seluruh Asia-Pasifik ketika sistem ianfu (perempuan yang dipaksa militer Jepang menjadi budak seks) diterapkan. 

“Dalam praktik ianfu tahun 1931 sampai 1945, kondom disebar secara legal oleh pemerintah Jepang kepada tentaranya untuk memperkosa ratusan ribu perempuan di wilayah Asia-Pasifik,” kata Indah Arsyad, seniman pembuatnya, kepada Historia. “Bunga krisan berwarna kuning dengan 16 kelopak adalah lambang dari Kekaisaran Jepang.” 

Di bawahnya, patung kebaya-kain bawahan perempuan karya Ade Artie menegaskan betapa perempuan Indonesia menderita dan tak berdaya. Mereka dipaksa menjadi pemuas nafsu seksual para serdadu Jepang. 

“Kolaborasi ini menunjukkan ekspansi militer Jepang dengan perbudakan seks terhadap perempuan-perempuan tak berdaya dengan penanggung jawab tertinggi adalah kaisar Jepang,” lanjut Indah. 

Karya instalasi kolaborasi bunga krisan-perempuan itu menjadi satu dari sekian banyak karya dari 12 perupa yang dipamerkan dalam Pameran “Kitab Visual ‘Ianfu”. Pameran ini dihelat di Galeri Cemara 6, Jakarta, 9–23 Agustus 2016, untuk memperingati Hari Ianfu yang jatuh pada tanggal 14 Agustus.

“Jadi konsep pameran ini kolaborasi. Artinya, bisa saja satu karya dibuat oleh dua-tiga orang atau bisa juga sendiri. Tapi yang paling penting, isu ianfu kami bicarakan. Sehingga ketika saya rajut ini menjadi sebuah pameran, ambience-nya satu: dia tentang ianfu,” kata kurator pameran Dolorosa Sinaga.

Militer di Mana-mana

Ketika menduduki Indonesia, demi tujuan memenangi Perang Pasifik, Markas Besar Tentara Jepang di Pasifik Selatan menyediakan ianfu dari Taiwan di Borneo (Kalimantan). Tujuannya untuk memompa semangat juang bala tentaranya. Namun, serangan Sekutu yang mempersulit hubungan laut dan udara membuat Jepang tak bisa lagi mendatangkan ianfu dari Jepang, China, dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirimkan ke garis depan sebagai ianfu.

Untuk menjalankan rencananya, militer Jepang memberikan iming-iming: kesempatan belajar ke Tokyo atau Shonanto (Singapura) atau pekerjaan yang layak. Janji itu beredar dari mulut ke mulut, lalu turun ke pejabat-pejabat lokal dari bupati hingga tonarigumi (RT/RW). Para pejabat lokal ini mengumpulkan puluhan perempuan muda. Di banyak tempat, mereka melakukannya dengan paksaan. Para gadis dibuat ketakutan.

Ketakutan itu terasa ketika menonton pameran ini. Topi tentara Jepang hampir memenuhi tiap sudut ruang pameran. Dengan perpaduan latar suara detak jantung dari sebuah holographic dan detak jarum jam, kesan menyeramkan bagi para gadis pada masa pendudukan Jepang terekam kuat. 

“Militer Jepang ada di mana-mana. Detak jantung itu adalah simbolisasi bahwa setiap hari mereka itu dalam keadaan seperti ini karena mereka diperkosa sampai 25 kali sehari,” ujar Dolorosa. 

Wajah-wajah perempuan memenuhi dinding setelah pintu masuk. Mereka punya mimpi dan cita-cita tapi kandas dan terempas di bawah sepatu lars tentara Jepang. Lukisan-lukisan karya A.P. Bestari menggambarkan betapa keji dan dalam duka nestapa yang mereka alami. Mereka mengalami siksaan mulai dari diinjak hingga dicekik. 

Maka, dimulailah masa-masa kelam di mana ribuan perempuan kehilangan keluarga, kehormatan, dan juga masa depan. Mereka diperkosa dan dipaksa melayani nafsu seksual tentara Jepang. Mereka ditempatkan di rumah-rumah bordil (ianjo) yang didirikan di sejumlah daerah. 

Di bagian belakang ruangan berdiri dua bilik kain yang menyimbolkan ianjo. Nama-nama perempuan tergores di dindingnya. Karya ini, bersama lukisan, coretan dinding, dan patung perempuan, merupakan karya kolaborasi Bibiana Lee, Ida Ahmad, Indyra, dan Ade Artie. Mereka mengisahkan tempat prosesi kegiatan tak manusiawi yang berangkat dari kisah pilu Mardiyem, penyintas yang bersuara lantang menuntut keadilan.

Mardiyem kala itu gadis Jawa berusia 13 tahun. Sebuah iklan lowongan kerja untuk jadi pemain sandiwara mendorongnya untuk melamar. Namun, dia tertipu. Dia dibawa ke Telawang, Banjarmasin, lalu ditempatkan di sebuah ianjo selama tiga tahun. Ada puluhan Jepang yang saban hari menyalurkan syahwat kepadanya. Kisah pilu itu tampil kuat dari wajah Mardiyem yang terlukis di dinding bagian belakang bilik. Di sampingnya, sebuah coretan dinding menorehkan: “Nama Mardiyem telah hilang. Aku diberi nama Momoye”. 

Nasib Mardiyem dan ribuan ianfu lain menjadi esensi dari patung perempuan yang tergeletak di lantai dalam bilik. Mereka tak berdaya. 

Penderitaan Tiada Akhir

Penderitaan mereka terus berlanjut meski Jepang kalah perang. Masyarakat mengucilkan mereka. Pemerintah bungkam. Hingga kini, persoalan ianfu belum terselesaikan. Kesaksian demi kesaksian para penyintas seolah lenyap tertiup angin. 

Namun, semangat mereka tak pernah padam. Mereka terus menuntut keadilan. Mereka sudah bermetamorfosis jadi kupu-kupu, yang cantik dan terbang bebas. Dan seperti itu pula pelukis A.P. Bestari melukiskan Mardiyem, lengkap dengan sayap kupu-kupunya. “Walau memiliki masa lalu yang kelam sebagai korban ianfu, dia tetap berdiri tegar dan menggenggam harapan untuk mendapatkan keadilan,” kata A.P. Bestari.

Simbol kupu-kupu pula yang dimainkan Putri Ayu Lestari dalam karya instalasinya. Puluhan kupu-kupu kertas tergantung menutupi dinding. Mereka menyimbolkan semangat para mantan ianfu dan orang-orang yang peduli dalam memperjuangkan keadilan. Kupu-kupu itu terbang di atas sebuah tas berisi puluhan buku yang boleh diambil siapapun. 

Menurut Putri, informasi tentang ianfu belum banyak diketahui orang, terutama generasi muda sebayanya. “Maka aku bikin buku yang boleh disebarluaskan sesukanya,” ujarnya kepada Historia. “Misinya agar ianfu nyebar, diketahui banyak orang.” 

Kupu-kupu kertas yang beterbangan dan buku ianfu itu sekaligus menjadi karya penutup cerita pameran. 

Pameran “Kitab Visual ‘Ianfu’” mengingatkan kembali betapa ada luka lama yang belum disembuhkan. Berkonsep kolaborasi, pameran membebaskan seniman-seniman yang berpartisipasi untuk berkarya. Ada yang membuat lukisan, patung, curai, hingga yang modern sarat teknologi berupa holographic atau video mapping. Kurator mengaransemen pameran menjadi satu rangkaian cerita. 

Para seniman yang berpartisipasi berasal dari beragam generasi. “Itu memberikan sebuah percakapan yang baik. Karena yang muda-muda lebih melihat peluang mengeksplorasi teknologi. Esensi dari kekinian itu adalah percakapan antargenerasi,” ujar Dolorosa.*

Foto-foto oleh Nugroho Sejati/Historia.ID

Majalah Historia No. 32 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64b2b11ae306a8dbf512d4af