Misi Klandestin Pangeran Oranye

Pangeran Bernhard diam-diam menyokong aksi kudeta APRA Westerling. Suami ratu Belanda itu berambisi jadi raja muda di Hindia Belanda.

OLEH:
Aboeprijadi Santoso
.
Misi Klandestin Pangeran OranyeMisi Klandestin Pangeran Oranye
cover caption
Pangeran Bernhard (menoleh sambil tersenyum) di tengah pasukan Komando Belanda, September 1944. (commandoveterans.org).

PERTENGAHAN 1950-an, Pangeran Bernhard von Lippe-Biesterveld, suami Ratu Belanda Juliana, terjebak di pusaran kemelut panas yang berpotensi menyulut skandal nasional dan internasional. Kalangan yang dekat dengan Perdana Menteri Willem J. Drees mencium indikasi keterlibatan pangeran yang satu ini dalam sebuah komplotan –yaitu rencana rahasia yang dirancang Kapten Raymond Westerling, untuk menjatuhkan Presiden Sukarno pada 23 Januari 1950– nyaris sebulan setelah Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Apabila kecurigaan itu terbukti, skandal tersebut dapat mengguncang dunia; bahkan juga dapat mengancam kelangsungan Dinasti Oranye dari Kerajaan Belanda.

Arsip mengenai peristiwa itu baru dibuka dan tiga tahun lalu menimbulkan kontroversi di Belanda. Apakah sesungguhnya niat pangeran Belanda yang menggandeng tangan Westerling itu?

PERTENGAHAN 1950-an, Pangeran Bernhard von Lippe-Biesterveld, suami Ratu Belanda Juliana, terjebak di pusaran kemelut panas yang berpotensi menyulut skandal nasional dan internasional. Kalangan yang dekat dengan Perdana Menteri Willem J. Drees mencium indikasi keterlibatan pangeran yang satu ini dalam sebuah komplotan –yaitu rencana rahasia yang dirancang Kapten Raymond Westerling, untuk menjatuhkan Presiden Sukarno pada 23 Januari 1950– nyaris sebulan setelah Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Apabila kecurigaan itu terbukti, skandal tersebut dapat mengguncang dunia; bahkan juga dapat mengancam kelangsungan Dinasti Oranye dari Kerajaan Belanda.

Arsip mengenai peristiwa itu baru dibuka dan tiga tahun lalu menimbulkan kontroversi di Belanda. Apakah sesungguhnya niat pangeran Belanda yang menggandeng tangan Westerling itu?

Hingga akhir 1950-an, Westerling adalah sebuah nama yang dikagumi di Belanda. Komandan pasukan elite yang patriotik ini menjadi ikon zaman. Di sekolah-sekolah menengah di Hilversum, misalnya, para siswa dan siswi memuji-muji dan setiap pagi menggelar doa bersama demi keselamatannya. Sentimen publik ini mencerminkan betapa kental dan mendalam ikatan emosional dan kepentingan politik masyarakat Belanda di masa itu dengan jajahannya, Indonesia. Jelas, sulit bagi mereka untuk membayangkan bahwa negerinya, Belanda, sebenarnya telah kehilangan tanah jajahannya yang amat berharga di Asia itu.

Westerling sangat menyadari zeitgeist (suasana zaman) itu. Demikian pula Pangeran Bernhard, yang dibesarkan oleh seorang ibu –Putri Armgard– yang juga tidak menyukai Sukarno. Namun hanya segelintir orang di Belanda saat itu –bahkan hingga belakangan ini– yang menyadari bahwa Bernhard memiliki hubungan baik sekali dengan Westerling, sang perwira yang namanya kelak cemar karena rekam jejaknya sebagai komandan satuan yang melaksanakan hukuman eksekusi-di-tempat (standrechtelijke executies), yang kini lazim disebut extra-legal killings terhadap penduduk beberapa desa di Sulawesi Selatan pada Desember 1946–Februari 1947.

Tiga tahun kemudian, pada awal 1950, Westerling tampil sebagai pemeran penting dalam upaya kudeta APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung. Semua itu, menurut sejarawan Harry Veenendal dan wartawan Jort Kelder yang menulis buku ZKH, Hoog Spel aan het hof van Zijne Koninkelijke Hoogheid (Paduka Yang Mulia, Permainan Tinggi Paduka Yang Mulia Pangeran) dan sejarawan-peneliti senior Gerard Aalders penulis buku Bernhard, Zakenprins (Bernhard, Pangeran Bisnis) hanya bisa terjadi berkat peran rahasia Pangeran Bernhard dan jejaring politik dan bisnisnya.

Sejumlah arsip Belanda –arsip Koninklijke Marechaussee (Marsose), berbagai laporan intelijen asing, dan terutama buku harian Sekretaris Ratu, Gerrie van Maasdijk– menunjukkan betapa Pangeran Bernhard secara efektif berhasil memanfaatkan statusnya sebagai anggota keluarga kerajaan dan persahabatannya dengan Prof. Jan Willem Duyff, untuk mengelola kepentingan-kepentingan politik, diplomatik, dan bisnisnya.

Duyff, guru besar fisiologi pada Universitas Leiden yang juga mantan pejuang melawan pendudukan Nazi, dikenal sebagai “tokoh ambisius yang ingin menjaga agar Hindia Belanda tetap menjadi bagian dari Kerajaan Belanda”. Sejak 1940-an Duyff berhubungan erat dengan Panglima Tentara Belanda di Batavia, Jenderal Simon Spoor. Melalui kontak intensif dengan jenderal inilah, Duyff membangun mata rantai dengan Westerling dan Sirdar Iqbal Ali Shah (kode: Ali Baba), seorang diplomat Pakistan asal Afghanistan, pemasok senjata yang menjadi penghubung dengan Darul Islam di Jawa Barat; dan dengan Max Alkadrie alias Sultan Hamid II, putra Pontianak, yang mereka calonkan sebagai pengganti Presiden Sukarno.

Jejaring inilah yang merencanakan serangan bersenjata terhadap pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada saat kabinet menggelar sidang di Jakarta pada 23 Januari 1950 untuk mencokok Sukarno-Hatta, dan kemudian “langsung mengeksekusi mereka”. Untuk memastikan sukses operasi itu, Bernhard menulis surat (tertanggal 13 Mei 1948) kepada Presiden Amerika Serikat Dwight Eisenhower yang dititipkan lewat utusannya, Duyff. Surat itu mengimbau Presiden Eisenhower agar meminta Jenderal Douglas MacArthur yang mengomandoi kapal-kapal perang Amerika Serikat di perairan sekitar Surabaya untuk membantu menjaga keamanan apabila pecah “perang saudara” di Jawa jika “kudeta” tersebut gagal. Eisenhower tidak pernah menjawab surat Bernhard.

Willem J. Drees (kanan) dan Jenderal Dwight D. Eisenhower di Kementerian Pertahanan Belanda, 11 Januari 1951. (J.D. Noske/Anefo/Nationaal Archief).

Raja Muda

Operasi militer Westerling pada 23 Januari 1950 yang dinamai aksi APRA itu tetap berlangsung dan dilakukan dengan ceroboh, bahkan tak pantas disebut coup d’etat, meski berdarah. Sukarno –yang saat itu berada di luar negeri– dan Hatta selamat. Menyusul kegagalan itu, Sultan Hamid II ditahan pemerintah RIS, sementara Westerling lolos.

Namun, rencana makar itu sempat menyulut kontroversi besar di Belanda. Pasalnya, Gerrie van Maasdijk, sekretaris kerajaan yang juga mantan wartawan, mencium kontak-kontak Duyff dan rencananya. Dia melaporkannya kepada Perdana Menteri Willem Drees yang bertanggung jawab atas perilaku anggota kerajaan. Drees panik lalu memerintahkan investigasi dan berusaha menutup-nutupi kasus tersebut.

Menurut arsip marsose dan sejumlah laporan intelijen, komplotan Bernhard-Duyff-Westerling itu mengatur penyelundupan senjata dari London, atau Paris, melalui Pakistan ke Yogyakarta. Beruntung bagi Westerling, investigasi marsose itu tidak menemukan smoking gun yang menunjuk pada peran kuncinya. Demikian juga dengan Bernhard –kecuali perannya menulis surat kepada Presiden Eisenhower.

Laporan polisi Belanda agaknya melindungi pangeran ini dengan cara tidak menguraikan secara rinci siapa saja para tokoh yang memprakarsai “kudeta” APRA itu. Upaya menutup-nutupi peran kunci Bernhard, Duyff, dan Westerling kelak juga tampak pada tulisan mutakhir sejarawan yang akrab dengan “Keluarga Oranye”, Prof. Dr. C. Fasseur pada 2009.

Yang pasti, demikian menurut para sejarawan yang lain, “kudeta” itu merupakan hasil komplotan tingkat tinggi. “Duyff tidak pernah –dan tidak mungkin– bertindak sendiri,” simpul Veenendal. “Dia memerlukan dukungan penuh si Pangeran (Bernhard),” lanjutnya. 

Putri Mahkota Juliana dan Pangeran Bernhard bertunangan dan berkeliling Amsterdam, September 1936. (csweijers.nl).

Duyff, tulis Aalders, berperan sebagai “intermediair (perantara) atas nama Bernhard” yang mengatur kontak-kontak dengan pedagang senjata dan pebisnis lain. Peran inilah yang mengaitkan Bernhard lewat Duyff dan Ali Shah –keduanya sering bertandang ke Istana Soestdijk– dengan “kudeta” APRA Westerling, sementara Bernhard sendiri, menurut “biograf Oranye”, Fasseur, “selalu berada di luar kejadian”. Walhasil, “kudeta” Westerling dan penyelundupan senjata tersebut, pada hakikatnya merupakan bagian dari petualangan Bernhard.

Bukan kebetulan, “kudeta”, tepatnya aksi militer Westerling itu, terjadi pada periode antara pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 dan bubarnya RIS pada Agustus 1950. Periode itu merupakan kurun singkat yang genting bagi RIS tapi juga bagi Belanda. Menurut Aalders, aksi Westerling itu bertujuan melumpuhkan tentara Indonesia dan mengganti pemerintah Sukarno-Hatta dengan pemerintah baru yang mendukung formasi federal yang terbentuk dari sejumlah negara bagian.

Aalders, demikian juga sejarawan Frederik Willems (De Volkskrant, 6 Agustus 2012), memastikan pemerintah di Den Haag tahu benar tentang aksi Westerling. Pada 22 Februari 1950, kapten yang dijuluki “Si Turki” ini akhirnya diselamatkan pesawat albatros Catalina milik marinir Belanda dengan menyelundupkannya ke Singapura. Belanda tidak ingin Westerling jatuh ke tangan Indonesia dan mengganggu hubungan kedua negara. Sebelumnya, pada 23 Agustus 1948, Bernhard sendiri pernah menyurati Jenderal Simon Spoor di Jakarta agar Westerling mendapat koninkelijke onderscheiding (penghargaan kerajaan), yang menurut Aalders, menunjukkan betapa pangeran ini “mengagumi” perwira kontroversial yang pernah menjadi anggota staf pribadinya ini.

Bernhard jelas memiliki motif politik dan finansial. Penyelundupan senjata itu pasti menghasilkan banyak uang; kelak, pada 1970-an, pangeran Belanda ini juga terlibat skandal uang suap pabrik pesawat terbang AS Lockheed. Pangeran ini tak mungkin menjadi raja Belanda, maka dia berambisi menjadi onderkoning (raja muda) yang berkuasa di Hindia Belanda atas nama istrinya, Ratu Juliana. Dengan begitu Bernhard akan sejajar dengan temannya dari Inggris, Lord Mountbatten yang dengan prestise tinggi menjabat Viceroy yang atas nama ratu Inggris membawahi British India.

Petualangan Bernhard-Duyff-Westerling menunjukkan betapa sempit wawasan kalangan politik mapan Belanda, khususnya para konspirator tersebut, atas dinamika perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dipandang dari perspektif Indonesia, tampak aneh bahwa para konspirator justru melancarkan “kudeta” pada saat posisi diplomatik Belanda di mata dunia setelah dua kali agresi militer (1947 dan 1948) amat lemah. Lebih aneh lagi komplotan itu seolah-olah mengandalkan peran dan kolaborasi dengan Darul Islam yang rencananya akan dipasok senjata dan dibantu oleh Westerling sejak S.M. Kartosoewirjo berontak karena kecewa terhadap Persetujuan Renville.

Depot Pasukan Khusus (DST) yang dipimpin Kapten Raymond Westerling parade dalam rangka ulang tahun Putri Juliana, 30 April 1947. (Nationaal Archief).

Koneksi Darul Islam

Dinas intelijen Amerika Serikat (CIA) yang mencermati perkembangan di Jawa Barat dalam laporannya menulis bahwa Darul Islam bekerja sama dengan Westerling melawan pemerintah Sukarno-Hatta. CIA menduga di situ terkait peran Belanda. Ali Shah, diplomat Pakistan yang bermitra erat dengan Duyff, memang bertugas menarik minat pimpinan Darul Islam pada peran Belanda in casu Westerling dalam memerangi Sukarno-Hatta. Westerling rupanya mau bekerja sama dengan siapa saja untuk tujuan tersebut, demikian pula Darul Islam.  

Banyak sekali indikasi yang menunjuk pada keterlibatan Pangeran Bernhard, akan tetapi berbagai peranannya selama lima tahun yang genting pada dasawarsa 1950-an tersebut, bersama dengan Duyff, saudagar senjata Ali Shah dan Westerling, tak pernah terungkap secara lengkap dan tuntas. Semua bahan dan faktanya bersifat “indikasi”, tak pernah ada smoking gun. Sebabnya sederhana: sejumlah investigasi –oleh aparat negara marsose, marinir maupun oleh sejarawan Kerajaan Belanda, C. Fasseur– terhadap dirinya selalu berhenti atau dihentikan di tengah jalan.

Kasus-kasus Bernhard, dengan Westerling maupun dalam kasus yang paralel, yaitu skandal Lockheed kelak (1970-an), terlampau peka sehingga dianggap dapat mengancam nama baik keluarga Kerajaan Oranye.

Walhasil, di Belanda, Pangeran Bernhard –seperti juga, bahkan mungkin lebih ketimbang Westerling– pada dasawarsa 1950-an memang disanjung sebagai ikon zaman, atau helden (pahlawan). Namun sejak dasawarsa 1970-an keduanya seringkali dicap sebagai schurken (bandit).*

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64f9e2f72753756c92039b12