Mimpi Ibukota di Tengah Rimba Raya

Ketika wacana pindah ibukota bergulir, orang berpaling ke Palangkaraya. Benarkah Palangkaraya pernah disiapkan sebagai ibukota negara?

OLEH:
Budi Setiyono
.
Mimpi Ibukota di Tengah Rimba RayaMimpi Ibukota di Tengah Rimba Raya
cover caption
Peletakan batu pertama pembangunan Kota Palangkaraya.

17 JULI 1957. Diiringi sejumlah perahu, Presiden Sukarno mengarungi Sungai Kahayan. Sepanjang perjalanan, orang-orang kampung keluar untuk menyambut dan memekikkan “Merdeka!” Setelah berjam-jam, rombongan presiden pun sampai tujuan, desa Pahandut.

Setelah beristirahat sejenak, prosesi pun dimulai. Sukarno memotong kayu yang menghalangi pintu gerbang desa berupa gapura sederhana. Setelah upacara adat, dengan jip, dia diantar ke tempat upacara peletakan batu pertama ibukota provinsi Kalimantan Tengah, ditetapkan pada 7 Mei 1957 melalui UU Darurat No. 10/1957, yang akan dibangun dengan nama Palangkaraya. Dalam upacara itu hadir sejumlah menteri, Duta Besar Uni Soviet D.A. Zukov dan Duta Besar Amerika Serikat Hugh Cumming Jr.  

“Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model,” ujar Presiden Sukarno dalam pidatonya.

17 JULI 1957. Diiringi sejumlah perahu, Presiden Sukarno mengarungi Sungai Kahayan. Sepanjang perjalanan, orang-orang kampung keluar untuk menyambut dan memekikkan “Merdeka!” Setelah berjam-jam, rombongan presiden pun sampai tujuan, desa Pahandut.

Setelah beristirahat sejenak, prosesi pun dimulai. Sukarno memotong kayu yang menghalangi pintu gerbang desa berupa gapura sederhana. Setelah upacara adat, dengan jip, dia diantar ke tempat upacara peletakan batu pertama ibukota provinsi Kalimantan Tengah, ditetapkan pada 7 Mei 1957 melalui UU Darurat No. 10/1957, yang akan dibangun dengan nama Palangkaraya. Dalam upacara itu hadir sejumlah menteri, Duta Besar Uni Soviet D.A. Zukov dan Duta Besar Amerika Serikat Hugh Cumming Jr.  

“Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model,” ujar Presiden Sukarno dalam pidatonya.  

Setelah itu santer terdengar rencana Sukarno memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya. Sukarno pula yang konon mendesain kota baru itu. Mimpi Sukarno itu diulas Wijanarka, dosen Jurusan Arsitektur Universitas Palangkaraya, dalam buku Soekarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya. Benarkah?

Tak ada satu patah kata pun dari Sukarno yang menunjuk atau menginginkan Palangkaraya sebagai ibukota negara yang baru. Buku Sejarah Kota Palangka Raya yang disusun Pemerintah Kota Palangka Raya tahun 2003, juga tak menyebutkannya. Bahkan buku itu menyebut desain kota Palangkaraya dibuat Ir. The (tak jelas nama lengkapnya), seorang pegawai Jawatan Tata Kota dan Tata Daerah.

“Namun demikian berdasarkan susunan tata ruang yang mirip dengan kota-kota di Eropa, pengaruh Ir. Van der Pijl dalam rancangan tersebut sangat besar. Apalagi Ir. van der Pijl adalah perancang seluruh bangunan kantor-kantor pemerintah yang akan dibangun,” tulisnya. D.A.W. van der Pijl adalah pegawai Dinas Pekerjaan Umum Persiapan Propinsi Kalimantan Tengah/Kepala Bagian Gedung-gedung.  

Rencana awal pembangunan kota Palangkaraya mengacu pada konsep sarang laba-laba (spider concept) seperti kota-kota tua di Eropa. Rencana bangunan-bangunan penting, rumah gubernuran, kompleks perkampungan pelajar, penentuan blok-blok disetujui Presiden Sukarno. Lantas, dari mana isu Sukarno ingin memindahkan ibukota ke Palangkaraya itu muncul?

Presiden Sukarno.

Sekadar Isu?

Gagasan Sukarno mencuat dari mulut ke mulut. Salah satunya dari Roosseno, seorang arsitek yang juga mantan menteri pekerjaan umum dan perhubungan. “Bung Karno punya ide yang tidak menjadi kenyataan, membuat Ibu Kota R.I. di Kalimantan. Kira-kira di Palangkaraya. Mengapa? Sebab Pemerintah R.I. belum pernah membuat kota sendiri. Semua kota yang ada sekarang ‘kan peninggalan kolonial,” ujar Roosseno, dikutip Olly G.S. dalam “Soekarno Sang Arsitek” dimuat majalah Kartini edisi 286 tahun 1985.

Menariknya, sejarawan Gerry van Klinken justru menyebut angan Sukarno lainnya terkait pembangunan Palangkaraya. “Belakangan, karena letaknya di pusat kepulauan, ia sarankan untuk menjadikannya ibukota pilihan untuk ’Maphilindo’, satu bentuk uni Indonesia dengan Malaya dan Filipina yang ada di bayangannya,” tulis Gerry van Klinken dalam “Mengkolonisasi Borneo: Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan”, dimuat Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an suntingan Sita van Bemmelen dan Remco Raben.

Pendapat berbeda muncul dari Roeslan Abdulgani. Dia justru menyodorkan nama Tjilik Riwut, gubernur Kalimantan Tengah yang juga anggota Dewan Nasional untuk Kalimantan, sebagai penggagas. Dalam sebuah wawancara untuk film dokumenter mengenai Tjilik Riwut yang diunggah di Youtube tahun 2013, Roeslan bilang pemindahan ibukota negara dibicarakan dalam rapat-rapat Dewan Nasional, suatu badan penasihat pemerintah yang dibentuk pada Juli 1957. Ada yang mengusulkan Subang di Jawa Barat, Yogyakarta, dan sebagainya. Tjilik Riwut pun bersuara: kenapa tidak ke Palangkaraya?

“Ini gagasan dari Tjilik Riwut yang diterima oleh seluruh [anggota] Dewan Nasional...,” ujar Roeslan, kala itu menteri penerangan yang juga wakil ketua Dewan Nasional. “Tapi sayangnya, pada waktu itu ganti lagi kabinet yang tidak memikirkan (pemindahan ibukota).”

Wacana menjadikan Palangkaraya sebagai ibukota negara masih sumir. Tapi, wacana memindahkan ibukota negara memang santer dibicarakan pada masa itu. Wacana itu berakhir setelah Presiden Sukarno mensahkan UU No. 10/1964 yang menyatakan Jakarta tetap sebagai ibukota negara.

D.A.W. van der Pijl.

Narasi Berbeda

Pemindahan ibukota negara ke Kalimantan pernah digagas Semaoen, seorang tokoh kiri yang lama tinggal di Rusia. Dia kemudian pulang ke tanah air pada 4 Desember 1956 dan menjadi penasihat pribadi Presiden Sukarno.

Gagasan Semaoen diurai dalam sebuah prasaran panjang untuk Kongres ke-4 Partai Murba pada 1955, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan judul Kodrat alam baru perekonomian dunia untuk kesedjahteraan ummat manusia. Menurut sejarawan Harry A. Poeze, prasaran itu dimaksud sebagai buku panduan bagi partai untuk mengusir imperialisme dari Indonesia secara damai, dan menuju pada pembangunan sosialisme. Selain politik, Semaoen menyinggung masalah ekonomi. Dia menekankan pentingnya transmigrasi untuk Indonesia. Bahkan dia mengajukan rencana untuk memindahkan “bangsa-bangsa ke Kalimantan”.

Menurut Poeze, dalam karya lainnya tahun 1957, Semaoen mengulangi ide-idenya, dengan lebih diperluas, dan katanya Sukarno mendukung usul-usul itu dan memandang bisa dilaksanakan.

Apakah Sukarno kepincut dengan gagasan Semaoen sehingga berniat memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya? Masih perlu dikaji lebih jauh.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam tulisan “Maaf Atas Nama Pengalaman” menyebut, sebuah ironi bahwa Indonesia, yang secara politis dan administratif dipersatukan oleh Sukarno tanpa pertumpahan darah, harus dipertahankan dengan tradisi kolonial melalui dua ekspor dari Jawa: pembunuh bayaran berbedil dan orang Jawa berpacul –merujuk pada pengerahan militer dan transmigrasi. Dengan tradisi seperti itu, Indonesia punya cacat genetik yang parah. Semaoen, tulis Pram, pernah memberikan terapi untuk cacat genetik itu: pindahkan ibukota keluar dari Jawa, ke Palangkaraya, di Kalimantan Tengah. Tapi Semaoen almarhum sudah tak sempat mengalami apa yang terjadi dengan hutan-hutan di Kalimantan sekarang.

Pram mengulanginya dalam pidato peluncuran ulang Media Kerja Budaya, 14 Juli 1999, berjudul “Sekali Lagi, Maaf ”. “Jadi hutannya habis ibukotanya tak jadi pindah,” ujarnya.

Menurut Gerry van Klinken, seperti sebuah Brasilia pedalaman diciptakan ex nihilo dari hutan rimba, begitulah Palangkaraya menjadi panggung Sukarno untuk menggelar teater bangsa ini. Tampilan itu menyembunyikan dinamika yang sesungguhnya antara etnisitas dan negara-bangsa. “Masalah sebetulnya bukan bangsa, melainkan negara, yang sangat memerlukan personel yang loyal di daerah-daerah luar Jawa, guna membangun kapasitas negara dalam menjaga ketertiban,” tulis Van Klinken.

Menurutnya, negara tengah menghadapi masalah state-building yang serius. Pembentukan provinsi-provinsi baru pada 1957–1958, termasuk Kalimantan Tengah, yang penuh pergolakan merupakan ekspansi negara ke penjuru wilayah yang lemah pemerintahannya; untuk melawan pemberontakan regional yang disintegratif.*

Majalah Historia No. 37 Tahun IV 2017

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
67510fd62c79e8b0b39ceec4